Pesan Buya #3 Sabar

Selasa, 28 April 2015



"Kesempuranaan tanggung jawab adalah sabar. Bukan hanya halangan dari yang benci dan sayang yang akan menghambat. Bahkan, banyak keadaan lain yang harus dihadapi, dilalui, atau diatasi. Pengalaman hidup menunjukkan bahwa suatu keadaan yang sulit tidaklah terus dalam kesulitannya. Hari ini ada kemudahan, besok pasti ada kesulitan. Namun, kita percaya kesulitan itu tidak terus-menerus melainkan akan terlepas dan akan menjadi salah satu mata rantai dari kenangan hidup.

William Pitt, negarawan Inggris yang terkenal, pernah bertanya kepada teman-temannya, "Sifat apakah yang harus ada pada seorang perdana menteri?" Seseorang menjawab, "Lidah yang jelas berkata-kata." Seorang lagi menjawab, "Luas ilmunya." Kata yang seorang lagi, "Giat bekerja!" Akhirnya William Pitt berkata, "Pada hemat saya, syarat yang utama bagi seorang perdana menteri adalah kesabarannya."

Teringatlah kita Dr.H.Muhammad Hatta, ketika menjadi perdana menteri. Ingatlah Perjanjian Renville yang ditinggalkan Amir Syarifuddin. Dengan matanya yang tenang, dia melihat dari pinggir Ngarai Bukittinggi, bagaimana kekalahan dan kesalahan kita, yang telah terjadi sejak Revolusi Surabaya, penculikan Syahrir. Linggarjati, tindakan pertama, lalu kepada Renville. Kesudahannya yang lain tidak dapat dilaksanakan lagi, benang telah bertambah kusut. Wakil presiden Hatta pun dijemput ke Sumatera. Hanya dialah yang ditunggu. Dialah "orang waktu".

Sampai di Jawa, dilaksanakan perkataannya yang pernah diucapkan bahwa pemimpin pada suatu waktu harus sanggup menjadi perdana menteri. Kepercayaan rakyat belum rusak kepada Soekarno dan Hatta. Jatuhlah kabinet Amir Syarifuddin lalu berdiri kabinet presidentil. Hatta, dari wakil presiden menjadi perdana menteri. Diterimanya Perjanjian Renville, tetapi tangannya sendiri yang harus memegang walaupun sebetulnya hatinya tidak menyetujui. Seakan dia berkata, "Hancur negara ini kelak jika yang muda-muda dibiarkan juga."

Amir menyusun kekuatan. Muso datang dari Moskow. Dengan berbagai akal perang ingin menjatuhkan kabinetnya. Dahulu, KNIP di Malang, pertama kali dia menunjukkan siapa dia dan siapa Soekarno. Dia berkata, "Jika undang-undang yang kami kemukakan tidak diterima, Tuan boleh mencari presiden dan wakil presiden yang lain!" Majelis diam.

"Singa Hatta" keluar kembali, setelah dia mengetahui bahwa Muso-Amir akan melakukan tindakan tidak sah. Dalam sidang KNIP telah dinyatakan, "Kita tidak mau menjadi obyek dari dua negara besar yang sedang bertentangan.  Kita akan menentukan nasib kita sendiri! Segala sikap yang mengganggu keamanan akan kita tindas dengan tangan besi!" Timbullah pemberontakan Madiun yang menyedihkan. Hatta menebus apa yang telah dinyatakan mulutnya. Aksi Madiun dipatahkan dengan tidak mengenal ampun.

Masih belum selesai di Madiun, Belanda mengambil kesempatan, tindakan agresi kedua dilakukan. Dengan perhitungan tepat, Hatta telah mengatur lebih dahulu segala persiapan. Maramis ke luar negeri, Syafruddin meneruskan perjuangan gerilya di Sumatera dan Presiden beserta dia menjadi tawanan. Gerilya menghebat, dunia geger. Belanda terpaksa melanjutkan pembicaraan dan mengajukan jempolan ulungnya, Van Royen. Hatta memberikan anak caturnya, Roem.

Konferensi Inter-Indonesia, Konferensi Meja Bundar, Penyerahan Kedaulatan dan Republik Indonesia Serikat. Dan kembali lagi ke negara kesatuan. 

Belum berapa hari penyerahan kedaulatan, muncul peristiwa Westerling. Kedapatan niat Hamid II merobohkan pemerintahannya dan membunuhnya. Timbul peristiwa Makassar. Akan adakah lagi?

Akan banyak lagi perkara besar yang dihadapinya. Tetapi pribadi Hatta, selain Presiden Soekarno, akan tetap menjadi salah satu bintang kemanusiaan di Asia, bahkan di dunia karena kesabarannya. Jika kita ingin mencari arti yang sebenarnya tentang sabar, setelah Indonesia merdeka, ambil saja artinya dari pribadi Hatta.

Apa sebab kami berkata seperti itu? Sebab pada zaman penjajahan, karena kelajuan aniaya dan penjajahan, menahan hati melihat kehinaan jiwa, kita telah salah memberi arti sabar. Menahan hal yang menimpa bangsa sehingga semangat menjadi pasif, itulah arti sabar pada bangsa yang lemah.

Sekarang Hatta sudah meninggal. Penghargaan yang kita berikan adalah haknya. Sebagai manusia, tentu dia memiliki kekurangan, yang akan cepat tampak oleh orang-orang yang tidak menyetujuinya. Bukankah itu yang bernama politik?

Khalid bin Walid dalam pidatonya mengatakan, "Hai umat Islam! Sabar adalah kemuliaan dan kalah adalah kehinaan. Kemenangan ada pada kesabaran."

Memang, jika tidak ada kesabaran menderita, kesabaran yang ada pada rakyat yang berjuang dan bergerilya selama empat tahun, ditimpa kemelaratan dan kemiskinan, dengan kekurangan alat senjata--selain adanya iman--agaknya tidaklah akan sampai terpancang bendera Dwiwarna di puncak Istana Merdeka. Keguncangan menghadapi keadaan genting dan hebat adalah tanda kelemahan jiwa. Itulah pangkal kekalahan.

Pribadi yang kuat tidak cepat terguncang. Apa dikatakan yang sulit oleh si lemah jiwa, adalah "perkara kecil" kata pribadi besar. Orang yang lemah tetapi bersabar akan lebih menang daripada orang kuat tetapi terburu-buru dan terlalu bernafsu.

Jika kesabaran telah menjadi sebab kemenangan bagi orang besar, seperti William Pitt dan Hatta, kesabaran pulalah yang akan mengukuhkan pribadi orang biasa hingga dapat menjadi orang besar. Isaac Newton menjadi orang besar karena kemarahan gurunya sebab menyangka otaknya tumpul. Suatu hari gurunya marah, "Hai, Isaac! Kenapa engkau tidak juga paham apa yang saya ajarkan?" Dengan sedih murid yang tumpul otak itu menjawab, "Janganlah marah kepada saya, Pak Guru! Anda saya perhatikan, tidak ada ajaran guru yang saya biarkan lepas dari telinga saya dan saya tidak pemalas. Namun, belum juga bisa! Tetapi Pak Guru, saya yakin kelak akan dapat juga." Gurunya terdiam mendengar jawaban itu.

Setelah itu, karena kesabarannya ia dapat menaiki jenjang filsafat yang tinggi sehingga dia terhitung sebagai salah seorang ahli ilmu alam yang besar. Dialah yang mendapat teori ilmu alam tentang kekuatan gravitasi karena melihat buah apel jatuh dari tangkainya. Dia pun mengaku bahwa kenaikannya lantaran kesabarannya walaupun pada mulanya otaknya tumpul.

Oleh karena itu, tepatlah di sini kita kutipkan perkataan Syekh Muhammad Abduh, seorang ahli filsafat Islam, "Sabar adalah ibu segala akhlak.""

(Buya Hamka)

Pesan Buya #2 Bertanggung Jawab



Kali ini Buya Hamka dalam petuah-petuahnya untuk menjadi pribadi hebat memaparkan tentang poin-poin yang membentuk kesempurnaan pribadi, salah satunya adalah pandangan hidup. Dalam sub-bab ini ada empat poin mengenai usaha menjelaskan siapa diri dan bagaimana pandangan hidup, yakni: berterus terang, bertanggung jawab, sabar, dan kemauan yang keras. Pada catatan ini akan saya sampaikan tentang poin bertanggung jawab dan poin sabar (untuk catatan berikutnya). Begini pesan Buya:

"Berani bertanggung jawab adalah kata yang telah hidup dalam masyarakat bangsa Indonesia sejak memperjuangkan kemerdekaan. Dahulu kita tidak mengenal artinya secara mendalam. Berani bertanggung jawablah yang telah menimbulkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Berani bertanggung jawab dan tidak mengelak dari amanah yang telah disanggupi dan mau memikul risiko pekerjaan yang telah dimulai, itulah tanda yang pasti dari kepercayaan pada kemampuan diri sendiri.

