Menjemput Pulang #bagian2

Selasa, 31 Maret 2015



Sering sekali kutengok ruangan yang ada di tepi kanan koridor utama tiap kali aku masuk menuju ruangan Tante dirawat. Penasaran karena ruangan ini tampak mencolok dan kontras dengan taman yang ada di seberangnya. Ruangan panjang, namun tidak begitu lebar, dengan jendela-jendela besar pada posisi rendah, sehingga tiap aktivitas pengguna yang duduk lesehan didalamnya bisa terlihat dengan mudah. Aku merasa ruangan ini seperti akuarium besar berisi macam-macam manusia dari segala usia.

28/01/14

Pagi itu aku berjalan melewati parkiran mobil yang basah dan tergenang air di beberapa sisinya. Hujan turun lebat sejak semalam dan masih berlangsung hingga pagi. Cuaca sempat reda hingga aku memutuskan berangkat ke RS dengan motor sambil membawa kasur lipat dan botol-botol air mineral untuk Om yang menunggui Tante di ICU sejak semalam. Di tengah jalan mendadak hujan turun lagi dan bertambah lebat. Aku memutuskan turun dari motor dan melanjutkan perjalanan dengan naik angkot sambil membawa kasur yang tepi jahitannya sudah mulai basah tersiram hujan.

Hari masih begitu pagi dan RS masih tampak sepi. Kulihat pintu pagar di koridor utama masih tertutup dan dijaga satpam. Ternyata Om Heri sudah menunggu kami di baliknya sehingga kami bisa masuk dengan mudah tanpa perlu menyiapkan alasan ini-itu pada pak satpam agar pagar pembatas dibuka.

Om Heri menyalami kami dengan wajah sembab, matanya berkaca-kaca. Kutahu semalaman ia menangis dan mungkin tidak tidur.

“Teh, Tante masuk ICU.”

Dalam kondisi normal, mungkin aku akan berkata ‘iya om, tahu kok, makanya Teteh kesini bawa kasur buat Om’ untuk menanggapi pernyataan basa-basi Om yang sesungguhnya merupakan ekspresi kesedihan. Sebaliknya aku berkata, “Iya Om, kita harus sabar. Tante pasti akan mendapat yang terbaik.”

Sebenarnya aku ingin sekali menambahkan ‘kenapa kondisi Tante memburuk justru saat Teteh tidak ada ya, Om. Padahal pemeriksaan kemarin siang menunjukkan gejala ke arah yang lebih baik. Seharusnya Om tidak sendirian. Seharusnya Teteh juga ikut menemani Tante’, tapi nyatanya aku tidak melanjutkan kalimat tersebut. Aku tidak ingin berandai-andai atau menuntut takdir dengan pertanyaan ‘kenapa’. Yang harus kulakukan sekarang adalah membangun optimis dan optimis bahwa Tante akan baik-baik saja. Sungguh, terus menyalakan harapan di hadapan realita yang tidak menyenangkan tidaklah mudah. Aku tidak tahu apakah kesembuhan adalah yang terbaik untuk Tante ataukah sebaliknya. Yang kutahu adalah aku hanya perlu berpikir yang baik-baik saja, berdoa yang baik-baik saja, dan mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan di hari esok yang ‘pasti terbaik’ menurut Allah.

Ruang tunggu ICU dihuni oleh sekitar delapan keluarga. Ruang ICU-nya sendiri terletak di lantai atas yang dihubungkan oleh tangga dari dalam ruang tunggu. Keluarga pasien tidak perlu keluar ruangan ataupun bolak-balik melihat ke atas jika ada panggilan keluarga oleh petugas. Ruang tunggu ini sudah dilengkapi dengan speaker, air conditioner, dua buah kamar mandi, dua buah rak sepatu, dan sebuah gantungan handuk yang dapat digunakan oleh keluarga pasien yang menginap. ‘Akuarium besar’ ini sudah layaknya rumah sementara tempat kami menunggu anggota keluarga kami yang sedang berjuang di ruang atas sana.

