Papandayan On The Journey

Rabu, 11 Maret 2015

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”
~Al-Mulk:15~

Polaris, 29-09-12

Aku pernah mendapatkan pelajaran bahwa kita harus pergi ke banyak tempat untuk meraup banyak hikmah. Yup, pengaruh seseorang saat masih kecil membuatku mencintai dunia petualangan. Aku merasa dengan berjalan ke tempat-tempat baru, selalu ada banyak pelajaran yang dapat dipetik. Ada rasa baru yang memperkaya jiwa. Ada pengalaman baru untuk dibawa ke masa tua :p... Banyak sekali tempat yang ingin kusinggahi. Sayangnya, lebih banyak lagi alasan hingga aku belum mampu menggenapkan mimpi-mimpiku. Catatan ini adalah sedikit curahan hati untuk berbagi (tssahh....)tentang pengalaman naik gunung Papandayan akhir September lalu. Terakhir naik gunung kapan ya? Mungkin saat ke Kawah Ratu zaman kelas 1 SMP dulu. Kalau camping sih, sering di Buperta Cibubur. Setelah itu paling hanya tafakur alam di sekitar kaki gunung yang biasanya diadakan sewaktu masa sekolah atau kuliah tingkat awal lalu. Ya ampun... itu jadul banget?! Kakiku masih kuat tidak, ya, dipakai untuk mendaki???

Perjalanan mendaki gunung Papandayan dapat dibilang salah satu keajaiban (atau hadiah?) yang Allah berikan untukku. H-3 keberangkatan aku baru tahu kalau KOALA Himaskap mengadakan pendakian 2662 mdpl gunung Papandayan. Padahal poster pengumuman sudah ditempel sejak lama. Salahku sendiri, sering main ke bengkel, tapi tidak memerhatikan mading bengkel -__-“. Saat itu, merasa sedang dirundung banyak masalah (haish, lebay XP), spontan aku berkata “Mau ikut!”. Niatan awalku adalah ingin pergi jauh, ingin pergi ke tempat yang tinggi, ingin teriak-teriak. Yaa... walaupun aku merasa pasti akan dilarang oleh Ayah jika aku minta izin. Wong saat sebelumnya ingin mendaki Gunung Gede yang persiapannya sudah sejak dua bulan sebelumnya saja dilarang, apalagi ini baru minta izin H-3?! Dulu, saat dilarang sih, aku tetap bandel memutuskan untuk turut serta. Latihan lari hampir tiap pekan, mendaftar dan menyiapkan kebutuhan yang harus dibawa, de el el. Namun, karena satu dan lain hal, aku tidak jadi berangkat. Karena kurang ridho juga kali ya, dari ortu... Dan kali ini, dengan nada santai yang agak memaksa setengah takut, aku berkata melalui saluran telepon, “Aku mau naik gunung akhir pekan ini. Boleh, ya?” Ibuku hanya bertanya dengan siapa aku akan pergi, kujawab bersama teman-teman ARL. Oke, beliau berjanji akan menyampaikan permohonan izinku pada Ayah (final decision maker). Seperti jalur birokrasi, aku harus menunggu satu malam sampai keputusan datang. Katanya boleh. What?? BOLEH??? Beneran boleh? Kok bisa, sih? Ketika izin boleh naik gunung sudah kukantongi, aku malah mulai khawatir. Benar tidak, ya, keputusanku untuk pergi ke gunung? Niatku salah tidak, ya, pergi ke gunung untuk teriak-teriak? Untuk pergi jauh dan melepas penat? Akhirnya aku mengubah niatku. Tidak boleh, suatu perjalanan harus dimulai dengan niat yang baik. Bukan karena ingin lari dari masalah. Aku pun meluruskan niat, pergi ke gunung untuk lebih mendekat pada-Nya. Aku ingin ke puncak gunung yang datarannya lebih tinggi daripada tempatku biasa bermukim. Mungkin di sana doa-doaku akan lebih cepat sampai, mungkin di sana aku bisa merasa lebih dekat dengan Sang Pencipta untuk buatku tidak lagi merasa khawatir dengan segala masalahku, mungkin di sana aku akan mendapatkan energi baru. Baiklah, yang diperlukan hanya satu. Meluruskan niat.

