SYUKUR DAN CINTA (1) Yang biasa itu berharga

Kamis, 31 Desember 2015

“Ka Najmi, sesuatu yang biasa dan membosankan itu kadangkala bisa menjadi hal yang sangat dirindukan.”

Begitu yang pernah dikatakannya dulu saat aku meledeknya karena tiba-tiba saja ia rindu dengan masakan Bu Ati di kantor. Dulu sewaktu kami masih bekerja di kantor yang sama dan tiba waktunya makan siang, beberapa kali si bos berkomentar, “Bosan gak sih dengan makanan kantor, itu-itu saja. Biasa.”

Yaah.. walaupun makhluk satu ini bisa memakan apapun yang disebut dengan makanan, namun sesungguhnya selera terhadap jenis makanannya cukup tinggi. Baginya makanan kantor yang biasanya hanya terdiri dari dua jenis masakan (misal: sayur lodeh dan telur balado, tumis kacang dan rempeyek, atau tumis buncis dan oreg tempe), menjadi membosankan karena setiap hari ia makan dengan cita rasa yang serupa. Terang saja model masakannya memiliki rasa yang sebelas dua belas, wong yang masaknya satu orang. Bu Ati. Dulu aku biasa menyebutnya big mother karena selama enam bulan lebih aku tidak pernah tahu namanya.

Mungkin si bos sedang kangen daging saat itu. Bu Ati tentu saja tidak pernah memasak daging karena mungkin budget belanja yang diberikan tidak cukup untuk membeli daging. Paling mewah telur, ati ampela, atau ikan kue. Hmm.. menurutku masakan paling istimewanya adalah sayur asem dan ikan kue balado, enak banget!

Sayang sekali si bos belum pernah mencicipi jengkol baladonya Bu Ati. Bu Ati memasak jengkol justru setelah bos pindah kerja ke Jakarta, ke kantor yang lebih mewah dan mesjidnya sangat bagus. Kurasa ia akan mengeluarkan komentar berbeda jika dalam seminggu sempat mencicipi jengkol buatannya Bu Ati. Pasti tidak akan bosan!

Nyatanya, walau ia belum pernah mencicip jengkol balado buatan Bu Ati, ia tetap merindukan masakan kantor setelah pindah bekerja di tempat yang baru. Masakan yang menurutnya biasa saja.

Begitulah. Yang biasa jadi begitu berharga.

***

Setelah pernikahan kami yang terselenggarakan pada tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun dua ribu lima belas, si bos yang telah berubah status menjadi suamiku itu berencana mengajakku berlibur ke Kota Batu-Malang. Ia sudah membeli tiket kereta pulang pergi untuk kami berdua sebelumnya... sebelum.... ia jatuh sakit!

Tepat sehari setelah hari-H, kepalanya panas dan tubuhnya menggigil. Ia masih berharap untuk pulih sebelum hari keberangkatan ke Malang yang direncanakan dua hari lagi demi istrinya tidak merasa kecewa. Padahal rencana berlibur itu pun awalnya menjadi kejutan karena ia tidak menceritakannya padaku sebelumnya.  Aku ragu ia masih ingin pergi, karena sampai keesokan harinya, panasnya belum reda.

Akhirnya aku yang memutuskan fix tidak jadi berangkat dan membatalkan tiket kereta yang sudah dipesan. Berhubung panasnya yang masih naik turun setelah lewat 24 jam, ditambah muntah sekali di pagi hari, aku meminta bantuan Mas Bagus untuk menjemput kami dengan mobil dan membawanya periksa di rumah sakit. Tidak lama, Ka Ario juga menyusul ke IGD untuk menjenguk si bos setelah membantu kami mengurus pembatalan tiket kereta. Bersyukur sekali memiliki saudara yang senantiasa siap membantu kala kami membutuhkan.

Dulu saat kami sedang proses mempersiapkan pernikahan, si bos terlihat begitu khawatir pada persiapan yang tampak rumit dan ribet. Sejauh aku mengenalnya, ia adalah orang yang paling tidak suka ribet dan merepotkan orang lain, termasuk keluarga. Lalu aku mengatakan padanya, “Jangan menyamakan orang lain dengan kita. Jangan dibuat ribet. Yang kita cari keberkahan, bukan resepsi yang bagus dan mewah. Memang ada banyak yang harus dipersiapkan dan direncanakan, tapi jangan dipikirkan terlalu rumit. Dan kita punya banyak teman lebih dari siapapun.”

DAN KITA PUNYA BANYAK TEMAN LEBIH DARI SIAPAPUN.

Ternyata si bos suka dengan kata-kataku itu. Hatinya pun berangsur-angsur lebih tenang. Syukurlah.

Oke, kembali ke rumah sakit. Setelah disuntik dan mendapat obat dari dokter, kami pun pulang. Aku merawat suamiku dengan membuat makanan lunak untuknya, meminumkan obat tepat waktu, dan mengompres kepalanya saat panas. Tidak lupa ditambah zikir dan doa agar ia lekas sembuh.

Selama dalam sakit, berkali-kali ia mengungkapkan rasa bersalahnya terkait rencana jalan-jalan kami yang tidak jadi. Ia ingin membuatku gembira, tapi rencana yang telah disusunnya batal. Berkali-kali aku bilang tidak apa-apa, tetap saja ia merasa bersalah.

Entahlah. Kurasa hati kecilku pun sebenarnya mengharap kami bisa berekreasi. Buktinya saat ia mengajakku berkendara ke stasiun (masih belum pulih kesehatannya waktu itu) untuk mengurus pembatalan tiket kereta, aku merasa begitu senang bisa keluar rumah dan menghirup udara jalanan Kota Bogor. Tak disangka waktu itu bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram, sehingga jalanan kota ramai oleh pawai.

Malam harinya (masih belum benar-benar pulih), si bos memaksakan diri mengajakku ke puncak untuk sekedar makan sate dan jagung bakar. Padahal aku tidak memintanya. Tapi nyatanya aku senang sekali. Pertama kalinya aku mengunjungi kawasan Puncak Pass saat hari lewat tengah malam. Saat bintang  gemintang banyak bermunculan. Saat langit menambah pesona lautan cahaya bumi yang tersebar dari lampu-lampu bangunan rumah di lembah bawahnya. Bagiku itu menakjubkan. Tapi  si bos masih saja meminta maaf karena honey moon kami yang batal berangkat.

Hey, Bos!

Kita punya honey moon yang langka dan luar biasa. Destinasi pertama kita adalah IGD Rumah Sakit Medika Dramaga. Apakah ada pasangan lain yang seseru ini? Destinasi kedua adalah Stasiun Paledang. Walaupun perjalanan kita hanya berakhir di depan loket dan berbincang dengan mbak-mbak penjaga loketnya, tetapi ini unik, bukan? Kita melihat pawai tahun baru yang ramai sekali, mulai dari barisan marching band yang keren, anak-anak muda yang begitu bersemangat membawa umbul-umbul, sampai ibu-ibu majlis taklim yang heboh menyanyikan salawat sepanjang pawai, diiringi pengawalan polisi yang memblokade setengah jalan agar pawai berjalan aman. Kau menyaksikannya, bukan? Ratusan warga kota beragam usia turun ke jalan dan meramaikan tahun baru Islam. 

Mungkin kita tidak kemana-mana, hanya jalan-jalan sebentar keliling kota yang menurutmu biasa. Hanya makan kwetiau di sebuah warung makan sambil ditemani oleh hujan deras. Hanya menikmati dua mangkuk sekoteng di dalam mobil, karena engkau tidak kuat dingin. Hanya pergi sebentar ke Puncak lalu pulang lagi.

Benar. Mungkin itu biasa. Namun, percayalah. Semua yang kau lakukan adalah berharga untukku.

Begitulah. Yang biasa jadi begitu berharga.

***

Seorang senior yang tentunya lebih senior juga dalam urusan rumah tangga pernah berkata, “Najmi. Bagi pasangan yang sudah menikah, romantis adalah saat bisa melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama.”

