Tentang Kita Nak (1)

Sabtu, 05 Agustus 2017


4 November 2016

Bada salat Asar, aku bersimpuh lebih lama setelah berdoa di atas sajadah. Itu hari Jumat, hari besarnya umat muslim. Hari itu perasaanku sedikit berkecamuk. Betapa inginnya aku mengikuti AKSI 4/11 di Jakarta yang bagiku seperti panggilan jihad tersebut. Apalah daya, oleh sebab beberapa hal, aku tidak bisa turut serta.

Sore itu, aku berbicara sambil mengelus perut, “Nak, walaupun raga kita tidak ikut ke sana, semangat juang kita jangan pernah sirna ya. Untuk membela agama, untuk berjihad di jalan-Nya.”

Dan aku sungguh tidak tahu bahwa saat itu memang sedang bertumbuh bakal janin dalam rahimku!

***

Sejak awal menikah pada Oktober 2015, hampir setiap bulan aku membeli alat tes kehamilan di apotek. Pernah sekali membeli alat tes kehamilan yang harganya lumayan, Rp 40.000. Mungkin hasilnya lebih akurat, kupikir. Lebih jauh dan tidak logisnya lagi, aku berpikir saat menggunakan alat tes kehamilan mahal ini, mungkin hasilnya bisa ‘garis dua’. Haha.... yang membuat ‘garis dua’ itu kan bukan alatnya, melainkan kadar HCG dalam urin sebagai indikator kehamilan. Yaa siapa tahu karena alat ini harganya mahal, terus aku jadi hamil, wkwk. Well, jangan ditiru yah sodara-sodara, pola pikir lulusan S2 ini yang kalau lagi berharap punya anak, logikanya mendadak hilang tenggelam di dasar bumi. Nyatanya, garis yang muncul saat aku melakukan tes tetap satu. Negatif. Aku pun menghela nafas dan tidak pernah lagi membeli alat tes yang mahal. Bulan-bulan berikutnya, setiap ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan dan ditanya mau yang mana, dengan tegas aku menjawab, “Yang harganya Rp 4.000 saja.”

Selain kebiasaan membeli testpack (alat tes kehamilan) setiap bulan, kebiasaanku yang lainnya adalah mengajak ngobrol perutku di saat-saat tertentu. Terkadang aku berimajinasi bahwa aku sedang hamil, dan mengajak bicara anak dalam kandunganku tentang apa saja. Bagiku realisasi imajinasi adalah salah satu bentuk ikhtiar mewujudkan doa dan harapan. Atau anggap saja aku sedang berlatih cara mengobrol dengan janin dalam kandungan. Padahal berkali-kali yang saat itu sedang aku ajak bicara sesungguhnya adalah baso, tahu, atau nasi goreng di dalam perut!

Aku rasa sudah menjadi hal yang umum terjadi pada setiap pasangan baru menikah jika ditanya perihal momongan. Bulan pertama menikah, tetangga sebelah bertanya, “Sudah isi belum?”... Bulan kedua menikah, keluarga dari pihak istri bertanya, “Sudah isi belum?”... Bulan ketiga, keluarga dari pihak suami giliran bertanya, “Sudah isi belum?”... Dan bulan-bulan berikutnya, setiap orang yang ditemui seolah-olah mendapat giliran pesan berantai untuk menanyakan hal serupa.

Dan aku? Saat suasana hati sedang tenang, aku dengan santai akan menjawab, “Alhamdulillah, tadi baru isi nasi,” atau “sudah isi lontong tadi,” atau “tadi barusan isi risol.” Atau minimal menjawab dengan kalimat normal, seperti “mohon doanya”. Namun, terkadang mendapat pertanyaan demikian juga bisa mencipta baper. Aku pun mengalami pasang surut emosi tersebut. Mulai dari hati yang penuh harap bahwa aku bisa segera hamil, mendadak risih dengan pertanyaan orang-orang, meminta doa dari banyak orang, berpikir apakah aku bisa hamil?, sampai............... sampai sampai aku lupa emosi apa saja yang pernah kurasakan ^^”.

Aku dan suami beberapa kali membahas tentang perlu tidaknya kami mengikuti program hamil, tetapi pada akhirnya kami memutuskan untuk menjalaninya secara alami. Toh, tesisku saat itu belum selesai. Kami baru menikah dan masih banyak adaptasi dalam berbagai hal. Awal-awal menikah juga diriku masih disibukkan oleh beberapa proyek dari konsultan tempatku bekerja. Bagaimanapun, ketenangan hati dan kesehatan fisik diperlukan untuk suksesnya proses pembuahan, bukan?

Aku menyelesaikannya satu per satu. Setelah usai beberapa proyek, aku memutuskan untuk off terlebih dahulu dari dunia perproyekan. Suamiku terus memberikan semangat dan dukungan agar aku segera menyelesaikan studi. Dinamika dalam rumah tangga juga kami coba kelola dengan komunikasi yang baik. Aku terus menanamkan afirmasi positif bahwa semua akan selalu hadir tepat pada waktunya. Toh, Rasulullah Saw dan Khadijah pun baru memiliki anak setelah tiga tahun pernikahan mereka. Sudah sepatutnya aku mampu untuk lebih bersabar, kan?

