JOURNEY TO THE WEST (Hai, Ujung Kulon!)

Jumat, 29 Januari 2016



terumbu karang di perairan Pulau Peucang

“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu, diantara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan? Milik-Nya lah kapal-kapal yang berlayar di lautan bagaikan gunung-gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS. 55: 19-27)

***

Sebelum Januari  berganti, izinkan aku kembali berbagi sebuah pengalaman seru menapaki sejengkal tanah indah di bumi Indonesia. Kali ini ke manakah? Yups. Seperti judul yang tertera di atas, journey to the west. Ceritanya ini jadi judul sekuel dari catatan perjalananku setengah tahun silam yang kuberi nama journey to the east. Lebih lengkapnya bisa dibaca di sini https://www.facebook.com/notes/nurul-najmi/journey-to-the-east/10154032609908849 .

Seperti yang pernah disampaikan pula pada tulisan tersebut, makhluk hidup endemik yang menjadikan kawasan ini ditetapkan sebagai taman nasional adalaaaaaa....h.... JENG! JENG! JENG! Yak, badak bercula satu! Hingga ditetapkanlah kawasan ini menjadi Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Artinya taman nasional ini memang terletak di ujung paling barat (kulon) Pulau Jawa. Kita juga akan sampai di titik nol Pulau Jawa nanti. Jadi, jangan kemana-mana dan tetap stay tune pada layar monitor Anda :).

***

Perjalanan dimulai pada malam pergantian tahun 2015 menuju 2016. Partner perjalananku kali ini, yang dapat tambahan bonus spesial juga sebagai partner hidup, menemaniku berangkat dari Kota Hujan sepulangnya dari bekerja. Namanya Gugi Yogaswara. Aku memanggilnya Augi.

Kami tidak berangkat berdua saja. Ada kuota tambahan dari Kota Belimbing yang turut serta dalam liburan kami menuju ujung barat Jawa. Sebut saja namanya Dwi Pamungkas Bermani. Salah satu makhluk hidup yang sering diceritakan oleh Augi berasal dari Planet Namex. Setelah kutengok lagi tulisanku setengah tahun silam yang tautannya telah aku cantumkan di atas itu, ternyata makhluk ini juga yang menjadi salah satu partner perjalananku dulu. Yang kusebut sebagai satu dari dua manusia besar yang baik dan kocak (manusia besar baik dan kocak satunya lagi bernama Ario Bismoko Sandjoyo). Yang menemaniku di kereta Gumarang saat aku pertama kali menginjakkan kaki di tanah timur Jawa, Surabaya. Jadi, dahulu aku ke ujung timur ada Dwi, sekarang aku ke ujung barat juga ada Dwi. Hhhhh.... Ah ya, bagi yang ingin tahu seperti apa bentuknya Dwi, ayah mertuaku sempat mempromosikan bahwa Dwi mirip dengan artis kondang Jaja Miharja. Oleh karena promosinya itu, sepulang liburan Dwi langsung potong rambut, wkwk.

Berhubung kami bertiga berangkat cukup larut, akibatnya tengah malam kami masih melintas di tengah hiruk pikuk kembang api ibukota Jakarta. Kami melintasi jalan tol yang lengang layaknya nominator Oscar berjalan di atas red carpet. Sepanjang jalan kanan dan kiri, langit kami penuh warna warni kembang api. “Ternyata begini suasana pergantian tahun matahari di ibukota”, gumamku yang sudah hidup seperempat abad di pinggiran ibukota ini, namun berkunjung ke Monas saja belum pernah. Yaah... membeli kembang api atau mengunjungi Monumen Nasional (Monas) tidak penting bagiku, tidak akan mempercepat juga untuk lulus seminar dan sidang tesis. Jadi tidak usah diambil pusing. Haha... jadi curcol. Cepetaaaan.... itu kerjakan tesisnyaaa.... Iyaa.... tulis catatan ini dulu sebelum lupa :p.

kembang api dari kanan-kiri jalan tol

Kembali ke perjalananku bersama Augi dan Dwi. Mereka sempat saling bertukar posisi untuk mengemudi agar tidak lelah. Sesampainya di Kota Serang, kamipun bergabung dengan rombongan keluarga Serang yang terdiri dari kedua mertua, adik ipar, dan sepupu. Dengan dua mobil kami berjalan beriringan. Dwi sebagai pengemudi dan Augi sebagai navigator memimpin iring-iringan di depan. Aku duduk di kursi tengah dan mulai terkantuk-kantuk. Memasuki kawasan Pandeglang, sempurna aku tertidur. Dan... olala, navigator juga tertidur! Jadilah Dwi menyetir sendirian. Tenang Wi, suatu hari nanti kamu tidak akan sendirian lagi. Semangat!