Lima tahun kemudian, masih dengan senior yang sama -sebut saja namanya ujangfahmee- ia menyampaikan tentang teori antimainstream yang telah berubah menjadi mainstream, sedangkan mainstream justru berbalik jadi antimainstream.

“Ada tulisan bagus tentang rumah tangga yang memaparkan secara ilmiah, bahwa sesungguhnya hal-hal kecil yang menjadi rutinitas, yang menurut kebanyakan orang sesuatu yang lumrah dan biasa saja, atau yang biasa kita sebut sudah mainstream, justru menjadi penting dan berharga. Seperti menyiapkan makanan pagi untuk sarapan atau saling mengucap salam saat berangkat dan pulang kerja. Itu justru yang memegang nilai penting.”

Hmm.... sepertinya itu benar. Apa karena statusku yang kata orang masih ‘pengantin baru’ ini yah? Rasanya saat di rumah begitu ingin menikmati status sebagai istri. Memasak, mengantar suami ke stasiun saat berangkat kerja, belanja sayur, mencacah sayuran dan mengiris bawang sambil menonton dorama Korea, lalu menunggu suami pulang, hingga aku lupa bahwa aku juga masih berstatus mahasiswa. MA-HA-SIS-WA. Ya Allah! Ternyata aku belum lulus >_<

Aku menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan sederhana dalam rumah tangga, seperti memasak, mengantar suami pergi dan menyambut suami pulang, atau sekedar duduk bersama sambil minum kopi atau teh, adalah momen-momen berharga. Oleh karenanya aku tidak ingin merasa lelah, juga tidak ingin berpikir jenuh. Karena jika aku merasa demikian sekali saja, aku akan kehilangan momen berharga untuk menikmatinya. Namun, aku juga disadarkan bahwa aku tidak bisa terlena pada sesuatu yang membuatku bahagia. Aku masih memiliki tugas ‘biasa’ sebagai seorang mahasiswa. Komitmen yang telah kubuat untuk menyelesaikan studi dan tugas akhir haruslah kutunaikan. Dan aku pun harus menikmatinya. Agar momen yang juga berharga tersebut tidak hilang. Agar aku tidak lulus dengan biasa-biasa saja.

Aku jadi teringat pada suatu teori juga. Kalau yang ini teorinya aku buat sendiri, haha...
Nikmatilah masa-masa sendirimu, karena jika sudah menikah akan ada hal-hal yang hanya bisa kau nikmati sendiri dan tidak bisa lagi kau lakukan saat sudah berdua. Dan saat sudah berdua, nikmatilah kebersamaanmu dengan penuh syukur. Bersyukur bahwa kau pernah menikmati masa sendirimu penuh manfaat, tanpa galau dan rasa sesal, dan kini bisa mensyukuri kebersamaan dengan sepenuh hati. Kelak, jika sudah beranak pinak, aku juga ingin bersyukur bahwa aku pernah menikmati masa-masa berdua, hingga aku merasa lebih bersyukur lagi karena Allah Swt menganugerahkan jumlah anggota keluarga kami yang bertambah banyak. 

Bukankah segala persoalan dalam hidup ini hanyalah tentang bersikap syukur dan sabar? Dalam bentuk manapun, semua itu akan jadi indah kala dibingkai oleh cinta. Cinta dalam kesyukuran. Cinta dalam kesabaran. Yang terpenting sih, cinta sama kamu #eeaaa....

***

“Sesuatu yang kita anggap biasa setiap harinya ternyata begitu berharga.”
-Stand by Me-

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(QS. Ibrahim:7)

sumber gambar: perezhilton.com

Hai, Sahabat Bintang!

Jumat, 18 Desember 2015

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Hai, sahabat bintang!
Jika ingin mengenal saya lebih jauh, bisa hubungi saya di media sosial
FB: Nurul Najmi
Twitter: @na_polaris
IG: @na_polaris
LINE: @na_polaris
atau kirim email ke
nurulnajmi2690@gmail.com

Terima kasih karena sudah mengunjungi blog ini ^^

Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


SABAR DAN CINTA (3). Cinta Adalah Menepati Janji

Rabu, 28 Oktober 2015



“Para pencinta sejati tidak suka berjanji. Tapi begitu mereka memutuskan mencintai seseorang, mereka segera membuat rencana memberi. Setelah itu mereka bekerja dalam diam dan sunyi untuk mewujudkan rencana-rencana mereka...”
(Anis Matta)

***

Itu adalah hari Jumat. Saat ayahku menjemputku di Kota Bogor, lalu mengajakku makan di sebuah warung bubur ayam terenak di kawasan Gunung Batu yang sudah berdiri sejak lama, sejak... mungkin sejak dari Stasiun Kota, dan baru kebagian tempat duduk di Stasiun Bojong Gede. Ini bukan kereta woy! Oh iya, lupa. Ini warung bubur ayam. Namanya Bubur Kabita. Dulu, zaman ayah dan ibuku masih suka pacaran setelah menikah tapi gak punya duit, mereka akan berjalan kaki dari rumah di Sindang Barang ke Gunung Batu yang berjarak kurang lebih 3 km. Hanya untuk makan bubur ayam. Dulu, aku belum lahir. Sekarang, aku sudah lahir. Dan aku diajak juga makan bubur di sana. Sebenarnya walaupun tidak diajak, aku pun suka makan di sana tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Soalnya buburnya enak. 

Et dah, kenapa ini jadi ngomongin bubur yah?

Kita mau ngomongin cinta, bukan bubur.

Oke. Jadi ceritanya, saat aku sedang menyuap bubur bertabur kacang kedelai yang di dalamnya tersembunyi harta berupa suir-suir ayam itu, ditambah aroma seledri, ayahku berkata, “Teh, ada teman Ayah yang mau kenalan.”

Aku terdiam. Sedetik bubur yang sudah tersuap di mulut tidak bisa kutelan, pun sendok yang masih berada di dalam mulut tak bisa kukeluarkan. Aku menatap ayah. Untung saja reaksiku bukan dengan menyemburkan bubur di wajahnya. Aku kaget. Sungguh. Kaget.

Bukan tipe ayah yang akan mengenalkanku pada laki-laki. Ayah mungkin pernah ingin mengenalkan laki-laki solih pada sahabatku, atau mengenalkan laki-laki yang juga solih pada adik perempuanku (yang sekarang menjadi suaminya), tetapi tidak padaku. Itu bukan gayanya ayah. Ayah terlalu mempercayaiku untuk banyak hal. Sehingga aku bebas berteman, beraktivitas, dan pergi ke tempat manapun aku suka. Ayah selalu percaya bahwa aku mampu menjaga kepercayaannya sebagai putrinya. Terkadang aku berpikir, ayah terlalu menyayangiku. Sehingga ia tidak berani memilihkan untukku. Membebaskanku untuk memilih.

Oleh karena itu aku kaget. Sesaat aku berpikir bahwa teman ayah yang ingin berkenalan denganku adalah tipe om-om yang usianya tidak jauh berbeda dengan ayah. Oh, tidak! Tenang... mungkin bukan. Rasanya tidak mungkin ayah akan mengenalkanku pada om-om. Aku pun langsung mengeluarkan pertanyaan dengan nada curiga pada ayah.

“Siapa?”

Awalnya ayah tidak ingin menyebutkan nama, hanya bertanya ulang tentang kesiapanku untuk menikah. Aku kembali terdiam. Begitu banyak hal terlintas dalam sekejab sebelum aku harus segera menjawab tawaran ayah. Aku sudah siap untuk menikah. Aku sudah menuliskan sebuah nama di hati. Namun, aku tahu pasti bahwa kedua kalimat itu bukanlah sesuatu yang selalu berbanding lurus. Saat aku berkata ‘sudah siap’ sejak lima tahun lalu, bisa jadi Allah berkata aku belum cukup siap saat itu. Saat aku sudah ‘menuliskan’ di hati nama seorang yang menurutku baik untukku, bisa jadi menurut Allah bukan itu yang terbaik. Karena itulah aku tidak ingin serta merta menolak ataupun menerima tawaran dari ayah. Aku hanya berkata pada ayah bahwa aku tidak ingin dikenalkan pada seorang yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ayah mengangguk kalem. Tanpa ekspresi.

