Dia

Selasa, 04 Oktober 2016

Dieng, 2013

Pagiku berganti lagi

Ditelusup cahaya menembus tirai

Beramai kicau burung sahut-menyahut

Aku ingin berlari dengannya

Mengejar hujan sampai pelangi

Dibalut mimpi untuk selalu bersamanya

Pada bulan baru yang dikatakan sunnah untuk bercinta

Bahkan tembikar di rumahku pun tertawa

Melihatku merengek manja

Hingga melepasnya membuatku biasa

Dan meskipun esok kan terjadi lagi

Aku ingin pagi yang menyejukkan mengerti

Rindu itu selalu ada

Setiap hari


-POLARIS-
Bogor, 12 Juli 2016

Saatnya Lebaran, Saatnya Kondangan :p

sumber gambar: katakata.me

Suasana lebaran di negeri ini, biasanya tidak jauh-jauh dari suasana hajatan dan memenuhi undangan walimahan kawan, rekan, ataupun sanak-saudara. Bulan Syawal (lebaran Idul Fitri) yang lalu ramai rasanya undangan datang silih berganti. Memasuki Bulan Dzulhijah (lebaran Idul Adha) sampai tahun baru di Bulan Muharam sekarang, masih berduyun-duyun undangan datang melalui bentuk tercetak ataupun pesan elektronik.

Seharusnya aku juga tidak boleh lupa bahwa tahun lalu aku pun menikah di bulan “musim nikah”, wkwk... Aku menikah di penghujung Bulan Dzulhijah. Dan sekarang sudah masuk tahun baru lagi di Bulan Muharam. Baru kusadari kembali saat tadi pagi berpapasan dengan pawai tahun baru Hijriyah yang disemarakkan oleh anak-anak sekolah dengan berkeliling jalan dan komplek, membawa poster sambil membagikan permen, serta memainkan musik dan bunyi-bunyian sepanjang perjalanan. Iring-iringan pawai yang kutaksir mencapai panjang satu kilometer. Seingatku, tahun lalu aku menyaksikan pawai yang begitu ramai di sepanjang jalan lingkar Kebun Raya Bogor setelah aku menikah pada 10 Oktober. Kenapa sekarang sudah pawai lagi yah, padahal belum waktunya anniversary?

“Ukuran tahun Hijriyah ‘kan lebih pendek dari tahun Masehi, duduuuul....” otak bagian logika-ku berkomentar sebal.

Oh iya, benar juga. 

Well, senang sekali rasanya bisa berpapasan dengan pawai tahun baru hari ini. Seperti sedang menonton pertunjukan yang tidak kurencanakan sebelumnya. Seperti tahun lalu yang tidak kusangka-sangka. Suamiku jatuh sakit selepas acara pernikahan, sehingga rencana jalan-jalan bulan madu kami ke luar kota pun batal. Namun, dalam sakitnya ia tetap memaksakan diri mengajakku berkeliling kota. Walaupun itu hanya mengunjungi stasiun dan makan bersama di kafe, tetapi nyatanya aku beroleh gembira lebih dari yang kukira. Aku bisa menyaksikan pawai kolosal yang begitu seru di jalan. Aku bisa menikmati hujan sambil ditemani sup panas dalam temaram lilin yang romantis. Dan... aku jadi berharap bahwa aku bisa menyaksikan pawai seperti ini setiap tahun. Pawai Tahun Baru Islam. Pengingat bahwa aku harus memulai segalanya dengan penuh syukur. Pengingat bahwa aku harus memulai kembali berkarya dan menebar sebanyak-banyaknya manfaat. Pengingat bahwa aku telah memulai untuk memberikan baktiku pada seseorang yang disebut suami, hehe....

***

Baiklah, di episode kali ini, aku ingin bercerita tentang salah satu undangan pernikahan yang kuhadiri beberapa waktu lalu bersama suamiku. Pernikahan dua orang teman SMA yang proses perjalanannya unik. Kita sebut saja mereka sebagai Dono dan Manda. Dono adalah temanku dari SMP-SMA, satu organisasi di Rohis, dan pernah satu tempat les bahasa Inggris juga saat SMP. Manda baru kukenal saat bertemu di SMA, satu organisasi juga di Rohis, dan satu tempat bimbingan belajar saat kelas 3 SMA.

Proses perjalanan mereka menuju pernikahan membuatku begitu penasaran, karena aku cukup dekat dengan keduanya saat masa sekolah dulu. Aku dan sahabatku, Irma, sering sekali membicarakan Dono sejak SMP kala kami membahas tentang dinamika organisasi sekolah ataupun tentang ragam uniknya teman-teman kami. Dan tidak pernah nama Dono tidak disebut dalam setiap obrolan. Bagi kami, Dono adalah teman yang paling kami apresiasi tinggi atas “catatan bersih”-nya dalam pergaulan. Saat SMP dan banyak dari teman kami di Rohis terjerat ‘virus merah jambu’ dan mengekspresikan masa puber dengan saling memberi perhatian pada lawan jenis, menolak untuk berpacaran tetapi menjalani HTS (hubungan tanpa status), ataupun mengatakan hanya berteman tetapi sering terlihat jalan bersama berdua, Dono adalah satu-satunya anggota Rohis laki-laki yang tidak kami kirimkan surat kaleng. Yup, dalam kepengurusan Irma sebagai ketua keputrian saat itu dan aku sebagai penasihat bayangannya (haha... beneran, dulu itu jabatanku ^^”), kami berdua memutuskan untuk menuliskan surat kaleng yang kami kirimkan diam-diam sebagai bentuk peringatan dan kepedulian kami kepada saudara-saudara kami di Rohis. Hampir seluruh pengurus Rohis laki-laki dalam kepengurusan kami saat itu mendapatkan surat kaleng tersebut, kecuali Dono. Aku lupa bagaimana Dono sampai bisa memiliki catatan paling bersih dalam catatanku dan Irma, padahal perilakunya di kelas tak jarang membuat kami berdua sebal. Namun, selain pintar dan rajin, Dono memang ringan tangan untuk membantu teman, tidak pernah menyontek saat ujian, dan tidak pernah sekalipun pacaran.

Rupanya saat masuk SMA, Dono jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu Manda, alumni SMP sebelah. Aku baru tahu menjelang pernikahan mereka, bahwa sebagai remaja, Dono juga pernah melakukan seperti kebanyakan remaja yang jatuh cinta lainnya, pedekate. Dono sering mengirimkan pesan singkat pada Manda sebagai ekspresi perasaannya, walaupun tidak secara langsung. Sahabat Manda, kita panggil saja Aisha, melihat itu seperti sebuah kode. Aisha pun mengomeli Dono untuk lebih menjaga sikap. Dan, perilakunya itu tidak tertangkap oleh rekam jejak aku dan Irma, haha. Bagi kami berdua, ia tetaplah teman satu pemahaman yang sangat kami hargai atas keteguhannya dalam menjaga hati.

Saat lulus SMA, Dono dan Manda berada pada fakultas yang berbeda (saat SMA juga sudah beda jurusan sih ^^”), tetapi mereka masih berada pada universitas yang sama. Selama empat tahun kuliah, Dono tidak berkutat pada perasaan yang sempat menyapanya semasa SMA itu, bahkan mungkin ia sempat lupa dan tidak lagi memikirkan Manda karena padatnya aktivitas, perkuliahan, dan tugas-tugas. Barulah setelah lulus sarjana, ia mulai menata kembali rencana masa depan dan memikirkan perkara pendamping hidup. Dono mengajak Manda untuk berproses ke arah yang serius. Manda menolak. Ia belum berencana untuk menikah saat itu, alasannya.

