Konservasi Air

Selasa, 31 Maret 2015



Air. Salah satu syarat demi terbentuknya sebuah kehidupan. Bumi layak ditinggali oleh manusia karena ada air. Suatu daerah layak menjadi tempat tinggal karena ada air. Pegunungan memiliki tempat yang cocok untuk berkemah juga karena air. Bahkan tubuh manusia, sekitar 55-75% terdiri dari air (tergantung ukuran dan berat badan). Manusia dan hampir seluruh makhluk hidup lainnya memiliki ketergantungan terhadap air. Manusia membutuhkan air untuk minum, mandi, mencuci, memasak, dan melakukan berbagai aktivitas sehari-hari lainnya. Bagaimana kondisi air yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup ini? Apakah eksistensi air di bumi akan terus ada atau adakah kemungkinan hilang? Bagaimana cara terbaik untuk mengkonservasi air?

Sang Pencipta menciptakan air sebagai berkah untuk kesejahteraan manusia. Hakikat air adalah baik dan untuk kebaikan, namun belakangan ini sering kita jumpai bencana yang disebabkan oleh air. Beberapa permasalahan terkait air yang menjadi perhatian, antara lain banjir, berkurangnya pasokan air bersih, pencemaran sumber-sumber air, pendangkalan badan air, dan kekeringan.Permasalahan ini muncul sebagian karena faktor alam, seperti kondisi topografi dan geologi, serta iklim dan curah hujan. Namun permasalahan air lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia yang tidak tepat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya, sehingga dampak negatif yang dirasakan menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Pembahasan mengenai konservasi air sejalan dengan hukum termodinamika dan kekekalan energi dimana energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Sama halnya dengan air.Jumlah air di bumi adalah tetap.Air berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya melalui siklus hidrologi. Air laut mengalami evaporasi menjadi uap air. Uap air tersebut menggumpal menjadi awan, dan terjadi kondensasi sehingga terbentuk massa hujan. Hujan atau presipitasi turun ke permukaan, masuk ke dalam tanah, ke sungai, ke danau, atau menggelontor begitu saja menjadi run-off.Air yang terserap ke dalam tanah (infiltrasi) dan terus masuk ke lapisan dalam akuifer (perkolasi) akan tersimpan sebagai air tanah dalam dan inilah yang biasanya menjadi sumber air sumur.Air di permukaan akan kembali mengalami evaporasi atau kembali ke laut dan siklus terus berulang.

Jika melihat siklus air yang demikian, dapat diterka bahwa hanya sedikit air di bumi yang dapat kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Simonds (2007), jenis air di bumi didominasi oleh air laut sebesar 97% dan hanya 3% air tawar. Dari air tawar yang sedikit itu, 69% tersimpan dalam bentuk glasier&es, 30.1% dalam bentuk ground water, dan 0.9% air yang ada di permukaan. Jumlah 0.9% inilah yg digunakan oleh hampir seluruh manusia untuk aktivitasnya sehari-hari.

Permasalahan banjir, pencemaran air, intrusi air laut, dan kekeringan, sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan air permukaan yang tidak terkendali sehingga timbul bencana.Satu daerah kelimpahan air, daerah lainnya kekeringan sampai menimbulkan kebakaran hutan.Sebagai contoh adalah kasus ibukota Jakarta yang hampir setiap tahun mengalami banjir. Sejarah mencatat bahwa banjir di Jakarta tidak hanya terjadi dalam kurun waktu 10-20 tahun terakhir dimana pembangunan dan pencemaran yang terus meningkat telah mengganggu siklus air.Banjir besar pertama Jakarta tercatat pada tahun 1621, lalu terjadi lagi tahun 1654, dan tahun 1876.Jakarta tergolong daerah yang sangat potensial banjir. Karakter geologis di Jakarta didominasi oleh batuan yang kedap air, sehingga tanpa meluapnya rob air laut atau melimpahnya kiriman air permukaan dari Bogor, Jakarta tetap akan banjir jika curah hujan setempat tinggi.Topografi Jakarta cenderung datar dengan rata-rata ketinggian 8 mdpl. Sebagian daerah, khususnya di bagian utara, ketinggian permukaannya lebih rendah dari tinggi muka air laut.Karakteristik fisik ini, ditambah pembangunan yang tidak terkendali sehingga terjadi banyak alih fungsi lahan, menyebabkan dampak banjir di Jakarta menjadi semakin besar dan merugikan.Salah satu solusi mengelola sumber daya air (termasuk masalah banjir) agar sirkulasinya seimbang adalah dengan mengelola penampangnya, yakni Daerah Aliran Sungai (DAS). 