Om Heri mendapatkan kavling di sisi selatan bagian tengah, tepat bersisian dengan jendela besar yang menghadap ke koridor. Dua keluarga sudah lebih dulu ada disamping kiri (sisi barat) kami dan dua keluarga lainnya lagi disamping kanan (sisi timur). Satu keluarga mengambil kavling di pojok ruangan, sedangkan dua keluarga lain sisanya menempati sisi ruang sebelah utara, berhadap-hadapan dengan kami. Kuperhatikan ada beberapa orang yang sudah lanjut usia duduk di atas alas tikar atau karpet yang mereka gelar pada ‘kavling’ mereka. Mungkin pasien di ICU adalah suami atau istri mereka. Sebagian lainnya adalah anak muda atau orangtua muda yang membawa anaknya yang masih kecil.

Kutebak anggota keluarga yang sedang mereka tunggui adalah orangtua atau saudara kandung mereka, jika bukan pasangan. Ada salah satu keluarga yang mengambil kavling di paling pinggir dekat dengan pintu keluar, selang satu kavling dari kavling Om Heri. Keluarga ini tidak hanya terdiri dari satu atau dua orang saja yang menunggu, seperti kebanyakan keluarga lainnya, melainkan lebih dari lima orang. Rupanya suami, anak, menantu, dan cucu hadir semua. Sang suami yang istrinya tengah dirawat di ICU bahkan sampai membawa kursi khususnya karena kondisinya pun sudah tidak cukup kuat untuk duduk atau berbaring di lantai terlalu lama.

Aku menanyakan kondisi Tante pada Om. Belum bisa menjenguk ke atas karena belum saatnya jam besuk. Pada saat jam besuk pun sebenarnya hanya diizinkan melihat dari jendela, kecuali jika perawat membolehkan masuk dengan syarat satu per satu dan menggunakan baju khusus. Om bercerita bahwa semalam Tante gelisah, berteriak-teriak menyebut asma Allah, memanggil nama Om, dan juga memanggil-manggil ummi (mertua Tante). Perawat memanggil Om melalui pengeras suara dan memintanya mendampingi Tante sampai kondisi Tante tenang. Setelah kondisi Tante tenang barulah Om meninggalkan ruangan dan berisitirahat di ruang tunggu. Tidak bisa berisitirahat pastinya. Kondisi yang tidak nyaman dan khawatir yang luar biasa akan kondisi Tante menyebabakan Om berjaga semalaman.

Selesai Om bercerita, ia pamit pulang. Ingin istirahat di rumah, salin pakaian, sambil menjemput anak-anak. Suamiku telah pamit lebih dulu sebelumnya. Akhirnya aku menunggui Tante sendirian, mencoba beradaptasi dengan ‘rumah’ baru yang seperti akuarium ini. Berkenalan dengan beberapa keluarga lainnya sedikit membuatku lebih nyaman. Ada yang baru menunggu semalam, dua malam, ada juga yang sudah seminggu anggota keluarganya dirawat di ICU. Itu adalah keluarga yang suami-anak-mantu-cucu hadir semua itu.



Menjelang siang tetangga-tetangga dari komplek rumahku datang menjenguk. Tetangga rumahku adalah tetangga Tante juga, karena dulu hampir sebelas tahun Tante tinggal di tempat yang sama. Beberapa keluarga juga datang. Sepupu Tante dari Jakarta yang dahulu merupakan teman main Tante sejak kecil, Om-ku dari bekasi yang merupakan adik kandung Mama, Ummi dan adik laki-laki Om Heri, semuanya datang. Keluarga dari Cirebon mengatakan baru bisa datang pada hari Kamis dan Jumat, dua hari lagi. Setidaknya nanti aku memiliki teman saat menunggui Tante, atau kami bisa bergantian dengan Om sehingga tidak terlalu lelah.