Hal yang selanjutnya kupikirkan adalah perlengkapan. Sebagian besar kebutuhan yang disuruh bawa oleh ketua rombongan aku tidak punya. Carrier tidak punya, sleeping bag tidak ada, matras apalagi. Berhubung perjalanan hanya untuk dua hari semalam, katanya pakai daypack saja tidak apa-apa. Okelah, daypack alias ransel. Selanjutnya SB (sleeping bag), siapa yang bisa dipinjam ya? Aku mengontak siapa saja yang bisa dikontak dari kontak handphone. Dari sekitar 7 orang yang kutanya, akhirnya 1 orang menjawab, “Ada.” Wow, alhamdulillah.... aku selamat^^. Selepas mengikuti pertemuan persiapan keberangkatan di bengkel hari Kamis sore, aku pun melesat pergi ke Balio untuk menjemput SB di rumbel FIM. Tidak dinyana, tidak disangka, niat awal hanya ingin meminjam SB, malah dapat tambahan pinjaman carrier, matras, jaket polartec, tudung ninja penahan dingin, serta headlamp. Teman FIM yang lain mengajari cara packing yang benar, cara mengangkat carrier yang benar, dan memberi wejangan-wejangan  sebelum naik gunung. Teman lainnya lagi memasakkan mie goreng+telur dadar, jadilah aku tidak kelaparan malam itu. Pulang ke rumah menggemblong carrier berisi matras, SB, jaket lalala, dan segala cemilan bahan makanan yang kubeli sore harinya, dari Balio ke ujung Bara. Jalan kaki. Angkot sudah tidak ada saat itu. Herannya, aku merasa senang. Padahal sewaktu sore hujan saja aku sudah ngos-ngosan kelelahan setelah beraktivitas. Esok harinya saat melewati jalan yang sama dengan motor, YA AMPUUUN... JAUH JUGA, YA? Hal yang akhirnya kupelajari kembali adalah: kekuatan energi mental itu lebih besar daripada energi fisik. Mungkin itulah mengapa kita harus selalu berpikir positif, agar energi positif yang walau uncountable, selalu dapat terpancar dan merambat ke sekitar lalu berubah menjadi energi lainnya. Hehee...

Hal yang paling berkesan dari naik gunung bersama-sama adalah rasa kekeluargaan. Ada yang berkata bahwa setiap orang yang naik gunung, maka akan keluar sifat-sifat aslinya. Dia akan menjadi dirinya sendiri. Dalam sebuah workshop Arsitektur Lanskap, seorang pembicara pernah mengutip kata-kata Sosiolog Amerika bahwa setiap orang membutuhkan 3rd place dalam hidupnya. Pertama, rumah. Kedua, tempat kerja/sekolah. Ketiga, tempat untuk bersenang-senang. Tempat untuk refreshing dan menjadi diri sendiri. Di rumah, setiap orang memiliki peran masing-masing, entah itu sebagai anak, orang tua, kakak, atau adik. Di tempat kerja, setiap orang berperan lebih formal lagi, entah karena tuntutan pekerjaan ataupun status sosial. Tempat ketiga, tempat yang katanya untuk bersenang-senang. Apa jawabnya? Ternyata bukan mall seperti yang disukai kebanyakan anak muda. Di mall, setiap orang berkompetisi menunjukkan eksistensi dirinya, bukan menunjukkan dirinya sendiri. Tempat ketiga itu adalah taman. Hehee.. kok jadi nyambung ke taman ya? Yah, intinya setiap orang butuh tempat di mana dia tidak berperan sebagai direktur, anak buah, mahasiswa, dosen, senior, ataupun junior. Tapi menjadi diri sendiri. Gunung adalah salah satunya. Dan ketika bisa mendaki gunung bersama-sama, kita akan bisa lebih mengenal ‘keluarga’ kita, saling tolong-menolong, dan saling berbagi.

Perjalanan yang dimulai Sabtu dini hari itu, bersama 27 kawan-kawan ARL, luar biasa berkesan. Ngeteng transport bersama-sama: mulai dari bis AC ke terminal Bandung, dapat kenalan baru di bis, naik elf menuju Garut yang kapasitasnya 20 menjadi 28 orang (itu udah kayak pepes -____-“, tapi tetap saja seru^o^), sampai menyewa mobil bak untuk sampai ke ranger. Jalur pendakian yang mencipta berjuta rasa: melewati jalan berbatu, kawah belerang, jalan berpasir, menyeberang sungai, memandang lembah dan gunung-gunung lainnya dari tebing berumput, melewati jalan yang lebar sampai yang sempit seperti parit, jalan yang landai sampai yang sangat curam, dan jalan yang kasar sampai yang licin. Mengira sudah sampai di tujuan padahal ternyata itu adalah ‘Pondok Salada’ palsu. Hahaa..itu karena di antara kami belum ada yang pernah ke sini sebelumnya. Tim perintis yang jalannya paling cepat ternyata juga masih mengira-ngira. Aku sendiri berada di tim pemberangkatan ke-2, setelah tim ke-1, dan tepat sebelum tim penyisir. Pondok Salada sebenarnya masih harus naik lagi, tempat di mana kami bisa berkemah.    

Hal menyenangkan lainnya adalah kami sampai di tujuan lebih cepat dari perkiraan, sehingga sore hari kami bisa memasak, makan bersama, dan malam harinya bisa berbincang-bincang di sekeliling api unggun. Masakan kami tergolong parah, nasinya masih berasa beras, sebagian lainnya gosong menjadi intip. Heran deh, dulu sewaktu pramuka di SMP aku selalu berhasil memasak nasi dengan nesting, kenapa sekarang gagal total ya? Akhirnya, supaya lebih enak kami memasak mie goreng, sarden, lalu makan bersama di atas trashbag ditambah taburan abon. Sebelum makan, semua mengambil ancang-ancang, sempat juga menunggu dua teman yang belum kembali-kembali dari ‘air’. Setelah semuanya lengkap, doa bersama, lalu dihitung aba-aba makan, perang makan-pun dimulai^^.

