Tentang Romantisme (Ayah)

Selasa, 31 Maret 2015



Tulisan ini saya buat demi memenuhi tantangan sahabat saya yang mengutip iklan salah satu mie instan, “ini ceritaku, mana ceritamu?”. Cerita tentang ayah.

Berbicara tentang romantisme seorang ayah, sebenarnya ayah saya sama sekali tidak termasuk golongan orang yang romantis. Saya teringat ketika tahun 2010 saya kebingungan hendak memberikan hadiah apa untuk ulang tahun ayah yang ke-44. Saya meminta saran seorang senior yang waktu itu masih berstatus pengantin baru berhubung usia pernikahannya baru menginjak tiga bulan.

“Lagi pengen ngasih hadiah ultah ayah, nih. Ada saran nggak, Bang?”

“Ayahnya suka apa?”

“Kesukaan Ayah cuma Rhoma Irama sama makanan. Ngasih kaset dangdut, ih ogah. Ngasih makanan nggak seru, nggak ada bekasnya. Pengen ngasih yang lebih berkesan tapi bingung. Dulu jaman SMP, waktu dikasih dasi aja nggak pernah dipakai dasinya.”

“Ayah memang tipenya seperti apa?”

“Pokoknya nggak romantis banget deh, Bang. Bukan tipe yang suka diberi dan memberi hadiah ultah. Tahu nggak, hadiah ultah Mama aja ngasihnya cemilan-cemilan Alfamart yang dimasukkan ke kotak bekas parcel hadiah lebaran dari orang. Dibungkus ulang kayak kotak baru. Irit banget kan, orangnya?”

“ Najmi, buat orang yang sudah menikah seperti saya (diperjelas banget dah dua kata terakhir itu -__-“), romantis itu letaknya bukan pada memberi hadiah, tapi saat menjalani kegiatan sehari-hari bersama-sama.”

Deg! Pertama kalinya saya mulai berpikir bahwa romantis adalah sebuah kesederhanaan. Bukan berupa barang atau kata-kata. Sejak kecil saya memang lebih dekat kepada ibu yang hangat dan romantis. Ibu saya selalu menyiapkan sesuatu setiap kali saya ulang tahun, walau itu hanya sepiring pisang goreng hangat. Yang saya pelajari adalah romantis dengan saling memberi hadiah, mengekspresikan kasih sayang dengan kata-kata, atau menangis ketika terharu bahagia. Itu tidak ada dalam sosok ayah. Ayahku tipe orang yang hanya mengingat dua tanggal. Tanggal lahirnya sendiri dan tanggal lahir istrinya. Selain itu? Kalau tidak diingatkan, ya lupa.

Sahabatku menulis cerita tentang romantis Papanya yang ia rasakan dari hal-hal kecil sehari-hari. Sekali lagi saya diingatkan bahwa begitu banyak cinta di setiap hari kita yang tertuang dalam berbagai bentuk. Kadang kita tidak menyadarinya, lebih dari itu, kadang kita lupa bersyukur bahwa kita memiliki cinta yang luar biasa.

***

Saya ingat sewaktu kecil ayah begitu sibuk. Tempat kerjanya jauh. Pergi subuh, pulang malam, sehingga anak-anaknya, termasuk saya, jarang bisa bertemu ayah pada hari kerja. Namun, di akhir pekan, ayah selalu menyempatkan kami pergi berlibur. Ke tempat wisata? Bukan. Berenang gratis di kali. 

Sebelum jembatan yang menghubungkan Bubulak dan perapatan Taman Yasmin jadi bertahun yang lalu, ayah beberapa kali mengajak kami berenang di sungai lebar yang banyak batu-batu besarnya itu. Kadang-kadang ada mobil yang nekat menyeberangi sungai walaupun tahu jembatannya belum jadi. Kalau sudah begitu, ayah akan berteriak menggiring kami untuk menepi ke batu besar agar terhindar dari mobil. Setelah mobil berlalu, kami kembali bermain air. 