Beberapa diantara para pembesuk masuk satu persatu dan mencoba berbincang dengan Tante. Sesekali Tante tampak merespon dengan mata atau gerak mulut yang sedikit,  selebihnya hampir tidak ada respon sama sekali. Meski demikian, nanti kami pun akhirnya tahu bahwa Tante menyadari kehadiran kami. Ia mendengar semua yang kami ucapkan walau mata terpejam. Malam hari saat kondisi Tante membaik, ia mampu berbicara banyak dengan Om meski tak begitu jelas. Bersyukur bahwa pada malam ini Tante tidak gelisah ataupun demam. Kondisinya cukup tenang hingga bisa banyak mengobrol dengan Om yang menungguinya, sementara aku sudah lebih dulu pulang sejak magrib setelah menemani Tante rontgen dan CT Scan di bagian radiologi.

Rupanya tidak hanya kesadaran Tante yang semakin membaik. Ingatannya pun masih sangat baik. Om mengatakan bahwa Tante Ike –sepupu Tante- datang menjenguk bersama ibunya. Tante justru mengatakan bahwa ibunya Tante Ike itu ada di Malaysia, mana mungkin ikut datang. Om tertawa gembira. Ia sedang menge-test Tante. Ternyata Tante masih ingat. Tante Ike memang tidak datang sendiri. Ia datang bersama ibu mertuanya, bukan ibunya.

29/01/14

Seperti hari sebelumnya, aku datang pagi-pagi sekali ke RS. Kavling tempat kami kosong. Hanya kasur lipat yang terhampar dingin di atas tikar anyam sebagai alasnya dan kardus air mineral yang bersandar di tembok. Rupanya semalam Om tidak menginap karena harus mengurus anak-anak ke sekolah. Om menitipkan Tante pada perawat dan memintaku datang sepagi mungkin, khawatir ada panggilan dokter.

Aku duduk di atas kasur, menekuk lutut membentuk siku untuk kujadikan alas membaca buku. Kukeluarkan buku catatan perjalanan seorang petualang yang suka berkeliling. Ah, aku baru sampai pada daerah Melacca, Malaysia. Daerah yang kental atmosfer kebudayaan dan peninggalan sejarahnya. Sang penulis berkeliling dengan menggunakan sepeda, sepertinya asyik sekali.

“Panggilan kepada keluarga ... ... ditunggu ... ... dokter ...”

Aku menutup buku dan memperhatikan speaker. Suaranya timbul tenggelam. Keluarga siapa yang dipanggil?

“Panggilan kepada keluarga Bapak Rokhim, ditunggu di ruang ICU karena ada dokter. Sekali lagi panggilan kepada Bapak Rokhim, ditunggu di ruang ICU karena ada dokter.”

Oh, bukan.

Kenapa suara speaker-nya kecil sekali? Kuperhatikan diantara keluarga penunggu belum ada yang bergerak. Siapa keluarganya Bapak Rokhim? Jangan-jangan keluarganya tidak sadar karena suara panggilan begitu kecil dan kurang jelas. Ibu-ibu disampingku sampai berkomentar, “Ini perawatnya belum sarapan mungkin. Jadi tidak kedengaran.”

Beberapa keluarga lain ikut tertawa, sebagian lain ikut menimpali dan kembali memecah tawa. Salah seorang di pojok ruangan menegur ibu-ibu yang berada di kavling sebelahnya, mengatakan bahwa nama suaminya yang dipanggil.

Sedikit salah tingkah sang ibu bergegas naik ke tangga menuju ruang ICU di atas, tapi tak lama turun kembali.

“Ini teh benar yah, Bapak Rokhim yang dipanggil?”

“Iyaaa buu....”