Banyak orang yang dapat memikul suatu tanggung jawab mengelak dari tanggung jawab dan orang yang sebetulnya tidak dapat menyempurnakan tanggung jawabnya justru berkejaran dan memperebutkan tanggung jawab itu. Keduanya adalah "semangat budak" yang belum hilang karena sifat itu telah beratus tahun tertanam dalam hati bangsa Indonesia. Pada dua masa penjajahan, kita memandang bahwa pangkat atau jabatan bukanlah kewajiban yang harus dipikul, melainkan suatu kemegahan yang harus dibanggakan. Sebab, pada masa itu tanggung jawab yang penuh tidak ada pada kita, setinggi-tinggi pangkat adalah menjalankan perintah "dari atas". Derajat seorang kontelir Belanda jauh lebih tinggi dirasakan oleh kita daripada derajat seorang bupati. Padahal, bupati adalah setinggi-tingginya pangkat yang dapat dicapai bangsa kita pada masa itu dan kontelir adalah pangkat Belanda yang rendah.

Jika orang yang mengejar pangkat dipandang suatu kesalahan, orang yang mengelak dari tanggung jawab padahal dia sanggup adalah lebih salah lagi. Hal itu tanda sifat penakut. Orang yang takut dicela akhirnya tentu takut kepada bayang-bayang sendiri. Padahal jika dia berpikir lebih dalam, tentu suatu hal yang patut lebih ditakuti adalah mengecewakan urusan umum karena dia sebagai orang yang pantas dan mampu tidak berani menghadapinya.

Memang, keberanian memikul tanggung jawab pada suatu waktu akan menghadapi kesulitan. Adakah didapati suatu jalan di dunia ini yang datar belaka? Adakah dalam segala sisi kehidupan yang tidak memiliki kesulitan? "Sata takut orang akan marah," katanya. Adakah manusia takut bertanggung jawab karena semata-mata dimarahi orang? Bukankah banyak kepala manusia banyak juga pendapatnya?

Pedoman dalam memikul tanggung jawab adalah jiwa sendiri. Dalam jiwa yang bertujuan suci dan berkehendak mulia senantiasa muncul ilham menghadapi pekerjaan. Laksanakan terus kerja itu dan jangan perhatikan kebencian dan kemarahan orang. Tidak semua orang akan marah atau benci. Pasti ada orang yang akan menyetujui. Jangan hanya mengingat orang yang tidak suka. Ingat pula bahwa banyak yang suka. Disana terletak kebesaran jiwa orang yang suci dan bertanggung jawab.

Jika kita bermasyarakat, pasti ada lawan kita. Yang tidak memiliki lawan hanyalah orang yang tidak berani bertanding. Tanyailah hati sendiri. Adakah dalam hati cinta kepada Tuhan, tanah air, bangsa, kewajiban, dan kemuliaan hidup? Jika ada, dengan penuh rasa tanggung jawab, pikullah kewajiban itu dan dakilah gunung kehidupan. Tentu di tengah jalan akan ada yang menghambat. Apabila engkau dapat mengatasi halangan yang pertama, halangan yang kedua bukanlah halangan yang pertama lagi. Akhirnya, engkau akan sampai di puncak dan pada hakikatnya halangan itulah yang menolong engkau naik ke puncak.

Keberanian bertanggung jawab akan memunculkan orang yang memuja dan menghargai. Disamping orang yang mencela dan ingin engkau jatuh. Keduanya kelak yang akan mendesak supaya engkau lebih hati-hati dan memperbagus mutu pekerjaan, sehingga seseorang akan bernilai lebih tinggi dari beribu manusia. Namamu tidak lepas dari mulut yang memuji dan yang mencela. Yang memuji setinggi langit sehingga kedudukanmu disamakan dengan malaikat suci dan yang mencela akan membenamkan engkau sampai bagian terbawah bumi. Diatas keduanya itulah, pujaan dan celaan, terletak kebesaran. Apabila keduanya tidak ada lagi tamatlah riwayatmu walaupun napasmu masih ada.

Seorang pendengki pada suatu hari berkata dan mencela orang yang dibencinya, "Si fulan sekarang sudah jatuh!" Jelaslah bahwa dalam perkataannya itu tersimpan pengakuan bahwa yang dicelanya memang tinggi. Jika tidak diakui orang itu telah tinggi, mengapa disebutnya perkataan jatuh? Adakah barang yang ada di bawah terjatuh? Adapun benarkah telah jatuh atau belum--selama di dunia masih ada persaingan hidup--hal itu masih menjadi perselisihan di antara yang memuja dengan yang mencela.

Berani bertanggung jawab membuat orang yang kuat menjadi lebih kuat. Ataupun sebaliknya, suatu pekerjaan yang dipikul dengan tidak penuh tanggung jawab akan membuat orang yang lemah menjadi lebih lemah.

Sultan Hamengku Buwono IX, sedikitpun tidak mengelak dari tanggung jawab ketika diserahkan kepadanya tanggung jawab menjaga keamanan Yogyakarta saat Republik Indonesia akan dikembalikan. Tanggung jawab itu diterimanya dengan sepenuh hati dan dilaksanakannya dengan tidak banyak bicara. Hamengku Buwono menjadi sorotan mata dunia. Kesanggupannya menyebabkan pemerintah memberikan tanggung jawab yang lebih besar, yaitu menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia. Dalam beberapa bulan saja, terjaminlah keamanan seluruh daerah Republik Indonesia dan berjalanlah rasionalisasi. Namanya bertambah naik. Akhirnya setelah Konferensi Meja Bundar, berdirilah Republik Indonesia Serikat. Kepadanya dipikulkan tanggung jawab yang lebih besar lagi menjadi Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat. Orang yang seperti itu, walaupun sudah tidak menjabat sebagai menteri, tetap menjadi kekayaan tanah air, yang senantiasa siap sedia menunggu panggilan.

Terkadang seorang menteri atau seorang kepala suatu perusahaan besar atau pimpinan suatu surat kabar kelihatan hanya duduk-duduk di depan mejanya. Terkadang dia cepat masuk kantor, lebih dahulu datang daripada pegawainya, terkadang seharian dia tidak datang. Dia hanya menandatangani surat yang disodorkan karyawannya. Tampaknya dia senang saja tidak bekerja. Akan tetapi di setiap sudut, kelihatan krani-krani, klerk dan juru tik bekerja sangat sibuk. Semuanya bergerak, tidak ada yang diam, gesit, giat, dan wajah mereka gembira semuanya. Apa sebab? Jiwa tanggung jawab yang ada pada menteri atau pimpinan mengalir laksana aliran listrik kepada setiap jiwa pekerja yang ada di bawah kekuasaannya. Rasa cinta bercampur dengan gembira, bercampur pula dengan takut, terkumpul semuanya. Gaji pemimpin lebih besar. Memang, karena karyawan yang diberi gaji adalah tanggung jawabnya. Meskipun dia masuk ke kantor hanya sesuka hatinya, tetapi kehadirannya sudah cukup untuk memberi sinar seluruh jabatan di kantor itu. Orang-orang bawahannya berani mengerjakan pekerjaan, walaupun perintah tidak banyak karena dia mengetahui isi hati pemimpin itu, apa yang disukainya dan apa yang tidak. Ketika dia membaca surat yang akan ditandatangani dengan senyum dia membubuhi tanda tangannya.

Lihatlah nahkoda besar dalam sebuah kapal besar dalam pelayaran yang jauh. Juru kemudi utama mengepalai segala pekerjaan di atas. Masinis bekerja di bawah, segala klasi bergerak, juru batu mengukur lautan, dan nahkoda hanya asyik bercakap-cakap dengan penumpang yang terhormat. Segala aktivitas yang terjadi dalam kapal adalah aliran semangat tanggung jawab nahkoda."