Dono pun pergi ke Edinburg untuk melanjutkan studi program magister. Selama di sana, ia masih berusaha  untuk menghubungi Manda, dan mencoba kembali untuk meluluhkan hati Manda agar besedia berproses untuk menikah dengannya. Rencana Dono adalah Manda bersedia untuk berproses jarak jauh, sehingga saat ia kembali ke Indonesia, mereka tinggal melangsungkan acara pernikahan. Apalah mau dikata, takdir selalu mengajarkan bahwa kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Komunikasi diantara mereka tidak berjalan mulus. Dono merasa ‘digantung’, sedangkan Manda berpikir tidak ada kejelasan dan kepastian dari komunikasi yang mereka jalani. Untuk kedua kalinya, Dono merasa bahwa Manda menolaknya.  

Aku membayangkan kisah Dono yang mirip dengan Arai. Ditolak dan diabaikan oleh Zakiah Nurmala berkali-kali. Terdampar di benua Eropa, lalu membacakan puisi untuk Zakiah dan mengungkapkan segala resah rindunya dalam penghayatan yang begitu dalam di hadapan orang-orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia, hehe... 

Sayangnya, hal tersebut hanya ada dalam bayangan hiperbola-ku. Dono bukan tipe orang galau yang suka mendramatisasi perasaan. Ia menyelesaikan studinya tepat waktu, pulang ke Indonesia, dan mencoba memperjuangkan Manda kembali. Salah seorang sahabat Manda mencoba menjembatani mereka, hingga akhirnya mereka memulai proses ke arah serius dengan murabbi mereka sebagai perantara-nya. Di tengah jalan, Dono menghentikan proses. Ada hal tertentu yang dirasa tidak sesuai dengannya. Mereka pun kembali berjalan sendiri-sendiri.

Dono sempat hendak berproses dengan yang lain, begitu pula dengan Manda. Tidak ada yang cocok. Dan sekali lagi, begitulah takdir berbicara. Sejauh apapun kita melangkah, sebanyak apapun jarak memisahkan, orang-orang yang ditakdirkan bersama, pasti akan bertemu kembali. Dan untuk kesekian kalinya, setelah meminta maaf berkali-kail, Dono memohon kembali untuk berproses serius dengan Manda. Perjuangannya kali ini berbuah manis. Manda telah menjadi istrinya, kini.

***

Aku mengingat beberapa petuah tentang layaknya rasa suka dan perjuangan akan cinta. Salah satu orangtua ideologisku yang biasa kupanggil dengan sebutan Pa’e, selalu berkata untuk

“Jangan menyerah sebelum ditolak 21 kali!”

Fitrahnya laki-laki adalah untuk mengejar dan memperjuangkan. Kisah Dono dan Manda menjadi bukti nyata yang kurasakan langsung dari mereka yang pernah berinteraksi dekat denganku. Dono tidak menyerah dan berputus asa, walaupun Manda pernah menolaknya. Dan begitulah seharusnya mental pejuang! Tunjukkan kesungguhan dengan tidak mudah menyerah, sebelum ditolak 21 kali, hehe... Kalau ingin tahu kenapa harus 21 kali, ikut pelatihan Forum Indonesia Muda dulu, kuy! Nanti dikasih tahu langsung rumusnya oleh Pa’e ^.^....

Teringat pula olehku tentang sekian banyak quotes milik Tere Liye yang sering mengangkat urusan perasaan dan rasa suka yang umumnya tumbuh di kalangan remaja. Tentang bahwa sejatinya cinta itu bukan dengan mengumbar-umbar, mengatakan, atau memamerkannya kepada yang bersangkutan yang belum ada ikatan apa-apa dengannya. Yang membuat rasa suka itu berubah hambar, semakin sering ia menunjukkannya. Yang membuat diri sendiri bertanya-tanya, apakah benar sebesar itu rasa suka yang dimilikinya terhadap orang yang bersangkutan. Urusan rasa, jika tidak ditempatkan pada yang seharusnya, tidak akan membawa keberkahan apa-apa. Alih-alih malah membuat Yang Maha Mencinta menjadi tidak ridho pada ekspresi rasa yang kita tuangkan, naudzubillah kan jadinya.

Dono pernah memiliki rasa suka saat remaja. Ia, seperti kebanyakan para pecinta lainnya, juga mengekspresikan rasa sukanya pada yang dicinta. Namun, tidak berlebihan. Tidak diumbar hingga dunia tahu bahwa ia sedang menyukai seorang wanita. Tidak juga menyakiti harga diri yang disuka dengan mengajaknya kepada hal yang tidak Allah suka. Begitu pula sang wanita yang senantiasa menjaga diri dan hatinya, yang tidak mudah luluh pada perhatian dan kebaikan lelaki di sekitarnya, yang menyimpan kekayaan cintanya untuk dicurahkan pada saat yang seharusnya. Sehingga kesabaran mereka berbuah indah pada akhirnya. 

Dan....

Dari semua rasa takjub, kaget, bercampur senang yang kurasakan saat mendengar kabar bahagia kedua teman sekolahku tersebut, hal pertama yang aku ingat adalah kalimat yang pernah disampaikan oleh calon suamiku saat kami berproses dahulu. Kalimat yang menguatkanku bahwa ia bersungguh-sungguh terhadap niatan baiknya. Kalimat yang sekaligus membuatku tenang dan kembali mantap untuk berjuang bersamanya menuju ikatan suci, dan terus berjuang seterusnya di dalam ikatan ini. Tentang perjuangan, bahwa

"Kesungguhan hati seorang pria itu tidak bisa dilihat dari seberapa kuat ia mengejar seorang wanita. Tapi itu bisa terlihat dari seberapa kuat ia menjaga perasaannya agar tetap suci sampai saatnya halal tiba, kemudian ia lampiaskan perasaannya dengan bahagia tak terperi pada wanita yang Allah tunjukkan padanya."
(Yogaswara, 2015)

Akhir kata, barakallah untuk semua pasangan yang menikah pada bulan-bulan musim nikah ini, hehe.... Spesial untuk Manda, selamat yaa... telah menjadi istri seorang Dono yang begitu kuat dalam menjaga hati dan akhlaknya lurus sesuai ajaran-ajaran kewarganegaraan dan budi pekerti ibu pertiwi. Juga untuk Dono, selamat telah berhasil memperjuangkan cintanya pada koridor yang sewajarnya. Mendapatkan Manda yang cantik nan sholihah sebagai teman perjuangan dakwah dan penenteram jiwa dunia akhirat, insyaa Allah. Semoga keluarga kalian senantiasa berlimpah kebaikan dan keberkahan. Barakallahulaka wabaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fii khaiir....

***

SYUKUR DAN CINTA (3). Yang jauh itu dekat

Jumat, 17 Juni 2016




Jika biasanya sebuah kisah nyata dituliskan ke dalam bentuk cerita, novel, atau film, apakah namanya jika sebuah cerpen berubah wujud menjadi kenyataan? Berkebalikan dari yang umumnya terjadi. Sang penulis bukanlah peramal atau cenayang. Namun, hal yang harus dihadapinya dalam dunia nyata menjadi mirip dengan cerita yang pernah ditulisnya dahulu.

***

“Tak bisakah kau menutupi sedikit saja rasa beratmu dan melepasku dengan senyuman?”

Kalimat tersebut merupakan pembuka  cerpen yang pernah kutulis dua tahun silam. Cerpen berjudul Gadisku yang kutulis untuk komunitas Writinc dan diterbitkan dalam bentuk e-book. Cerpen ini terinspirasi dari salah satu lagu Michael Learns To Rock berjudul Love Will Never Lie.