Koor hampir semua orang yang ada di ruang tunggu. Beberapa orang kembali tertawa kecil. Salah seorang ibu berkata masih sambil tersenyum, “Di sini kita sih bisa ya, ketawa-ketawa. Kalau di atas aja... bawaannya ingin menangis...”

Ya Allah, tiba-tiba saja orang-orang dalam ruangan ini seperti jadi keluargaku. Kami bisa tertawa bersama. Tersenyum bersama. Namun di balik tawa dan senyum itu, kami pun menyimpan tangis, harap, cemas, dan doa yang tidak putus-putusnya. Berbagi rasa dan tawa begini membuat kami saling menguatkan. Sungguh, tak pernah sekalipun Engkau membiarkanku sendirian.

Hujan turun tak lama kemudian. Semakin deras. Aku duduk menghadap jendela, memeluk lagi kedua kaki yang kutekuk membentuk siku. Menikmati tampias hujan yang membentur-bentur kaca jendela. Aromanya menggoda indera penciuman pada hidungku. Aku selalu suka hujan. Wangi air yang menyentuh rumput, menumbuk tanah, atau menyiram genting-genting rasanya begitu istimewa. Tidak hanya membuat udara lebih sejuk, tetapi juga menyejukkan hati dan pikiran.

Hmm... seharusnya saat ini aku sedang liburan ke Garut bersama keluarga. Silaturahim ke rumah saudara yang sudah kami rancang jauh-jauh hari. Memancing di empang, jalan-jalan di kebun, bermain di halaman berumput yang luas bersama sepupu-sepupu yang masih imut, mencari tutut di sawah.... Tapi kupikir ini tidak buruk. Memaksakan liburan ke Garut saat inipun tidak akan membuatku gembira. Anggap saja aku sedang liburan di rumah sakit. Mengunjungi tempat baru (aku belum pernah masuk ICU di PMI sebelumnya), berkenalan dengan orang-orang baru, dan mendapat ilmu baru juga (karena berdiskusi dengan dokter atau memperhatikan para perawat yang sedang bekerja). Hal yang aku syukuri adalah bahwa semua ini terjadi saat kampus sedang libur dan ujianku telah usai. Tak bisa kubayangkan bagaimana aku jika kuliah dan praktikum belum selesai. Bersyukur waktuku leluasa untuk menjaga Tante saat ini.

Menjelang tengah hari, Om Heri datang. Ia menanyakan apakah sudah ada panggilan dari dokter. “Belum ada,” kataku. Biasanya dokter datang sekitar pukul 11. Mungkin sebentar lagi ada panggilan, pikirku sambil melihat jarum jam di ruangan yang menunjukkan pukul 10.50.

Dugaanku benar. Tidak lama panggilan untuk “suami Ibu Ayati” terdengar dari speaker di ruang tunggu. Om Heri pun naik ke ruang ICU. Kembali dari atas, Om menyampaikan saran dokter dan perawat untuk merujuk Tante ke RSCM. Tujuan sebenarnya untuk melakukan MRI. Hanya saja, persiapan untuk menghadapi hasil MRI yang biasanya baru keluar beberapa hari setelah test, Tante disarankan untuk memesan kamar di bagian neurologi. Jika ternyata ada tindakan lanjutan yang membutuhkan penanganan khusus, itu akan memudahkan karena di RSCM peralatannya lebih lengkap.

Rupanya Tante sedang terjaga di atas. Saat Om menyampaikan perihal RSCM, Tante meminta untuk membawanya segera. Ia berkali-kali berkata ingin cepat sembuh. Ia bahkan berkata tidak perlu ada yang menjaga atau menemaninya di sana, yang penting cepat sembuh.