Aku pun beristikharah. Berharap Allah membersihkan hatiku dari segala kecenderungan yang bersifat duniawi. Memohon agar Allah menunjukkan yang menurut-Nya terbaik bagiku. Aku ingin Allah yang menunjukkannya padaku. Meskipun begitu, tetap saja nama yang sudah lama tertulis di hati yang terpikirkan. Laa hawla walaa quwwata illa billah.

Dua hari setelah ayah mengajakku makan di Bubur Kabita, ayah berkata, “Teh, besok malam ta’aruf sama Gugi.” (ta’aruf = kenalan)

Aku terdiam terpaku. Nama yang ayah sebutkan adalah nama yang tertulis di hatiku. Pendengaranku masih tidak percaya oleh berita yang barusan kudengar. Tubuh tiba-tiba terasa beku (oke, ini lebay.. tapi beneran, rasanya kayak gitu!). Meskipun hampir seluruh indra seolah mati rasa, dalam sedetik mulutku bergerak otomatis dan berkata, “Iyah.”

Senin, 25 Mei 2015. 
Kau datang ke rumahku dengan niatan yang berbeda dari kedatangan-kedatanganmu sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya kau datang ke rumah. Ini sudah yang kelima. Kau sudah pernah bolak-balik ke rumah untuk meminjam mobil untuk urusan pekerjaan, bukan? Tapi untuk pertama kalinya kau kesasar menuju rumahku! Kau tahu, Kekasih? Saat itu aku panik bukan kepalang menunggumu yang tak kunjung datang. Berpikir bahwa kau salah jalan, atau mungkin ayah telah salah mengirimkan pesan. Tetapi wajah ayah tampak begitu santai, padahal asam lambung putrinya ini sudah mulai naik karena cemas dan bimbang. Gatal jari ini ingin mengirimimu pesan, “Woy! Kamu ada dimana? Ketemuannya di masjid samping rumah. Bukan di masjid Depok tengah. Jangan-jangan kamu salah arah??” tapi pertanyaan itu aku telan dalam-dalam. Pada saat seperti itu, tidak mungkin aku menghubungimu.

Sampai akhirnya aku tahu (karena dapat bocoran dari ibuku), bahwa ayah-lah yang pertama kali menghubungimu. Berniat menikahkanku denganmu, sejak dua pekan sebelum aku nyaris tersedak saat makan bubur itu. Dan yang kuingat kau masih menghubungiku soal pekerjaan dengan biasa saja. Berpapasan denganku saat di stasiun kereta dengan wajah biasa saja. Kau bisa berakting seperti itu dalam proses istikharahmu tentangku dengan biasa saja. Tapi mengapa saat hari ta’aruf tiba kau justru grogi? Haha... Sampai kita semua harus diusir dari tempat makan karena mungkin dianggap mengobrol terlalu lama. Sampai ayah harus meminta waktu tambahan kepada pramusaji restoran, lalu adik dan ibuku tertawa-tawa karena akhirnya kita harus pergi dengan cara yang tidak biasa.

Kau tahu, Kekasih? Hal yang sungguh mengejutkanku bukanlah karena namamu yang dilontarkan oleh ayah. Namun, karena sungguh aku tidak menyangka ayah akan berlaku demikian untukku. Sejak masa remaja, tiap kali aku bercerita tentang teman-temanku pada ibuku, atau menyebut nama teman laki-laki satu kelas, satu organisasi, satu lomba, satu kegiatan, atau siapa saja yang aku ceritakan, ayah selalu tampak tidak terlalu tertarik. Seolah-olah tidak tahu (atau mungkin memang tidak tahu?). Seolah-olah tidak peduli (tapi kuyakin sebenarnya sih peduli). Kalau ada laki-laki yang meneleponku ke rumah, ayah tidak pernah bertanya. Selalu ibuku yang bertanya, “Dari siapa?”

Kalau aku bertanya pada ayah, mengapa ayah tidak pernah mencandaiku tentang pernikahan atau menjodoh-jodohkanku dengan laki-laki yang kukenal ataupun dikenalnya, tidak seperti ia yang sering menggoda teman dan sahabat-sahabatku bila main ke rumah dan mengompori mereka untuk segera menikah,  ayah selalu hanya akan menjawab asal sambil tetap menonton berita di TV, “Tidak usah ditanya. Teteh pasti sukanya yang model Ayah, kan?” Ge er abis!

Jadi sebenarnya aku menyerah. Aku menyerah pada kemungkinan bahwa ayah akan menjadi bagian besar dalam proses ini. Aku menyerah karena selalu berpikir bahwa ayah sangat mempercayaiku dan membebaskanku untuk memilih. Aku menyerah karena sempat berpikir bahwa ayah akan cemburu jika aku menemukan laki-laki yang akan menempati posisi di hatiku lebih besar dari dirinya. Aku menyerah pada kemungkinan tersebut, dan tidak tahu dengan cara seperti apa harapanku akan terwujud. Karena ayah sama sekali tidak tahu tentang nama yang tertulis di hatiku.

Kau ingin tahu, Kasih? Bagaimana caraku bersabar?

Karena aku percaya bahwa janji Allah itu pasti. Kalau menurut-Nya bukan engkau orangnya, Ia pasti sudah menunjukkan padaku hal-hal yang membuat harapan ini pergi. Tapi nyatanya tidak, meskipun aku tetap tidak bisa menebak bagaimana jalannya, harapan itu justru semakin kuat. Seperti dirimu yang merealisasikan harapan-harapan konyolku. Kau senantiasa menepati setiap janji yang pernah kau ucap. Terkadang memang tidak sesuai dengan yang direncanakan, tapi pada akhirnya, kau menepatinya. Kau tahu, Kasih? Janji yang pernah kau ucapkan menumbuhkan harapan di hatiku. Dan saat kau menepatinya, itu membuatku yakin bahwa harapan ini bukanlah kosong. Bagaimana mungkin aku bisa berhenti berharap setelah engkau memberi?

Kau berjanji akan memberiku es krim jika aku memberitahumu sesuatu hal tentang pekerjaan waktu itu. Aku tahu ini barter yang konyol, tetapi kau yang menawarkannya dan aku bersedia. Informasi ditukar dengan es krim. Aku nego padamu meminta Magnum, dan kau berekspresi jengah saat itu. Kupikir kau menganggapku bercanda dan tidak berniat untuk menepatinya, tetapi ternyata kau menepatinya. Kau membelikanku dan Agit es krim Magnum saat rapat kerja berikutnya. Kau tahu, ini pertama kalinya aku makan es krim Magnum yang menurutku mahal dan paling enggan kubeli jika aku sedang ingin makan es krim. Dan kau membelikannya untukku. Untuk kita bertiga satu tim kerja sih, tapi tetap saja kau membelikannya. Kau tahu? Aku terharu.

Kau pernah berjanji untuk mengajak liburan bersama setelah selesai satu proyek yang cukup banyak memakan waktu, tenaga, dan emosi jiwa ini. Bolak-balik revisi. Diskusi dan kerja tidak kenal waktu, sampai waktu libur akhir pekan pun harus digunakan untuk rapat dan mengolah data. Kita ingin berlibur melepas penat waktu itu. Menentukan destinasi dan waktu liburan. Dan berkali-kali batal. Tidak masuk bajetnya. Tidak pas waktunya. Saat akhirnya sudah menemukan destinasi dan waktu yang sesuai, tiba-tiba batal karena ada presentasi mendadak dari dinas untuk proyekmu yang lain. Selalu seperti itu. Sampai akhirnya aku lupa pada janjimu untuk mengajak kami berlibur. Namun, akhirnya janji itu pun terwujud. Kita pergi berlibur bersama teman-teman. Meskipun cukup jauh dari proyek ‘seribu candi’ yang akhirnya selesai itu, dan kau pun sudah pindah kerja di kantor yang baru, kau tetap menepati janji untuk liburan bersama. Kau tahu? Aku terharu.