Tokohnya bernama Fay dan Anisa. Mereka teman satu akademi selama empat tahun, lalu teman satu pekerjaan selama tiga tahun berikutnya, sebelum Fay  akhirnya pindah bekerja di tempat yang berbeda. Fay orang yang populer dan humanis. Tinggi, putih, tampan, cerdas, dan tentu saja digemari banyak orang. Suka iseng dan sedikit menyebalkan, karena hobinya meledek  teman-temannya yang nilai pelajarannya lebih rendah dari dirinya, termasuk Anisa.

Anisa seorang yang kalem dan anggun. Sejak awal perkenalan sudah membuat tertarik hati Fay karena Anisa berbeda dari wanita kebanyakan. Tidak banyak bicara. Tidak acuh pada tingkah iseng Fay, termasuk pada popularitas atau ketampanannya. Fay berusaha merebut perhatian Anisa dengan berbuat baik dan memberikan perhatian. Namun, Anisa tetap dingin dan tidak juga bicara, selain mengucapkan kata “terima kasih” sebagai respon terhadap kebaikan dari Fay. Anisa akan bicara agak banyak hanya jika Fay mengusiknya saat belajar. 

“Sebaiknya gunakan energi sombongmu itu untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan dengan menumpahkannya di meja belajarku.” 

Lima belas kata itulah yang membuat Fay bahagia dibandingkan perhatiannya yang tidak diacuhkan. Baginya, pelototan gadis yang disukainya merupakan tatapan yang meneduhkan. Fay terus mengejar Anisa selama sepuluh tahun. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk mempersunting gadisnya, justru saat ia tengah bergelut pada pekerjaan penuh risiko. Fay sudah bersiap untuk ditolak, toh selama ini pun ia selalu diabaikan. Namun sebaliknya, Anisa menerima lamaran Fay. Sepaket dengan risiko dari pekerjaan yang digeluti Fay saat ini.

Pekerjaan Fay adalah jenis pekerjaan yang tidak memiliki ketetapan waktu dan tempat, serta tidak ada jaminan pulang dengan selamat. Harus selalu siap sedia dikirim ke tempat yang tak jarang langka sinyal, sehingga sang istri tidak bisa mendapatkan kabar. Pernah sekali waktu Anisa sakit parah karena kehilangan kontak dengan Fay. Akhirnya saat pulang, Fay meminta Anisa untuk berhenti menghubunginya. Fay yang akan menghubunginya lebih dulu. Jika merindu, cukup tulis surat yang disimpannya di kotak di atas meja makan. Fay akan membacanya saat pulang. Begitu terus berjalan. Saling mencinta, menjaga, dan merindu dalam harap dan cemas.

Cerita lengkap cerpen Gadisku dan cerpen-cerpen lainnya yang bertema lagu dan ditulis oleh komunitas Writinc 3.0 dapat diunduh pada link dropbox berikut E-writinc #7 . 

Itu cerita Fay dan Anisa.

Tentu berbeda dengan cerita Gugi dan Najmi. 

Gugi bukan Fay. Namun, jika kubaca kembali cerita yang kutulis, Fay memiliki kemiripan karakter dengan kekasihku itu. Agak songong, suka sekali iseng dan meledek, juga populer. Aku menulis cerita Gadisku dua tahun silam. Sebulan sebelum aku mulai berpartner kembali dengan Gugi di kantor konsultan tempat kami bekerja bersama dulu. Padahal aku tidak sedang memikirkannya saat itu, apalagi menjadikannya inspirasi. Lalu bagaimana karakter mereka bisa mirip?

Aku juga bukan Anisa. Dan jika kubaca kembali cerita yang pernah kutulis, memang tidak ada satu pun karakter Anisa yang mirip denganku. Anisa kalem dan anggun, aku sebaliknya. Anisa sangat lembut perangainya, aku sebaliknya. Anisa senang belajar, aku lebih sering tertidur saat perkuliahan. Meskipun kuyakin aku lebih cerdas dari Anisa dan nilai-nilaiku juga lebih tinggi, tetapi karakterku tidak mirip dengannya. Lalu dimana kaitannya?

Perasaan.

Setelah menikah, aku justru lebih bisa merasakan emosi dari karakter yang pernah kutulis dalam cerpen tersebut. Menghadapi jenis pekerjaan kekasihku kini, mengingatkanku pada jenis pekerjaan yang juga digeluti oleh Fay dalam Gadisku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan memiliki partner kerja yang menjadi partner hidupku selanjutnya. Partner yang kemudian berpindah kerja ke tempat yang menugaskannya pada pekerjaan yang lebih berisiko. Bepergian ke luar daerah hampir tiap pekan. Bertugas di daerah risiko tinggi dan tidak ada sinyal.

Aku tidak menuliskan secara detail tentang pekerjaan Fay dalam Gadisku. Aku hanya membayangkan bahwa Fay mungkin bekerja untuk sebuah NGO atau semacam lembaga kemanusiaan. Atau biarlah pembaca yang menentukannya sendiri. Dan aku baru tahu bahwa ada jenis pekerjaan bernama “auditor” yang mirip gambaran kerjanya dengan risiko pekerjaan yang dimiliki oleh Fay. Meskipun berasal dari perusahaan besar yang memiliki jaminan lebih baik untuk keamanan dan keselamatan, tidak pernah ada yang tahu takdir apa yang harus kita hadapi esok hari, bukan?

Pada musim hujan, kekasihku harus pergi audit ke perusahaan minyak asing di tengah laut Jawa, tidak lama setelah ia bercerita tentang kasus meledaknya galangan minyak lepas pantai dari perusahaan minyak asal Inggris di Teluk Meksiko lima tahun silam. Pernah juga ia ditugaskan berangkat ke Kalimantan, tidak lama setelah di kantor ada kabar duka tentang salah satu karyawan yang mengalami kecelakaan, diserang oleh buaya rawa, pada pulau yang sama.

Aku merasa mengerti perasaan Anisa yang berat tiap kali ditinggal pergi Fay untuk bekerja. Sama hal nya ketika aku tidak bisa menghubungi kekasihku melalu pesan singkat ataupun telepon karena tidak ada sinyal. Kali kedua kekasihku pergi ke laut lepas, aku tidak lagi berusaha menghubunginya. Mendengar nada tidak aktif dari selularnya hanya membuat khawatirku bertambah-tambah. Akhirnya aku menuggu, seperti Anisa, biarkan ia yang menghubungiku lebih dulu. Membuatku bersyukur dan lega bukan kepalang demi membaca pesan singkat yang dikirimkannya dari telepon selular rekan kerja yang mendapat sinyal lebih baik. Isinya hanya dua kalimat. Neng, aa baik-baik aja di sini. Neng sehat?

***

Teringat salah satu diskusi dengan teman hidupku yang membicarakan tentang hukum fisika yang disebut juga dengan hukum cinta. Entahlah, katanya begitu yang disampaikan oleh guru fisikanya dulu. Namanya Hukum Faraday, disebut juga dengan hukum cinta. Aku tidak pernah piawai pada hal-hal berbau fisika, walaupun banyak orang mengatakan fisika itu lebih mudah dan lebih logis dari biologi. Tetap saja aku lebih mudah mengerti biologi daripada fisika. Urusan Hukum Newton dan Hukum Relativitas Einstein saja masih suka tertukar, apalagi jika ditanya tentang perbedaan teori, hukum, dan postulat.