DAS adalah area atau kawasan dimana seluruh air (hujan) yang jatuh di kawasan tersebut akan mengalir ke satu sungai utama. Oleh karena itu pembagian kawasan dalam satu pulau bisa habis oleh pembagian DAS, misalnya DAS ciliwung, DAS citarum,dan lain-lain.Jakarta yang dilalui oleh 13 sungai dan anak sungai termasuk ke dalam DAS Ciliwung.

DAS berhulu di puncak gunung dan berhilir di muara sungai. Berdasarkan profilnya,DAS terbagi tiga menjadi upper stream, middle stream, dan down stream. Upper stream adalah area pegunungan yg konturnya berbukit dan karakteristiknya ideal untuk optimalisasi penangkapan air. Eksistensi hutan dengan pohon dan berbagai vegetasi lainnya baik untuk memperlambat laju air, selain mendukung pula untuk pencegahan erosi. Down stream adalah dataran rendah/flat, paling sesuai untuk permukiman  dan pengembangan kota. Drainase yang baik akan mendukung sirkulasi air yg baik pula. Vegetasi-vegetasi di perkotaan dapat membantu tanah menyerap air. Middle stream adalah area pertengahan yg paling krusial, dsebut juga kawasan ekoton dimana karakter upper- bertemu dengan karakter down-. Penataan kawasan ekoton harus memperhatikan kepentingan dari kedua kawasan yang mengapitnya tersebut.

Profil DAS di atas menjelaskan bahwa permasalahan terkait air di satu bagian tidak terlepas dari bagian lainnya. Cara mengatasi masalah banjir di Jakarta yang merupakan hilir Sungai Ciliwung (down stream), juga harus memperhatikan daerah Puncak (upper stream) dan kota-kota yang dilaluinya (middle stream). Alih fungsi lahan di daerah hulu dari fungsi hutan dan lahan pertanian ke bentuk urban dengan bangunan-bangunan dan perkerasan, telah menutupi daerah-daerah resapan air sehingga jumlah aliran permukaan (run off) meningkat, melebihi kapasitas daya tampung badan air (sungai, danau, kanal, selokan), dan meluap sebagai banjir. Pendangkalan badan air akibat erosi dan terhambatnya aliran air oleh sampah industri dan rumah tangga juga menyebabkan dampak banjir semakin parah.





Hal yang harus dilakukan adalah memasukkan kembali air ke dalam tanah. Dapat dilakukan dengan cara membuat sumur resapan, biopori, reboisasi, sampai rekayasa konstruksi tanah (jika karakter tanah dan batuan rendah daya serap airnya, direkayasa dengan mengatur komposisi pasir-debu-liat yang ideal).Secara umum konservasi air dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui stormwater harvesting dan rainwater storing.

Stormwater harvesting dilakukan dengan "menanam" air untuk "dipanen" pada waktunya.Caranya adalah dengan menggunakan pond (kolam), sumur resapan, biopori, embung, dan sebagainya.Intinya adalah menyimpan air tersebut untuk kemudian dipanen ketika musim kemarau. Selain dipanen, stormwater harvesting juga membuat tanah lebih gembur dan mencegah penurunan muka tanah.Cara kedua adalah denganrainwater storing, yaitu menyimpan air hujan di dalam tangki-tangki untuk digunakan secara langsung untuk keperluan sehari-hari.Berapa banyak yang harus disimpan? Rumusnya seperti bahasa Sunda ^^”: V=CxAxI. Volume yang disimpan adalah koefisien run-off dikali luas atap dikali intensitas curah hujan. Rainwater storing ini dilakukan untuk mengurangi kebutuhan air sekunder.Dengan dan tanpa filter, air hujan ini bisa digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci mobil, flush, cooling tower,dan sebagainya.