Pernah sekali waktu kau membuatku marah karena melupakan janji untuk rapat. Mungkin bukan lupa, tetapi salah paham dalam komunikasi saking sibuknya dirimu yang memiliki kegiatan seabrek-abrek di luar pekerjaan. Dan kau menyesal, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Dan kau menepatinya. Sampai akhir proyek selesai, kau tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kau tahu? Aku terharu.

Kekasih, mungkin bagimu itu hal-hal kecil yang bisa kau lakukan terhadap setiap orang dengan alasan profesionalisme, integritas, atau sekedar menjaga perasaan seorang teman. Janji-janji yang pernah kau ucapkan mungkin kecil, tetapi saat kau menepatinya, itu menjadi besar untukku. Dan kutahu, atas izin Allah pula hingga engkau mampu menepati itu. 

Mungkin itu sedikit terlambat dari yang kuinginkan, dari yang kita rencanakan, tetapi kau menepatinya. Seperti saat kau dan keluargamu datang melamarku pada hari Sabtu, 1 Agustus 2015. Rombonganmu dan keluarga datang agak terlambat karena macet. Aku sedikit cemas karena hari semakin siang. Dan kau menenangkanku dengan memastikan bahwa janji melamarku akan kau tepati. Mungkin itu sedikit terlambat, tetapi kau menepatinya.

Kau suka meledekku karena impian masa kecilku yang ingin menikah pada usia yang kau anggap terlalu cepat. Dalam kacamataku, itu adalah target dan cita-citaku sehingga aku mulai belajar dan mempersiapkan diri lebih cepat dari orang kebanyakan. Dan usiaku kini sudah lewat dari target waktu yang aku cita-citakan tersebut. Kau tahu, Kasih? Bagiku kau datang agak terlambat. Tapi kuyakin ini adalah waktu dan tempat terbaik untuk kita. Dengan segala proses dan cerita yang pernah kita lalui jauh sebelum kita bertemu. Jika menurutku ini sedikit terlambat, maka ini menjadi berkah yang jauh berlipat-lipat untuk kusyukuri. Karena akhirnya kau datang.

Tentang janji. Ternyata kalimat itu benar. Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Arai, dalam Sang Pemimpi-Andrea Hirata). Allah Swt mengabulkan doa-doa kita dalam bentuk terbaik menurut-Nya. Dan bukankah hanya Ia yang tahu segala yang terbaik untuk kita? Selalu.

 Kau tahu, Kasih? Aku pernah bergumam dalam hatiku saat dulu masih menjadi mahasiswa baru dan masih terkagum-kagum pada luasnya kampus kita ini. Dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa baru yang diadakan di halaman masjid kampus, aku berimajinasi tentang masjid kampus yang akan menjadi tempat pernikahanku, rasanya pasti akan sangat menyenangkan. Aku sangat suka pada masjid kampus kita yang megah namun tidak tampak angkuh. Masjid yang tatanan arsitekturnya unik dengan perpaduan unsur vertikal yang membuat manusia tampak kecil berada di tempat ibadah, sekaligus unsur horizontal yang membuatnya tampak humanis sehingga sangat nyaman untuk berinteraksi sosial. Masjid yang selalu adem, sepanas apapun cuaca di luarnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di masjid kampus kita, aku sudah jatuh cinta, sehingga muncul cita-cita konyol itu. Rupanya malaikat mencatatkannya untukku. Dan Allah mengabulkannya, justru saat aku sudah melupakan cita-cita itu. Mungkin bagi orang lain, menikah di masjid adalah sesuatu yang biasa. Masjid di kampus kita, hanyalah salah satu masjid dari sekian banyak masjid yang ada. Namun bagiku, saat kau mengucapkan janji mitsaqon ghaliza di tempat tersebut, itu adalah keajaiban bagiku. Karena Allah Swt mengabulkan sesuatu yang tidak kuminta. Hanya sebuah lintasan konyol, meski hati kecilku menyebutnya cita-cita. Tapi aku tidak berani memintanya. Jika yang tidak kuminta saja Ia kabulkan, apalagi terhadap sesuatu yang kuminta. Sungguh, janji-Nya adalah benar untuk mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya. Selalu dijawab-Nya dengan cara terbaik-Nya.

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...” (QS. Al-Mu’min: 60)

Dan lagi...

Rasulullah Saw pernah menyampaikan sebuah Hadits Qudsi bahwa Allah Swt berkata, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (Shahih Muslim No.4832)

Kau tahu, Kasih? Janji Allah itu selalu benar. Dan itu adalah tanda cinta-Nya untukku, untukmu, yang tak pernah dapat kita ukur.

Kau ingat, Kasih? Pada bulan yang sama setahun yang lalu, aku pernah bertanya padamu tentang target usiamu menikah. Kupikir kau akan mengatakan angka dua puluh lima. Sama seperti target usia yang ditetapkan oleh ibumu. Sama seperti usia saat Rasulullah Saw menikah dengan Khadijah Ra. Namun, kau mengatakan hal yang berbeda dari ekspektasiku. Kau bilang ingin segera menikah jika sudah memiliki pekerjaan yang settle. Yaah... karena pekerjaan yang kau geluti saat itu terhitung sebagai pekerjaan lepas, bukan? Kita baru akan mendapat bayaran jika proyek sudah selesai, itu pun jika dana proyeknya sudah cair. Dan terkadang kita bahkan tidak tahu berapa jumlah yang akan kita terima. Haha....

Aku pun mencandaimu, bertanya bagaimana jika ibumu tidak setuju. Mengapa tidak kau tetapkan saja angkanya menjadi dua puluh lima? Lalu kau menjawab dengan serius bahwa kau akan merengek agar ibumu ridho dan mengizinkan jika demikian. Sungguhkah? Mengapa kau ingin sekali segera menikah?

“Saya butuh partner, Kak,” jawabmu.  

Aku diam sesaat. Kau menyebutkan kata partner, itu seolah sedang membicarakan diriku. Karena aku sering sekali bercanda dengan menyisipkan kata tersebut dalam obrolan kita. Bukan aku berbesar rasa saat itu, tetapi ucapanmu sedikit membuatku terhentak, menumbuhkan secuil harap. Aku sama sekali sedang tidak memikirkan tentang pernikahan saat itu. Tidak memikirkan tentang kemungkinan bahwa kau adalah belahan jiwaku. Aku hanya senang meledekmu yang juga sangat sering meledekku. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa mungkin aku bisa jatuh cinta. Namun kata-katamu mampu membuatku terdiam , walau sebentar. Yaa... sebentar doang. Kau tahu kan, aku sangat cerewet. Mana bisa aku diam lama-lama? Dan kau menepati kata-katamu tersebut. Tidak lama setelah kau memperoleh pekerjaan yang menurutmu settle, kau menikah dengan partner kerjamu yang bawel dan tidak pandai teknologi itu. Kau menikahiku. Kau tidak menyesal, kan?

Kekasih, jika dahulu aku adalah partner kerja, maka sekarang aku adalah partner hidup untukmu. Benar, kan? Untuk dunia dan akhirat. In Sha Allah.

***

Terima kasih Ya Allah, Kau kabulkan segala pintaku. Tak mengapa meski harus kulalui banyak jalan berliku. Dari-Mu, cerita itu selalu menjadi indah. Bukankah hujan sehari telah menghapus panas setahun lamanya? Dan anugerah-Mu, selalu menjadikan bibir ini kelu. Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah....

Terima kasih Ayah, kau menepati janjimu hingga engkau menyerahkan urusan dunia-akhiratku pada suamiku. Kau melaksanakan tugasmu untuk mencarikanku seorang imam yang kau percaya mampu membimbingku. Kau beriku tidak hanya nafkah selama membesarkan dan menyekolahkanku hingga pendidikan tinggi, tetapi juga beribu nasihat baik dan kepercayaan hingga aku seperti sekarang ini.

