Kyoto in Summer

Rabu, 09 Oktober 2019

12 Juni 2019

Rabu pagi di bandara Osaka, Kansai International Airport. Pertama kalinya diri ini menjejak di buminya Kenshin Himura. Kyoto Infern
o. Wkwk. Yup, dalam dua tahun ke depan saya dan keluarga akan tinggal di kota Kyoto atas izin Allah. Namun, tidak seperti Kyoto Inferno (neraka Kyoto) yang dibakar oleh Shisio, yang kutemui di kota ini adalah rasa damai. Kota ini damai sekali. Terlebih saya tinggal di pinggiran kota sebelah timur, cukup jauh dari pusat kota yang ramai. Benar seperti yang dikatakan oleh banyak orang bahwa Kyoto itu laksana Yogyakarta-nya Jepang. Kental oleh budaya, damai kotanya, dan cukup ramah pula warganya (walau masih kalah jauh sih, sama ramahnya warga Jogja :p). Dan yang terpenting, hati saya sangat damai bisa berkumpul kembali bersama keluarga (baca: suami tercinta *uhuk*).

sumber: madman.com.au

Asrama

Asrama yang kami tinggali adalah asrama khusus untuk mahasiswa internasional yang kuliah di Kyoto Daigaku (Kyodai). Shugakuin International House, namanya. Kami tinggal di kawasan Shugakuin, berjarak sekitar 3 km di utara kampus Yoshida. Terdapat tiga jenis tipe kamar di sini. Single room, couple room, dan family room. Kami menempati tipe yang paling besar, family room.

Rumah baru kami memiliki tiga ruangan, ditambah dengan satu kamar mandi. Seperti kebanyakan rumah model apartemen lainnya, tata letak pertama setelah pintu adalah rak sepatu dan tempat payung. Lalu, disambung kamar mandi yang terletak di sisi kiri. Kalau kamar sebelah biasanya tata letak ruangnya berlawanan, kamar mandi ada di sebelah kanan. Dari lorong masuk tersebut langsung menyambung ke ruang makan. Di ruangan ini ada meja dan kursi makan untuk sekeluarga, kompor, tempat cuci piring, kulkas, dan microwave. Ruangan ini juga menjadi penghubung menuju teras balkon tempat mesin cuci berada. Di sebelah kiri ruang makan adalah kamar tidur utama, sedangkan di sebelah kanan adalah ruang kerja. Saya dan anak-anak selalu menyebutnya ‘kantor’. Kalau kamar utama disebut ‘kamar’, sementara ruang makan kami sebut ‘dapur’. Kamar, dapur, dan kantor terletak sejajar. Setelahnya terdapat teras balkon selebar kurang lebih satu meter, tempat mesin cuci, blower AC, dan jemuran berada. Antara ruang dalam dan ruang luar (teras balkon) hanya dipisahkan oleh pintu geser kaca, tidak ada yang disekat oleh dinding bata.

Asrama kami memiliki beberapa failitas umum, seperti perpustakaan, lounge yang sekaligus menjadi ruang olahraga, ruang bersama / japanese room yang hanya dibuka pada saat khusus, dan lobby yang ada pianonya. Kereeen…. Oh ya, di lantai 1 juga ada fasilitas dapur umum, kamar mandi, dan mesin cuci koin. Soalnya tipe kamar single room, khususnya yang di lantai 1, tidak memiliki ofuro (bath tub untuk berendam) dan shower untuk mandi. Jadi mereka menggunakan kamar mandi bersama. Mereka juga tidak memiliki mesin cuci sendiri. Kalau mau mencuci baju, tinggal memasukkan koin 200 yen ke mesin cuci. Asyiknya, di sini kami tidak perlu mencuci seprei atau pun selimut. Pengelola menyediakan seprei, sarung bantal, dan futon gratis untuk digunakan. Kalau seprei kotor, tinggal diletakkan di tempat yang disediakan, lalu kita mengambil seprei baru yang bersih. Alhamdulillah.