Aku bertanya pada Om apakah sudah memberikan jawaban pada pihak RS. Om berkata belum karena bingung nanti siapa yang menunggui Tante di Jakarta. Om harus mengurus anak-anak, katanya. Duh, rasanya gemas mendengar keputusan yang tidak segera diambil. Aku ingin berkata memutuskan, tapi kembali kuurungkan. Aku tidak boleh mengambil keputusan sepihak. Aku pun tahu Om tidak yakin mengambil keputusan sendiri. Oleh karena itu ia lebih dulu menyampaikannya padaku. Akhirnya aku menelepon Ayah. Begitu mendengar ceritaku, respon Ayah berbeda dengan Om.

“Jangan pikirkan siapa yang menunggui! Itu bisa diatur. Bisa Om atau Ayah bergantian. Atau Teteh juga bisa. Yang harus dipastikan sekarang adalah biaya perawatan di sana masih dicover oleh PMI atau tidak? Kalau masih tercover semua jangan pikir-pikir lagi. Segera setujui. Tanyakan itu ke perawat!”  

Benar juga. Prioritas disini adalah masalah biaya, bukan tenaga. Aku segera menuju ruang ICU dan menandatangani persetujuan penawaran rujukan tersebut begitu tahu semua biaya masih ditanggung oleh PMI .

Singkat cerita, aku diminta Om untuk menghubungi teman sejawat Tante di ruang Seruni yang kabarnya memiliki koneksi ke RSCM. Namanya Ceu Ema. Ternyata Ceu Ema sudah berkali-kali mencoba kontak dengan temannya di RSCM, namun belum ada balasan. Karena Ceu Ema sedang bertugas, teman perawat lainnya mengantarku menemui para perawat di ICU kembali untuk memastikan proses yang akan diambil. Kepala perawat ruangan yang saat itu berjaga menyarankanku untuk pergi ke RSCM siang itu juga, memastikan ada tidaknya kamar tersedia disana. Pengalaman PMI jika menghubungi via telepon, jawaban RSCM kamar selalu penuh. Padahal belum tentu.

Aku menyanggupi pergi ke RSCM dan segera bersiap. Perawat membantu menyiapkan berkas-berkas berupa surat rujukan dokter dan hasil dua kali rontgen Tante. Dokter jaga ICU memberi tahuku yang belum pernah ke RSCM ini (sendirian pula) rute tercepat menuju kesana. Seorang perawat lain bahkan menyarankan Ceu Ema untuk izin agar bisa menemaniku, tetapi kukatakan tidak apa-apa jika tidak bisa. Ya kali kita menyuruh orang korupsi waktu kerjanya, padahal banyak pasien lain yang juga butuh perhatian. Hmm... tapi semua ini membuatku terharu. Rasanya semua orang begitu peduli pada Tante. Dan sikap cair mereka membuatku tidak canggung walaupun baru sekali ini bertemu dan mengobrol.

Sebelum berangkat aku salat zuhur terlebih dahulu. Di ruang tunggu kulihat Om tertidur sambil menggigil. Rupanya Om demam. Aku menyelimutinya, meminta tolong seseorang untuk membelikan obat penurun panas, lalu mengambil berkas-berkas Tante yang harus kubawa, dan bergegas menuju stasiun.

Sepanjang perjalanan aku terus berkomunikasi dengan Ayah yang rupanya sedang ada urusan kantor juga di Jakarta. Kukatakan aku sudah mendapat rute ke RSCM. Aku melakukannya sesuai petunjuk dokter jaga, semoga ini mudah dan aku tidak kesasar. Aku turun di stasiun Cikini, langsung menemukan kopaja yang kutuju begitu sampai di luar stasiun dan meminta pak supir untuk menurunkanku di depan IGD RSCM. Dari pusat informasi aku diarahkan menuju tempat pendaftaran rawat inap yang lokasinya berbeda gedung. Ramainya suasana di RSCM dan sudut-sudut bangunan yang masih asing bagiku sedikit membuat khawatir, tapi aku tidak kesasar. Lokasi yang diberitahu dapat kutemukan dengan mudah, alhamdulillah....