Pesan Buya #1 Tentukan Arahmu

"Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!" -Hamka-


Salah satu buku best seller tulisan Buya Hamka zaman dulu berjudul "Pribadi", kini mulai diterbitkan ulang dengan judul "Pribadi Hebat". Tidak hanya berisi pesan-pesan inspiratif yang memotivasi, karya ini juga memuat berbagai contoh dan teladan dari banyak orang besar berkepribadian luar biasa. Salah satu bab didalamnya adalah tentang beberapa poin yang dapat melemahkan pribadi. Satu diantaranya adalah sikap tidak tentu arah. Ini kata Buya:

"Ada orang yang sangat ingin menjadi orang besar. Sering dia membanggakan diri bahwa dia berkenalan dengan menteri itu, pernah naik mobil bersama denganpemimpin fulan. Dia melihat bahwa orang lain telah mendapat kedudukan pantas dan kehormatan besar karena menjadi pemimpin suatu partai atau perserikatan. Sebab itu, setiap ada orang yang bersama-sama mendirikan satu partai, dia suka sekali ikut. Jika ketua rapat mempersilakan hadirin menyatakan pikiran dan gagasan, dia yang pertama mengacungkan tangan meminta berbicara. Dia tidak segan menyarankan hadirin supaya mengangkat dirinya menjadi ketua. Ketika orang ingin mencari utusan untuk menghadiri suatu permusyawaratan penting, dia menunjukkan beberapa syarat orang yang akan dipilih sehingga orang tahu bahwa dialah yang dimaksud yang melengkapi syarat itu. Kadang-kadang dia mengampanyekan dirinya, baik dalam rapat itu maupun di luar rapat dengan jalan berbisik-bisik. Untuk mencapai tujuannya, dia tidak keberatan menjelek-jelekkan orang lain.

Dia tidak berkeberatan memikul lebih dari satu beban amanah. Awalnya, memang dia bersemangat mengurusnya, tetapi semakin lama semakin kendur semangatnya dan akhirnya beban amanah itu tidak lagi diurus, bahkan dilupakan. Sering juga dia membanggakan kepada orang lain bahwa pekerjaannya sangat repot, dia ketua ini itu, pemimpin partai ini, pengurus perkumpulan itu. Oleh karena banyak urusannya itu, tidak ada lagi yang dapat diurusnya.

Mengapa menjadi seperti itu? Dia giat, gesit, dan lincah. Namun, dia tidaklah mencintai pekerjaan karena nilai pekerjaan itu. Dia mencintai suatu pekerjaan dan usaha supaya dirinya terkenal. Memang setiap orang ingin terkenal, tetapi mengapa dia tidak jaya? Sebab, dia tidak mau menetapi satu pekerjaan. Ini dirasakan enak, itu dirasakan berhasil; yang di sana dirasakan ada harapan, yang di sini.... dan lain-lain. Akan tetapi, setelah dilihatnya bahwa apa yang direncanakannya tidak cepat bertemu, dia pun gelisah, lalu singgah pula matanya kepada yang lain. Di sana dirasakan bisa juga menjadi tangga untuk kenaikan. Namun, kenaikan tidak juga diperolehnya. Tentu bertambah lama bertambah jauhlah dari kedudukan atau kehormatan yang dicarinya karena orang tidak percaya lagi atas keteguhan hatinya.

Orang yang ingin menghadapi semua urusan, tidaklah akan jaya. Umur kita sangat sedikit dan jalan yang ada banyak. Apa yang kita lihat bagus pada orang lain, belum tentu bagus bagi kita. Suatu kemasyhuran atau kemegahan hanyalah karena keteguhan hati menghadapi satu pekerjaan, bukan tujuh apalagi dua puluh pekerjaan. Semua pekerjaan yang ingin diborong, tidak dapat diselesaikan oleh satu tangan.

Lebih baik satu pekerjaan yang dihadapi, kita dalami dan hadiahkan kepada persada kemanusiaan. Bukan hanya Churchill, yang menjadi orang besar di Inggris karena dia bergelut dengan politik, Charles Chaplin pun menjadi orang besar. Churchill besar dalam politik, tetapi dalam membadut, dia "nol besar". Charles Chaplin (Charlie Chaplin) sebesar-besar manusia di abad ini dalam hal melucu, sampai-sampai mendapat gelar "Sir" dari raja Inggris. Sir Conan Doyle pun orang besar yang tidak ada taranya dalam abad ini karena kehebatannya menulis cerita detektif Sherlock Holmes. Masing-masing menentukan arahnya dan tahu membatasi diri.

Tidaklah mungkin bagi hidup kita yang pendek ingin memborong semua yang bagus penampakannya. Jika demikian, hal itu sama dengan orang yang berjalan mengembara di padang pasir yang luas, melihat fatamorgana yang menyangka ada air, padahal setelah didekati, hanyalah pasir belaka."

Tebak Ibukota

Rabu, 01 April 2015



Lagi kangen adik (pangais) bungsu yang sedang di tanah seberang bersama keluarga kecilnya. Buat refreshing sedikit lah yaa ^^
Masih ingat dialog kita ini, Dek?

Adik ke-2 : “Yogya itu ada di mana, Teh?”
Kakak ke-2 : “Tebak di mana? Jawa...”
Adik ke-2 : “Tengah. Itu ibukota Jawa Tengah ya?”
Kakak ke-2 : “Haduh, bukan.. Yogyakarta itu propinsi tersendiri. Kalau ibukota Jawa Tengah depannya S..”
Adik ke-2 : *diam*
Kakak ke-2 : “Huruf kedua E..”
Adik ke-2 : “Semarang.”
Kakak ke-2 : “Ampun deh, baru kemarin lulus SD masak udah lupa?”
Adik ke-2 : “Orang di SD gak belajar yang begituan.” *sambilmanyun*
Kakak ke-2 : “Yang benar? Ya sudah, sekarang belajar. Kalau ibukota Jawa Barat?”
Adik ke-2 : “Depok,” (kakak ke-2 melotot) “hehe..bercanda. Bandung kan?”
Kakak ke-2 : “Yup. Kalau Jawa Timur?”
Adik ke-2 : *diam*
Kakak ke-2 : “Huruf depannya S lagi.”
Adik ke-2 : *masihdiam*
Kakak ke-2 : “Huruf kedua U.”
Adik ke-2 : “Surabaya.”

Tiba-tiba adik ke-1 ikut nimbrung.
Adik ke-1 : “Lagi ngapain sih?”
Kakak ke-2 : “Nah ini dia, coba sama-sama ditest berdua. Ibukota Sumatera Barat?”
Kedua adik : *diam*
Kakak ke-2 : “Depannya P..”
Adik ke-2 : “Pontianak?”
Kakak ke-2 : -___-“ “Itu Kalimantan Barat. Itu loh.. yang banyak jadi restoran dan rumah makan..”
Adik ke-2 : “Padang.”
Kakak ke-2 : “Seratus. Kalau ibukota Bali? Depannya D..”
Adik ke-2 : “Denpasar.”
Kakak ke-2 : “Ibukota Kalimantan Selatan?”
 Adik ke-2 : *diam*

Satu menit kemudian.
Kakak ke-2 : “Depannya B..”
Adik ke-2 : *masihdiam*
Kakak ke-2 : “Banjar...”
Adik ke-2 : “Masin. Banjarmasin.”
Kakak ke-2 : “Sip. Banjarmasin.”
Adik ke-1 : “Aku baru denger,,,”
Kakak ke-2 : *menolehtidakpercaya* “Apa???”

Kakak ke-2 menyelesaikan tanya jawabnya dengan adik ke-2. Sekarang gilirannya bertanya pada adik ke-1.
Kakak ke-2 : “Ibukota Sulawesi Utara?”
Adik ke-1 : *mulaimemanyunkanbibir*
Adik ke-1 : “Kok aku gak dikasih clue?”
Kakak ke-2 : “Iya, iya. Depannya M..”
Adik ke-1 : “Ma..kassar.”
Kakak ke-2 : “Bukan, itu Sulawesi Selatan.”
Adik ke-1 : “Ma..lang.”
Kakak ke-2 : “Itu ada di Jawa, Dek...”