***

Tujuan kami adalah berlibur di Pulau Peucang. Waktu perjalanan Bogor-Serang 3 jam, Serang-Pandeglang 1 jam, Pandeglang-Pantai Sumur Ujung Kulon 3 jam. Untuk menyeberang ke Peucang, dibutuhkan waktu 3 jam lagi. Kami diminta oleh pengelola wisata untuk sampai di Pantai Sumur, Jumat, 1 Januari 2016 sebelum pukul 6 pagi. Namun apalah daya, kami kesasar sampai 1,5 jam, pemirsa! Jadi ceritanya di pertigaan yang seharusnya belok kiri, kami justru mengambil jalan lurus. Dwi sempat bertanya pada navigator sebenarnya.

“Ka Gugi, ini belok apa lurus?”

Dengan mata seperempat terbuka, Augi mengamati layar handphone untuk melihat petunjuk gmaps.

“Lurus, Wi.”

Awalnya Dwi sempat ragu karena sempat melihat petunjuk Pulau Umang belok ke kiri. Namun, tujuan kami adalah Peucang, bukan Umang. Dan peta mengatakan kami untuk lurus. Jadilah kami lurus menuju Tanjung Lesung. 

Aku terbangun ketika mobil sudah terguncang-guncang sekitar sejam. Jalanan yang kami lalui sangat buruk. Tanpa aspal, tanah bergelombang, dan sepanjang kanan-kiri jalan hanya lahan terbuka-kebun-ilalang. Nyaris tanpa rumah. Ini di mana?

“Ini di mana?” tanyaku masih mengucek-ngucek mata.

“Ka Gugi! Woi! Bangun!”

Dwi yang menjawab.

Jalanan bergelombang dan gelap ini tampak tidak berujung. Sesekali terlihat kucing besar di tepi ilalang pinggir jalan. Kata Augi, itu hyena. Hyena (Crocuta crocuta)? Di sini ada hyena? Keren juga yah. Tapi apa sama sekali tidak ada orang yang bisa ditanya, di sini? Yah, rumah dan warung saja hampir tidak ada, bagaimana ada orang? Selama setengah jam perjalanan saja, kami hanya menemui satu rumah di sisi kanan.

Ketika akhirnya Augi mendapat sinyal dan bisa mengontak Hudan, temannya yang mengelola wisata ke Pulau Peucang - Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK), yakin sudah bahwa kami telah salah jalan. Kami pun putar balik. Kembali melewati jalanan gelap dan bergelombang, sesekali bertemu hyena, lalu menuju jalanan utama.

“Ka Gugi lagiiii.... Ka Gugi lagiiii....”

“Tadi kata maps-nya lurus wii.”

Haha.. pelajaran utama. Tidak selamanya teknologi itu memudahkan :p. Bertanya kepada orang di jalan dan penduduk setempat untuk memastikan juga penting. Kuduga mungkin saja jalan yang ditunjukkan peta itu benar, karena peta yang terkoneksi dengan satelit itu biasanya akan mencarikan jalan terpendek ke arah tujuan. Tapi sayangnya, peta itu tidak tahu kalau jalan yang harus ditempuh rusak parah. Wkwk.

Akhirnya kami kembali bertemu jalan aspal. Wuah, seperti baru keluar dari dunia lain rasanya. Kembali  bertemu aspal, lampu jalan, dan warung. Dan akhirnya kami bisa bertemu orang! Kepadanya, kami memastikan arah jalan ke Sumur, lalu mampir sebentar di masjid untuk salat Subuh. Setelahnya langsung tancap gas lagi.

Ternyata benar. Jalanan ini bagus, walaupun sepertinya agak memutar. Namun, kondisi kanan kiri jalan tertata cukup baik. Kami pun melewati papan besar bertuliskan SELAMAT DATANG DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON. Yups, ini jalan yang benar.