Kalau tidak berenang di sungai, Ayah mengajak kami ke rumah temannya yang memiliki kolam ikan. Memancing dan makan ikan gratis. Rumah teman ayah juga berada dekat dengan sebuah kali kecil yang banyak batunya. Saya baru sadar, mungkin karena sewaktu kecil saya terlalu banyak bermain dengan sungai dan air itulah, hingga saya masih begitu gembira kalau bertemu dengan objek wisata yang berhubungan dengan air sampai sekarang. Benar, ayah adalah orang yang sangat irit dan perhitungan. Tapi kalau dipikir lagi, sesungguhnya ayah begitu perhatian dan ingin selalu menyenangkan hati anaknya. Ia rela mengorbankan hari libur dan istirahat sebelum kembali berdesakan di kereta jurusan Bogor-Jakarta esok harinya.

Saat kami sekeluarga harus pindah rumah dari Bogor ke Depok karena perusahaan ayah berbaik hati menyediakan rumah bagi para karyawannya, saya pun harus pindah sekolah. Saya yang agak kesulitan beradaptasi dengan sekolah dan lingkungan baru beberapa kali mengeluh, apalagi saya merasa bahwa di sekolah yang lama saya mendapat pendidikan agama yang lebih baik. Itu salah satu alasan yang saya buat sehingga orangtua menyetujui saya kembali ke sekolah yang lama. Alasan utama yang sebenarnya sih karena saya kangen dengan teman-teman sekolah saya di Bogor. Maklumlah, anak kecil masih suka pilih-pilih teman :p

Ayah yang bersilaturahim dengan kepala sekolah SD-ku di Bogor, yang meminta tolong carikan rumah guru yang dekat sekolah untuk saya menumpang tinggal, dan yang menjemputku pulang ke Depok di akhir pekan dan mengantarku kembali ke sekolah di Senin pagi dengan motor RX-King. Dulu rasanya jarak Bogor-Depok melalui Jalan Raya Bogor itu jauh sekali. Perjalanan membonceng motor hampir dua jam selalu membuat saya mengantuk. Ayah selalu bertanya di tengah perjalanan jika saya mulai mengantuk, lalu ayah akan berhenti sejenak untuk melepas sorban kotak-kotak berwarna merah putih yang ia lingkarkan di leher seperti syal untuk melindunginya dari angin jalanan. Ayah akan mengikat badanku ke pinggangnya dengan sorban itu agar saya tidak jatuh bila tertidur. Begitulah yang ayah lakukan hampir tiap minggu selama tiga tahun saya bersekolah di kota yang berbeda dengan tempat tinggal orangtua.

Ayah bukanlah  orang yang romantis, tetapi ayah adalah orang yang selalu ada bila saya butuh teman diskusi untuk memberi masukan dalam mengikuti berbagai aktivitas di luar akademik sekolah. Ayah yang selalu menyempatkan diri untuk menjemput saya setiap pulang kemping di Buperta-Cibubur sewaktu SD dan SMP.

Benar, ayah bukanlah orang yang suka mengekspresikan sayang dengan kata-kata. Tapi berpuluh kali tanda ‘cinta’-nya kadang sering saya lupa. Sahabat saya menulis tentang ceritanya yang membuat ‘meleleh’ saat papanya membelikan es krim. Saya jadi teringat cerita saya dengan es krim dan burger sewaktu SMA. Sampai dengan SMA, saya masih merasa bahwa burger adalah makanan yang sangat mewah. Begitu pula dengan es krim yang berbentuk cone atau cup berukuran besar. Es krim berharga wajar adalah es krim batangan atau es krim cup ukuran kecil, itu yang kupelajari sejak masih kanak-kanak. Jadi, kalau bukan dengan menabung atau hari spesial, saya akan sangat segan meminta ayah membelikan dua jenis makanan itu.

Ceritanya waktu itu saat saya kelas 3 SMA. Saya baru pulang dari Bandung setelah mengikuti lomba karya ilmiah bersama dua orang teman sekelas. Kami tidak memperoleh juara dan pulang sendiri ke Depok tanpa ditemani guru pembimbing. Saya tidak masalah dengan kekalahan kami ataupun dengan lelah kami berkorban waktu dan uang demi lomba. Saya selalu suka belajar dari kompetisi dan bertemu siswa-siswi dari sekolah lain. Namun, tiba-tiba saja pihak sekolah menanyakan terkait uang yang digunakan oleh pembimbing kami selama di Bandung. Sekolah tidak menanyakan keadaan kami, justru bertanya tentang uang??? Begitulah, saya selalu sensitif jika disinggung masalah uang. Saya mencoba menahan lelah yang tidak hanya di badan, tapi juga sudah merambat ke hati. Malam harinya ayah dan mama menanyakan bagaimana dengan hasil lomba. Bukannya menjawab pertanyaan, saya justru menangis. Mama bingung melihatku menangis dan bertanya ada apa. Aku yang juga bingung bagaimana menceritakannya, terus saja menangis, lalu berkata..

