SYUKUR DAN CINTA (2). Yang sedikit itu banyak

Kamis, 25 Februari 2016



“Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah : 155)

Aku pernah mendapatkan kalimat bahwa tabiat dasar manusia adalah tergesa-gesa dan senang berkeluh kesah. Kurasa itu benar. Namun, Islam juga selalu siap dengan solusinya. Karena itulah setiap hari kita dianjurkan untuk bermuhasabah. Untuk merenung dan memohon ampun pada setiap salah. Untuk memaafkan mereka yang hari itu membuat hati kesal dan resah. Untuk tidak terburu-buru pada setiap cita dan mimpi sehingga kita tidak pernah menyerah. Untuk selalu bersyukur pada  yang kita dapatkan sedikit maupun banyaknya yang tercurah.

Sampai akhirnya kita menyadari bahwa Allah Yang Maha Pemberi telah menganugerahkan begitu banyak untuk kita. Semua yang kecil tampak menjadi besar. Semua yang sedikit tampak begitu banyak. Karena begitulah konsep rasa syukur bekerja. Ia membuat menusia tidak pernah merasa kekurangan. Menghargai setiap yang ada. Mensyukuri segala yang diterima.

***

Sebuah kejadian heboh sempat kualami dalam perjalanan pulang pada malam hari dari Bandung ke Bogor bersama seorang teman. Belum lima kilo mobil kami berlalu di jalan tol, tiba-tiba jarum indikator panas mobil memberi sinyal bahwa mobil kepanasan. Mobil pun segera menepi begitu menemukan tempat peristirahatan pertama. Saat memeriksa mesin, mengertilah kami sebab yang terjadi. Tutup air radiator mobil hilang!

Berbagai solusi coba kami pikirkan, mulai dari mencari alternatif tutup, menelepon bengkel, hingga memanggil layanan derek. Ketika akhirnya tutup pengganti sudah didapatkan, mobil tidak juga bisa mengebut dengan normal akibat panas yang terjadi sebelumnya. Kami pun mengendarai mobil pelan-pelan. Saat jarum indikator panas sudah menunjukkan kode mengkhawatirkan, kami lekas-lekas menepi ke pinggir tol dan berdiam sampai suhu mobil normal kembali. Setelah mobil lebih dingin, kami berjalan lagi. Tetap pelan-pelan. Sampai kami tiba di rumah.

Perjalanan Bandung-Bogor kami lalui selama hampir 9 jam. Padahal jalanan tidak dalam keadaan macet waktu itu. Normalnya waktu perjalanan adalah 2-3 jam. Tak kusangka, sebuah tutup radiator yang begitu kecil sangat besar nilainya. Membuat kami bolak-balik mengambil air di toilet, mencari-cari kayu dan kawat di tengah kebun gelap (padahal sekitarnya sih terang, kebunnya doang yang gelap haha..), berurusan dengan petugas keamanan, berurusan dengan petugas mobil derek, hingga bermalam di tepi jalan tol. Aku diingatkan betapa kita tidak boleh meremehkan hal-hal kecil, meskipun hal itu kecil seperti tutup radiator.

Aku pun diingatkan kembali betapa harus bersyukurnya  diri ini. Dan salah satu bentuk syukur bukan saja hanya dengan mengucap syukur alhamdulillah, tetapi juga dengan tidak mengeluh saat sesuatu tidak berjalan dengan semestinya. Seperti saat beberapa kali temanku terlambat pulang ke rumah. Terkadang tanpa kabar, karena telepon selulernya mati. Ada pekerjaan tambahan di kantor, katanya. Ada kereta yang bermasalah. Ada pohon tumbang akibat hujan. Adaaa.... ada-ada saja deh. Memang ia belum pernah memberikan alasan terlambat pulang karena ada si komo lewat, tetapi tetap saja itu adalah terlambat pulang yang menyebabkan hatiku khawatir bukan kepalang.  