Dua menit kemudian.
Kakak ke-2 : “Astaghfirullah... ini berdua pada pernah SD nggak, sih?”
Adik ke-1 : *nyengir* “Enggak. Aku langsung kuliah.”
Kakak ke-2 : “Sudah. Ayo, dijawab.”
Adik ke-1 : *masihberpikir*
Kakak ke-2 : “Huruf terakhirnya O.”
Adik ke- 1 : “Ma..nado.”
Kakak ke-2 : “Sulawesi Tenggara?”
Adik ke-1 : “Jauh amat tenggara. Kalau Sulawesi Timur apa?”
Kakak ke-2 : “Tidak ada Sulawesi Timur dedeeee.... ada juga Sulawesi Tengah. Ingat bentuk Pulau Sulawesi
    kayak apa?”
Adik ke-1 : “Emmh...”
Kakak ke-2 : “Hayo, bentuknya seperti apa? Seperti huruf apa?”
Adik ke-1 : “Huruf K.”
Kakak ke-2 : “Tidak mungkin ada bagian timurnya kan? Ayo, jawab dulu. Ibukota Sulawesi Tenggara?
                   Depannya K.”
Adik ke-1 : *matamelihatkeatas*
Kakak ke-2 : “Belakangnya huruf I.”
Adik ke-1 : “Apaan, dong?”
Kakak ke-2 : “Kendari. Pernah denger?”
Adik ke-1 : *setengahmengangguk*
Kakak ke-2 : “Hhhh... Sekarang, Sulawesi Tengah?”
Adik ke-1 : “Huruf depannya?”
Kakak ke-2 : “P.”
Adik ke-1 : *kembalidiam* *matamelihatkeatas*
Kakak ke-2 : “Nama jenis alat perkakas di gudang.”
Adik ke-1 : “Pa...ku.”
Kakak ke-2 : “Tidak ada kota namanya Paku -,,-“
Adik ke-1 : “Pa...kuan?”
Kakak ke-2 : “Itu nama kereta, Dek. Alat yang buat mukul paku namanya apa?”
Adik ke-1 : “Palu.”

Kakak ke2 : “Sekarang kita ke Sumatera. Ibukota Sumatera Utara?”
Adik ke-1 : “Humm... kalo Padang tadi apa?”
Kakak ke-2 : “Itu Sumatera Barat. Itu kan belum setengah jam yang lalu, Dek..”
Adik ke-1 : “Ummh...”
Kakak ke-2 : “Huruf depannya M.”
Adik ke-1 : “Makassar...”
Kakak ke-2 : *menggeleng*
Adik ke-1 : “Manado....”
Kakak ke-2 : *menggeleng*
Kakak ke-2 : “Cuma lima huruf. Huruf kedua E.”
Adik ke-2 : “Eee..hehe... Medan.”

Kakak ke-2 : “Ibukota Riau?”
Adik ke-1 : “Ha? Ada ya?”
Kakak ke-2 : “Ada. Huruf depannya P.”
Adik ke-1 : “P lagi? Pontianak?”
Kakak ke-2 : “Itu kan sudah. Pontianak itu Kalimantan Barat.”
Adik ke-1 : “Hummm..”

Tiga menit kemudian, kakak ke-1 lewat.
Kakak ke-2 : “A, coba tebak, apa ibukota Riau?”
Kakak ke-1 : “Haa? Emang ada?”
Kakak ke-2 : “Arrggghhhh.... ini manusia apa-apaan sih?”

Kakak ke-2 mulai stres dan berteriak memanggil ibunya.
Kakak ke-2 : “Maaa.... Mama....”
Sang ibu : “Apa?”
Kakak ke-2 : “Mama tahu kan, nama ibukota Riau?”
Sang ibu : “Pekanbaru.”
Kakak ke-2 : “Mama seratus. Dede minus seratus!!”
Adik ke-1 : “Haa... iya, iya.”
Kakak ke-2 : “Coba sekarang Kalimantan. Kalimantan Barat tadi apa?”
Adik ke-1 : “Pontianak.”
Kakak ke-2 : “Kalau Kalimantan Timur?”
Adik ke-1 : *menggeleng*
Kakak ke-2 : “Depannya S. Sembilan huruf.”
Adik ke-1 : “Semarang?”
Kakak ke-2 : “Kenapa balik lagi ke Jawa, dah?! Itu Jawa Tengah, sayang....”
Adik ke-1 : “Hoo... iya. Terus?”
Kakak ke-2 : “Kalimantan Timur itu Samarinda. Pernah dengar?”

Adik ke-1 mengangguk polos. Kakak ke-2 hanya mampu berpikir bahwa sang adik mengangguk untuk mencegah stres kepala dan sakit perut sang kakak bertambah parah.

Kakak ke-2 : “Sekarang Kalimantan Tengah?”
Adik ke-1 : “Clue-nya?”
Kakak ke-2 : “Huruf depannya P, huruf terakhir A. Dua belas huruf.”
Adik ke-1 : “Banyak banget? Diskon hurufnya boleh, nggak?”
Kakak ke-2 : “Memangnya obralan harga?”

Lima menit kemudian.
Adik ke-1 : “Nyerah.”
Kakak ke-2 : “Palangkaraya.”
Kakak ke-2 : “Ya sudah, sekarang ke Indonesia Timur lagi. Kalau Maluku ibukotanya apa?”
Adik ke-1 : “Errr....”
Kakak ke-2 : “Nama jenis pisang.”
Adik ke-1 : “Ambon.”
Kakak ke-2 : “Sip.”

Kakak ke-2 : “Sekarang ibukota negara, deh. Amerika ibukotanya New York atau Nu York?”
Adik ke-1 : “Eee... bukannya Washington DC yah?”
Kakak ke-2 : “Tuh, pinter. Kalau Ingggris?”
Adik ke-1 : “Mmm... Paris. Eh, Lon..don?”
Kakak ke-2 : “Perancis?”
Adik ke-1 :  “Paris.”
Kakak ke-2 : “Italia?”
Adik ke-1 : *berpikir*
Kakak ke-2 : “Nama merek biskuit..”
Adik ke-1 : “Oh.. Monde.”
Kakak ke-2 : *tepokjidat*
Adik ke-1 : “Nissin?”
Kakak ke-2 : “Itu merek wafer, bukan biskuit. Biskuit yang terkenal itu... biskuit yang biasa aja...”
Adik ke-1 : “Biskuit... Roma.”
Kakak ke-2 : “Roma. Pernah dengar, kan?”
Adik ke-1 : “Iyalaaah....”
Kakak ke-2 : “Kalau Korea ibukotanya apa?”
Adik ke-1 : “Seoul.”
Kakak ke-2 : “Giliran Korea aja cepat jawabnya. Kalau Cina?”
Adik ke-1 : “Mmm... Shanghai?”
Kakak ke-2 : “Shanghai itu tempatnya syuting Kabut Cinta. Kalau ibukotanya yang banyak di film-film Cina
    yang dulu tuh, pas dede masih kecil.”
Adik ke-1 : “Yee..aku mana ingat?”
Kakak ke-2 : “Huruf depannya B.”
Adik ke-1 : “Bandung?”
Kakak ke-2 : “Cina dek, Cinaaaa.... Namanya Beijing .”

Kakak ke-2 : “Ibukota Jepang?”
Adik ke-1 : “Tokyo.”
Kakak ke-2 : “Sekarang negara tetangga. Ibukota Malaysia?”
Adik ke-1 : “Emmmh...”
Kakak ke-2 : “Ada dua kata.”
Adik ke-1 : “Itu.. aduh, ini udah hampir ingat.”
Kakak ke-2 : “Kata keduanya bisa nama jenis kue, bisa nama jenis tanah gitu..”
Adik ke-1 : “Kuala Lumpur.”
Kakak ke-2 : “Yup. Eh, ya ampun... itu kaos yang dede pakai kan kaos KL???”
Adik ke-1 : “Eh, iya ya..” *tepokjidat*

Kakak ke-2 : “Kalau Australia tahu, nggak?”
Adik ke-1 : “Tunggu, tunggu. Ini pernah ada di film-nya Mo Hyuk. Hmm... Canberra.”
Kakak ke-2 : “Hihii... kalau ada di film ingatnya permanen yah? Sip, betul.”
Kakak ke-2 : “Sekarang ke Asia lagi. Ibukota Thailand?”
(Ingatan adik ke-1 mulai macet lagi)
Kakak ke-2 : “Nama jenis buah yang biasa dijual di supermarket gitu..”
Adik ke-1 : “Montong!”
Kakak ke-2 : “AllahuRabbi....” *sakitperut*


-catatan 21 Maret 2014-



13-08-09



Curahan hati ibunda setahun yang lalu, Kamis 13 Agustus 2009


"Aku ingin menjadi obor bagi anak-anakku
menjadi penghangat
menjadi petunjuk arah
menjadi penerang
agar anak-anakku selamat
sampai di tujuan