“Pengen es krim! Pengen burger!”

Mama bertambah bingung, setengah ingin tertawa bercampur khawatir melihat anaknya. Ayah yang juga ada di sampingku saat itu tidak tertawa, tidak juga bertanya, tetapi langsung keluar rumah setelah mengambil kunci motor di atas kulkas. Tidak sampai setengah jam ayah kembali ke rumah dengan membawa burger dan es krim paddle pop berbentuk cup ukuran besar. Masih dengan mata bengkak, saya menerima es krim dan burger dari ayah dengan senang campur haru. Dalam hati sedikit tidak menyangka kalau ayah akan mengabulkan permintaan konyolku itu. Well, burger dan es krim dari ayah saat itu mampu membuat semua mood-ku kembali baik. Marahku reda sudah. Senyumku semakin lebar saat tahu ayah tidak menggubris protes kakak dan adikku yang tahu bahwa hanya saya yang dibelikan es krim dan burger. Yeei... saya jadi anak spesial malam ini.

Cerita irit dan perhatiannya ayah yang lain adalah sewaktu mengantarku ke rumah sakit untuk rontgen gigi. Ayah tidak begitu setuju sebenarnya saya harus rontgen gigi segala. Tapi karena gigi saya ada yang bermasalah dan perlu di-rontgen, dan saya lebih peduli pada kondisi kesehatan saya dibandingkan isi dompetnya ayah, saya keukeuh untuk rontgen gigi. Ayah tidak tega dan bersedia mengantarku. Setelah selesai rontgen, saya menuju meja kasir dan menanyakan biaya.

“Berapa, Mbak?”

“Seratus ribu.”

Saya menengok ke belakang sambil tersenyum, “Yah, seratus ribu.”

“Ada diskonnya nggak, Mbak?”

Wajahku sontak memerah, “Ayah, ini rumah sakit. Bukan rumah makan.” 

“Yaa..barangkali aja ada.”

Mbak penjaga kasir hanya tersenyum geli dan menjawab, “Diskonnya sedang habis, Pak.”
Saya malu, tapi juga bersyukur. Yang penting ayah bersedia membayarkan biaya rontgen :p

***

Kalau sahabatku bercerita tentang papanya yang pernah bertanya melalui mamanya apakah ia memiliki pacar, ayahku justru bertanya lebih aneh. Pertanyaan ini dilontarkannya ketika saya juga masih SMA. 

“Teh, kalau Irma pacarnya siapa?”

Ayah yang tahu bahwa saya bersahabat dengan Irma sejak SMP dan tahu kalau anaknya ini (dan tentu juga sahabatnya) tidak ingin berpacaran sebelum menikah, justru iseng bertanya. Bukan bertanya tentang anaknya, tetapi justru tentang teman anaknya. Saya hanya berkomentar saat itu, “Ayah, plis deh..” -,-

 Di lain waktu, ayah menanyakan level yang lebih tinggi. Kali ini saat saya sudah kuliah di IPB, sedangkan Irma kuliah di UI.

“Teh, Irma udah punya calon suami belum? Kayaknya cocok deh sama anaknya Um Bandi yang dokter itu.”

Tuh, kan...

Hmm.... Saya rasa ayah bukannya lebih memperhatikan sahabat anaknya dibandingkan anaknya sendiri, melainkan si ayah yang pemberani itu malu kali yaa bertanya tentang urusan hati sang putri. Kalau sekali waktu saya protes dan bertanya, “Ayah kok, tidak pernah tanya Teteh suka laki-laki yang bagaimana?”

“Tidak usah ditanya. Pasti yang seperti Ayah, kan?”

“Pe-de!!”

Ayah nyengir lebar sementara saya cemberut sebal.