Terima kasih Gugi, kau selalu berusaha menepati setiap janji yang terucap. Dan setelah janji yang kau ucapkan pada Allah dengan menjabat tangan Ayah, kuyakin kau pun akan selalu berusaha menepatinya hingga akhir hayat. Hingga jiwa-jiwa kita kembali bersatu nanti di akhirat. Di surga-Nya, mengumpulkan kita pada sebaik-baiknya tempat kembali. Aamiin....

“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum: 60)

Terima kasih, kau mau menjadi kekasihku.

-the end-


SABAR DAN CINTA (2). Cinta Adalah Peduli

Jumat, 23 Oktober 2015



“Kau bisa memberi tanpa cinta, tetapi kau tidak bisa mencintai tanpa memberi.”
(Tere Liye )

***

Saat aku kecil, aku sudah pernah mendapatkan nasihat dari ibuku, tentang kebaikan hati laki-laki yang jangan selalu diartikan sebagai perhatian atau rasa suka. Kalau tidak salah saat itu habis nonton drama keluarga Taiwan jadul berjudul Belenggu Pintu Cinta.. atau Kekasih... apa Kasih Abadi ya? Ah, aku lupa.

 “Teh, laki-laki itu bersikap baik belum tentu dia memiliki perasaan khusus. Belum tentu suka. Bisa jadi itu karena memang sifatnya yang baik, karakternya yang memang perhatian dan suka menolong. Bisa jadi ia melakukan itu sama kepada semua orang. Jadi, jangan mudah jatuh hati. Jangan mudah ge er.”

Aku ditanamkan sejak kecil untuk berhati-hati terhadap kebaikan hati laki-laki. Berhati-hati agar tidak gampang jatuh hati. Bukan bermaksud untuk bersikap antipati, namun lebih untuk menjaga diri. Akhirnya aku dikenal judes jika baru pertama kali bertemu dengan orang yang tidak dikenal, terutama jika itu lelaki. Namun, karena aku tahu sikap judes itu kurang baik, aku mensiasatinya dengan lebih dulu menyapa dan bersikap ramah kepada orang lain, sebelum orang lain beramah-ramah duluan kepadaku. Soalnya kalau ada laki-laki yang lebih dulu ramah, nyapa, atau bahkan mau nraktir padahal belum kenal, aku biasanya jadi takut bahkan kabur. Padahal mah mungkin dianya hanya baik aja, biasa aja, tapi akunya yang serem.

Dan aku tumbuh sebagai wanita yang suka berbagai aktivitas kelelakian. Bertualang, memanjat pohon, naik-naik genting, bermain layang-layang, main kelereng, atau bermain bola. Aku terbiasa mendapatkan perlakuan yang melatih wanita agar tidak manja. Tiap kali dalam tugas kelompok sekolah yang mengharuskan anggotanya turun ke sungai, aku pasti ikut turun. Tiap kali mendapat pekerjaan yang bersifat ‘lapangan’, entah itu ukur-mengukur, panjat-memanjat, lari-berlari, aku pasti turut serta. Bagiku, jika itu bukan masalah prinsip antara tugas laki-laki dan wanita, maka tidak ada larangan bagiku untuk mengerjakannya. Tidak ada alasan bagiku untuk menghindari tanggung jawab tugas dengan dalih karena aku wanita. Atau mungkin sebenarnya gengsiku yang enggan dianggap lemah. Entahlah. Yang jelas, aku terbiasa untuk tidak membedakan tugas lelaki dan wanita jika itu tidak bertentangan dengan agama. Aku terbiasa memimpin, membagi tugas, dan mengambil keputusan sejak duduk di sekolah dasar.

Sikap kerasku kepada diri sendiri kuakui tidak selalu berdampak baik. Salah satu dampak tidak baiknya adalah fitrah kewanitaanku yang tidak bisa dibohongi, akhirnya justru membuatku mudah jatuh hati pada kebaikan hati lelaki yang bersikap tulus membantu dan menolongku. Kau tahu, Kekasih? Kau pernah membantuku membawakan tas ranselku yang super duper berat oleh laptop dan buku-buku pada suatu hujan lebat di sore hari. Kau berpayung, aku pun membawa payungku sendiri. Tetapi kau tetap menghampiriku dan menawarkan diri untuk membawakan ranselku. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat sepatuku basah kuyup karena hujan, kau menawarkan sandal besarmu untuk kupakai agar aku tidak masuk angin. Saat kakiku kram karena kedinginan, kau menawarkan diri bertukar motor, sehingga aku menggunakan motor matic-mu, sementara kau mengendarai motorku yang bergigi. Saat aku tampak kesulitan menggunakan motor pinjaman teman karena tidak terbiasa, kau pun kembali menawarkan diri untuk bertukar motor. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat kau dan Agit membantuku mengangkat meja dan kursi di rumahku, membantuku mengangkat dan memasang galon yang berat, membagiku roti atau menawarkan gorengan saat di kantor. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat aku belum mengerti cara mengoperasikan microsoft office secara efisien, lupa rumus-rumus microsoft excel saat hendak mengolah data, atau belum tau cara unik mengubah tampilan microsofft power point sehingga lebih menarik dalam waktu singkat, kau yang mengajariku. Bukan sampai aku bisa, tetapi sampai aku bersedia mengubah pola pikirku saking seringnya kau berkata, “Teknologi itu ada untuk memudahkan manusia, Ka Najmi...” dengan tatapan meledek. Yaah... akhirnya aku bisa. Bukan karena kau yang mengajari. Tetapi karena kata-katamu yang mendorongku untuk mau belajar lagi. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Aku terharu.

Aku selalu terharu setiap kali menerima kebaikan orang. Laki-laki maupun perempuan. Dan terhadap setiap kebaikan yang pernah kau berikan padaku, aku berusaha untuk menganggapnya biasa saja. Karena aku tahu, kau pun melakukan hal sama terhadap yang lainnya. Benar, kan?

Namun kenyataannya, hatiku tidak mengaggapnya biasa saja. Aku yang terbiasa mandiri dan melakukan berbagai pekerjaan sendirian, seolah tersadar kalau aku ini wanita, tiap kali kau menawarkan bantuan dan menolongku. Dan begitulah reaksi kimia cinta bekerja. Ibuku sudah jauh hari sejak zaman azali memperingatkanku untuk tidak mudah jatuh hati. Tapi aku tetap jatuh hati. 

Kepedulianmu yang meluluhkan hatiku. Kebaikan spontanmu yang menumbuhkan penghargaanku padamu. Berkali-kali aku menepis rasa ge-er yang berpotensi mencuatkan harap, berkali-kali juga aku gagal. Kekasihku, ini bukan salahmu. Salahku yang menganggap diriku terlalu kuat. Nyatanya tidak. Mungkin bagimu segala perhatian dan kebaikan itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat aku mengalami kecelakaan motor di depan kantor dan nyaris terlindas mobil, kau adalah orang pertama yang keluar dari pintu kantor dan berlari menghampiriku. Mengapa harus dirimu? Kau mengambilkanku air hangat untuk meredakan shock yang kualami. Orang-orang lain juga membantuku. Ada yang memasakkan air hangat untuk mengompres luka, ada juga yang membelikan kapas dan obat luka. Tetapi kau yang pertama berlari keluar kantor dan menghampiriku, memastikan aku baik-baik saja. Dan itu yang kuingat. Pedulimu.  Mungkin bagimu perhatian itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Kau tahu, Kasih? Pada satu fase yang kau ketahui karena aku beritahu... maksudku pada saat aku pernah memberitahukanmu suatu hal sehingga engkau jadi tahu. Saat itu adalah masa aku hampir berputus asa pada hidup. Sempat terlintas dalam pikirku untuk berhenti kuliah karena sesuatu hal. Lalu kau menawarkan pekerjaan untukku. Lalu aku menerima tawaran tersebut karena kupikir bisa membantuku menyibukkan diri dan mencegahku bertindak bodoh atau melakukan hal-hal tidak berguna. Lalu kau menceritakan sesuatu hal sehingga aku mendengarkan ceritamu. Lalu kau minum, tapi aku tidak ikut minum. Lalu kau mengakhiri ceritamu. Lalu kau memakai jaket, hendak pergi dengan sok gaya sambil berkata, “Be strong!”

Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Ceritamu mampu membuatku kembali bersemangat memasak setelah kurang lebih satu bulan aku tidak menyentuh dapur. Bagiku, memasak adalah tanda hatiku senang. Dan kata-katamu menjadi satu titik balik untukku tetap melangkah maju. Aku bisa bersemangat lagi untuk melakukan sesuatu.

Aku tidak berpikir macam-macam saat itu. Kita belum lama kenal. Namun, aku sungguh bersyukur Allah mempertemukanku denganmu dan memberiku kesibukan bekerja. Kau tidak menghakimiku atas segala keburukan yang kumiliki. Kau tidak mengguruiku seolah-olah aku tidak dewasa dan butuh diberitahu pelajaran dasar. Kau peduli. Dan pedulimu yang membuatku lambat laun jatuh hati.

Kekasih, ini bukanlah salahmu. Aku jatuh hati. Bukan karena kau yang membuatku begitu. Tetapi Allah Yang Maha Pemberi yang menganugerahkan rasa ini padaku. Padaku yang sulit jatuh cinta. Padaku yang lebih sering judes kepada laki-laki, alih-alih bersikap ramah. Padaku yang memiliki ego sangat tinggi.

Aku jatuh hati padamu. Pada pedulimu. Pada kebaikan-kebaikanmu. Namun tidak mungkin bagiku untuk mengatakannya. Akhirnya aku hanya menganggapmu sebagai seorang yang begitu kuhargai dan kusyukuri. Terkadang jika aku rindu, aku akan menganggapmu pahlawanku. Dan tidak pantas rasanya seorang aku jatuh cinta pada pahlawannya sendiri. Kau terlalu tinggi untuk itu. Jadi aku diam saja. Tetapi, hatiku berontak. Hatiku berharap lebih untuk bisa bersama dengan pahlawannya itu. Meskipun logika selalu mengejek. “Da aku mah apa atuh!”

Aku tidak pantas untuk bersanding denganmu. Tapi aku ingin mendampingimu. Manusia itu aneh terkadang. Apa yang dibilang sama otak, suka berlainan dengan apa yang dirasa oleh hati. Ya sudah, jadi aku sabar saja. Sabar hingga Tuhanku Yang Maha Berkehendak menurunkan keputusan-Nya. Kau tahu, Kasih? Pasal satu, Tuhanku tidak pernah salah. Pasal dua, kalau aku merasa Ia salah, berarti harus kembali ke pasal satu. Tuhanku tidak pernah salah. Dan Ia pasti memberiku keputusan terbaik-Nya. Dan pasti itu adalah yang terbaik. Jadi kata-Nya, aku harus bersabar. Jadi aku pun bersabar. Hingga tiba waktunya. Hingga saatnya aku tahu, ternyata kaulah kekasihku. Terima kasih karena telah melamarku.   
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)

“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (QS. Ad-Duha:5)

-to be continued-



SABAR DAN CINTA (1). Cinta Adalah Melepaskan

Selasa, 20 Oktober 2015


“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pencinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”

“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah cinta di dalam buku, di dongeng-dongeng, atau hikayat, semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”

“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, kecewa, atau menangis karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri.”

“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. Teruslah berbuat baik kepada siapapun. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”

(kutipan novel “Rindu” karya Tere Liye)

***



Pertama kalinya kau bercerita tentang mereka yang hendak menjodohkanmu dengan akhwat high quality (atau kau ingin menyebutnya akhwat strategis?) adalah saat untuk ketiga kalinya kita bertemu untuk urusan pekerjaan. Selesai berdiskusi dan menyusun draft laporan proyek, mendadak kau bercerita dan meminta pendapatku tentang seorang senior yang ingin menjodohkanmu dengan seorang akhwat calon dokter yang sedang studi di negeri sakura. Mengetahui sedikit profilnya, tanpa perlu dijelaskan aku pun mengerti galaunya hatimu untuk bersanding dengan seorang yang sholihah, cerdas, dan kutebak pasti tinggi dan cantik. Lalu kau pun bertanya, “Harus jawab apa ya, Mba?”

Begitulah. Kau hanya meminta pendapatku sebagai seorang senior yang mungkin kau hormati dan kau anggap memiliki pengalaman bijak untuk dibagi. Kau merasa berat untuk menolak jika tidak memiliki alasan yang kuat. Khawatir dianggap menolak rezeki, bahkan takut terhadap karma jika kesempatan baik itu tidak akan datang lagi.

Saat itu pun aku hanya menganggapmu sebagai rekan kerja, sekaligus teman satu komunitas yang ingin kubantu di dalam proyek yang sedang kau tangani. Tidak lebih. Aku senang bisa menolong. Aku senang jika ilmu yang kupelajari bisa kuamalkan dan bermanfaat. Tidak ada pikiran bahwa pekerjaan ini akan memberiku cerita berbeda.

Kau tahu, dahulu aku pun sempat merasa takut akan karma. Saat datang berbagai tawaran dengan profil yang tidak sembarangan, namun kutolak karena berbagai alasan. Terlebih setelah melalui istikharah dan meminta pendapat orangtua, hatiku tidak juga tenang. Dan masukan yang kusampaikan padamu dahulu, tidak lebih hanya karena berdasarkan sedikit ilmu dan pengalaman yang pernah kualami. Tidak perlu terburu-buru untuk memutuskan sesuatu yang besar. Tidak perlu terlalu takut jika kesempatan baik itu tidak akan datang kembali. Toh, ibundamu belum mengizinkanmu menikah, dan dirimu juga merasa belum siap saat itu.

Nyatanya? Saat kau menyampaikan belum siap untuk berproses, kau justru mendapatkan tawaran bertubi-tubi setelahnya. Kesempatan baik itu justru semakin banyak yang datang. Dari murobbi, dari senior-senior yang sangat kau hormati, dari teman, bahkan dari mereka yang menyatakan secara langsung ingin kau nikahi. Tidak ada yang salah dengan cara itu menurutku, selama penyampaiannya baik. Bukankah zaman Rasulullah Saw juga demikian? Tidak ada larangan seorang akhwat untuk melamar lebih dulu dan meminta kepada lelaki sholeh tersebut jika berkenan menjadi suaminya.

Entah kenapa, aku ditempatkan pada posisi sehingga selalu saja tahu jika tawaran-tawaran untuk berproses itu datang padamu. Dan tidak sekali engkau merasa begitu bimbang untuk memutuskan. Padahal kita hanya rekan kerja dan teman diskusi, bukan?

Aku tahu, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakmu bahwa akulah yang kelak menjadi pendampingmu. Aku pun tidak berpikir sejauh itu pada awalnya. Namun kau tahu, aku wanita. Makhluk yang diciptakan mudah berharap dan jatuh hati pada pria. Aku pernah berkata pada diriku sendiri bila menonton film-film korea yang ending-nya sudah bisa kutebak. “Hhhhh.. kebiasaan. Weting tresno jalaran soko kulino. Jadi jatuh cinta karena sering bertemu dengan tokoh utama, padahal tokoh utamanya menyebalkan. Aku sih gak bakal kayak gitu. Terlalu biasa jatuh cinta dengan cerita begitu. Aku maunya cerita yang berbeda.”