Akhirnya aku memutuskan untuk sungguh-sungguh menikmati masa berdua. Agar tidak perlu ada keluhan di masa mendatang saat anggota keluarga kami nanti bertambah, lalu aku berkata, “Pengen bisa berduaan lagi deh, sekarang susah sekali mau jalan berduaan kayak dulu.” Pun aku bertekad dan berdoa agar tidak sampai keluar dari lisanku ucapan, “Duh, anak banyak kayak gini repot banget yah, beda sama kayak dulu waktu masih satu.” Nikmati...nikmati...syukuri.... Saat sudah ada anak nanti, pasti akan berbeda dengan saat masih berdua. Saat punya anak dua, tiga, atau empat, pasti berbeda juga dengan saat masih baru punya satu anak. Jadi, aku ingin sungguh-sungguh menikmati setiap fase yang kulalui. Dan diantara semua rasa harap dan cemas akan hadirnya buah hati, aku terdiam saat ayahku mengatakan, “Itu hak prerogatif Allah.” Entah kenapa, kalimat tersebut membuat hatiku begitu tenang. Mengingatkanku kembali bahwa setelah ikhtiar dan doa, kewajiban berikutnya adalah tawakal. Tidak seharusnya aku merasa terlalu cemas ataupun terpengaruh karena pertanyaan dari orang-orang.

***

17 November 2016

Kejutan itu pun datang. Pagi hari selepas suamiku berangkat kerja, aku penasaran ingin melakukan tes, walaupun baru telat dua hari. Jeng... jeng... jeng...!!! Dua garis!!!!! Subhanallah, ini sungguhan? Apa alat testpack-nya valid? Biasanya aku sudah telat seminggu saja hasilnya tetap satu garis. Masih dalam rasa tidak percaya, aku mengulangi tes. Hasilnya sama, dua garis. Dengan mata nyaris tak berkedip dan hati yang mulai meletup-letup takjub, aku pun mengucap hamdalah. “Alhamdulillah.... Alhamdulillah.... Alhamdulillah....”

Aku mengirimkan foto hasil tes ke suami melalui whatsapp tanpa penjelasan apapun. Penasaran mengetahui reaksinya. Satu menit, dua menit, kok tidak direspon? Padahal sudah dibaca, hmmm... Menit ketiga, teleponku berdering. Suara suamiku terdengar serak di ujung sana. “Neng? Neng hamil?”

Aku mengangguk. Lupa bahwa itu telepon, bukan video call. Buru-buru aku ralat, “Iya A, alhamdulillah.”

Dan suamiku mengucap hamdalah berkali-kali. Mengatakan ingin menangis, tetapi malu karena sedang berada di dalam kereta. Itu pertama kalinya suamiku berbicara di telepon dengan begitu ekspresif. Aku yang tadinya tidak terpikir untuk menangis, jadi ikutan menangis karena mendengar suamiku ingin menangis. Dan akhirnya aku pun menangis, sambil tersenyum. Haduh, apa sih ini bolak-balik gini kalimatnya >D<....

Hari itu, aku pun periksa kehamilan di bidan untuk pertama kalinya. Bu bidan meyakinkanku bahwa hasil tes-ku memang positif dengan usia kehamilan kurang lebih empat minggu. Beliau menanyakan kondisiku, menyemangatiku untuk bersiap-siap jika terjadi perubahan fisik dan psikis, dan memberiku selamat atas kehamilan pertamaku. Alhamdulillah, ternyata tanda cinta itu datang, tepat satu tahun pernikahan kami. Dan tepat setelah aku menyelesaikan revisi tesis pasca sidang di bulan lalu.

Awalnya kupikir aku tidak akan merasakan mual dan muntah, seperti diwanti-wanti oleh bidan. Ternyata aku mengalami masa-masa tersebut. Memasuki bulan kedua kehamilan, aku mulai merasakan mual. Bukan di pagi hari seperti teori umum bercerita (morning sick), melainkan siang sampai sore. Terkadang, sepanjang hari juga sih mualnya, tetapi dalam kadar yang ringan.

Sempat mual mencium bau ikan dan bau-bau tajam lainnya juga. Sempat kesulitan untuk mencuci piring, karena tidak tahan oleh bau piring kotor. Alhamdulillah, suami beberapa kali dengan sigap mengambil alih tugasku. Beberapa kali juga muntah selama trimester pertama tersebut, apalagi kalau mencium bau asap kendaraan di jalan. Setiap pagi aku menjadi sebal sama orang-orang yang berangkat kerja atau sekolah dengan kendaraan bermotor dan asapnya tercium hingga ke kamar. Suami pun menjadi korban mualnya istri saat pulang kerja. Maklum, sepanjang perjalanan pergi-pulang kantor, pasti banyak asap dan debu yang menempel. Alhasil saat aku mencium tangan suami, bereaksi-lah hormon-hormon mualnya, hehe.