Belanja

Asrama tempat kami tinggal tergolong strategis, karena dekat dengan halte bis, stasiun, maupun tempat belanja. Ada berbagai pilihan tempat belanja disini, dengan hari diskon yang berbeda-beda. Uniknya, rata-rata tempat belanja disini tidak seperti supermarket besar di Indonesia yang segala ada di satu lokasi. Disini tempat belanja sayur dan bahan makanan terpisah dari toko yang menjual kebutuhan toiletries sebagai komoditi utama.

Saat saya hendak belanja sayur-mayur, toko Fresco atau Yaotami adalah pilihan terdekat dari asrama. Fresco tempatnya lebih modern dan lebih lengkap isinya. Namun, saya lebih sering belanja di Yaotami yang agak tradisional, karena lebih nyaman. Tempatnya tidak seramai Fresco. Dan untuk beberapa jenis sayuran, Yaotami lebih murah. Kalau di Fresco, harga telur dan udangnya yang lebih murah. Toko yang menyediakan sayur mayur dan berbagai produk pangan di sini disebut sebagai ‘supa’.

Untuk kebutuhan toiletries, seperti sabun, sampo, dan pospak, tempat terdekat dari asrama adalah Welcia dan Kentboys. Welcia terletak di pertigaan jalan utama, sekitar 100 meter dari asrama, sementara Kentboys terletak berdekatan dengan Fresco dan Yaotami. Tinggal pilih mau jalan ke mana. Walaupun menyediakan kebutuhan toletries, tetapi di sana juga ada produk cemilan dan minuman. Bahkan terkadang ada telur dan buah pisang yang harganya lebih murah daripada di supa.    


Transportasi

Jepang sudah terkenal dengan kemajuannya dalam transportasi umum. Bus dan kereta adalah moda kendaraan yang menjadi pilihan sehari-hari hampir seluruh warga, muda dan tua, bahkan para difabel. Ya, kaum difabel sangat terfasilitasi di sini. Mereka mampu hidup mandiri dan beraktivitas seperti orang kebanyakan lainnya. Tidak ada satu pun trotoar yang tidak memiliki marka untuk para tuna netra. Bus kota selalu mendahulukan mereka yang berkursi roda. Setiap stasiun kereta, walaupun stasiun kecil pinggiran, selalu memiliki ramp atau lift untuk naik dan turun. Di sini, saya benar-benar mempraktikkan hal-hal yang sebelumnya saya pelajari di kelas tentang elemen lanskap.

Selain transportasi umum, sepeda adalah kendaraan yang paling banyak ditemui di jalan. Bahkan di kampus, tempat parkir sepeda selalu penuh, sampai berdesak-desak. Kalau sudah sekali tertiup angin kencang, amboiii… rangkaian sepeda jatuh layaknya kartu domino. Entah siapa yang akan membereskan. Dulu sewaktu saya masih kuliah S1 dan selalu bersepeda ke kampus di Bogor, saya biasanya akan mengembalikan sepeda yang jatuh di tempat parkir ke posisinya semula. Namun, di sini saya hanya lewat dan melirik sekilas. Haha. Sepeda yang jatuhnya puluhan!

Orang-orang yang hidup di sini sudah terbiasa hidup mandiri. Ibu rumah tangga yang berbelanja dan beraktivitas sambil membawa anak, para lansia, mereka juga terbiasa bersepeda. Oleh karena itu, memiliki sepeda menjadi sebuah hal wajib. Suami saya langsung membeli sepeda baru saat awal kedatangan untuk aktivitasnya pergi pulang kampus. Saat saya dan anak-anak tiba, saya pun membeli sepeda dari teman yang pulang ke Indonesia. Sepeda ‘mamachari’ yang sudah terdapat boncengan anak di belakangnya. Sepeda ‘mamachari’ adalah sepeda yang umum digunakan untuk beraktivitas para ‘mama’. Bentuknya seperti sepeda mini kalau di Indonesia. Modelnya rata-rata memiliki keranjang di depan dan boncengan di belakang. Ada yang depan belakang jadi keranjang. Ada pula yang depan belakang jadi boncengan anak. Tipe sepeda yang biasa, bergigi, dan elektrik. Kalau untuk ‘mamachari’ dengan boncengan khusus anak, paling enak adalah yang elektrik, atau minimal bergigi.
  