Fyi, TNUK merupakan kawasan pertama di Indonesia yang ditetapkan sebagai taman nasional dan juga warisan dunia UNESCO pada tahun 1991. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 284/Kpts-II/1992 Tanggal 26 Februari 1992, ditetapkan luas TNUK sebesar  122.956 Ha, terdiri dari kawasan darat 78.619 Ha dan perairan 44.337 Ha. Populasi badak bercula satu atau badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) sebagai hewan endemik di sini tinggal 50-60 ekor. Itu pun sangat sulit untuk ditemui, bahkan oleh Hudan yang merupakan penduduk asli dan sudah sering keluar masuk hutan di UK ini. Hmm... kuyakin pemerintah pasti sudah memiliki tim sendiri yang khusus bertugas untuk konservasi di TNUK. Sayangnya aku tidak mendapatkan informasi tentang misalnya keberadaan para jagawana, seperti yang ada di Baluran. Yah, tujuanku kali ini memang sedikit berbeda dengan perjalanan ke timur yang lalu. Dulu, aku pergi untuk ekskursi, sehingga mendapatkan banyak pemandu. Kali ini untuk perjalanan ke barat, tujuanku adalah berlibur. Walaupun sedikit banyak kami pun mendapatkan informasi dari Hudan dan bapak-bapak di kapal saat mengobrol.

Akhirnya kami tiba di lokasi pukul 7.30. Meski terlambat 90 menit dari waktu yang diminta, bersyukur kami masih kebagian sarapan di wisma Sarang Badak. Kapal direncanakan berangkat pukul 8 dari Pantai Sumur, sehingga tidak ada waktu bagi kami bersantai. Selesai sarapan, kami langsung bergegas menuju pasar, eh... maksudnya pantai. Tapi akses ke pantainya memang jalan kaki lewat pasar. Di pantai ini perahu-perahu berlabuh. Perahu kecil inilah yang mengantar kami menuju kapal motor yang agak besar di tengah laut.

tiba di Wisma Sarang Badak

Pantai Sumur
di atas perahu kecil

Satu rombongan kapal terdiri dari 3 rombongan peserta yang totalnya berjumlah 18 orang. Rombonganku berjumlah 7 orang (aku, Augi, Dwi, papah, mamah, Puput, dan Livi), sementara rombongan lainnya berjumlah 4 orang dan 7 orang. Ditambah Hudan, nakhkoda kapal, dan 2 awak kapal lainnya, total penduduk KM. Romantis (nama kapal motor yang kami tumpangi) adalah 22 orang.

Perjalanan dari Sumur ke Peucang kami tempuh selama kurang lebih 3 jam. Sepanjang perjalanan, laut cukup bersahabat. Cuaca hari itu cerah, cukup terik bahkan. Sesekali terlihat rombongan ikan terbang dari sisi kapal atau burung camar yang melintas di kejauhan. Terkadang kulihat juga lapisan minyak di beberapa titik permukaan laut. Sisa hasil pembakaran solar dari kapal-kapal yang melintas di atasnya.

Di atas kapal terdapat haluan yang ruang muat di bawahnya dimanfaatkan sebagai dapur. Jadi, rombongan kapal kami tidak makan dari restoran di pulau, melainkan awak-awak kapal yang memasak untuk kami di dapur kapal. Keren!

masak di haluan kapal

Kami pun selalu makan di atas kapal, baik itu makan siang, makan malam, dan juga sarapan. Apa sebab? 

Macaca fascicularis. 

Yup. Di Pulau Peucang aku reuni kembali dengan para kera ekor panjang, seperti yang kutemui di Baluran dulu. Hudan selalu menyarankan kami untuk makan di kapal agar terhindar dari serangan kera. Haha..

Tidak hanya kera, di sini aku bisa melihat babi hutan (Sus scrofa) untuk pertama kalinya. Tidak selucu babi biasa yang banyak kutemui di Pontianak lima tahun silam. Eh, babi biasa juga tidak lucu deng.. yang lucu itu boneka babi. Tapi tetap saja babi haram meskipun lucu. Yaa.. setidaknya aku gembira karena pertama kali melihat langsung babi hutan yang berwarna hitam dan moncongnya sangat monyong itu. Dan aku tidak perlu khawatir ditegur kalau mengatakan, “Heh, babi!”

babi hutan (Sus scrofa)

Sesampainya di Peucang....

Masha Allah..... indah banget! Bangeeeet!!! Warna laut di sekitar pulau berbeda sekali dengan warna laut dalam yang kami lewati sebelumnya. Gradasi warna biru kehijauan yang cerah, jernih, berpadu dengan pasir pantai berwarna putih kecoklatan yang terang karena terpantul sinar matahari. Indaaaaaah....