Baiklah, kembali ke hukum cinta. Aku tertarik mendengarnya karena pelajaran fisika ini terkesan ada unsur-unsur sastra-nya. Gugi mengatakan bahwa gaya merupakan cinta. Ia dapat berbentuk tarik-menarik atau pun tolak-menolak. Kekuatan gaya, yang juga dimaksud sebagai kekuatan cinta, berbanding lurus dengan jumlah muatan-muatannya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang memisahkan kedua muatan tersebut. Ketika analogi ini dimasukkan dalam perumpamaan sepasang manusia yang saling mencinta, rasanya aku begitu mudah mencernanya. Benar juga, dua orang yang saling mengenal akan semakin kuat ikatan yang mereka rasakan apabila bertemu. Artinya jarak mereka dekat. Jika perasaan yang ada di tiap orang kuat, akan semakin kuat pula kekuatan ikatan di antara mereka.

Apakah benar begitu? Lalu mengapa saat jarak itu semakin jauh, gaya tarik-menariknnya justru membesar? Mengapa rasa rindu justru membuncah saat jarak berjauhan? Bukankah rindu itu gaya?

“Ketika jarak membesar, muatan yang terkandung di tiap elemen juga membesar,” jawab Gugi. Itu yang menyebabkan gaya tarik-menariknya tetap besar, atau bahkan membesar dan membentuk rindu. Ada penyesuaian jumlah besaran pada setiap elemennya. Muatan dan jarak dapat berubah-ubah. Yang tetap adalah konstanta. Konstanta dapat diartikan sebagai lingkungan, yakni keberadaan sanak keluarga, kerabat, tetangga, atau teman. Begini rumusnya.



F merupakan kekuatan ikatan atau cinta, q1 dan q2 adalah muatan cinta yang ada di masing-masing orang, r2 adalah jarak antara kedua orang tersebut, dan k adalah lingkungan. Hmm... rasanya rumus ini menjadi begitu mudah untuk diingat. Mengapa tidak dari dulu saja aku menggunakan analogi ini?

Hmm... setelah itu aku mencoba berselancar di internet untuk mencari tahu lebih jauh tentang bunyi hukumnya yang asli. Ternyata rumus tersebut bukan Hukum Faraday, tetapi Hukum Coulomb, haha. Ya sudahlah, apapun namanya, aku sekarang menyebutnya hukum cinta. Begini bunyi aslinya hukum cinta, eh... maksudnya Hukum Coulomb.

“Gaya  tarik menarik atau gaya tolak menolak antara dua muatan listrik sebanding dengan muatan-muatannya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang memisahkan kedua muatan tersebut.” (Hukum Coulomb)


F = gaya tarik manarik/tolak menolak (newton)
q = muatan listrik (coulomb)
r = jarak antara kedua muatan
k = konstanta = 1/4πεo = 9 x 109 N.m2/C2
εo = permitivitas listrik dalam ruang hampa/udara = 8,85 x 10-12 C2/Nm2

Aku termasuk tipe orang yang tidak menyukai hubungan jarak jauh atau yang biasa disebut orang LDR. Sekarang tampaknya mulai populer juga istilah LDM a.k.a long distance marriage. Aku sudah pernah menyampaikan hal ini pada kekasihku. Ia paham, karena ia pun memiliki prinsip yang sama denganku. Tidak suka berjauhan. Meskipun kami tidak termasuk dalam kategori LDM, sering berjauhan tetap saja menjadi kondisi yang tidak menyenangkan. Jika sudah begitu, ia akan mengeluarkan jurus pamungkasnya yang berasal dari QS. Al-Baqarah ayat 216.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” 
(QS.2:216)

Kami menyadari bahwa yang perlu kami lakukan hanyalah menguatkan keyakinan dan berpasrah kepada-Nya. Kala jarak kami jauh, kami hanya perlu memperbesar muatan dan doa dalam diri kami, sehingga hati kami tetap terasa dekat. Dan kala jarak kami dekat, kami hanya perlu bersyukur bahwa nikmat bersama itu masih kami miliki.

***

Yang jauh itu dekat. Begitulah tiap kali aku berpikir tentang kematian dan perpisahan. Bahwa kita menjalani hidup menuju mati. Bahwa menikmati sebuah pertemuan adalah untuk menuju perpisahan. Saat ada awal, maka disana telah ditetapkan akhir. Maka iman-lah yang membuat kita yakin bahwa setelah akhir dan berpisah, ada saat pertemuan kembali yang juga merupakan niscaya.

Jadi kekasih, cukuplah kita senantiasa bersyukur untuk tiap detik kebersamaan yang kita miliki. Cukuplah kita mengingat jikalau emosi sedang menguasai diri, kita tidak memiliki waktu untuk marah, karena kita harus saling mencintai. Kurasa kalimat tersebut lebih cocok kuarahkan untuk diri sendiri yang seringkali meluapkan cemas dalam bentuk amarah. Mohon bukakan pintu maafmu untukku yah, atas segala perilaku yang mungkin tidak membuatmu nyaman. Terima kasih karena engkau telah bekerja keras.

Di sini, aku selalu menunggumu pulang.  

***


SYUKUR DAN CINTA (2). Yang sedikit itu banyak

Kamis, 25 Februari 2016



“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 155)

Aku pernah mendapatkan kalimat bahwa tabiat dasar manusia adalah tergesa-gesa dan senang berkeluh kesah. Kurasa itu benar. Namun, Islam juga selalu siap dengan solusinya. Karena itulah setiap hari kita dianjurkan untuk bermuhasabah. Untuk merenung dan memohon ampun pada setiap salah. Untuk memaafkan mereka yang hari itu membuat hati kesal dan resah. Untuk tidak terburu-buru pada setiap cita dan mimpi sehingga kita tidak pernah menyerah. Untuk selalu bersyukur pada  yang kita dapatkan sedikit maupun banyaknya yang tercurah.

Sampai akhirnya kita menyadari bahwa Allah Yang Maha Pemberi telah menganugerahkan begitu banyak untuk kita. Semua yang kecil tampak menjadi besar. Semua yang sedikit tampak begitu banyak. Karena begitulah konsep rasa syukur bekerja. Ia membuat menusia tidak pernah merasa kekurangan. Menghargai setiap yang ada. Mensyukuri segala yang diterima.

***

Sebuah kejadian heboh sempat kualami dalam perjalanan pulang pada malam hari dari Bandung ke Bogor bersama seorang teman. Belum lima kilo mobil kami berlalu di jalan tol, tiba-tiba jarum indikator panas mobil memberi sinyal bahwa mobil kepanasan. Mobil pun segera menepi begitu menemukan tempat peristirahatan pertama. Saat memeriksa mesin, mengertilah kami sebab yang terjadi. Tutup air radiator mobil hilang!

Berbagai solusi coba kami pikirkan, mulai dari mencari alternatif tutup, menelepon bengkel, hingga memanggil layanan derek. Ketika akhirnya tutup pengganti sudah didapatkan, mobil tidak juga bisa mengebut dengan normal akibat panas yang terjadi sebelumnya. Kami pun mengendarai mobil pelan-pelan. Saat jarum indikator panas sudah menunjukkan kode mengkhawatirkan, kami lekas-lekas menepi ke pinggir tol dan berdiam sampai suhu mobil normal kembali. Setelah mobil lebih dingin, kami berjalan lagi. Tetap pelan-pelan. Sampai kami tiba di rumah.

Perjalanan Bandung-Bogor kami lalui selama hampir 9 jam. Padahal jalanan tidak dalam keadaan macet waktu itu. Normalnya waktu perjalanan adalah 2-3 jam. Tak kusangka, sebuah tutup radiator yang begitu kecil sangat besar nilainya. Membuat kami bolak-balik mengambil air di toilet, mencari-cari kayu dan kawat di tengah kebun gelap (padahal sekitarnya sih terang, kebunnya doang yang gelap haha..), berurusan dengan petugas keamanan, berurusan dengan petugas mobil derek, hingga bermalam di tepi jalan tol. Aku diingatkan betapa kita tidak boleh meremehkan hal-hal kecil, meskipun hal itu kecil seperti tutup radiator.