Aku bukanlah matahari atau bulan
Jauh tinggi di angkasa
tak tersentuh
Aku adalah obor penyemangat
Saat jiwa merasa penat"

Curahan hati ibunda saat sepekan yang lalu, 20 Desember 2010

"Miladku selalu penuh makna
anak-anakku semakin dewasa. Alhamdulillah"

-catatan Desember 2010-

Writinc Camp Batch 1



“Berangkat dulu ya…”
“Memangnya kumpul di mana?”
“Di depan SMA 1, apa ya? De..yours..apa gitu namanya??”
“Memangnya naik apa?”
“Bis. Mungkin..”
“Ngapain bolak-balik, sih? Nanti bisnya juga pasti lewat depan rumah.”
“Ah, iya, ya? Emang, iya?”
“Lah, mau ke puncak pasti lewat Cijago dong. Liat aja, pasti lewat depan rumah.”
“Tapi disuruhnya kumpul di sana. Mungkin ada pengarahan dulu atau apa... Lagipula ini kan malam, belum tahu juga naik bis kayak apa...”
“Terus disuruhnya kumpul jam berapa?”
“Ditunggu sampai jam tujuh.”
“Kumpul jam tujuh, baru berangkat jam tujuh.” -,-
“Iyaaa...ini makanya mau berangkat. Udahan tanya-tanya-nya....” >o<

***

Baiklah. Itu adalah perdebatan kedua saya dengan Ayah setelah malam dua hari sebelumnya saya dibuat menangis karena berdebat untuk urusan yang sama. Ssst....tolong jangan beritahu Ayah kalau saya menangis hanya karena perdebatan sepele. Sepele bagi Ayah. Tidak bagiku.

Dua hari sebelumnya Ayah menanyakan agenda akhir pekanku. Saya mengatakan bahwa ada pelatihan menulis di Puncak. Dan dimulailah ‘interogasi’ itu. Sama siapa? Penyelenggaranya dari mana? Bayar berapa? Saya yang saat itu sedang sangat lelah setelah aktivitas seharian lintas kota (Darmaga-Lenteng Agung-Depok) :p berusaha menjawab pertanyaan sebisanya. Sebisa yang saya jawab, karena saya juga tidak tahu pelatihan ini akan seperti apa? Mengurusi sidang, revisi, dan administrasi kelulusan dengan segala embel-embelnya sudah cukup membuat saya jarang koneksi dunia maya dari komputer. Informasi tentang pelatihan ini pun hanya saya lihat sepintas via FB yang saya buka dari mobile saya. Lihat-pikir-putuskan-sms-transfer. Menjadi omelan-lah ketika Ayah tahu untuk pelatihan ini saya mengeluarkan kocek nyaris satu juta. Oke, itu uang Teteh, tapi itu tidak kecil. Iya, saya tahu. Lalu sasarannya siapa? Siapa ya? Mana proposalnya? Ha?? Proposal? Kan Teteh peserta, bukan panitia. Lalu target Teteh ikut itu apa? Saya diam. Sedang kehabisan kata-kata.

Sungguh. Saya juga tidak tahu kenapa saya mau ikut. Saya hanya tahu pelatihan ini bukanlah pelatihan motivasi menulis, katanya. Pelatihan ini adalah inkubasi untuk menjinakkan bakat. Baiklah, itu istilah baru bagi saya. Menjinakkan apapun saya tidak terlalu peduli sebenarnya, karena kenyataannya saya tetap takut kucing (lho??). Saya hanya merasa bahwa tabungan hasil kerja saya tidak akan sia-sia jika saya gunakan untuk ini (baca: investasi). Uhm.. saya tidak terlalu suka kata investasi sebenarnya. Saya lebih menyukai istilah ‘energi yang disalurkan’. Halah, apaan sih? -_-“ Lho, benar kan? Tidak ada energi yang diam. Energi hanya berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Tinggal kita yang mengatur ingin mengubah energi menjadi positif atau negatif. Begitupun dengan uang. Uang itu kalau didiamkan nilainya akan menurun (kata buku manajemen keuangan yang saya lupa siapa penulisnya). Saya menerjemahkannya menjadi ‘uang kalau didiamkan itu tidak baik, jadi lebih baik digunakan, hehe..’. Penggunaannya untuk apa tergantung pengaturan kita. Kita yang mengatur uang, bukan uang yang mengatur kita. Benar, kan? Kalau ingin memperoleh energi fisik, bolehlah uang kita ubah menjadi makanan. Kalau ingin mendapatkan ‘energi’ lainnya, penggunaan uang juga menjadi bervariasi. But, trust me! Ini bukan pelatihan ilmu hitam kok. Beneran....

Saya hanya kengen nulis. Kangen dunia tulis-menulis. Pengen ketemu  orang-orang baru yang juga suka nulis. Pengen punya guru (lagi). Pengen belajar (lagi). Pengen mulai dari awal (lagi) karena apa-apa yang dulu pernah saya mulai tidak kunjung selesai. Niat menulis novel sejak SMP, baru 70 halaman, file-nya hilang. Saat tingkat satu kuliah, mulai lagi dari halaman satu, baru 11 halaman, berhenti. Komputernya harus diinstal ulang. File-nya-pun hilang (lagi). Begitulah. Terus.

Ada sesuatu yang salah. Sudah dua puluh dua tahun hidup dan saya baru menghasilkan buku kumpulan puisi dan beberapa artikel-esai yang berserakan. Mungkin Ayah merasa tidak dihargai jika alasanku hanya karena ingin menulis dan menerbitkan buku, terlebih saya tidak mendiskusikan keinginan mengikuti pelatihan ini lebih dulu dengannya. Mengapa tidak mengatakan padanya saja? Dunia penerbitan adalah dunia Ayah selama hampir tiga puluh tahun. Kalau ingin belajar, Ayah memiliki banyak koneksi penulis, editor, dan segala yang berkaitan dengan kepenulisan. Tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah pelatihan menulis. Bukan, bukan itu. Saya mengikuti pelatihan juga bukan untuk sekedar mencari motivasi. Ini bukan pelatihan motivasi. Baiklah, saya salah karena tidak mengatakannya sejak awal. Saya minta maaf, tetapi masalahnya bukan itu. Lalu target Teteh ikut itu apa? Ayah, ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan karena dikerjakan, tapi tidak bisa dikatakan. Please, saya selalu sensitif jika disinggung masalah uang. Bolehkah saya pergi tidur sekarang?

Azzzt.... ini kenapa malah curcol gini??? Haha... maap, maap. Niat saya menulis ingin berbagi materi pelatihan yang saya ikuti tanggal 22-24 Maret lalu, tetapi malah keterusan ngetik prolognya. Well, berikut saya rangkumkan sedikit materi yang saya peroleh dari Pak Bambang Trim dan Mas Tasaro. Ada pesan sponsornya sih... Kata yang punya acara jangan dirangkum semua, soalnya materinya memang khusus untuk yang mengikuti acara *lirik panitia*. Maksudnya mungkin..  “ayo yang lain ikut di Writinc Camp Batch #2” ^o^.... Hoho...

Untuk yang pengen banget ikutan Writinc Camp tapi belum sempat, semoga sedikit berbagi ini bermanfaat yaa... cekidot.

***

Materi awal sudah dimulai sejak jumat malam kedatangan kami di Cisarua. Setelah makan malam (makan malam kedua saya lebih tepatnya), Pak Bambang Trim memulai dengan materi pencerahan. ENLIGHTMENT.   Ada empat alasan seseorang memosisikan kegiatan menulis dalam hidupnya:

Pertama, hobi.
Kedua, karir.
Ketiga, keterampilan.
Keempat, pelarian.