Pantai Pulau Peucang

Kami memulai aktivitas snorkeling selepas zuhur. Laut pertama tempat kami snorkeling berada di Ciapus, sekitar sepuluh menit perjalanan kapal dari Peucang. Terumbu di sini banyak sekali dan berwarna-warni. Ini ketiga kalinya aku melakukan snorkeling, dan terumbu di sini adalah yang paling indah yang pernah kulihat. Snorkeling pertama di perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Rasanya menakjubkan bisa melihat terumbu karang asli di dalam laut. Snorkeling kedua, di laut Pangandaran. Terumbu yang kulihat lebih indah daripada di Lancang. Kali ini, Peucang. Di sini lebih indah lagi! Allah... kelu lidahku dibuatnya.

Bagiku, Augi, dan Dwi yang bukan pertama kalinya kami snorkeling, tentu kami sudah cukup terbiasa dengan penggunaan masker selam, snorkel, dan kaki katak (beuh... kayak sering snorkeling aja :p). Namun, pada snorkeling kali ini, kami hanya menggunakan masker selam dan snorkel. Yang luar biasa adalah Puput dan Livi. Ini pertama kalinya mereka menggunakan alat snorkel, dan langsung bisa! Padahal dulu, pertama kali aku snorkeling di Lancang, aku cukup kelabakan karena air lautnya pada masuk ke selang snorkel, bahkan sampai ada yang terminum. Haghag.. jangan-jangan aku saja yang mengalami demikian.

puput, livi, dan augi

who am I?

Kami pun berpuas-puas menyelam-selam di permukaan dan menikmati berbagai macam koral. Aneka ragam koral dari marga Acropora dan Montipora yang berwarna-warni. Sesekali kami berdiri di atas koral mati untuk istirahat sejenak, namun sedapat mungkin kami menghindari menabrak, apalagi menginjak koral yang masih hidup. Bukan hanya demi kelestarian alam, tetapi sakit tau nabrak koral. Jadi, berhati-hatilah saat menyelam.

Sekitar satu jam kami snorkeling di Ciapus, lalu kami naik kembali ke kapal menuju Cibom. Di Cibom, kami melakukan trekking sampai ke Tanjung Layar. Yups, Tanjung Layar! Inilah titik nol Pulau Jawa di sisi barat. Sebelum sampai di Tanjung Layar, kami mampir sebentar di bangunan mercusuar yang konon memiliki peran penting dalam sejarah kemaritiman Indonesia dan masa kolonial. Mercusuar ini merupakan tanda “ujung pertama” yang menjadi petunjuk arah bagi kapal-kapal yang melintasi Selat Sunda. Mercusuar di Tanjung Layar dibangun sebanyak tiga kali. Mercusuar pertama diperkirakan dibangun pada tahun 1800, lalu hancur akibat letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883. Lalu dibangun mercusuar kedua yang terbuat dari baja. Dan yang sekarang masih ada adalah mercusuar ketiga yang dibangun tahun 1972.

sumur air

kawasan mercusuar Tanjung Layar
Augi dan Dwi, Tanjung Layar

Puput di Tanjung Layar

Setelah beristirahat kurang lebih setengah jam di Tanjung Layar, kami kembali ke Pantai Cibom. Jika sebelum trekking para lelaki berenang dari kapal menuju pantai, sementara para wanita naik kano, pulang dari trekking ini, semuanya dipersilakan untuk bergantian naik kano. Tapi Augi memilih untuk tetap berenang menuju kapal, sementara yang lain bergantian naik kano karena lelah. Lebih seru, katanya. Alhasil, sandal Augi pun tertinggal di Pantai Cibom. Kami semua berpikir sandal dipakai masing-masing saat naik kano. Kami lupa, Augi yang satu-satunya berenang, tentu saja tidak pakai sandal. Jadilah sandalnya tertinggal. Maafkan, heu ^^”..

Malam hari kami disuguhkan makan malam di atas kapal dengan menu tumis capcay dan ikan goreng balado. Menunya sederhana, tapi nikmat luar biasa. Sarapan esok paginya dengan menu telur dadar dan tempe goreng. Lagi, di atas kapal. Nikmat.