Aku pun diingatkan kembali betapa harus bersyukurnya  diri ini. Dan salah satu bentuk syukur bukan saja hanya dengan mengucap syukur alhamdulillah, tetapi juga dengan tidak mengeluh saat sesuatu tidak berjalan dengan semestinya. Seperti saat beberapa kali temanku terlambat pulang ke rumah. Terkadang tanpa kabar, karena telepon selulernya mati. Ada pekerjaan tambahan di kantor, katanya. Ada kereta yang bermasalah. Ada pohon tumbang akibat hujan. Adaaa.... ada-ada saja deh. Memang ia belum pernah memberikan alasan terlambat pulang karena ada si komo lewat, tetapi tetap saja itu adalah terlambat pulang yang menyebabkan hatiku khawatir bukan kepalang.  

Keterlambatannya tanpa kabar sering membuatku tidak menyambutnya pulang dengan senyuman. Mungkin karena hati terlanjur khawatir bercampur kesal menantinya pulang, yang muncul bukan bibir yang tertarik ke samping, melainkan ke depan. Sampai aku disadarkan bahwa hal-hal yang telah diberikannya padaku jauh lebih banyak daripada sekedar terlambat pulang yang lalu membuatku merasa pantas untuk mengeluh padanya. Aku sama sekali tidak pantas untuk mengeluh. Seharusnya aku lebih banyak bersyukur dan tersenyum.

Suatu hari saat ia pulang tepat waktu, tanpa banyak berbincang, ia bergegas ke luar rumah lagi menuju masjid. Iqamah tanda shalat isya berjamaah segera dimulai telah dikumandangkan. Aku melepasnya di pintu bersamaan dengan berbunyinya android-ku tanda sebuah pesan personal masuk. Darinya. Rupanya ia mengirimiku pesan sesaat sebelum pergi ke masjid tadi. Ia mengirimiku pesan panjang layaknya surat cinta. Dan bagiku, inilah surat cinta pertama darinya.

***

Untuknya

24 Agustus 2015

Sayang, yang kutahu... 

Kamu dulu menyimpan erat-erat masalahmu dalam hati dan pikiranmu...

Begitu dalam kau pendam... Sakitnya, kecewanya, dan lukanya kamu rasakan sendiri... Kamu telan sendiri... Menyayat-nyayat hati... Menyengat semua syaraf jiwa dan ragamu... Air mata yang keluar sebelum tidur... Bayangan-bayangan akan kejadian yang tak diinginkan itu... Harapan-harapan yang pupus karenanya... Harapan yang seolah sirna dan hangus terbakar....

Yang kubayangkan, mungkin jika kamu menatap langit, kamu lihat ‘dirimu’ di sana, meratapi bahwa sinarmu tak seindah mereka... Sementara mungkin berat bagimu menyandang namanya.. Seolah dituntut untuk bersinar selalu pada setiap suka dan duka..

Kamu kerap ingin menyesali hidupmu, tapi kamu tetap lebih takut dosa jika demikian. Sehingga, kamu seka airmatamu... Kamu dandan sebisanya untuk menutupi gurat sedih, dan berangkat ke kantor. Menemuiku untuk diskusi pekerjaan. Kamu paksakan senyummu demi kenyamanan tim dalam diskusi. Namun, jika saatnya shalat zuhur tiba, aku shalat di masjid dan kamu shalat di kantor. Selepas shalat aku masih melihatmu berdoa dan berdzikir di kamar gelap dan lembab itu.....

Hatiku gerimis, perempuan sejujur, sebaik, dan selucu kamu harus menerima beban yang demikian berat sendirian.

Aku ingin menolongmu.. tapi tak bisa kulakukan apa-apa...  Aku ingin mengusap air matamu, tapi tak berani ku memikirkan lebih jauh untuk itu... Aku hanya bisa menolongmu dengan ledekan hangat yang membuatmu nyaman... Aku hanya bisa membuatmu bercanda dan memberikan kesan kuat dalam hatimu.. Hingga kamu senang dan sedikit bahagia...

Supaya, jika kamu sedih... Kamu akan ingat momen-momen senang dan sedikit bahagia itu, sampai kamu mengusap sendiri air matamu dan senyum-senyum sendiri. Sehingga, tujuanku tercapai... Menolongmu dan mengusap air matamu... Walau tak kulakukan sendiri.
Begitu pula saat aku berusaha membujuk teman-teman agar bisa ikut wisata ke Bandung. Dan meminta sodaraku di Bandung untuk menyiapkan tempat dan makanan.

Itu adalah waktu-waktu krusial saat kamu sedang menghadapi ujian beruntun. Demi riang dan tawa dari wajahmu lagi... Walaupun sempat ku merasa gagal karena sebersit melihatmu menangis...

Aku tidak menghubungimu lagi... Berbulan-bulan, karena aku ingin fokus pada persiapan dan prosesku menikah. Sampai kita bertemu lagi di kantor... Wajahmu murung, sesekali saja tersenyum... Tak kuasa ku melihatnya... Ingin rasanya kupeluk dirimu dari belakang dan berkata, “akan kuganti getirmu dengan kebahagiaan selamanya...”, ah apalah daya. Membayangkan lebih dari itupun aku tak berani. Hingga aku hanya manja meminta jam tangan padamu...

Sampai suatu ketika, di hari kamu mengabulkan permintaan manjaku, ayahmu menghubungiku.. Untuk menyampaikan sebuah rahmat, hidayah, sekaligus ujian untukku... Beliau bermaksud untuk menjadikanku suamimu...

Bermalam-malamnya ku tak bisa pejamkan mata... Berlamanya ku termenung melihat langit... Berkali-kalinya ku shalat untuk meminta petunjuk... Kenyataannya... Keyakinan itu datang begitu saja... Dan menguat... Semakin lama kian menguat... Hingga kuberanikan diri untuk menghadapi orangtuaku yang banyak berseberangan denganku... Dan kuberanikan diri untuk menghadapi orang tuamu.

Hingga, sampailah pada keputusan aku akan menikahimu... Untuk 4 bulan lamanya kita diminta menunggu... 4 bulan yang tidak mudah.... 4 bulan cobaan, ujian, dan godaan....

Saat kamu membaca ini, kamu telah menjadi istriku... yang sangat kucintai... Maka, keluarkanlah tangismu yang selama ini kamu tahan, semuanya. Sampaikanlah keluh kesahmu dalam hidup. Akan aku dekap kamu erat-erat untuk meyakinkanmu bahwa aku akan melindungimu selalu.

***

Sayang, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu karena kamu mencintai Penciptaku melebihi apapun. Aku mencintaimu karena aku tahu kamu mencintaiku. Aku mencintaimu karena aku tahu kamu cinta seseorang yang mencintai ibunya. Aku mencintaimu karena kekuatanmu dalam menghadapi perihnya hidup. Kecintaanmu pada kebenaran. Kebencianmu pada keburukan. Aku mencintaimu karena semua perhatianmu padaku. Apalah aku ini? Sebaik itukah aku, sampai aku dianugerahkan dirimu... Perempuan yang suci pikirannya, menyenangkan perangainya, tulus cintanya, setia rasanya, baik agamanya, cerdas pikirannya.

Melanglang buana aku mencari, meminta dicarikan, dan memohon ini itu padaNya. Namun, Allah menyadarkanku... Kriteria yang kuinginkan bukanlah yang kubutuhkan. Allah mengatur sedemikian rupa agar aku mendapatkanmu.

Allah mengatur segalanya untuk menguji iman dan kesungguhanku dalam beragama, sehingga menjadikanmu istriku. 