Sebuah ujian sempat datang menyapa keluarga kami, sehingga kami harus berpisah dengan ayah untuk sementara waktu. Saya termasuk anggota keluarga yang paling sering berdebat dengan ayah. Namun, ketika saya tidak dapat melihat ayah di rumah, hati baru terasa nelangsanya. Semua ingatan tentang ayah keluar begitu saja. Ayah yang waktu saya kecil sering menggendong putrinya di atas pundak, dan masih mau menggendong putrinya yang sudah berusia dua puluhan ini di punggung hanya untuk menyeberangi teras yang banjir saat pulang kampung. Ayah yang kalau mengantarku ke stasiun pasti bernegosiasi dengan petugas agar bisa ikut masuk peron hanya demi mengantarku sampai pintu kereta dan kami saling melambaikan tangan. Ayah yang rela ketika saya memintanya menunggu di tempat parkir saat ia menjemputku di kampus, sementara saya masih sibuk dengan rapat organisasi mahasiswa daerah (OMDA) Cirebon di koridor kampus. Ayah yang kalau pulang kampung saat lebaran sering mengajak saya jalan-jalan pagi dan memetik buah kersen di jalan, sementara saya menadahnya dengan tangan. Ayah yang walau putrinya ini sudah besar, tapi kalau sedang berjalan di jalanan ramai tetap saja menggandeng tanganku. Ayah yang suka kekanak-kanakkan, tetapi selalu dapat kuandalkan.  

Saya kehilangan rival debat sejati saya. Kehilangan teman diskusi yang walaupun bukan seorang sarjana, tapi otaknya cerdas dan pengetahuannya sangat luas. Kehilangan seorang yang sering memberi tausiyah ba’da salat magrib bila saya sedang pulang ke rumah. Dan setelah sekitar delapan bulan akhirnya saya bisa bertemu ayah kembali, saya ingin lebih mensyukuri keberadaannya. Menghargai kehadirannya. Tidak masalah walaupun tahun ini ayah kembali melupakan hari ulang tahunku. Yang penting setiap saya pulang ke rumah di akhir pekan, saya bisa melihat wajah semangat ayah dengan senyum isengnya yang berkata, “Eh, sudah pulang. Mana oleh-olehnya?”

***

Sering terlintas dalam benakku hal apa yang dapat membuat ayah bangga dan bahagia. Ayah tipe orang yang jarang memberikan selamat bila anak-anaknya berprestasi, tetapi ketika prestasi anaknya ini terjun bebas dari rangking 2 ke rangking 33 pun ayah biasa saja. Tidak mengomel, apalagi memarahi. Sebelum memutuskan melanjutkan kuliah ke mana dulu, saya pernah bertanya, “Ayah senangnya Teteh jadi apa?”

Ayah hanya menjawab, “Senangnya Teteh jadi wanita sholihah.”

Saya pun terdiam. Dan kalimat itu selalu menjadi obat penyemangat saya bila saya sedang menghadapi masa-masa sulit di kampus. Ah, ayah kan tidak meminta saya menjadi mahasiswa berprestasi atau harus selalu mendapat nilai bagus saat ujian. Ayah hanya ingin saya menjadi wanita sholihah. Saya hanya perlu bersungguh-sungguh untuk urusan dunia dan tetap bersungguh-sungguh untuk urusan akhirat. Yang diminta ayah hanya satu, agar saya jadi wanita sholihah.

Semoga saya dan kalian bisa menjadi hamba Allah yang sholeh dan sholihah, sehingga timbangan orang tua, termasuk ayah-ayah kita menuju surga akan semakin berat. Tidak akan pernah terputus bakti kita pada orang tua selama hidup ataupun sudah terpisah maut. Semoga kita yang masih memiliki ayah bisa terus berbakti dan memuliakan kedua orangtua. Semoga jika salah satu, atau keduanya sudah tiada, doa-doa kita dapat terus mengalir untuk mereka. Dan amal-amal baik kita akan menjadi kebanggaan dan pemberat timbangan pahala mereka di sana.

Okeee.... ini ceritaku, mana ceritamu?

Selamat Hari Ayah! ^o^ (haha... hari ayah emang tanggal berapa yah?)....

-catatan 9 Mei 2013-
    

0 komentar:

Posting Komentar