Keterlambatannya tanpa kabar sering membuatku tidak menyambutnya pulang dengan senyuman. Mungkin karena hati terlanjur khawatir bercampur kesal menantinya pulang, yang muncul bukan bibir yang tertarik ke samping, melainkan ke depan. Sampai aku disadarkan bahwa hal-hal yang telah diberikannya padaku jauh lebih banyak daripada sekedar terlambat pulang yang lalu membuatku merasa pantas untuk mengeluh padanya. Aku sama sekali tidak pantas untuk mengeluh. Seharusnya aku lebih banyak bersyukur dan tersenyum.

Suatu hari saat ia pulang tepat waktu, tanpa banyak berbincang, ia bergegas ke luar rumah lagi menuju masjid. Iqamah tanda shalat isya berjamaah segera dimulai telah dikumandangkan. Aku melepasnya di pintu bersamaan dengan berbunyinya android-ku tanda sebuah pesan personal masuk. Darinya. Rupanya ia mengirimiku pesan sesaat sebelum pergi ke masjid tadi. Ia mengirimiku pesan panjang layaknya surat cinta. Dan bagiku, inilah surat cinta pertama darinya.

***

Untuknya

24 Agustus 2015

Sayang, yang kutahu... 

Kamu dulu menyimpan erat-erat masalahmu dalam hati dan pikiranmu...

Begitu dalam kau pendam... Sakitnya, kecewanya, dan lukanya kamu rasakan sendiri... Kamu telan sendiri... Menyayat-nyayat hati... Menyengat semua syaraf jiwa dan ragamu... Air mata yang keluar sebelum tidur... Bayangan-bayangan akan kejadian yang tak diinginkan itu... Harapan-harapan yang pupus karenanya... Harapan yang seolah sirna dan hangus terbakar....

Yang kubayangkan, mungkin jika kamu menatap langit, kamu lihat ‘dirimu’ di sana, meratapi bahwa sinarmu tak seindah mereka... Sementara mungkin berat bagimu menyandang namanya.. Seolah dituntut untuk bersinar selalu pada setiap suka dan duka..

Kamu kerap ingin menyesali hidupmu, tapi kamu tetap lebih takut dosa jika demikian. Sehingga, kamu seka airmatamu... Kamu dandan sebisanya untuk menutupi gurat sedih, dan berangkat ke kantor. Menemuiku untuk diskusi pekerjaan. Kamu paksakan senyummu demi kenyamanan tim dalam diskusi. Namun, jika saatnya shalat zuhur tiba, aku shalat di masjid dan kamu shalat di kantor. Selepas shalat aku masih melihatmu berdoa dan berdzikir di kamar gelap dan lembab itu.....

Hatiku gerimis, perempuan sejujur, sebaik, dan selucu kamu harus menerima beban yang demikian berat sendirian.

Aku ingin menolongmu.. tapi tak bisa kulakukan apa-apa...  Aku ingin mengusap air matamu, tapi tak berani ku memikirkan lebih jauh untuk itu... Aku hanya bisa menolongmu dengan ledekan hangat yang membuatmu nyaman... Aku hanya bisa membuatmu bercanda dan memberikan kesan kuat dalam hatimu.. Hingga kamu senang dan sedikit bahagia...

Supaya, jika kamu sedih... Kamu akan ingat momen-momen senang dan sedikit bahagia itu, sampai kamu mengusap sendiri air matamu dan senyum-senyum sendiri. Sehingga, tujuanku tercapai... Menolongmu dan mengusap air matamu... Walau tak kulakukan sendiri.
Begitu pula saat aku berusaha membujuk teman-teman agar bisa ikut wisata ke Bandung. Dan meminta sodaraku di Bandung untuk menyiapkan tempat dan makanan.

Itu adalah waktu-waktu krusial saat kamu sedang menghadapi ujian beruntun. Demi riang dan tawa dari wajahmu lagi... Walaupun sempat ku merasa gagal karena sebersit melihatmu menangis...