Allah sekaligus memberikan rahmat yang begitu besar padaku dengan memberikan salah satu makhluk terbaikNya yang begitu mencintaiNya melebihi apapun. Yang begitu menjaga kesucian hati dan amalnya. Yang berusaha kuat menjaga imannya sementara ujian begitu mendera.

Segala rahmat itu aku terima. Rahmat yang begitu luas, mulia, baik, lagi begitu istimewa... Ditujukan padaku.... Makhluk nista, pendosa, dan kotor ini.

Sayang.... Aku mencintaimu karena kamu mencintai Allah melebihi apapun. Semoga kamu bisa mengajariku untuk selalu bisa mencintaiNya melebihi apapun. Sebab, aku adalah seorang pendosa.... Karena sering mencintaimu melebihi apapun.... Astagfirullah....

Aku mencintaimu....

Inilah cerita singkatku mengapa aku bisa mencintaimu.

Jika masih belum cukup alasannya.. Aku pun bingung karena cinta yang kuat.. Datang begitu saja.

Kekasih, kukira hanya cintaku lah yang besar dan lama berada dalam penantian. Mungkin dugaanku ini tidak sepenuhnya benar. Terima kasih karena telah mencintaiku.

***

Kota Belimbing, 25 Februari 2016

sumber gambar: www.theresborchard.com


JOURNEY TO THE WEST (Hai, Ujung Kulon!)

Jumat, 29 Januari 2016



terumbu karang di perairan Pulau Peucang

“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Milik-Nya lah kapal-kapal yang berlayar di lautan bagaikan gunung-gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. 55: 19-27)

***

Sebelum Januari  berganti, izinkan aku kembali berbagi sebuah pengalaman seru menapaki sejengkal tanah indah di bumi Indonesia. Kali ini ke manakah? Yups. Seperti judul yang tertera di atas, journey to the west. Ceritanya ini jadi judul sekuel dari catatan perjalananku setengah tahun silam yang kuberi nama journey to the east. Lebih lengkapnya bisa dibaca di sini https://www.facebook.com/notes/nurul-najmi/journey-to-the-east/10154032609908849 .

Seperti yang pernah disampaikan pula pada tulisan tersebut, makhluk hidup endemik yang menjadikan kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional adalaaaaaa....h.... JENG! JENG! JENG! Yak, badak bercula satu! Hingga ditetapkanlah kawasan ini menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Artinya taman nasional ini memang terletak di ujung paling barat (kulon) Pulau Jawa. Kita juga akan sampai di titik nol Pulau Jawa nanti. Jadi, jangan kemana-mana dan tetap stay tune pada layar monitor Anda :).

***

Perjalanan dimulai pada malam pergantian tahun 2015 menuju 2016. Partner perjalananku kali ini, yang dapat tambahan bonus spesial juga sebagai partner hidup, menemaniku berangkat dari Kota Hujan sepulangnya dari bekerja. Namanya Gugi Yogaswara. Aku memanggilnya Augi.

Kami tidak berangkat berdua saja. Ada kuota tambahan dari Kota Belimbing yang turut serta dalam liburan kami menuju ujung barat Jawa. Sebut saja namanya Dwi Pamungkas Bermani. Salah satu makhluk hidup yang sering diceritakan oleh Augi berasal dari Planet Namex. Setelah kutengok lagi tulisanku setengah tahun silam yang tautannya telah aku cantumkan di atas itu, ternyata makhluk ini juga yang menjadi salah satu partner perjalananku dulu. Yang kusebut sebagai satu dari dua manusia besar yang baik dan kocak (manusia besar baik dan kocak satunya lagi bernama Ario Bismoko Sandjoyo). Yang menemaniku di kereta Gumarang saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah timur Jawa, Surabaya. Jadi, dahulu aku ke ujung timur ada Dwi, sekarang aku ke ujung barat juga ada Dwi. Hhhhh.... Ah ya, bagi yang ingin tahu seperti apa bentuknya Dwi, ayah mertuaku sempat mempromosikan bahwa Dwi mirip dengan artis kondang Jaja Miharja. Oleh karena promosinya itu, sepulang liburan Dwi langsung potong rambut, wkwk.

Berhubung kami bertiga berangkat cukup larut, akibatnya tengah malam kami masih melintas di tengah hiruk pikuk kembang api ibukota Jakarta. Kami melintasi jalan tol yang lengang layaknya nominator Oscar berjalan di atas red carpet. Sepanjang jalan kanan dan kiri, langit kami penuh warna warni kembang api. “Ternyata begini suasana pergantian tahun matahari di ibukota”, gumamku yang sudah hidup seperempat abad di pinggiran ibukota ini, namun berkunjung ke Monas saja belum pernah. Yaah... membeli kembang api atau mengunjungi Monumen Nasional (Monas) tidak penting bagiku, tidak akan mempercepat juga untuk lulus seminar dan sidang tesis. Jadi tidak usah diambil pusing. Haha... jadi curcol. Cepetaaaan.... itu kerjakan tesisnyaaa.... Iyaa.... tulis catatan ini dulu sebelum lupa :p.

kembang api dari kanan-kiri jalan tol

Kembali ke perjalananku bersama Augi dan Dwi. Mereka sempat saling bertukar posisi untuk mengemudi agar tidak lelah. Sesampainya di Kota Serang, kamipun bergabung dengan rombongan keluarga Serang yang terdiri dari kedua mertua, adik ipar, dan sepupu. Dengan dua mobil kami berjalan beriringan. Dwi sebagai pengemudi dan Augi sebagai navigator memimpin iring-iringan di depan. Aku duduk di kursi tengah dan mulai terkantuk-kantuk. Memasuki kawasan Pandeglang, sempurna aku tertidur. Dan... olala, navigator juga tertidur! Jadilah Dwi menyetir sendirian. Tenang Wi, suatu hari nanti kamu tidak akan sendirian lagi. Semangat!

***

Tujuan kami adalah berlibur di Pulau Peucang. Waktu perjalanan Bogor-Serang 3 jam, Serang-Pandeglang 1 jam, Pandeglang-Pantai Sumur Ujung Kulon 3 jam. Untuk menyeberang ke Peucang, dibutuhkan waktu 3 jam lagi. Kami diminta oleh pengelola wisata untuk sampai di Pantai Sumur, Jumat, 1 Januari 2016 sebelum pukul 6 pagi. Namun apalah daya, kami kesasar sampai 1,5 jam, pemirsa! Jadi ceritanya di pertigaan yang seharusnya belok kiri, kami justru mengambil jalan lurus. Dwi sempat bertanya pada navigator sebenarnya.

“Ka Gugi, ini belok apa lurus?”

Dengan mata seperempat terbuka, Augi mengamati layar handphone untuk melihat petunjuk gmaps.

“Lurus, Wi.”

Awalnya Dwi sempat ragu karena sempat melihat petunjuk Pulau Umang belok ke kiri. Namun, tujuan kami adalah Peucang, bukan Umang. Dan peta mengatakan kami untuk lurus. Jadilah kami lurus menuju Tanjung Lesung. 

Aku terbangun ketika mobil sudah terguncang-guncang sekitar sejam. Jalanan yang kami lalui sangat buruk. Tanpa aspal, tanah bergelombang, dan sepanjang kanan-kiri jalan hanya lahan terbuka-kebun-ilalang. Nyaris tanpa rumah. Ini di mana?

“Ini di mana?” tanyaku masih mengucek-ngucek mata.

“Ka Gugi! Woi! Bangun!”

Dwi yang menjawab.

Jalanan bergelombang dan gelap ini tampak tidak berujung. Sesekali terlihat kucing besar di tepi ilalang pinggir jalan. Kata Augi, itu hyena. Hyena (Crocuta crocuta)? Di sini ada hyena? Keren juga yah. Tapi apa sama sekali tidak ada orang yang bisa ditanya, di sini? Yah, rumah dan warung saja hampir tidak ada, bagaimana ada orang? Selama setengah jam perjalanan saja, kami hanya menemui satu rumah di sisi kanan.

