SABAR DAN CINTA (2). Cinta Adalah Peduli

Jumat, 23 Oktober 2015



“Kau bisa memberi tanpa cinta, tetapi kau tidak bisa mencintai tanpa memberi.”
(Tere Liye )

***

Saat aku kecil, aku sudah pernah mendapatkan nasihat dari ibuku, tentang kebaikan hati laki-laki yang jangan selalu diartikan sebagai perhatian atau rasa suka. Kalau tidak salah saat itu habis nonton drama keluarga Taiwan jadul berjudul Belenggu Pintu Cinta.. atau Kekasih... apa Kasih Abadi ya? Ah, aku lupa.

 “Teh, laki-laki itu bersikap baik belum tentu dia memiliki perasaan khusus. Belum tentu suka. Bisa jadi itu karena memang sifatnya yang baik, karakternya yang memang perhatian dan suka menolong. Bisa jadi ia melakukan itu sama kepada semua orang. Jadi, jangan mudah jatuh hati. Jangan mudah ge er.”

Aku ditanamkan sejak kecil untuk berhati-hati terhadap kebaikan hati laki-laki. Berhati-hati agar tidak gampang jatuh hati. Bukan bermaksud untuk bersikap antipati, namun lebih untuk menjaga diri. Akhirnya aku dikenal judes jika baru pertama kali bertemu dengan orang yang tidak dikenal, terutama jika itu lelaki. Namun, karena aku tahu sikap judes itu kurang baik, aku mensiasatinya dengan lebih dulu menyapa dan bersikap ramah kepada orang lain, sebelum orang lain beramah-ramah duluan kepadaku. Soalnya kalau ada laki-laki yang lebih dulu ramah, nyapa, atau bahkan mau nraktir padahal belum kenal, aku biasanya jadi takut bahkan kabur. Padahal mah mungkin dianya hanya baik aja, biasa aja, tapi akunya yang serem.

Dan aku tumbuh sebagai wanita yang suka berbagai aktivitas kelelakian. Bertualang, memanjat pohon, naik-naik genting, bermain layang-layang, main kelereng, atau bermain bola. Aku terbiasa mendapatkan perlakuan yang melatih wanita agar tidak manja. Tiap kali dalam tugas kelompok sekolah yang mengharuskan anggotanya turun ke sungai, aku pasti ikut turun. Tiap kali mendapat pekerjaan yang bersifat ‘lapangan’, entah itu ukur-mengukur, panjat-memanjat, lari-berlari, aku pasti turut serta. Bagiku, jika itu bukan masalah prinsip antara tugas laki-laki dan wanita, maka tidak ada larangan bagiku untuk mengerjakannya. Tidak ada alasan bagiku untuk menghindari tanggung jawab tugas dengan dalih karena aku wanita. Atau mungkin sebenarnya gengsiku yang enggan dianggap lemah. Entahlah. Yang jelas, aku terbiasa untuk tidak membedakan tugas lelaki dan wanita jika itu tidak bertentangan dengan agama. Aku terbiasa memimpin, membagi tugas, dan mengambil keputusan sejak duduk di sekolah dasar.

Sikap kerasku kepada diri sendiri kuakui tidak selalu berdampak baik. Salah satu dampak tidak baiknya adalah fitrah kewanitaanku yang tidak bisa dibohongi, akhirnya justru membuatku mudah jatuh hati pada kebaikan hati lelaki yang bersikap tulus membantu dan menolongku. Kau tahu, Kekasih? Kau pernah membantuku membawakan tas ranselku yang super duper berat oleh laptop dan buku-buku pada suatu hujan lebat di sore hari. Kau berpayung, aku pun membawa payungku sendiri. Tetapi kau tetap menghampiriku dan menawarkan diri untuk membawakan ranselku. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat sepatuku basah kuyup karena hujan, kau menawarkan sandal besarmu untuk kupakai agar aku tidak masuk angin. Saat kakiku kram karena kedinginan, kau menawarkan diri bertukar motor, sehingga aku menggunakan motor matic-mu, sementara kau mengendarai motorku yang bergigi. Saat aku tampak kesulitan menggunakan motor pinjaman teman karena tidak terbiasa, kau pun kembali menawarkan diri untuk bertukar motor. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat kau dan Agit membantuku mengangkat meja dan kursi di rumahku, membantuku mengangkat dan memasang galon yang berat, membagiku roti atau menawarkan gorengan saat di kantor. Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat aku belum mengerti cara mengoperasikan microsoft office secara efisien, lupa rumus-rumus microsoft excel saat hendak mengolah data, atau belum tau cara unik mengubah tampilan microsofft power point sehingga lebih menarik dalam waktu singkat, kau yang mengajariku. Bukan sampai aku bisa, tetapi sampai aku bersedia mengubah pola pikirku saking seringnya kau berkata, “Teknologi itu ada untuk memudahkan manusia, Ka Najmi...” dengan tatapan meledek. Yaah... akhirnya aku bisa. Bukan karena kau yang mengajari. Tetapi karena kata-katamu yang mendorongku untuk mau belajar lagi. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Aku terharu.

Aku selalu terharu setiap kali menerima kebaikan orang. Laki-laki maupun perempuan. Dan terhadap setiap kebaikan yang pernah kau berikan padaku, aku berusaha untuk menganggapnya biasa saja. Karena aku tahu, kau pun melakukan hal sama terhadap yang lainnya. Benar, kan?

Namun kenyataannya, hatiku tidak mengaggapnya biasa saja. Aku yang terbiasa mandiri dan melakukan berbagai pekerjaan sendirian, seolah tersadar kalau aku ini wanita, tiap kali kau menawarkan bantuan dan menolongku. Dan begitulah reaksi kimia cinta bekerja. Ibuku sudah jauh hari sejak zaman azali memperingatkanku untuk tidak mudah jatuh hati. Tapi aku tetap jatuh hati. 