Permasalahan air selain banjir adalah intrusi air laut. Eksploitasi air tanah secara berlebihan akan menyebabkan meningkatnya intrusi air laut.Intrusi air laut adalah masuknya air laut ke darat, mengisi pori-pori tanah, sehingga air tanah menjadi payau.Hal ini sering terjadi di kota-kota pesisir, seperti Jakarta, Cirebon, dan Semarang. Pembuatan sumur artesis dan menyedot air secara berlebihan juga dapat menyebabkan air tanah menjadi payau. Air laut memiliki densitas dan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan air tanah. Massa jenis air laut 1,025 gr/cm3, sedangkan air tawar 1 gr/cm3.Dilihat dari aspek fisik, air tanah yang memiliki densitas lebih ringan, posisinya berada diatas air laut. Terdapat pembatas bidang cembung diantara keduanya. Jika air tanah terus-menerus disedot, batas tersebut akan semakin naik mendekati permukaan. Hal ini dapat dianalisis pula dari aspek kimiawi, yakni saat air tanah dan air laut yang memiliki perbedaan konsentrasi bertemu maka akan membentuk suatu lapisan permeabel.  Secara perlahan akan terjadi perpindahan massa/ion dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Ketika air tanah diambil, lapisan permeabel ini akan naik mendekati permukaan tanah, sehingga air tanah menjadi payau. Solusinya? Memperbanyak sumur resapan untuk menampung air hujan dan gunakanlah air secara hemat :).

Ketika  Jakarta mengalami kelimpahan air yang berdampak merugikan (banjir), terdapat fenomena kontras di daerah lain yang mengalami kekurangan air dan juga berdampak merugikan (kekeringan), misalnya Wonosari, Yogya. Karakter air di Jakarta adalah penuh di atas permukaan, namun kering di bawah. Sebaliknya di Wonosari penuh di bawah permukaan, namun kering di atas. Masyarakat Wonosari sulit memanfaatkan air karena letaknya jauh di lapisan bawah, padahal Wonosari memiliki lapisan akuifer yang besar. Karakter geologinya berupa batuan gamping yang bolong-bolong sehingga air hujan yang jatuh langsung tergelontor ke lapisan bawah membentuk sungai bawah tanah. Tanpa survei geologi, sulit untuk memanfaatkan air hanya dengan membuat sumur-sumur blind drill.

Kondisi berlawanan dialami oleh Jakarta dimana tanah dan batuannya sudah terlampau jenuh hingga sulit untuk menyerap air. Drainase yang terhambat, seperti sungai sebagai drainase alami yang mengalami pendangkalan ataupun tercemar sampah industri dan rumah tangga, serta drainase buatan lainnya (selokan, kanal) yang juga banyak tercemar oleh sampah, ditambah curah hujan yang tinggi, menyebabkan tingkat run-off sangat tinggi hingga menimbulkan banjir.Kondisi tanah jenuh ini tidak hanya dialami oleh kota Jakarta yang didominasi oleh bangunan, tetapi juga dapat terjadi di lahan pertanian yang didominasi oleh sistem penanaman monokultur.

Tanah jenuh, atau dikenal juga dengan istilah saturated land /‘tanah mutung’, adalah sebuah kondisi saat tanah tidak lagi memiliki unsur-unsur hara seperti kondisi awalnya dan kemampuannya dalam menyerap air semakin menurun.Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas tanah sebagai media tanam dan fungsi konservasi air. Faktor penyebab tanah menjadi jenuh bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh aktivitas fisik, seperti pembangunan dan pertambangan. Ada pula yang diakibatkan oleh aktivitas kimiawi karena unsur-unsur hara yang terus-menerus diambil, misalnya kegiatan pertanian yang monoton atau hutan produksi.Beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan tanah jenuh ini adalah dengan rekayasa unsur tanah, penghijauan, biopori, atau menggilir jenis tanaman pada lahan pertanian.Mengistirahatkan tanah melalui ‘bera’ juga penting agar tanah memiliki waktu untuk mengembalikan unsur-unsur haranya yang hilang. 