Awal membawakan materi saja sudah menimbulkan riuh. Bagi mereka (atau saya?) yang sering menulis curhatan via dunia maya pasti merasa tersindir melihat pernyataan nomor empat. Pelatihan ini didesain untuk mengarahkan kami kepada nomor dua dan tiga. Jadi, bagi yang alasan menulisnya hanya untuk nomor satu dan empat, pulang lagi saja ke Depok. Ya udah, udahan ah, pulang nii.... *pundung* :p

Tidak ada yang tidak bersemangat mengikuti materi walau hari semakin larut. Pertanyaan dari beberapa peserta tetap saja bergulir, menambah panas sesi awal ini. Oh ya, lupa menyampaikan tentang hal menarik lainnya. Total peserta berjumlah 21, tetapi yang mengikuti sesi pertama ini baru 19 orang. Dua orang lainnya menyusul esok hari. Latar belakang peserta sangat beragam dari segi profesi maupun usia. Tiga orang di antara kami bekerja di tiga stasiun televisi swasta yang berbeda-beda. Ada yang bekerja sebagai copy writer, ada yang sebagai produser, dan... apa lagi ya? Saya lupa, hehe. Maaf ya Pak dan Masbro sekalian, saya belum hafal macam-macam istilah dunia broadcast. Ada di antara kami yang berprofesi sebagai pengisi suara (dubber), ada yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum, ada yang sebagai pengajar, beberapa adalah guru SD, ada aktivis sosial, ada seorang web designer, dan ada juga yang masih berstatus mahasiswa dari berbagai macam jurusan (Sastra Inggris, Sastra Jepang, Matematika, Ekonomi, adakah yang belum disebut??). Kalau saya? Sebut saja sebagai petualang yang sejenak mampir untuk belajar. Haha... *ditimpukpermen* *sayatangkap* *sayamakan*

Kembali ke laptop. Bukan. Kembali ke niat saya untuk berbagi materi. Intinya bersemangatlah untuk menjadi profesional dalam dunia tulis-menulis. Tidak ada satu bidang pun yang lepas dari profesi kepenulisan. Ekonom butuh penulis untuk menyampaikan teori-teorinya kepada publik. Dokter butuh penulis untuk menyebarkan ilmu kedokterannya. Ilmuwan butuh penulis untuk menyampaikan hasil-hasil laporan dan penelitiannya. Arsitek juga butuh penulis untuk mendukung profesinya, misalnya ingin menyusun gambar-gambar rancangannya ke dalam bentuk buku. Ada banyak sekali ragam dan laras tulisan. Dunia menulis sangatlah luas. Kita tinggal pilih. Namun, dunia ini bukanlah sebuah keterampilan yang bisa diperoleh dengan cara main-main. Tidak perlu terlalu serius juga sih, yang penting kita tahu apa visi kita, apa yang kita inginkan, dan kekuatan apa yang kita miliki. Emmh... misalnya visi kita adalah menciptakan perdamaian dalam lima tahun ke depan. Kita ingin fokus untuk menangkap para penjahat yang mengancam hancurnya dunia. Ternyata kita memiliki kekuatan super yang tidak kita sadari sebelumnya. Tentu kekuatan super itu harus kita gunakan untuk fokus menangkap para penjahat agar perdamaian dunia bisa terwujud. Dziiigg!!! Ngaco abis -__-“

Njaluk ngapuro Pak Bambang dan Mas Tasaro, saya telah mengacaukan contoh materinya ^^".

***

Terdapat  perbedaan antara seorang pengarang (author) dan penulis (writer). Author adalah orang yang menggagas sebuah tulisan berdasarkan hasil pemikiran atau imajinasi, sedangkan writer adalah orang yang memiliki keterampilan mengolah kata menjadi tulisan yang memiliki daya pikat untuk dibaca. Seorang author belum tentu menjadi writer yang baik, begitupun sebaliknya. Karena itulah Writinc ada untuk membantu author memiliki keterampilan sebagai writer, ataupun writer agar dapat menggagas ide-ide fantastik layaknya author, dan mengasah keterampilan keduanya agar menjadi seorang profesional. Haghag... ini kenapa saya jadi promosi Writinc gini? -,-

Menulis sebenarnya sederhana. Ia hanya membutuhkan hal-hal yang pasti dimiliki setiap manusia yang diciptakan sempurna oleh Sang Pencipta. Menulis adalah menggunakan lima panca indera dan melatih indera keenam berupa indera pengoneksi. Kemampuan mengoneksi inilah yang membedakan seorang penulis dengan penulis lainnya. Sesi latihan dalam mengaktifkan kelima panca indera ini sangat seru. Para peserta dipaksa keluar kreativitasnya untuk lebih peka terhadap sekitar dalam menyusun kata terkait lima panca indera. Kami dilatih untuk tidak ‘mengatakan’ kepada pembaca, tetapi ‘memperlihatkan’. Seperti apa latihannya? Yang jelas seru, makanya ayo gabung di Writinc ^^..

Ish, ini kenapa saya promosiin Writinc lagi?? -__-“

Bicara tentang ‘memperlihatkan’ cerita kepada pembaca, saya teringat kata-kata Old Shatterhand dalam novel favorit saya, Winnetou. Tentang melihat dengan lebih tajam, mendengar dengan lebih peka, melakukan lebih banyak daripada orang lain. Jika saja setiap orang mau mengaktifkan panca inderanya lebih banyak, mereka akan mampu melihat dan mendengar lebih daripada yang mereka kira. Ternyata melatih panca indera tidak hanya berlaku untuk suku Indian Apache dan Old Shatterhand dalam menghadapi perang, tetapi juga untuk para penulis dalam mempersiapkan karya-karya besarnya :).

Materi lainnya yang sangat menyentak hati saya adalah pernyataan bahwa IDE ADALAH SEBUAH PERTEMUAN, BUKAN SEBUAH PENCARIAN. Iya juga ya.... sejarah yang selalu berulang mengisahkan bahwa ide diperoleh bukan karena dicari, melainkan ditemukan. Ide membuat pesawat terbang. Ide tentang teori gravitasi. Ide tentang pengukuran massa mahkota emas raja yang membuat sang ilmuwan lolos dari hukuman mati dan menjadi populer-lah kata Eureka!

Ide datang begitu saja. Bukan karena kita mencarinya. Mungkin karena itu juga banyak yang mengatakan, “Tangkaplah ide dengan tulisan.” Seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menganjurkan untuk mengikat ilmu dengan tulisan. Bukankah ilmu pengetahuan juga lahir dari ide? Tiba-tiba terbersit dalam benak saya. Sepertinya pernyataan ide ini cocok menjadi analogi jodoh. Jodoh adalah sebuah pertemuan, bukan pencarian. Salah jika ada yang mengatakan bahwa saya sedang mencari belahan jiwa, seharusnya adalah saya pasti bertemu dengan belahan jiwa saya. Tsaaah....  Haha... astagfirullahaladzim, ini bocah kagak khusyuk banget yah ngikutin materi?? Pikirannya kemana-mana *geleng-geleng*.

Pada salah satu sesi kami dilatih secara lebih spesifik. Peserta dibagi ke dalam dua grup. Satu grup dilatih untuk membuat outline tulisan non-fiksi maupun faksi oleh Pak Bambang, sedangkan grup lainnya dilatih tentang segala yang berkaitan dengan fiksi oleh Mas Tasaro. Jenis tulisan secara umum memang terbagi menjadi tiga, yakni fiksi, non-fiksi, dan faksi. Fiksi adalah tulisan berbasis imajinasi. Sebaliknya, non-fiksi adalah tulisan berbasis data dan fakta. Faksi merupakan tulisan yang juga berbasis data dan fakta, namun disampaikan dengan cara berkisah, seperti biografi, autobiografi, dan memoar.

Saya masuk ke dalam grup 1 yang dibimbing oleh Pak Bambang. Selama dua jam pertama kami mendengarkan materi, tanya-jawab, dan harus menyampaikan ide non-fiksi atau faksi lalu menuliskannya dalam sebuah outline. Kemudian kami bertukar dengan grup 2 yang dibimbing oleh Mas Tasaro berkaitan tulisan fiksi. Kami dilatih untuk mengembangkan daya kreatif terhadap tiga hal utama dalam setiap karya fiksi: karakter, alur, dan diksi. Latihan untuk sesi ini pun sangat seru karena para peserta saling bertukar komentar terhadap apa yang dibuat dan disampaikan oleh peserta lainnya. Sesi ini, seperti pada sesi latihan menggunakan panca indera sebelumnya, juga memakan beberapa korban bullying Mas Tasaro. Kalau pada sesi panca indera urusannya dengan seperti apa rasa karpet?, sesi fiksi kaitannya dengan matematika (haha.. saya tidak terlalu paham sebenarnya karena saya tidak satu grup dengan ‘korban’ bullying-nya Mas Tasaro). Setidaknya sesi latihan menjadi lebih hidup dan seru. Benar, tidak?