Aku tidak menghubungimu lagi... Berbulan-bulan, karena aku ingin fokus pada persiapan dan prosesku menikah. Sampai kita bertemu lagi di kantor... Wajahmu murung, sesekali saja tersenyum... Tak kuasa ku melihatnya... Ingin rasanya kupeluk dirimu dari belakang dan berkata, “akan kuganti getirmu dengan kebahagiaan selamanya...”, ah apalah daya. Membayangkan lebih dari itupun aku tak berani. Hingga aku hanya manja meminta jam tangan padamu...

Sampai suatu ketika, di hari kamu mengabulkan permintaan manjaku, ayahmu menghubungiku.. Untuk menyampaikan sebuah rahmat, hidayah, sekaligus ujian untukku... Beliau bermaksud untuk menjadikanku suamimu...

Bermalam-malamnya ku tak bisa pejamkan mata... Berlamanya ku termenung melihat langit... Berkali-kalinya ku shalat untuk meminta petunjuk... Kenyataannya... Keyakinan itu datang begitu saja... Dan menguat... Semakin lama kian menguat... Hingga kuberanikan diri untuk menghadapi orangtuaku yang banyak berseberangan denganku... Dan kuberanikan diri untuk menghadapi orang tuamu.

Hingga, sampailah pada keputusan aku akan menikahimu... Untuk 4 bulan lamanya kita diminta menunggu... 4 bulan yang tidak mudah.... 4 bulan cobaan, ujian, dan godaan....

Saat kamu membaca ini, kamu telah menjadi istriku... yang sangat kucintai... Maka, keluarkanlah tangismu yang selama ini kamu tahan, semuanya. Sampaikanlah keluh kesahmu dalam hidup. Akan aku dekap kamu erat-erat untuk meyakinkanmu bahwa aku akan melindungimu selalu.

***

Sayang, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu karena kamu mencintai Penciptaku melebihi apapun. Aku mencintaimu karena aku tahu kamu mencintaiku. Aku mencintaimu karena aku tahu kamu cinta seseorang yang mencintai ibunya. Aku mencintaimu karena kekuatanmu dalam menghadapi perihnya hidup. Kecintaanmu pada kebenaran. Kebencianmu pada keburukan. Aku mencintaimu karena semua perhatianmu padaku. Apalah aku ini? Sebaik itukah aku, sampai aku dianugerahkan dirimu... Perempuan yang suci pikirannya, menyenangkan perangainya, tulus cintanya, setia rasanya, baik agamanya, cerdas pikirannya.

Melanglang buana aku mencari, meminta dicarikan, dan memohon ini itu padaNya. Namun, Allah menyadarkanku... Kriteria yang kuinginkan bukanlah yang kubutuhkan. Allah mengatur sedemikian rupa agar aku mendapatkanmu.

Allah mengatur segalanya untuk menguji iman dan kesungguhanku dalam beragama, sehingga menjadikanmu istriku. 

Allah sekaligus memberikan rahmat yang begitu besar padaku dengan memberikan salah satu makhluk terbaikNya yang begitu mencintaiNya melebihi apapun. Yang begitu menjaga kesucian hati dan amalnya. Yang berusaha kuat menjaga imannya sementara ujian begitu mendera.

Segala rahmat itu aku terima. Rahmat yang begitu luas, mulia, baik, lagi begitu istimewa... Ditujukan padaku.... Makhluk nista, pendosa, dan kotor ini.

Sayang.... Aku mencintaimu karena kamu mencintai Allah melebihi apapun. Semoga kamu bisa mengajariku untuk selalu bisa mencintaiNya melebihi apapun. Sebab, aku adalah seorang pendosa.... Karena sering mencintaimu melebihi apapun.... Astagfirullah....

Aku mencintaimu....

Inilah cerita singkatku mengapa aku bisa mencintaimu.

Jika masih belum cukup alasannya.. Aku pun bingung karena cinta yang kuat.. Datang begitu saja.

Kekasih, kukira hanya cintaku lah yang besar dan lama berada dalam penantian. Mungkin dugaanku ini tidak sepenuhnya benar. Terima kasih karena telah mencintaiku.

***

Kota Belimbing, 25 Februari 2016

sumber gambar: www.theresborchard.com