Kontrol hamilku berganti-ganti antara bidan dan dokter. Saat ada suami yang bisa mendampingi, aku kontrol ke dokter di rumah sakit. Bisa sekalian USG juga. Kalau sedang sendiri, aku cukup kontrol ke bidan saja, haha. Hemat. Urusan hemat perhematan ini sempat menjadi dinamika rumah tangga juga selama proses kehamilan, khususnya dalam memutuskan tempat persalinan nanti. Tunggu ya, aku akan menceritakannya di episode berikutnya, insyaallah.

Cerita seru selama trimester awal kehamilan ini adalah saat aku masih harus bolak-balik kampus mengurus perbanyakan tesis dan daftar wisuda. Aku juga harus mengurus pengembalian biaya SPP semester ganjil yang sudah sempat kubayarkan sebelumnya karena jadwal sidangku yang sudah masuk semester baru. Lumayan bisa kembali 30%. Itu harus diperjuangkan. Namun, apalah daya sebab mualku kian hari kian bertambah. Aku tidak bisa setiap hari ke kampus. Akhirnya menyelesaikan segala tetek bengek administrasi pun berjalan lebih lambat dari yang seharusnya. Saat petugas TU Pascasarjana IPB melihat tanda pengambilan berkasku, ia pun heran.

“Kok baru diambil sekarang, Mbak?”

“Lagi hamil muda, Pak. Mual-mual saya.”

Mimik wajah si bapak yang awalnya agak jengah, seolah berkata ‘Males gue ngurusin mahasiswa yang lambat ngurus administrasi’ berubah menjadi sumringah, dan sambil tersenyum mengucapkan selamat padaku. Masih ditambah pula dengan sedikit ramah tamah menanyakan kondisi kehamilanku dan asal daerahku darimana, wkwk. Jadi ramah banget pokoknya! Bersyukurnya tinggal dengan budaya timur itu adalah fakta ibu hamil selalu bisa menjadi alasan dan dispensasi untuk banyak hal :p...

Contoh lainnya adalah saat naik kereta commuter Jadebotabek. Kondisi hamil muda tentunya belum terlalu kelihatan seperti orang hamil, karena perutnya belum membesar. Namun, setiap kali aku harus naik kereta, suamiku akan mengajakku ke arah kursi prioritas dan meminta penumpang yang kurang berhak untuk memberikan kursinya padaku. Jikapun aku harus naik kereta sendiri (tanpa suami), aku pun akan mengatakan bahwa aku sedang hamil. Untuk berjaga-jaga, aku selalu membawa buku rekam medik kehamilan kemana-mana. Supaya kalau ada oknum penumpang yang tidak percaya tentang kehamilanku, aku akan langsung mengeluarkan buku tersebut agar mereka paham bahwa ‘Nih, gue beneran hamil!’ wkwk... Tapi alhamdulillah sih, penumpang selalu percaya. Jadi aku tidak perlu sampai mengeluarkan buku rekam medik kehamilan, hhe.

Poin penting saat di tempat publik seperti kereta adalah kita harus mengatakan dan meminta dengan jelas hal yang kita butuhkan. Jangan selalu berharap bahwa orang-orang di sekitar kita harus paham dengan kode-kode yang kita berikan, seperti memaju-majukan perut (supaya orang tahu kita sedang hamil), atau misalnya pura-pura mual (tapi kalau aku memang mual sungguhan sih ^^”). Katakan dengan jelas, “Permisi, boleh gantian duduknya? Saya sedang hamil.” Urusan orangnya percaya atau tidak, bukan tanggung jawab kita.

Cara menyiasati lainnya adalah dengan naik ke gerbong campuran. Kalau sedang hamil, sebisa mungkin hindari naik kereta khusus wanita di jam-jam sibuk. Persaingan antar-wanita itu bisa lebih kejam daripada soal ujian nasional!!! Lagipula, kursi prioritas di gerbong wanita biasanya cepat penuh dengan orang-orang yang memang prioritas, seperti para lansia. Jadi, aku selalu memilih gerbong campuran dan mencari kursi prioritas yang isinya ‘tidak prioritas’. Kalau kondisi di gerbong sedang sulit karena terlalu penuh atau penumpangnya pada tidur semua (haha, ini lebay sih,,,), cara jitu terakhir adalah dengan mencari petugas dan meminta tolong, wkwk.

It’s really happy moment to be a pregnant woman. Alhamdulillah.... :D

Nantikan cerita berikutnya yah ^.^  



-to be continued-

sumber gambar:
1. soloraya.net/mendorong-keberfungsian-kelas-ibu-hamil/kartun-ibu-hamil-muslimah/
2. https://www.brilio.net/life/13-ilustrasi-ini-ungkap-suka-duka-jadi-ibu-hamil-jangan-durhaka-ya-1603026.html