Kyoto in Summe
r

Satu-satunya yang menjadikan episode ini mirip sama Kyoto Inferno-nya Kenshin adalah musim panasnya! Musim panas di Kyoto ditengarai sebagai yang terpanas di seluruh Jepang. Nyaris 40 derajat celcius, mungkin. Udara sangat panas dan kering. Bulan Juli-Agustus adalah saat panas-panasnya. Barulah pada bulan September, udara mulai menyejuk. Masih panas, tetapi anginnya mulai terasa sejuk. Kalau bulan sebelumnya, angin yang berhembus pun terasa panas. Bagi mereka yang gemar bersepeda akan terasa sekali bedanya.

Kalau hal yang paling unik dan menyenangkan hati banyak sekali bahkan saat kita bermimpi sekarang ganti ba…STOP! Ini bukan sedang bernyanyi lagu maruko-chan, oke?! Jadi hal yang paling unik sekaligus menyenangkan di musim panas ini adalah….. suara TONGGERET! yang hampir setiap pagi dan sepanjang hari berbunyi. Hmmm kalau di Indonesia kita adanya jangkrik kali yah, yang biasanya berbunyi di sore menjelang malam hari. Terkadang jika saya merasa suara tonggeret ini berisik sekali, buru-buru saya beristighfar dan berkata di kepala, “Suara ini indah! Suaranya indah sekali!” atau segera saya teringat pada Yotsuba yang sangat suka pada tonggeret. Mumpung lagi di Jepang. Mumpung lagi musim panas. Mumpung tonggeretnya ada. Dan benar saja. Memasuki bulan September, suara tonggeret pun serta merta menghilang.

Hal unik lainnya di musim panas adalah buah dan sayur. Katanya buah peach (persik) yang khas Jepang hanya ada di musim panas. Sayur kangkung juga hanya ada di musim panas. Pokoknya yang hanya ada di musim panas, saya beli! Haha, saya jadi curiga jangan-jangan ini adalah strategi marketing pihak tertentu (yakalee bundoooyy). Jadi, demi rasa penasaran dengan dalih ‘wajib mencicipi ragam ciptaan Allah agar semakin bersyukur’, saya pun membeli buah persik yang harganya menduduki peringkat atas di kalangan buah. “Sekali ini aja kok, Bi. Katanya enak sekali rasanya. Dan hanya ada di musim panas. Gak apa-apa ya?” bujuk saya pada suami. Bukan membujuk sih, melainkan laporan. Toh, buahnya sudah masuk kulkas, wkwk. Kalau harga kangkung tergolong relatif. Jika dibandingkan dengan harga sayuran lain, kangkung juga menempati papan atas harga premium alias mahal. Iyalah mahal, kalau dibandingkannya dengan harga kangkung di tukang sayur keliling di Bogor mah 7-10 kali lipat. Berhenti mengonversi, oke? Yah, intinya disini juga mahal karena tergolong langka. Sebenarnya tidak terlalu mahal juga, karena sayuran lain juga relatif sama harganya. Saya nya saja yang biasanya beli sayur-mayur murah atau harga promo. Yah, pokoknya harus beli persik dan kangkung.

Selain buah dan sayur khas musim panas Jepang, saya juga membeli pot bunga. Suka meleleh rasanya hati, saat melihat bunga-bunga cantik subur bermekaran di tepi jalan atau di halaman rumah orang. Kalau mengaitkan antara musim panas dan bunga, ingatan saya pasti langusng terbang ke Summer Scent. Drama Korea lawas yang menjadi salah satu alasan saya mendaftar kuliah di Arsitektur Lanskap. Saya ingin menjadi florist! Lah? Ternyata di kampus belajar arsitektur. Haha, yo wis lah. Yang penting “Arsitektur Lanskap tetap paling jitu, ugh!”.