Ketika akhirnya Augi mendapat sinyal dan bisa mengontak Hudan, temannya yang mengelola wisata ke Pulau Peucang - Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yakin sudah bahwa kami telah salah jalan. Kami pun putar balik. Kembali melewati jalanan gelap dan bergelombang, sesekali bertemu hyena, lalu menuju jalanan utama.

“Ka Gugi lagiiii.... Ka Gugi lagiiii....”

“Tadi kata maps-nya lurus wii.”

Haha.. pelajaran utama. Tidak selamanya teknologi itu memudahkan :p. Bertanya kepada orang di jalan dan penduduk setempat untuk memastikan juga penting. Kuduga mungkin saja jalan yang ditunjukkan peta itu benar, karena peta yang terkoneksi dengan satelit itu biasanya akan mencarikan jalan terpendek ke arah tujuan. Tapi sayangnya, peta itu tidak tahu kalau jalan yang harus ditempuh rusak parah. Wkwk.

Akhirnya kami kembali bertemu jalan aspal. Wuah, seperti baru keluar dari dunia lain rasanya. Kembali  bertemu aspal, lampu jalan, dan warung. Dan akhirnya kami bisa bertemu orang! Kepadanya, kami memastikan arah jalan ke Sumur, lalu mampir sebentar di masjid untuk salat Subuh. Setelahnya langsung tancap gas lagi.

Ternyata benar. Jalanan ini bagus, walaupun sepertinya agak memutar. Namun, kondisi kanan kiri jalan tertata cukup baik. Kami pun melewati papan besar bertuliskan SELAMAT DATANG DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON. Yups, ini jalan yang benar.

Fyi, TNUK merupakan kawasan pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai taman nasional dan juga warisan dunia UNESCO pada tahun 1991. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 284/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992, ditetapkan luas TNUK sebesar  122.956 Ha, terdiri dari kawasan darat 78.619 Ha dan perairan 44.337 Ha. Populasi badak bercula satu atau badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai hewan endemik di sini tinggal 50-60 ekor. Itu pun sangat sulit untuk ditemui, bahkan oleh Hudan yang merupakan penduduk asli dan sudah sering keluar masuk hutan di UK ini. Hmm... kuyakin pemerintah pasti sudah memiliki tim sendiri yang khusus bertugas untuk konservasi di TNUK. Sayangnya aku tidak mendapatkan informasi tentang misalnya keberadaan para jagawana, seperti yang ada di Baluran. Yah, tujuanku kali ini memang sedikit berbeda dengan perjalanan ke timur yang lalu. Dulu, aku pergi untuk ekskursi, sehingga mendapatkan banyak pemandu. Kali ini untuk perjalanan ke barat, tujuanku adalah berlibur. Walaupun sedikit banyak kami pun mendapatkan informasi dari Hudan dan bapak-bapak di kapal saat mengobrol.

Akhirnya kami tiba di lokasi pukul 7.30. Meski terlambat 90 menit dari waktu yang diminta, bersyukur kami masih kebagian sarapan di wisma Sarang Badak. Kapal direncanakan berangkat pukul 8 dari Pantai Sumur, sehingga tidak ada waktu bagi kami bersantai. Selesai sarapan, kami langsung bergegas menuju pasar, eh... maksudnya pantai. Tapi akses ke pantainya memang jalan kaki lewat pasar. Di pantai ini perahu-perahu berlabuh. Perahu kecil inilah yang mengantar kami menuju kapal motor yang agak besar di tengah laut.

tiba di Wisma Sarang Badak

Pantai Sumur
di atas perahu kecil

Satu rombongan kapal terdiri dari 3 rombongan peserta yang totalnya berjumlah 18 orang. Rombonganku berjumlah 7 orang (aku, Augi, Dwi, papah, mamah, Puput, dan Livi), sementara rombongan lainnya berjumlah 4 orang dan 7 orang. Ditambah Hudan, nakhkoda kapal, dan 2 awak kapal lainnya, total penduduk KM. Romantis (nama kapal motor yang kami tumpangi) adalah 22 orang.

Perjalanan dari Sumur ke Peucang kami tempuh selama kurang lebih 3 jam. Sepanjang perjalanan, laut cukup bersahabat. Cuaca hari itu cerah, cukup terik bahkan. Sesekali terlihat rombongan ikan terbang dari sisi kapal atau burung camar yang melintas di kejauhan. Terkadang kulihat juga lapisan minyak di beberapa titik permukaan laut. Sisa hasil pembakaran solar dari kapal-kapal yang melintas di atasnya.

Di atas kapal terdapat haluan yang ruang muat di bawahnya dimanfaatkan sebagai dapur. Jadi, rombongan kapal kami tidak makan dari restoran di pulau, melainkan awak-awak kapal yang memasak untuk kami di dapur kapal. Keren!

masak di haluan kapal

Kami pun selalu makan di atas kapal, baik itu makan siang, makan malam, dan juga sarapan. Apa sebab? 

Macaca fascicularis. 

Yup. Di Pulau Peucang aku reuni kembali dengan para kera ekor panjang, seperti yang kutemui di Baluran dulu. Hudan selalu menyarankan kami untuk makan di kapal agar terhindar dari serangan kera. Haha..

Tidak hanya kera, di sini aku bisa melihat babi hutan (Sus scrofa) untuk pertama kalinya. Tidak selucu babi biasa yang banyak kutemui di Pontianak lima tahun silam. Eh, babi biasa juga tidak lucu deng.. yang lucu itu boneka babi. Tapi tetap saja babi haram meskipun lucu. Yaa.. setidaknya aku gembira karena pertama kali melihat langsung babi hutan yang berwarna hitam dan moncongnya sangat monyong itu. Dan aku tidak perlu khawatir ditegur kalau mengatakan, “Heh, babi!”

babi hutan (Sus scrofa)

Sesampainya di Peucang....

Masha Allah..... indah banget! Bangeeeet!!! Warna laut di sekitar pulau berbeda sekali dengan warna laut dalam yang kami lewati sebelumnya. Gradasi warna biru kehijauan yang cerah, jernih, berpadu dengan pasir pantai berwarna putih kecoklatan yang terang karena terpantul sinar matahari. Indaaaaaah....

Pantai Pulau Peucang

Kami memulai aktivitas snorkeling selepas zuhur. Laut pertama tempat kami snorkeling berada di Ciapus, sekitar sepuluh menit perjalanan kapal dari Peucang. Terumbu di sini banyak sekali dan berwarna-warni. Ini ketiga kalinya aku melakukan snorkeling, dan terumbu di sini adalah yang paling indah yang pernah kulihat. Snorkeling pertama di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Rasanya menakjubkan bisa melihat terumbu karang asli di dalam laut. Snorkeling kedua, di laut Pangandaran. Terumbu yang kulihat lebih indah daripada di Lancang. Kali ini, Peucang. Di sini lebih indah lagi! Allah... kelu lidahku dibuatnya.

Bagiku, Augi, dan Dwi yang bukan pertama kalinya kami snorkeling, tentu kami sudah cukup terbiasa dengan penggunaan masker selam, snorkel, dan kaki katak (beuh... kayak sering snorkeling aja :p). Namun, pada snorkeling kali ini, kami hanya menggunakan masker selam dan snorkel. Yang luar biasa adalah Puput dan Livi. Ini pertama kalinya mereka menggunakan alat snorkel, dan langsung bisa! Padahal dulu, pertama kali aku snorkeling di Lancang, aku cukup kelabakan karena air lautnya pada masuk ke selang snorkel, bahkan sampai ada yang terminum. Haghag.. jangan-jangan aku saja yang mengalami demikian.

puput, livi, dan augi

who am I?