Nyatanya? Aku terjebak dengan kata-kataku sendiri. Seringnya pertemuan denganmu membuatku semakin mengenal perangaimu. Berdiskusi hampir tiap hari membuatku merasa kehilangan saat kita tidak bertemu. Sampai akhirnya aku menyadari, aku jatuh hati. Dan aku tidak bisa mengatakannya, apalagi mengungkapkannya secara langsung. Aku bukan pemberani yang bisa dengan terang-terangan meminta padamu untuk kau nikahi. Aku tidak memiliki seorang yang mungkin dapat menjadi perantara hatiku. Aku terlalu malu, dan merasa tidak cukup layak untuk mendapatkan cinta, kala itu. Terlalu banyak dosa dan keburukan yang kumiliki. Akhirnya aku pun hanya bisa menyimpan harapku dalam sunyi.
Sekali waktu, pernah aku bertanya tentang kriteria wanita idamanmu. Kau mananggapinya sambil tersenyum, “Kenapa Mba? Pengen nyariin?”

“Enggak... nanti aku yang bantu screening. Haha...”

Jujur, mungkin saat itu aku mulai berharap. Tapi logikaku mengatakan bahwa aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapmu. Kita hanya rekan kerja dan teman diskusi. Dan aku ingin membantumu untuk bisa bahagia. Itu saja. Sayangnya, hatiku tidak seiring sejalan dengan logika. Aku bertanya tentang kriteria wanita idamanmu untuk memastikan apakah hatiku mungkin berharap atau tidak.

Setelah mendengar jawabmu, aku semakin diyakinkan bahwa aku tidak memiliki kesempatan tersebut, meski hatiku merespon sebaliknya. Tidak ada karakter padaku yang kupikir masuk sebagai kriteria istri yang kau harapkan. Dan aku cukup tahu diri. Kau menginginkan pendamping yang sanguinis, tidak keras kepala, cerdas, dan nyaman untuk diajak berdiskusi. Dan aku merasa bahwa aku tidak sanguinis (melainkan melankolis), agak keras kepala, tidak begitu cerdas, dan sebenarnya lebih sering berdebat meskipun kita adalah teman diskusi. Kau tidak menyukai seorang yang cerewet, bukan? Dan bakat bawelku ini sudah menjadi bakat alam. Tidak bisa diapa-apakan lagi. Kau berkata bahwa tidak ingin menikah dengan anak FIM. Mendengar itu, aku pun bergegas mematikan harapku sebelum melambung terlalu tinggi. Aku tidak memiliki kesempatan itu. Aku anak FIM. Dan itu tidak bisa diapa-apakan lagi. Hanya satu pernyataan darimu yang menyisakan sedikit harapan untukku, “Yang terpenting, dia mau sama saya.”

Kau pasti tidak mendengarnya saat itu, karena aku hanya menggumamkannya di hati. “Kalau aku mau, apakah boleh aku memiliki kesempatan jadi pendampingmu? Aku tidak cantik, tidak terlalu cerdas, seorang yang melankolis dan cengeng, suka berdebat dan bertengkar denganmu, tapi... kalau aku mau jadi pendampingmu, apakah aku bisa memiliki kesempatan itu?”

Berkali-kali aku menolak kenyataan hatiku yang mungkin jatuh cinta. Aku terlalu takut untuk jatuh cinta, dan merasa tidak layak untuk itu oleh sebab berbagai alasan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai berdamai dengan diri sendiri dan membiarkan harapku bertumbuh sewajarnya. Tidak memupuknya, tetapi tidak juga membunuhnya. Aku akan merasa lebih sakit jika demikian. Jadi, kubiarkan begitu saja. Aku akan merasa senang jika bisa bertemu denganmu untuk alasan pekerjaan, diskusi ringan tentang keluarga, bisa mendengar suaramu secara tidak sengaja, atau mempunyai alasan yang pantas untuk mengontakmu melalui pesan singkat. Komunikasi kita didominasi hanya pada soal pekerjaan dan sesekali tentang cita-cita, atau tentang teman yang sama-sama kita kenal. Aku berusaha untuk wajar, bersikap normal. Alasannya tidak lain hanyalah agar sesuatu yang kurasakan di hati ini tidak menjadi berlebihan. Tidak terekspresi pada sesuatu yang belum pada tempatnya. Tidak menjadi sesuatu yang tidak diridhoi-Nya.

Namun, tetap saja hati tidak bisa berbohong. Jika awal dulu kau bercerita dan meminta pendapatku tentang tawaran yang datang padamu, lalu aku menanggapinya secara netral tanpa maksud dan kecenderungan apapun, maka berbeda hatiku setelah kau bercerita untuk keenam kalinya. 

“Mba, datang tawaran lagi.”

“Dari siapa?”

“Dari senior.” 

“Fokus dulu aja sama target. Diizinkannya usia 25 kan? Sekarang fokus dulu saja ke pekerjaan sambil mempersiapkan diri sebaik mungkin.”

“Iya Mba, sudah saya jawab kok. Saya mau fokus dulu.”

Kau tahu? Rasanya seperti menjadi wanita bermuka dua saat itu. Aku seolah memberimu saran yang bijak, padahal di sudut hatiku terselip harap bahwa kau akan kembali menolak tawaran tersebut. Setidaknya aku masih bisa lebih lama menyimpan harap yang tidak bisa kusampaikan ini. Aku hanya mengadu pada Yang Maha Membolak-balik Hati, bahwa jikalau kau baik untukku, untuk agamaku, untuk keturunan-keturunanku, untuk rezekiku, dan untuk kehidupan dunia akhiratku, maka mudahkanlah jalan ini bagiku. Namun, jika sebaliknya, maka pintaku Allah yang akan memupus langsung harapanku. Karena hakikatnya, diriku tidak memiliki daya kekuatan apapun, bahkan untuk sekedar membunuh rasa dan harapan yang tumbuh di hati.

Kali kedelapan kau mendapatkan tawaran, hatiku semakin waswas karena kau semakin serius mempersiapkan diri untuk berproses. Tapi kau bercerita bahwa kau tidak ingin melanjutkannya karena ada hal yang kau rasa tidak sesuai sehingga membuat hatimu tidak nyaman. Sejenak aku merasa lega, tapi tidak berlangsung lama, karena semenit kemudian kau melanjutkan cerita bahwa ada tawaran kesembilan yang masuk lagi padamu. Kali ini kau bercerita bahwa hatimu gemetar saat hendak melihat profil biodata sang akhwat. Sekali lagi. Aku harus membunuh harapanku dan menyiapkan hati untuk melepasmu pergi.

Aku berusaha bersikap biasa saja dan mencoba untuk tidak menyuburkan harapan di hati. Tapi gagal. Hatiku tetap saja berharap. Akhirnya aku hanya ingin menjadikan rasa yang kumiliki sebagai sebuah bentuk cinta yang dewasa. Bahwa hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus aku untuk melepasnya. Toh, Allah juga yang menganugerahi rasa indah ini, setelah sebelumnya aku berpikir bahwa aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Jadi tidak ada salahnya jika aku mengembalikannya pada Yang Maha Pemberi Cinta. Jika kau cinta sejatiku, maka aku pasti akan bersanding denganmu, meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya. Karena tidak mungkin bagiku untuk mengungkapkannya padamu, sementara aku tahu kau tidak pernah menganggapku lebih dari seorang senior dan partner kerja. Prinsip diriku menegaskan bahwa aku terlalu malu. Dan menjaga malu adalah kehormatanku sebagai wanita. Meskipun agama sekalipun membolehkanku untuk mengatakannya atau meminta secara langsung kepadamu, aku tetap saja tidak berani.

Kalau ternyata akhirnya aku tidak bersama denganmu, maka seperti kata Tere Liye dalam banyak bukunya, bahwa cerita ini menjadi lebih sederhana. Aku bukan jodohmu. Dan kehadiranmu hanyalah sepenggal episode yang menambah warna indah dalam hidupku. Aku ingin meyakini itu, bahwa bahagiamu adalah bahagiaku juga. Tapi realitanya ternyata tidak mudah. Saat mengetahui proses yang kau jalani melangkah ke arah yang lebih serius, dari bertukar biodata ke tahap ta’aruf,  tangisku hampir meledak di kantor. Aku buru-buru mengambil wudhu dan mendirikan salat. Aku tidak boleh membiarkan diriku menangis. Kau tidak boleh tahu bahwa aku ingin menangis. Kau tahu, rasanya tidak mudah mengendalikan diri untuk tetap bersikap santai dan tersenyum normal saat perasaan berkecamuk karena merasa kehilangan harapan. Tapi logikaku cukup menetralkan badai di hati. Aku ingin turut berbahagia jika kau bahagia. Dan wudhu serta salat mampu membuat hatiku lebih tenang saat itu.