Ada satu pelajaran menarik dari Vietnam terkait masa bera. Vietnam membanjiri lahan pertanian padi dengan air sungai. Setelah panen, Vietnam mengistirahatkan tanahnya sebelum masuk ke musim tanam berikutnya. Namun ia tidak membiarkan lahan bera begitu saja. Lahan-lahan bera tersebut dialiri dengan air sungai yang ada di sekitarnya. Kandungan mineral yang terdapat di air sungai akan terbawa ke lahan sehingga pengembalian unsur hara ke dalam tanah akan berlangsung lebih cepat.

Dalam suatu kesempatan seminar, dijelaskan bahwa mengelola keberlanjutan ruang terbuka biru (RTB) merupakan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi banjir daripada ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini dikarenakan RTH lebih bersifat preventif dan membutuhkan periode jangka waktu yang cukup lama sampai manfaatnya dapat dirasakan, sedangkan RTB yang merupakan badan-badan air, seperti danau, sungai, dan waduk langsung menampung air dan menahan air agar tidak lantas meluap atau tergelontor begitu saja ke tempat yang lebih rendah.

Beberapa fungsi penting RTB, antara lain:
1. menampung air,
2. menurunkan suhu iklim mikro,
3. habitat wildlife dan berbagai tumbuhan,
4. sarana rekreasi cuma-cuma bagi warga kota.

Hal ini bukan berarti RTB menjadi lebih penting daripada RTH, meskipun untuk tindakan responsif banjir RTB dinilai lebih efektif. Keberadaan RTH dan RTB sama-sama penting karena keduanya saling mendukung untuk konservasi air. Pemerintah kota dapat menghitung luas badan air sebagai RTB yang dibutuhkan perkotaan berdasarkan jumlah penduduk yang ada di kota tersebut. Konservasi air di perkotaan juga harus dilihat dari aspek keberlanjutan, baik itu ekologi, ekonomi, maupun sosial. Oleh karena itu, keseimbangan dalam pembangunan dan penegakkan hukum dan aturan sangatlah penting. Kita semua tentu berharap bahwa kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dapat diterapkan secara tepat. Pengelolaan sumber daya alam dan energi vital sudah jelas aturannya dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Peraturan tentang luasan RTH ada dalam UU No. 26 Tahun 2007. Pengelolaan sumber daya air ada dalam UU No. 7 Tahun 2004. Hampir semua kebijakan yang kita butuhkan telah tertuang dalam aturan di negeri ini, namun rendahnya law enforcement tentu menjadi permasalahan tersendiri yang butuh pembahasan khusus secara lebih lanjut.

Apakah yang dapat kita lakukan? Paling mudah adalah memulainya dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Tidak membuang sampah ke badan air (sungai, selokan, danau), menggunakan air secara hemat sesuai dengan kebutuhan, dan menanam pohon atau membuat lubang-lubang biopori di halaman rumah adalah langkah kecil yang dapat dilakukan oleh setiap individu. Jika kita menghitung kebutuhan air bersih per orang (berdasarkan standar PU) adalah sebesar 120 liter/hari, artinya kita bergantung pada ketersediaan sumber air bersih  sebanyak 840 liter seminggu atau 3.600 liter sebulan. Jika air bersih semakin sedikit ketersediaannya, maka air akan menjadi benda ekonomi yang semakin berharga untuk diperjualbelikan. Berapakah biaya yang harus kita keluarkan untuk memenuhi kebutuhan kita akan air? Asumsijika kita harus membeli air seharga dengan air  mineral dalam kemasan yakni Rp 4000/liter, artinya setiap orang harus mengeluarkan Rp 480.000/hari atau Rp 14.400.000/bulan. Betapa berharganya air. Itulah mengapa setiap individu memiliki kewajiban untuk menjaga air dan sumber-sumber air. Bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat yang kita miliki.

Sumber:
Diskusi Grup FC3 Eneling, Forum Indonesia Muda, 19 Februari 2014

Narasumber:
1. Nurul Najmi
2. Gugi Yogaswara
3. Aveliansyah

0 komentar:

Posting Komentar