Kami pun berpuas-puas menyelam-selam di permukaan dan menikmati berbagai macam koral. Aneka ragam koral dari marga Acropora dan Montipora yang berwarna-warni. Sesekali kami berdiri di atas koral mati untuk istirahat sejenak, namun sedapat mungkin kami menghindari menabrak, apalagi menginjak koral yang masih hidup. Bukan hanya demi kelestarian alam, tetapi sakit tau nabrak koral. Jadi, berhati-hatilah saat menyelam.

Sekitar satu jam kami snorkeling di Ciapus, lalu kami naik kembali ke kapal menuju Cibom. Di Cibom, kami melakukan trekking sampai ke Tanjung Layar. Yups, Tanjung Layar! Inilah titik nol Pulau Jawa di sisi barat. Sebelum sampai di Tanjung Layar, kami mampir sebentar di bangunan mercusuar yang konon memiliki peran penting dalam sejarah kemaritiman Indonesia dan masa kolonial. Mercusuar ini merupakan tanda “ujung pertama” yang menjadi petunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda. Mercusuar di Tanjung Layar dibangun sebanyak tiga kali. Mercusuar pertama diperkirakan dibangun pada tahun 1800, lalu hancur akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Lalu dibangun mercusuar kedua yang terbuat dari baja. Dan yang sekarang masih ada adalah mercusuar ketiga yang dibangun tahun 1972.

sumur air

kawasan mercusuar Tanjung Layar
Augi dan Dwi, Tanjung Layar

Puput di Tanjung Layar

Setelah beristirahat kurang lebih setengah jam di Tanjung Layar, kami kembali ke Pantai Cibom. Jika sebelum trekking para lelaki berenang dari kapal menuju pantai, sementara para wanita naik kano, pulang dari trekking ini, semuanya dipersilakan untuk bergantian naik kano. Tapi Augi memilih untuk tetap berenang menuju kapal, sementara yang lain bergantian naik kano karena lelah. Lebih seru, katanya. Alhasil, sandal Augi pun tertinggal di Pantai Cibom. Kami semua berpikir sandal dipakai masing-masing saat naik kano. Kami lupa, Augi yang satu-satunya berenang, tentu saja tidak pakai sandal. Jadilah sandalnya tertinggal. Maafkan, heu ^^”..

Malam hari kami disuguhkan makan malam di atas kapal dengan menu tumis capcay dan ikan goreng balado. Menunya sederhana, tapi nikmat luar biasa. Sarapan esok paginya dengan menu telur dadar dan tempe goreng. Lagi, di atas kapal. Nikmat.

Aktivitas di hari kedua adalah melihat sunrise, sight seeing di padang savana Cidaon, dan snorkeling di Pantai Peucang. Sunrise dari Peucang tidak terlihat begitu jelas, tapi langitnya tampak sangat indah. Selanjutnya kami naik kapal menuju Cidaon untuk pengamatan satwa liar di savana. Sayang sekali, tidak ada satupun diantara kami yang membawa binocular telescope. Tidak tampak satu pun satwa besar yang berada di savana. Untuk melihat ke arah yang lebih jauh, jaraknya tidak memungkinkan untuk jangkauan mata kami melihat dengan jelas. Padahal jika beruntung, kita dapat melihat merak dan kerbau hutan. Aku hanya melihat setumpuk tulang belulang yang dikumpulkan di dalam saung. Mungkinkah ini tulang badak?


sunrise di Peucang

rombongan peserta KM.Romantis

tulang belulang di Cidaon

Pantai Cidaon

Selesai pengamatan di Cidaon, kami snorkeling lagi di sekitar Peucang. Tidak disangka, karang-karangnya lebih indah lagi dari yang kami lihat di Ciapus. Hanya dengan jarak kedalaman setengah sampai satu meter, begitu banyak aneka koral warna-warni di sini. Tidak perlu naik kapal. Tidak perlu berenang jauh-jauh. Koral-koralnya berada sangat dekat dengan bibir pantai. Ada beragam ikan juga yang kami temukan. Sesekali tanganku bergesekan dengan ikan badut aka nemo (Amphiprion percula) yang asyik berenang kesana-kemari. Kami juga bertemu anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang sangat cantik. Ada yang warna hijau, ada juga yang warna ungu. Pertama kalinya aku bertemu anemon. Mungkin suatu hari nanti aku bisa bertemu digimon (apasih -,-“).

Ternyata tidak perlu jauh-jauh ya, hal yang paling indah itu ada di dekat kita #azeeg XD.....

aku dan Amphiprion percula
Selesai snorkeling, kami berkemas untuk pulang. Tidak pakai mandi dulu, karena rencananya kami akan snorkeling lagi di perairan Pulau Badul. Perairan di sekitar Pulau Badul ini unik, karena terdapat banyak karang buatan yang sengaja ditanam di dasar laut. Tidak hanya karang, bahkan di bawah laut ada patung badak juga. Badaknya berdiri, dan kalau kulihat dari belakang, seolah badaknya sedang memakai ransel. Haha, entah kenapa aku melihatnya seperti itu. Yang jelas kesannya agak horor melihat ada badak di bawah laut. Berdiri pula.

Kami tidak lama snorkeling di Badul, karena ombak mulai tinggi. Kami bergegas naik ke kapal dan beranjak pulang ke Sumur. Benar saja, tidak lama terlihat kilat menyambar di kejauhan dan suara petir menggelegar. Hujan deras pun turun. Menyiram seluruh area haluan dan buritan. Kapal mulai agak oleng. “Wuah, badai!” pikirku.

“Ini belum ada apa-apanya. Ombaknya paling hanya setengah meter,” sahut Augi.

Dwi dan Livi berdiri menyandar ke dinding geladak agar tidak kehujanan. Mamah masuk ke geladak kapal agar terlindung dari angin dan hujan. Augi menutupiku dan Puput dengan jaket di atas buritan, sementara aku masih memegang piring makan siang berisi nasi, lalap kacang panjang, dan ikan bumbu kuning. Kini piringku bercampur hujan, tapi aku tetap saja santai makan. Sambil agak deg-degan juga sih. Sementara papah? Tetap santai duduk di kursi buritan dan menikmati hujan! Wow...

Sekitar setengah jam kami menikmati sensasi hujan di atas kapal, sampai akhirnya hujan reda, dan ombak mulai lebih tenang. Kami semua tiba di Pantai Sumur dengan selamat. Perahu kecil penghubung kapal dengan pantai pun sudah bersiaga menjemput kami.

Alhamdulillah... Terima kasih semuanya. Terima kasih papah, mamah, Augi, Dwi, Puput, dan Livi. Terima kasih Hudan untuk wisata Pulau Peucang-nya yang seru. Terima kasih para bapak awak kapal yang multitalenta. Terima kasih bu dokter yang telah bermurah hati memberikan obat dan minyak ajaib, sehingga bentol-bentol alergi seseorang hilang seketika saat trekking di Cibom yang lalu. Terima kasih anaknya bu dokter yang telah berbagi keripik kentang dengan kami dan ternyata kita satu almamater. Terima kasih untuk semua peserta rombongan perjalanan KM.Romantis. Perjalanan ini luar biasa!

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ^o^....

see you again ^o^

***

Sebagai penutup, aku ingin mengutip sebuah ayat yang semoga memacu semangat kita untuk terus melakukan perjalanan dan mencari hikmah di muka bumi.

“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. 22: 46)

wkwk... promosi yah sedikit ;)
Bogor, 29 Januari 2016
-Nurul Najmi-