Seperti sebuah penolakan begitu aku mengetahui kamar rawat neurologi sedang penuh dan masih ada waiting list juga. Rasanya jadi ingin menangis. Aku segera mengontak kepala perawat ruang ICU yang sedang bertugas, mengatakan bahwa tidak ada kamar tersedia. Setelah menanyakan dan memastikan beberapa hal, aku pun pulang berjalan kaki menuju Stasiun Cikini.

Aku melewati lorong-lorong di RSCM yang tidak hanya penuh oleh keluarga pasien, tetapi juga oleh perawat dan dokter yang sibuk berlalu-lalang. Kuperhatikan lorong-lorong ini tidak se-klasik lorong rumah sakit di PMI. Langit-langitnya lebih rendah, lantainya tidak berwarna putih dan sebagian bermotif. Mungkin di sini sudah lebih banyak diadakan renovasi. Meskipun begitu, kulihat fasad-fasad bangunan lama masih dipertahankan karakter kolonialnya. RSCM ini benar-benar luas! Dari tepi jalan saja, aku sudah berjalan beberapa ratus meter dan masih juga membaca petunjuk bangunan ‘ini RSCM bagian...apa gitu’.  Hal yang paling menarik dari signage yang kubaca sepanjang jalan adalah larangan bagi para mahasiswa profesi dan koas untuk membawa kendaraan pribadi. Hmmm... ini seperti ospek. Tapi ini aturan bagus. Kalau mahasiswa boleh bawa kendaraan pribadi, parkir rumah sakit tentu akan sangat penuh.



Di perjalanan menuju stasiun ayah meneleponku dan menanyakan perihal hasil lawatanku ke RSCM. Penuh, kataku. Kepalaku penuh, kelenjar air mataku penuh, asam laktat di kedua kakiku penuh! Aku mengatakan itu pada ayahku? Tidaklah... aku hanya mengatakan kamar bagian neurologinya penuh. Lalu ayah mengajakku untuk bertemu di gerbong kereta. Ia sudah naik dari Stasiun Gondangdia gerbong keempat. Aku yang tadinya berjalan kini setengah berlari menyusuri trotoar dan bergegas menyeberangi jalan menuju pintu masuk Stasiun Cikini.

“Tidak lama lagi.... jalur.... kereta.. bogor...”

Sayup-sayup kudengar pengumuman dari arah atas. Benar saja, belum kakiku menginjak lantai stasiun, suara menderu roda besi yang beradu dengan rel sudah terdengar. Tidaaak...keretanya sudah datang! Buru-buru aku tapping kartu dan melesat berlari melompati puluhan anak tangga menuju peron yang (kenapa harus) letaknya di atas?! Seorang ibu sempat berkomentar melihatku berlari, “Santai, Mbak. Keretanya masih banyak.”

Saya bukan mengejar kereta, Bu. Saya mengejar ayah saya yang cuma ada di kereta yang ini. Aku hanya menjawab dalam hati. Aslinya hanya senyum sepintas merespon komentar si ibu. Kalau dipikir-pikir kenapa pula harus bela-belain satu kereta dengan ayah, ya? Toh nanti sore juga akan bertemu di PMI. Sudahlah, ini seru! Kalau tidak untuk bertemu ayah di gerbong, aku tidak akan berlari.

Blast! Aku masuk gerbong dengan selamat. Sepersepuluh detik sebelum pintu kereta kembali tertutup. Kutengokkan kepala ke kanan dan ke kiri, mencari...ah, itu ayah! Ayah melambaikan tangannya ke atas memberiku kode. Ternyata aku masuk ke gerbong yang benar. Aku berjalan dan duduk di samping ayah dengan lega. Ayah memberiku minuman teh dingin favoritnya. Alhamdulillah.... rasanya semua ‘penuh’ yang tadi kurasakan hilang seketika saat meneguk teh dingin dari ayah.

-catatan 14 Maret 2014-

0 komentar:

Posting Komentar