Keajaiban itu pun terjadi. Allah memberiku rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Betapa kagetnya diriku saat mengetahui aku hendak berproses denganmu lewat jalan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, di luar ekspektasi dan imajinasiku bahwa kesempatan itu akan hadir lewat jalan A atau jalan B. Tiba-tiba saja yang muncul di hadapan adalah jalan Z, eh.. bukan ding... jalan G... #eeaa....

Sungguh, aku seperti mendapat kejutan besar dari Allah. Oleh karena itulah sakit maag-ku kambuh saat awal kita berproses lima bulan lalu. Aku terlalu tidak percaya dan tubuh seolah tidak menapak di bumi (haha... lebay.. tapi beneran, aku sakit maag selama dua minggu saat itu). Dan saat itu, saat kau bertanya mengapa akhirnya aku mau menerimamu, dari segala alasan yang harus kutahan supaya tidak kau ketahui dulu, aku hanya menyebutkan tiga hal. Pertama, kau adalah seorang yang berakhlak mulia. Berinteraksi denganmu dalam pekerjaan dan melihat interaksimu dengan orang lain cukup menjelaskan bagaimana perangai dan pribadimu. Kedua, kau memiliki integritas yang baik. Kau mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak jarang aku merasa tersindir oleh nasihatmu, meski kau tidak bermaksud untuk mengkritikku. Tapi jika setiap apa yang kau katakan itu benar, aku bersyukur bahwa aku bisa belajar darimu. Dan kau pun tidak pernah menjadi orang yang selalu merasa paling benar. Sifat untuk mau terus belajar itu pula yang aku suka. Alasan ketiga, adalah alasan yang paling utama. Kau yang kukenal adalah seorang yang sangat memuliakan orangtua, terutama ibu. Bagiku, itu sudah cukup untuk menjawab apapun. Kau berbakti kepada ibumu. Kau memuliakan kedua orangtuamu. Kau sangat  menyayangi adikmu dan menghormati keluargamu. Kuyakin kau pun akan memuliakanku dan menghormati keluargaku.

Untuk alasan lain yang belum kusebutkan, mungkin kau sudah bisa menebaknya kini.

“..dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. 65:3)

Kekasih, kau tahu? Sudah lama aku menyukaimu. Syukurlah akhirnya engkau tahu.   

-to be continued-





Nikmati Perjalananmu, Kawan!

Kamis, 27 Agustus 2015

Dalam suatu perjalanan sore untuk pulang, terlintas sebuah renungan singkat yang membuatku tersenyum.

Saat itu aku baru pulang dari sebuah acara di hotel bersejarah di kotaku. Aku menuju stasiun dengan berjalan kaki menyusuri trotoar. Jarak antara hotel dan stasiun sekitar satu kilo, tak begitu jauh menurutku. Tapi rupanya lumayan juga buatku berkeringat, haha... ketauan jarang jalan, nih...

Begitu melihat arena stasiun dengan rel-relnya dan rangkaian gerbong kereta yang berjajar rapi di kejauhan, rasanya ingin masuk segera dan duduk di dalam kotak besi ber-AC itu sambil menyelonjorkan kaki. Namun, aku harus menahan sejenak harap tersebut. Sesaat aku merindukan akses pintu utama stasiun lama yang terletak di sisi timur, sementara sekarang posisi pintu utama  terletak di sisi barat. Aku yang berjalan kaki dari arah timur tentu harus memutar untuk masuk ke stasiun.


Jalur masuk di sisi barat sebenarnya bukan satu-satunya akses untuk masuk ke dalam stasiun. Terdapat jembatan penyeberangan yang menghubungkan langsung pejalan kaki dari luar ke dalam. Setelah aku melewati trotoar di Jl.Nyi Raja Permas, melewati pemandangan jajaran rangkaian gerbong kereta dari balik pagar pembatas, melihat keriuhan calon penumpang di arena lobi sekitar loket, aku sempat terdiam selama satu detik. Yap. Hanya satu detik. Karena hanya itu waktu yang kumiliki untuk segera mengambil keputusan. Apakah aku akan masuk stasiun melalui pintu barat? Ataukan naik tangga melalui jembatan?

Oke, berpikir memilih jalan yang mana yang harus ditempuh hanya dalam waktu singkat bukanlah perkara sepele. Ini harus dipikirkan masak-masak. Jika aku memilih untuk mengambil pintu barat, itu berarti aku harus berjalan lebih memutar, lebih jauh, dan otomatis waktu yang dibutuhkan untuk sampai di kursi kereta yang empuk akan lebih lama, padahal aku ingin sekali segera masuk ke dalam! Sementara jika aku memilih untuk naik tangga jembatan yang terletak di sisi selatan, itu akan memakan waktu lebih cepat, tetapi energi yang akan kukeluarkan akan lebih besar karena harus naik tangga yang anak tangganya terhitung tidak manusiawi. Aku tidak paham siapa yang mendesain jembatan ini di masa lalu, tapi yang jelas ukuran anak-anak tangganya yang terlalu tinggi selalu membuatku ngos-ngosan begitu tiba di atas. Hmm.. apa karena badanku yang tidak tinggi semampai yah, sementara jembatan ini dibuat untuk kaum kolonial di zaman dulu yang badannya besar-besar? Entahlah.

Yang jelas, aku harus segera memutuskan. Mau pilih jalan memutar yang lebih lama, atau jalan menanjak yang lebih melelahkan? Tidak ada waktu untuk menghitung kancing, apalagi untuk salat istikharah. Aku harus memilih dalam waktu satu detik! (soalnya kalau aku diam terlalu lama di trotoar, tentu akan menghalangi para pejalan kaki yang lain, hee ^^")

Dan.... aku pun memilih jalan memutar dan masuk lewat pintu barat. Lebih jauh memang, mungkin memakan waktu lebih lama daripada lewat jembatan, tetapi kurasa aku bisa lebih menikmatinya dibanding ngos-ngosan begitu tiba di dalam stasiun. Yaah.. dan aku pun menikmatinya.

Ini hanya soal pilihan. Tidak ada yang salah dalam memilih jalan, selama jalan itu memang disediakan untuk dilewati. Toh, tujuannya sama. Stasiun Kereta. Alasanku memilih jelas, walaupun kedua pilihan sama tidak enaknya. Tapi aku memilih jalan yang kurasa bisa lebih kunikmati daripada kurutuki. Dan jika ada orang lain yang memilih jalan menanjak lewat jembatan, tentu pilihannya pun tidak salah. Ia lebih nyaman untuk sampai lebih cepat walaupun dengan energi yang lebih banyak harus dikeluarkan. Yang salah adalah jika aku memilih melompati pagar stasiun dan langsung masuk ke lobi. Itu cara yang paling cepat sebenarnya, dan sempat juga terlintas di benak. Tapi yaa... itu curang... dan risikonya juga besar. Aku bisa ditangkap petugas. Paling keren bisa masuk koran pagi esok harinya.

Hal yang membuatku tersenyum adalah, seketika aku mengingat perjalanan hidupku yang penuh liku dan berputar-putar (halah!). Dalam setiap fase yang harus kau lalui, kau selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan tugasmu hanya memilih. Tujuanmu satu, tapi mungkin jalan yang ada sangat banyak. Pilih saja jalan yang menurutmu paling benar, dan nikmatilah perjalananmu. Pada saatnya, kau pasti akan sampai. Tidak perlu menyesal pada pilihan yang telah kau ambil, karena kau memilih jalan yang benar. Bukan dengan cara 'melompati pagar'. Jadi, nikmati saja. Karena aku pun menikmatinya :)

NIkmati perjalananmu, kawan!