Kegiatan tausiyah dari seorang tetua kami di ARL bada shalat magrib berjamaah di bawah naungan flying sheet, sungguh menentramkan hati. Kami membahas QS. Ar-Rahman: 1-78 dan saling mengingatkan untuk senantiasa bersyukur. Seorang teman juga mengingatkan tentang peran kami sebagai calon arsitek lanskap: untuk menjaga keseimbangan lingkungan, untuk menghormati makhluk hidup lainnya di dalam hutan/gunung, untuk menjaga tata krama dan apa saja etika yang harus diperhatikan ketika naik gunung.

“dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya). Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu. Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu. Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya), di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang, dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS.55:6-13)

Agenda utama api unggun adalah perkenalan tentang KOALA Himaskap dan para pengurusnya. Selesai bercerita tentang KOALA, sebagian orang berdiskusi tentang fieldtrip mahasiswa angkatan baru di ARL, saling sharing sampai larut malam ditemani api unggun, sebagian lainnya sudah tertidur di dalam tenda. Yang putri di tenda dome, yang putra di tenda pramuka. Beberapa bahkan tidur di bawah flying sheet di antara dua tenda putri dengan hanya beralas sleeping bag dan matras. Hal itu membuat kami yang putri merasa lebih aman tidur di dalam tenda .

Esok paginya dingin menggigit. Tidak ada yang berani mengambil wudhu ke mata air, sehingga kami hanya wudhu dari air-air di botol. Itu masih lebih baik khan, dibandingkan ada orang yang takut sama air wudhu... #eh. Jam 6 pagi kami berangkat ke padang edelweiss yang terletak di Tegal Alun. Masih harus mendaki sekitar 1 jam lagi dari tempat kami berkemah. Dua orang tinggal untuk menjaga tenda. Di sini, aku belajar arti rela berkorban, karena aku tidak mau jadi salah seorang yang berkorban untuk tidak melihat padang edelweiss (hehee... maklum, aku belum pernah melihat edelweiss langsung di atas gunung :p). Jalur pendakian pergi dan pulang dari Tegal Alun yang kami lalui berbeda. Jika berangkat kami melalui hutan mati dan jalan setapak berpasir, pulangnya kami melalui parit berbatu yang sangat curam. Sepulang dari padang edelweiss ternyata sarapan sudah hampir siap. Teman kami yang tinggal sudah memasak nasi untuk kami, dan ternyata nasinya lebih enak (anak laki-laki ternyata lebih jago masak, yah??). Selesai masak dan makan bersama dengan metode yang sama seperti sebelumnya, kamipun bersiap-siap packing. Perjalanan pulang lebih cepat setengah jam dari waktu mendaki. Kami tiba di ranger, naik mobil bak lagi sampai di mesjid raya Garut, dilanjutkan naik elf yang sempat menimbulkan sedikit masalah (ini elf memang menguji kesabaran dah..), sampai tiba di terminal bis Bandung tepat di waktu magrib. Perjalanan trip to gunung Papandayan-pun berakhir. Kami ber-28 berkumpul di lobi terminal menanti keberangkatan bis AC menuju Bogor.

Masya Allah, sungguh banyak hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik dalam suatu perjalanan jika memulainya dengan awal yang baik. Seorang teman memberi pesan tentang pentingnya percaya pada pemimpin perjalanan, teman yang lain berpesan untuk selalu menikmati perjalanan betapapun sulitnya, karena perjalanan naik gunung itu dapat diumpamakan seperti mendaki impian kita. Jadi, tetaplah melangkah, dan nikmatilah perjalanan itu. Hikmah yang terpenting adalah, mensyukuri ciptaan Sang Pencipta kita. Menikmati alam berarti menikmati keindahan ciptaan-Nya. Sepantasnyalah kita bersyukur, bertasbih, dan memuji nama-Nya. Sepantasnya pula, iman kita menjadi lebih baik setelahnya. Mudah-mudahan kita semua termasuk ke dalam golongan orang-orang yang mendapat hidayah ya ;)).

Sepulang turun gunung , aku kembali mengaktifkan telepon seluler. Benar saja, telepon kontrol dari rumah masuk. Menanyakan posisiku ada di mana. Kukatakan di terminal bis Bandung, sedang menunggu keberangkatan bis menuju Bogor. Sontak orangtuaku kaget. 
“Bandung? Memang naik gunung di mana?”

“Gunung Papandayan di Garut.”

“Kok, ngga bilang? Dikira naik gunung di Bogor? Kalau taunya di Garut tidak akan diizinkan!!”

Rasanya aku sudah bilang, memangnya belum ya? O-oww.....    

-catatan 7 Oktober 2012-

"Terima kasih untuk banyak hal yang tidak terkatakan. Untuk perhatian, kebersamaan, dan pelajaran yang kalian ajarkan."
(Polaris, 29-09-12)


0 komentar:

Posting Komentar