Panitia menjadwalkan sesi hari kedua sampai pukul 9 malam, tetapi para peserta dan coach kami masih semangat untuk terus melanjutkan sesi hingga hampir tengah malam. Sesi malam hari kedua  lebih seru lagi karena selain bisa konsultasi banyak hal kepada kedua coach, para peserta diminta kembali menggagas ide cerita fiksi sesuai keinginan masing-masing (tidak dibatasi tema) untuk disampaikan dalam grup, kemudian masing-masing grup mengirimkan perwakilannya untuk presentasi di hadapan semua peserta. Perwakilan yang mendapatkan suara minimal 50% dari seluruh peserta dianggap lolos untuk melanjutkan outline ide fiksi tersebut menjadi sebuah novel. Outline tulisan fiksi ternyata sederhana. Hanya ada 7 pertanyaan yang harus dijawab dengan 7 jawaban, dan itulah outline fiksi. Ke mana saja saya selama ini? Menyusun diagram pohon, terkadang diganti dengan diagram tulang ikan untuk membuat alur, menentukan tokoh-tokoh dan karakter, dan ternyata outline novel selesai hanya dengan 7 pertanyaan yang mampu kita jawab. Apa sajakah 7 pertanyaan tersebut? Nantikan jawabannya di Writinc Camp Batch #2.... Zzzzt -,-

Ayo panitia, saya sudah tiga kali promosi Writinc nih, ada gelas cantiknya ga?? Eh iya, alumni Writinc boleh ikutan lagi dong kalo ada camp ke-2, atau minimal panitia nanti menyediakan video conference yang bisa diakses oleh para alumni dari habitatnya masing-masing gitu, hhe.. (ini idenya Steven, bukan saya):p

Oke, cukup intermezo-nya. Lanjut.

Jika malam hari kedua beberapa peserta menyampaikan gagasannya di tulisan fiksi, pagi hari terakhir adalah giliran perwakilan peserta untuk presentasi outline tulisan non-fiksi yang telah dibuat hari sebelumnya dan mendapat tanggapan dari peserta yang lain. Setelah sesi presentasi, masih ada materi terakhir yang disampaikan oleh Pak Bambang tentang mengedit dan merevisi naskah dan tentang menjadi seorang writerpreneur. Ah ya, sudah agak banyak cuap-cuap, tetapi saya belum menyampaikan tentang urutan menulis.

Secara umum menulis terdiri dari lima tahapan: prewriting, drafting, revising, editing, dan publishing. Sesi dalam pelatihan inipun disusun secara bertahap mengikuti tahapan penulisan. Oleh karena itu materi awal merupakan ENLIGHTMENT dan diakhiri dengan PUBLISHING. Saya yakin otak manusia memang dirancang untuk menerima segala sesuatu secara bertahap. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara instan. Hasil yang baik pasti lahir dari sebuah proses yang baik pula. Bukankah penciptaan manusia juga terjadi melalui tahapan-tahapan yang menakjubkan?  

Sungguh banyak pelajaran dan ilmu yang kami peroleh dari pelatihan ini. Sebagian pelajaran mungkin sesuatu yang sudah saya ketahui sejak duduk di bangku sekolah (berhubung Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran favorit saya). Namun, normalnya manusia selalu butuh untuk diingatkan. Terima kasih untuk semangat, energi, dan ilmu yang telah Pak Bambang dan Mas Tasaro bagi kepada kami. Terima kasih untuk panitia yang sudah berjuang menyiapkan acara ini. Terima kasih untuk teman-teman Writinc Camp Batch #1 yang begitu luar biasa. Ayo, kita berjuang sama-sama agar tidak kalah dengan para senior kita yang sudah memperkaya banyak jiwa melalui kata-kata :).

***

Sepulang dari pelatihan di Puncak.
“Dek, ini novelnya udah ditandatangani.”
“Teteh nyampein salam dede gak?”
“Haa...nyampein gak ya? Lupa. Yang jelas udah Teteh bilang ini untuk Yasmin, yang sering ketemu kalau di pameran buku dan selalu minta tanda tangan. Teteh bahkan sudah cerita kalau Yasmin sudah menikah. Kurang apa, coba?”
Yasmin, adikku yang hampir jadi bungsu itu senyum-senyum.
“Oh ya, Pitaloka yang buku ketiga masih dalam proses katanya. Ganti penerbit lagi sekarang.”
“Masih proses? Harusnya Teteh bilang kalau dede menunggu buku kesatu dan kedua aja udah dari single sampai sekarang jadi double. Jangan sampai buku ketiganya aku udah triple nih...”
“Haha... bilang aja sana sendiri.”

“Teh, ini banyak kue dari mana?” Ayah turut berkomentar.
“Oh, dari teman pelatihan. Sepanjang pelatihan Teteh keliatan ngunyah terus. Kayaknya dia bersimpati untuk masa pertumbuhan Teteh, jadi semua cemilannya dikasih deh.”
Ayah pun manggut-manggut sambil senyum.

***

-catatan 28 Maret 2013-

Cerita Sawah


Wangi hujan
Jeram sungai
Kicau burung

Sawah kita masih hijau, Ayah
Seperti lagu yang pernah kudendangkan

Aku ingin warna
Rintik hujan dan cahaya
Sketsaku hilang sembunyi
Membawa lenyap objek atraksi

Lalu, apa yang harus kubawa, Ayah?
Mengingatkanku pada wisata yang lalu
Pantai...
Laut...
Gunung...

Pematang yang kulewati masihlah sama
Seperti tanah merah tempatku bermain
Seperti susunan bambu menaungi air
Perlukah kucari bajak dan pupuk

Dan kapankah kita panen raya, Ayah?
Para petani tak jua lelah menyemai
Seperti nada laguku yang tak kunjung usai

***

POLARIS, 15 November 2011

sumber foto: ardyprabhawa.wordpress.com

Sedikit Ingatan



Beberapa menit lalu bertemu seorang teman SD di aula mesjid kampus dalam suatu technical meeting lomba, wuahh...rasanya kangen sekali, seolah-olah amat sangat lama tidak berjumpa (padahal pekan sebelumnya sempat papasan di jalan). Heran, padahal zaman di asrama dulu masih sering bertemu. Namun, sekarang bahkan bertemu teman SMA yang satu kampus saja susahnya minta ampun.

Berawal dari mengobrol tentang teknis lomba, akhirnya obrolan nyerempet bernostalgia ke masa-masa SD. Heran lagi, mengapa temanku banyak sekali lupa cerita-cerita waktu SD dulu, bahkan sampai bertanya, "Ceritain lagi Mi, dulu waktu SD aku kayak gimana?"

Hmmm... dia berkata bahwa yang ia ingat sewaktu SD adalah dia yang banyak menangis, juga banyak 'dijahatin' olehku. Entah benar atau bercanda?! Mungkin karena itulah ada hal-hal yang ingin dia lupakan. 

Kalau dipikir-pikir, sewaktu SD aku memang terlampau bandel (benarkah?). 'Kejahatanku' yang paling aku ingat sampai sekarang adalah ketika kelas 1 SD, aku dan sahabatku sejak TK selalu menarik-narik kerudung teman sekelas pada jam istirahat (waktu itu sekolah masih berstatus MI dan gedungnya masih menumpang). Kami dengan 'jahatnya' sambil tertawa-tawa menarik ujung kerudung yang berenda membentuk garis tengah di atas kepala (bentuknya jadi seperti punggung dinosaurus) sambil berkata, "Dinosaurus...dinosaurus...". Temanku sampai menangis ketika itu, tapi selama ia terus menggunakan kerudung model 'dinosaurus', selama itu pula aku dan sahabatku terus menarik-narik kerudungnya pada jam istirahat.

Penderitaannya berteman denganku dan sahabat TK-ku itu (entah dia masih ingat atau tidak), kini terbayar dengan kesuksesannya. Ia sudah menjadi seorang hafidzah, sempurna 30 juz (hal yang juga sangat aku impikan), dan kini tengah menempuh pendidikan di LIPIA, perguruan tinggi yang seleksinya sangat ketat dan test-nya kabarnya sangat sulit itu. Masha Allah.... keren sekali.

Kebandelan lainnya.... saat kelas 2 SD. Saat itu kami sudah pindah gedung ke lokasi baru yang mesjidnya masih dalam pembangunan. Berhubung masih dibangun, di sekeliling mesjid banyak kayu-kayu tersusun yang biasa digunakan oleh tukang untuk naik-naik. Aku dan (lagi-lagi) sahabat TK-ku senang sekali memanjat susunan kayu-kayu tersebut dan mengelilingi mesjid dengan loncat dari satu kayu ke kayu lainnya. 

