Lebah-Lebah Madu untuk Indonesiaku

Rabu, 11 Maret 2015

sumber: www.rantplaces.com

Menjadi tua itu pasti, tapi menjadi dewasa adalah pilihan. Kalimat tersebut bukanlah sesuatu yang baru, bahkan mungkin sebagian besar orang pernah mendengarnya. Namun, berapa banyakkah manusia yang memahami maknanya dan menjadikan kalimat tersebut sebagai salah satu pecutan bagi dirinya sendiri?

Tumbuh dan berkembang adalah suatu sunnatullah, keniscayaan. Seseorang yang terlahir ke dunia pasti mengalami pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan llingkungan dan segala yang ia pelajari dari komunitas di sekitarnya. Sebuah keniscayaan pula, setiap orang selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Saat ibu kita membimbing belajar jalan sewaktu kecil dulu, kita diharuskan memilih untuk berani melangkah atau tetap diam. Saat kita sakit dan ibu hendak menyuapkan sesendok obat yang kita tahu rasanya pahit, kita pun harus memilih untuk berani meminum ‘pahit yang sesaat’ itu atau menolak mati-matian menghindari pahitnya obat. Terpaksa meminum obat pahit dengan alasan takut diomeli ibu juga merupakan pilihan ;p.

Kemudian, semakin besar kekuatan seseorang seiring tumbuhnya badan dan otak kita, semakin besar pula tanggung jawab yang dimilikinya. Itulah yang disampaikan oleh tokoh Ben Parker dalam Spiderman I. Semua orang termasuk saya pun begitu. Di keluarga, di institusi pendidikan, di kelembagaan-kelembagaan, kita ditantang untuk mengemban tanggung jawab-tanggung jawab. Selanjutnya, pilihan kita bersedia memikul tanggung jawab itu ataukah selalu menghindar dari setiap ajang untuk mengambil peran besar.

Hal tersebut saya alami ketika masih menjadi mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor. IPB merupakan kampus pertama yang menerapkan sistem wajib asrama. Jadi, semua mahasiswa baru termasuk saya harus tinggal di asrama dan mengikuti Program Pembinaan Akademik dan Multibudaya. Kehidupan asrama layaknya miniatur kehidupan masyarakat yang akan kami hadapi di masa yang akan datang. Di sini semua belajar berbagi, belajar bertoleransi, belajar lebih mandiri, dan belajar untuk lebih bertanggung jawab.

Asrama kami memiliki 7 gedung. Di setiap gedung terdiri dari 10 lorong dengan jumlah kamar 10 sampai 15 kamar setiap lorongnya. Setiap kamar dihuni oleh 4 orang. Jadi, dari mulai lingkup terkecil kami sudah hidup ‘bermasyarakat’.

Awal masuk asrama, dilakukan pemilihan RT di setiap lorong, yakni orang yang bertugas memimpin dan mengatur segala yang berhubungan dengan warga lorong masing-masing. Saya merupakan salah satu kandidatnya waktu itu, namun tidak terpilih. Sekitar sepekan kemudian, diadakan pemilihan lurah, orang yang akan memimpin gedung dan mengepalai RT-RT lorong. Fungsi lurah di sini adalah sebagai penyambung suara warga gedung dengan Badan Pengelola Asrama (BPA) dan sebaliknya.

Saya ditunjuk RT lorong untuk menjadi calon lurah. Awalnya saya menolak, karena saya pikir amanah (tanggung jawab) tersebut terlalu berat. Akhirnya saya mengerti bahwa sebenarnya tidak ada amanah berat dan ringan, yang ada hanyalah amanah yang harus dijalankan sebaik mungkin. Saya pun terpilih. Konsekuensinya, harus meluangkan waktu lebih untuk rapat dengan RT-RT, rapat seluruh lurah gedung dengan pihak BPA, dan menggagas program-program yang sesuai dengan program asrama untuk warga gedung.

Lurah maupun RT dituntut untuk kreatif dan proaktif. Saya belum merasa cukup kreatif sebagai lurah, namun saya mencoba melakukan segala yang bisa saya lakukan dan saya berikan untuk warga gedung. Kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan mendukung kebersamaan warga, saya bentuk bersama para RT dan dewan gedung lainnya. Misalnya Jumat Bersih, yaitu kegiatan kerja bakti membersihkan gedung yang rutin dilaksanakan seminggu sekali. Lalu kegiatan peringatan hari-hari besar, lomba-lomba antar lorong, dan lain-lain. Saya menyadari bahwa hal-hal seperti ini adalah pembelajaran dan rasanya seperti simulasi untuk terjun ke masyarakat nantinya. Kebebasan kita untuk mengambil suatu peran dan tanggung jawab, sebebas kita memilih impian di masa yang akan datang.

Terkadang saya begitu kagum (campur iri) melihat sosok-sosok yang memiliki banyak peran, amanah di sana-sini, sibuk dengan kegiatan-kegiatan positif di luar aktivitas utamanya (sebagai mahasiswa), namun tetap memiliki segudang prestasi dalam akademik dan non akademik. Mereka, misalnya kakak-kakak tingkat saya yang memilih menjadi ‘orang luar biasa’, tidak pernah berpikir bahwa dengan ‘banyak memberi’ akan menjadi orang yang kekurangan. Kekurangan waktu untuk belajar, untuk berhibur, untuk memikirkan diri sendiri. Justru keaktifan membuat mereka lebih mahir dalam mengatur waktu, mengatur emosi, dan meningkatkan kepribadian yang lebih baik.