Aktivitas di hari kedua adalah melihat sunrise, sight seeing di padang savana Cidaon, dan snorkeling di Pantai Peucang. Sunrise dari Peucang tidak terlihat begitu jelas, tapi langitnya tampak sangat indah. Selanjutnya kami naik kapal menuju Cidaon untuk pengamatan satwa liar di savana. Sayang sekali, tidak ada satupun diantara kami yang membawa binocular telescope. Tidak tampak satu pun satwa besar yang berada di savana. Untuk melihat ke arah yang lebih jauh, jaraknya tidak memungkinkan untuk jangkauan mata kami melihat dengan jelas. Padahal jika beruntung, kita dapat melihat merak dan kerbau hutan. Aku hanya melihat setumpuk tulang belulang yang dikumpulkan di dalam saung. Mungkinkah ini tulang badak?


sunrise di Peucang

rombongan peserta KM.Romantis

tulang belulang di Cidaon

Pantai Cidaon

Selesai pengamatan di Cidaon, kami snorkeling lagi di sekitar Peucang. Tidak disangka, karang-karangnya lebih indah lagi dari yang kami lihat di Ciapus. Hanya dengan jarak kedalaman setengah sampai satu meter, begitu banyak aneka koral warna-warni di sini. Tidak perlu naik kapal. Tidak perlu berenang jauh-jauh. Koral-koralnya berada sangat dekat dengan bibir pantai. Ada beragam ikan juga yang kami temukan. Sesekali tanganku bergesekan dengan ikan badut aka nemo (Amphiprion percula) yang asyik berenang kesana-kemari. Kami juga bertemu anemon laut (Stichodactyla gigantea) yang sangat cantik. Ada yang warna hijau, ada juga yang warna ungu. Pertama kalinya aku bertemu anemon. Mungkin suatu hari nanti aku bisa bertemu digimon (apasih -,-“).

Ternyata tidak perlu jauh-jauh ya, hal yang paling indah itu ada di dekat kita #azeeg XD.....

aku dan Amphiprion percula
Selesai snorkeling, kami berkemas untuk pulang. Tidak pakai mandi dulu, karena rencananya kami akan snorkeling lagi di perairan Pulau Badul. Perairan di sekitar Pulau Badul ini unik, karena terdapat banyak karang buatan yang sengaja ditanam di dasar laut. Tidak hanya karang, bahkan di bawah laut ada patung badak juga. Badaknya berdiri, dan kalau kulihat dari belakang, seolah badaknya sedang memakai ransel. Haha, entah kenapa aku melihatnya seperti itu. Yang jelas kesannya agak horor melihat ada badak di bawah laut. Berdiri pula.

Kami tidak lama snorkeling di Badul, karena ombak mulai tinggi. Kami bergegas naik ke kapal dan beranjak pulang ke Sumur. Benar saja, tidak lama terlihat kilat menyambar di kejauhan dan suara petir menggelegar. Hujan deras pun turun. Menyiram seluruh area haluan dan buritan. Kapal mulai agak oleng. “Wuah, badai!” pikirku.

“Ini belum ada apa-apanya. Ombaknya paling hanya setengah meter,” sahut Augi.

Dwi dan Livi berdiri menyandar ke dinding geladak agar tidak kehujanan. Mamah masuk ke geladak kapal agar terlindung dari angin dan hujan. Augi menutupiku dan Puput dengan jaket di atas buritan, sementara aku masih memegang piring makan siang berisi nasi, lalap kacang panjang, dan ikan bumbu kuning. Kini piringku bercampur hujan, tapi aku tetap saja santai makan. Sambil agak deg-degan juga sih. Sementara papah? Tetap santai duduk di kursi buritan dan menikmati hujan! Wow...

Sekitar setengah jam kami menikmati sensasi hujan di atas kapal, sampai akhirnya hujan reda, dan ombak mulai lebih tenang. Kami semua tiba di Pantai Sumur dengan selamat. Perahu kecil penghubung kapal dengan pantai pun sudah bersiaga menjemput kami.

Alhamdulillah... Terima kasih semuanya. Terima kasih papah, mamah, Augi, Dwi, Puput, dan Livi. Terima kasih Hudan untuk wisata Pulau Peucang-nya yang seru. Terima kasih para bapak awak kapal yang multitalenta. Terima kasih bu dokter yang telah bermurah hati memberikan obat dan minyak ajaib, sehingga bentol-bentol alergi seseorang hilang seketika saat trekking di Cibom yang lalu. Terima kasih anaknya bu dokter yang telah berbagi keripik kentang dengan kami dan ternyata kita satu almamater. Terima kasih untuk semua peserta rombongan perjalanan KM.Romantis. Perjalanan ini luar biasa!

Sampai jumpa di perjalanan berikutnya ^o^....

see you again ^o^

***

Sebagai penutup, aku ingin mengutip sebuah ayat yang semoga memacu semangat kita untuk terus melakukan perjalanan dan mencari hikmah di muka bumi.

“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. 22: 46)

wkwk... promosi yah sedikit ;)
Bogor, 29 Januari 2016
-Nurul Najmi-