Kami melakukannya di setiap jam istirahat. Tidak puas hanya berdua, kami pun mengajak teman yang lain. Dan kecelakaanpun terjadi. Di susunan kayu paling ujung tempat kami biasa melompat (ceritanya perjalanan telah berakhir), kami loncat ke tanah. Teman kami yang mulai suka ikut-ikutan naik kayu, kali itu meloncat di urutan terakhir. Aku menyemangatinya dari bawah, "Ayo, loncat."

Dan ia pun loncat. Dan rok merah panjangnya tersangkut paku. Dan ia jatuh berdebum ke tanah. Dan aku bingung, ketakutan, dan aku lupa adegan selanjutnya (juga lupa siapa yang akhirnya menolongnya?!). Yang aku ingat bibirnya robek karena kejadian itu. Kurasa sekarang pun temanku itu telah sukses dalam pendidikannya (ia pindah sekolah menjelang kenaikan kelas 4).

Kenaikan kelas 3 aku pindah sekolah karena keluargaku pindah kota. Namun, karena aku tidak betah di SD negeri di kotaku yang baru, aku minta pada orang tuaku untuk kembali ke sekolah yang lama. Orang tuaku mengizinkan. Sejak saat itulah aku berpisah tidak tinggal dengan orang tua, menumpang tinggal di rumah guru dekat sekolah, dan hanya pulang seminggu sekali. 

Awalnya aku sering menangis karena kangen Mama (hahaa.. ketahuan anak mama, deh), tapi seminggu kemudian aku sudah jarang menangis. Sudah menemukan banyak permainan seru kembali dengan teman-teman lamaku dan lingkungan baru di rumah guruku. Untung saja guruku punya anak yang meskipun semuanya laki-laki dan berusia lebih muda dariku, tetapi bisa diajak bermain. Berpetualang-lah, main bakar-bakaran-lah, memanjat pohon-lah, sampai main hujan-hujanan pun jadi tidak membosankan karena aku punya teman untuk diajak berbagi. Yaa... walau aku sepertinya sangat cengeng karena kalau main berantem-beranteman, aku yang lebih sering menangis.

Kembali ke sekolah yang lama, 'kejahatanku' sewaktu kelas 2 kembali terulang. Saat itu pembangunan mesjid masih berlangsung. Kayu-kayu tempatku dan sahabat TK-ku biasa bermain masih terpasang dengan gagahnya. Aku pun kembali ke petualangan lama, meloncat dari satu kayu ke kayu lainnya pada jam istirahat. Kali ini, temanku yang berbeda yang mengikuti langkah-langkah kami. Ini teman yang aku kembali bertemu dengannya karena satu kampus (yang aku ceritakan di awal). 

Saat tiba di kayu terakhir, seperti biasa kami mengakhiri 'perjalanan' dengan meloncat ke tanah. Begitu menjejakkan kaki di tanah, aku dan sahabatku bingung karena teman kami tidak ada di belakang. 'Masak tertinggalnya jauh sekali?', pikir kami. Kamipun menelusuri jalan yang kami lewati (kali ini tidak naik kayu lagi, hanya sedikit berlari di atas tanah). 

Tidak jauh dari tempat kami naik kayu pertama kali, kami melihat seorang anak berpakaian putih merah tersungkur di atas tanah. Sebelum kami berlari mendapati teman kami yang jatuh, seorang bapak dari kejauhan berlari kencang dan langsung menggendong temanku ke kantor sekolah. Pihak sekolah langsung mengantarnya ke dokter untuk menjahit bibirnya yang robek. Ternyata, ia jatuh pada lompatannya yang kedua (atau ketiga) karena tidak menjejakkan kaki di kayu yang benar. Saat jatuh, bibirnya tersangkut paku yang memang banyak terpasang di kayu-kayu bangunan seperti itu. Hmmm... dua kali membuat 'kejahatan' yang sama dan menyebabkan dua teman mengalami kecelakaan serupa. Herannya, aku tidak ingat kalau guru pernah memarahi kami karena kelakuan kami. Namun sejak saat itu, aku tidak pernah lagi naik-naik kayu di samping mesjid. 

Dan kini, temanku yang bibirnya pernah robek itu juga sukses di jurusannya sekarang. Di tingkat satu kuliah, ia bahkan dikenal cemerlang pada mata kuliah yang membuatku panas dingin, mata kuiliah pertama yang menorehkan nilai 'C' dalam transkrip nilaiku. Kalkulus.

Temanku lainnya, yang dikenal paling kalem dan bersahaja saat SD, juga begitu cemerlang saat kuliah. Semester pertama, ia satu-satunya teman SD yang IP-nya 4 (aku bertemu beberapa teman SD saat kuliah). Saat masuk jurusan, prestasi akademiknya pun tetap membanggakan.

Sahabat TK-ku yang selalu sekelas denganku selama 7 tahun (sejak TK hingga lulus SD), kini juga sukses menjadi salas seorang mahasiswi jurusan kedokteran.

Sahabatku lainnya, yang juga menjadi rivalku dalam bertukar peringkat satu di SD, kini sukses menjadi mahasiswi universitas ternama di negeri ini, dan kudengar masih tetap cemerlang dalam prestasi-prestasi akademiknya. Pun dengan organisasinya.

Temanku yang lain yang juga sering aku 'isengin', bahkan ibunya pernah aku jahili dengan 'telepon hantu', kini begitu fasih bahasa Inggrisnya dan pergaulannya sangat luas. Ia yang dulu sangat pemalu untuk bicara, sekarang memiliki banyak teman karena kepandaiannya.

Dan aku?

Aku masih tertatih-tatih mengejar ketertinggalanku dalam akademik. IP yang terus menurun secara konstan, yaa..alhamdulillah semester terakhir naik sedikit (meskipun akumulasi IPK tetap menurun). Bergerak dari kekalahan ke kekalahan pada setiap kompetisi yang aku ikuti. 

Dalam organisasi pun tidak istimewa. Aku sudah vakum organisasi kampus semester ini, meski rasanya masih saja tetap sibuk (sibuk apa sih?!). Mmmm...sibuk di tempat yang lain. Ketika ditanya "Kenapa gak masuk BEM?"

"Saya anti BEM."

Yang bertanya pun bingung. Setengah bercanda aku mengatakan, mungkin kalau ada organisasi anti-BEM, aku mau masuk. Bercanda sih, mungkin itu dampak menjadi lurah asrama semasa tingkat satu kuliah.

Dan aku masih terus bergerak dari kegagalan ke kegagalan. Terkadang marah pada diri sendiri yang sepertinya sering sekali jatuh pada lubang yang sama, atau sepertinya terus saja melakukan kesalahan yang sama (lhoh, apa bedanya dari pernyataan sebelumnya?). But, well.... terkadang memaafkan diri sendiri juga sangat penting. Jatuh dan harus bangkit lagi.

Finally, bersyukur sekali rasanya melihat dan mengetahui teman-teman masa kecilku sukses dan berhasil Aku harap semuanya pun begitu. Jangan pernah merasa rendah diri karena suatu kekurangan. Jangan pula merasa dunia itu begitu kejam karena merasa tertindas oleh keadaan. Setiap orang punya perannya masing-masing. Setiap orang itu istimewa. Aku ingin senantiasa menghargai hari-hariku, seperti aku menghargai masa kecilku yang penuh warna. Kuharap setiap orang juga dapat menghargai setiap harinya, karena sesungguhnya, tidak ada hari yang biasa-biasa saja. Allah SWT telah menciptakan kita sebagai seorang pemenang. Bukan begitu? 

-catatan 10 April 2011-

Kidung Rindu



Sejauh langkah dan penaku menari
Roda waktu pun berlalu
Berpikir untuk mengejar matahari
Berlari
Dalam sepi

Kukira akulah yang tidak berpindah tempat
Layaknya dunia dan galaksi yang terus berputar
Sebelum akhirnya terjaga dalam sadar
Mungkin bukan aku bintang utara itu
Tetapi engkau

Dan aku hanya sebongkah batu
yang hendak berpulang

Sampai pada satu waktu
Galaksiku tak lagi sama seperti dulu
Pada kesadaran bahwa
bukan dirikulah yang bercahaya
Namun engkau yang menjagaku tanpa kata

Dalam satu tanya tentangnya
Sungguhkah ada hati yang tak berubah?
Dan keikhlasanku menanti jawabnya
Seperti kuberharap Sang Penyayang menyayanginya
dan kuatkan kesabarannya

Usah kau khawatirkan masa
Kelak semua akan datang jua
Karena aku masih di sini 

Sejauh langkah dan penaku menari
Kidung rindu ini belumlah usai

***

POLARIS, 13 April 2011