Kepedulianmu yang meluluhkan hatiku. Kebaikan spontanmu yang menumbuhkan penghargaanku padamu. Berkali-kali aku menepis rasa ge-er yang berpotensi mencuatkan harap, berkali-kali juga aku gagal. Kekasihku, ini bukan salahmu. Salahku yang menganggap diriku terlalu kuat. Nyatanya tidak. Mungkin bagimu segala perhatian dan kebaikan itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Saat aku mengalami kecelakaan motor di depan kantor dan nyaris terlindas mobil, kau adalah orang pertama yang keluar dari pintu kantor dan berlari menghampiriku. Mengapa harus dirimu? Kau mengambilkanku air hangat untuk meredakan shock yang kualami. Orang-orang lain juga membantuku. Ada yang memasakkan air hangat untuk mengompres luka, ada juga yang membelikan kapas dan obat luka. Tetapi kau yang pertama berlari keluar kantor dan menghampiriku, memastikan aku baik-baik saja. Dan itu yang kuingat. Pedulimu.  Mungkin bagimu perhatian itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Kau tahu, Kasih? Pada satu fase yang kau ketahui karena aku beritahu... maksudku pada saat aku pernah memberitahukanmu suatu hal sehingga engkau jadi tahu. Saat itu adalah masa aku hampir berputus asa pada hidup. Sempat terlintas dalam pikirku untuk berhenti kuliah karena sesuatu hal. Lalu kau menawarkan pekerjaan untukku. Lalu aku menerima tawaran tersebut karena kupikir bisa membantuku menyibukkan diri dan mencegahku bertindak bodoh atau melakukan hal-hal tidak berguna. Lalu kau menceritakan sesuatu hal sehingga aku mendengarkan ceritamu. Lalu kau minum, tapi aku tidak ikut minum. Lalu kau mengakhiri ceritamu. Lalu kau memakai jaket, hendak pergi dengan sok gaya sambil berkata, “Be strong!”

Pedulimu. Mungkin bagimu itu biasa saja. Tapi aku tidak.

Ceritamu mampu membuatku kembali bersemangat memasak setelah kurang lebih satu bulan aku tidak menyentuh dapur. Bagiku, memasak adalah tanda hatiku senang. Dan kata-katamu menjadi satu titik balik untukku tetap melangkah maju. Aku bisa bersemangat lagi untuk melakukan sesuatu.

Aku tidak berpikir macam-macam saat itu. Kita belum lama kenal. Namun, aku sungguh bersyukur Allah mempertemukanku denganmu dan memberiku kesibukan bekerja. Kau tidak menghakimiku atas segala keburukan yang kumiliki. Kau tidak mengguruiku seolah-olah aku tidak dewasa dan butuh diberitahu pelajaran dasar. Kau peduli. Dan pedulimu yang membuatku lambat laun jatuh hati.

Kekasih, ini bukanlah salahmu. Aku jatuh hati. Bukan karena kau yang membuatku begitu. Tetapi Allah Yang Maha Pemberi yang menganugerahkan rasa ini padaku. Padaku yang sulit jatuh cinta. Padaku yang lebih sering judes kepada laki-laki, alih-alih bersikap ramah. Padaku yang memiliki ego sangat tinggi.

Aku jatuh hati padamu. Pada pedulimu. Pada kebaikan-kebaikanmu. Namun tidak mungkin bagiku untuk mengatakannya. Akhirnya aku hanya menganggapmu sebagai seorang yang begitu kuhargai dan kusyukuri. Terkadang jika aku rindu, aku akan menganggapmu pahlawanku. Dan tidak pantas rasanya seorang aku jatuh cinta pada pahlawannya sendiri. Kau terlalu tinggi untuk itu. Jadi aku diam saja. Tetapi, hatiku berontak. Hatiku berharap lebih untuk bisa bersama dengan pahlawannya itu. Meskipun logika selalu mengejek. “Da aku mah apa atuh!”

Aku tidak pantas untuk bersanding denganmu. Tapi aku ingin mendampingimu. Manusia itu aneh terkadang. Apa yang dibilang sama otak, suka berlainan dengan apa yang dirasa oleh hati. Ya sudah, jadi aku sabar saja. Sabar hingga Tuhanku Yang Maha Berkehendak menurunkan keputusan-Nya. Kau tahu, Kasih? Pasal satu, Tuhanku tidak pernah salah. Pasal dua, kalau aku merasa Ia salah, berarti harus kembali ke pasal satu. Tuhanku tidak pernah salah. Dan Ia pasti memberiku keputusan terbaik-Nya. Dan pasti itu adalah yang terbaik. Jadi kata-Nya, aku harus bersabar. Jadi aku pun bersabar. Hingga tiba waktunya. Hingga saatnya aku tahu, ternyata kaulah kekasihku. Terima kasih karena telah melamarku.   
“Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)

“Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (QS. Ad-Duha:5)

-to be continued-



4 komentar:

bsb-admin mengatakan...

Mantaf sekali

admin mengatakan...

Penasaran sama kelanjutannya Kakak Bintang hehe... Barakallah Najmi 😊

Aderahayu mengatakan...

Ka najmi
Lanjutin dong plzzzz

Nurul Najmi mengatakan...

@aderahayu baru ngeh ada komentar baru. Sudah lama sekali blog ini belum diurus lagi. Ini ade smansa bukan? kok manggil kak, haha. Lanjutannya ada di unggahan setelah ini de yang episode 3, wkwk.

Posting Komentar