Saya pun tidak ingin menjadi ‘orang biasa’. Karena di tangan para pemuda terdapat harapan untuk membangun masa depan lebih baik, karena di tangan pemuda pula segala potensi dapat dimaksimalkan, karena itulah saya ingin turut berperan dalam membawa perubahan. Setiap pemuda, tak terbatas asal daerah, status, dan kekayaan, pasti memiliki impian disadari atau tidak. Setiap pemuda selalu ingin menjadi yang terbaik di alam bawah sadarnya. Karena sejak lahir, setiap orang telah dibekali dengan mental seorang pemenang. Jadi, tak ada kata tak mungkin untuk sebuah perubahan. Saya dan setiap pemuda lainnya adalah agen-agen perubahan itu.

Berkaitan dengan perubahan menuju keadaan yang lebih baik, saya memilih untuk lebih fokus pada hal yang berkaitan dengan lingkungan. Mungkin karena saya sudah bersentuhan dengan materi dan kampanye-kampanye berkaitan dengan lingkungan sejak SMP, kesadaran untuk peduli telah tertancap di dada ini. Sewaktu SMP saya menyadari akan pentingnya hemat air dan menjaga sumber daya alam kita meskipun itu dapat diperbaharui. Saat SMA saya mendapatkan lebih banyak materi akan pentingnya menjaga lingkungan dan kebersihan. Saya sering merasa heran melihat begitu banyak orang yang dengan mudahnya membuang sampah di mana saja, sementara hal tersebut termasuk hal yang tidak berani saya lakukan. Mungkin mereka belum mendapatkan materi tentang lingkungan, kampanye cinta lingkungan, atau hal sejenis lainnya sehingga belum tumbuh kesadaran pada diri mereka. Atau kalaupun cukup sering mendengar dan mengetahuinya, hati mereka terlampau keras untuk sekedar mencintai lingkungan mereka sendiri. Saya akan merasa sangat bersalah, seperti dosa besar rasanya, jika membuang sampah sembarangan sampai saya lakukan. Karena saya tahu, satu sampah yang saya buang telah membebani bumi untuk ratusan bahkan ribuan tahun ke depan. Bumi tidak bertambah luas ataupun bertambah besar, tapi setiap hari sampah dan bermacam limbah lainnya terus bertambah. Lalu, ke mana bumi harus manampungnya?

Indonesia tertinggal dua puluh tahun dalam sistem pengolahan sampah. Saya berharap dari tangan pemuda lah ketertinggalan tersebut dapat dikejar. Sebenarnya sudah cukup banyak praktisi dan aktivis yang peduli pada masalah lingkungan (terutama global warming yang selalu menjadi isu lingkungan terkini), hanya saja jika dibandingkan antara masyarakat Indonesia yang peduli dan tidak, mereka yang tak acuh tetap jauh lebih banyak.

Saya bukan termasuk orang yang sangat peka dan ketat pada masalah kebersihan, karena terkadang untuk membersihkan dan memebereskan kamar sendiri sewaktu masa sekolah masih harus disuruh-suruh. Tapi saya mencoba untuk melakukan perubahan kecil-kecilan. Misalnya dengan menyapu dan mengepel kelas di pagi hari meskipun bukan di hari jadwal piket. Dari sana saya menyadari bahwa untuk melakukan sebuah perubahan kecil saja tidaklah mudah. Sindiran di sana, kritik di sini, yang mengatakan “Untuk apa dipel pagi-pagi, nanti juga kotor lagi!”, atau yang merasa kesal karena mereka tidak dapat melewati jalur yang basah karena sedang dipel.

Saya belum seperti para praktisi lingkungan lainnya yang telah memiliki kontribusi besar untuk kelestarian lingkungan. Saya dan beberapa teman sewaktu SMA hanya mencoba membuat sampah produksi siswa tersortasi dan melakukan sedikit program pengolahan limbah skala sekolah. Semangat itu pun timbul karena didukung oleh program lomba yang kami ikuti. Memang hanya hal kecil, tapi sekali lagi, impian untuk menjadikan Indonesia negara yang bersih dan asri selalu ada, dan seharusnya itu menjadi cita-cita setiap orang untuk mewujudkannya. Mungkin tidak cukup sebatas peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Setiap warga harus sering-sering mendapatkan materi dan sosialisasi akan lingkungan yang harus mereka lindungi.

Tak ada habisnya jika membahas tentang impian-impian untuk Indonesia, negeri kita tercinta. Namun, bukankah dari impian seseorang termotivasi untuk bergerak? Setiap pemuda yang memiliki impian, setiap itu pula harapan Indonesia menuju lebih baik bertambah. Terus membentuk dan membangun generasi yang lebih baik ibarat kawanan lebah yang terus menghasilkan madu terbaik. Para pemuda adalah lebah-lebah madu yang terus bergerak untuk memberikan sebanyak-banyaknya manfaat bagi orang lain, bagi lingkungannya. Mungkin madu itu tidak bisa dirasakan sekarang, karena ia harus dikumpulkan banyak sampai manis dan khasiatnya terasa. Tapi para lebah tak pernah lelah mencari madu, tak lelah bergotong royong membuat sarang terbaik untuk madu-madu mereka, dan seperti itulah impian para pemuda untuk Indonesia. Pemuda, lebah-lebah madu untuk Indonesiaku.

31/3/2009

Sebuah tulisan kecil yang ternyata membuatku bisa berada di antara orang-orang besar. Terima kasih

0 komentar:

Posting Komentar