SYUKUR DAN CINTA (3). Yang jauh itu dekat

Jumat, 17 Juni 2016




Jika biasanya sebuah kisah nyata dituliskan ke dalam bentuk cerita, novel, atau film, apakah namanya jika sebuah cerpen berubah wujud menjadi kenyataan? Berkebalikan dari yang umumnya terjadi. Sang penulis bukanlah peramal atau cenayang. Namun, hal yang harus dihadapinya dalam dunia nyata menjadi mirip dengan cerita yang pernah ditulisnya dahulu.

***

“Tak bisakah kau menutupi sedikit saja rasa beratmu dan melepasku dengan senyuman?”

Kalimat tersebut merupakan pembuka  cerpen yang pernah kutulis dua tahun silam. Cerpen berjudul Gadisku yang kutulis untuk komunitas Writinc dan diterbitkan dalam bentuk e-book. Cerpen ini terinspirasi dari salah satu lagu Michael Learns To Rock berjudul Love Will Never Lie.

Tokohnya bernama Fay dan Anisa. Mereka teman satu akademi selama empat tahun, lalu teman satu pekerjaan selama tiga tahun berikutnya, sebelum Fay  akhirnya pindah bekerja di tempat yang berbeda. Fay orang yang populer dan humanis. Tinggi, putih, tampan, cerdas, dan tentu saja digemari banyak orang. Suka iseng dan sedikit menyebalkan, karena hobinya meledek  teman-temannya yang nilai pelajarannya lebih rendah dari dirinya, termasuk Anisa.

Anisa seorang yang kalem dan anggun. Sejak awal perkenalan sudah membuat tertarik hati Fay karena Anisa berbeda dari wanita kebanyakan. Tidak banyak bicara. Tidak acuh pada tingkah iseng Fay, termasuk pada popularitas atau ketampanannya. Fay berusaha merebut perhatian Anisa dengan berbuat baik dan memberikan perhatian. Namun, Anisa tetap dingin dan tidak juga bicara, selain mengucapkan kata “terima kasih” sebagai respon terhadap kebaikan dari Fay. Anisa akan bicara agak banyak hanya jika Fay mengusiknya saat belajar. 

“Sebaiknya gunakan energi sombongmu itu untuk sesuatu yang lebih berguna, bukan dengan menumpahkannya di meja belajarku.” 

Lima belas kata itulah yang membuat Fay bahagia dibandingkan perhatiannya yang tidak diacuhkan. Baginya, pelototan gadis yang disukainya merupakan tatapan yang meneduhkan. Fay terus mengejar Anisa selama sepuluh tahun. Sampai akhirnya ia memberanikan diri untuk mempersunting gadisnya, justru saat ia tengah bergelut pada pekerjaan penuh risiko. Fay sudah bersiap untuk ditolak, toh selama ini pun ia selalu diabaikan. Namun sebaliknya, Anisa menerima lamaran Fay. Sepaket dengan risiko dari pekerjaan yang digeluti Fay saat ini.

Pekerjaan Fay adalah jenis pekerjaan yang tidak memiliki ketetapan waktu dan tempat, serta tidak ada jaminan pulang dengan selamat. Harus selalu siap sedia dikirim ke tempat yang tak jarang langka sinyal, sehingga sang istri tidak bisa mendapatkan kabar. Pernah sekali waktu Anisa sakit parah karena kehilangan kontak dengan Fay. Akhirnya saat pulang, Fay meminta Anisa untuk berhenti menghubunginya. Fay yang akan menghubunginya lebih dulu. Jika merindu, cukup tulis surat yang disimpannya di kotak di atas meja makan. Fay akan membacanya saat pulang. Begitu terus berjalan. Saling mencinta, menjaga, dan merindu dalam harap dan cemas.

Cerita lengkap cerpen Gadisku dan cerpen-cerpen lainnya yang bertema lagu dan ditulis oleh komunitas Writinc 3.0 dapat diunduh pada link dropbox berikut E-writinc #7 . 

Itu cerita Fay dan Anisa.

Tentu berbeda dengan cerita Gugi dan Najmi. 

Gugi bukan Fay. Namun, jika kubaca kembali cerita yang kutulis, Fay memiliki kemiripan karakter dengan kekasihku itu. Agak songong, suka sekali iseng dan meledek, juga populer. Aku menulis cerita Gadisku dua tahun silam. Sebulan sebelum aku mulai berpartner kembali dengan Gugi di kantor konsultan tempat kami bekerja bersama dulu. Padahal aku tidak sedang memikirkannya saat itu, apalagi menjadikannya inspirasi. Lalu bagaimana karakter mereka bisa mirip?

Aku juga bukan Anisa. Dan jika kubaca kembali cerita yang pernah kutulis, memang tidak ada satu pun karakter Anisa yang mirip denganku. Anisa kalem dan anggun, aku sebaliknya. Anisa sangat lembut perangainya, aku sebaliknya. Anisa senang belajar, aku lebih sering tertidur saat perkuliahan. Meskipun kuyakin aku lebih cerdas dari Anisa dan nilai-nilaiku juga lebih tinggi, tetapi karakterku tidak mirip dengannya. Lalu dimana kaitannya?

Perasaan.

Setelah menikah, aku justru lebih bisa merasakan emosi dari karakter yang pernah kutulis dalam cerpen tersebut. Menghadapi jenis pekerjaan kekasihku kini, mengingatkanku pada jenis pekerjaan yang juga digeluti oleh Fay dalam Gadisku. Tak pernah kubayangkan sebelumnya bahwa aku akan memiliki partner kerja yang menjadi partner hidupku selanjutnya. Partner yang kemudian berpindah kerja ke tempat yang menugaskannya pada pekerjaan yang lebih berisiko. Bepergian ke luar daerah hampir tiap pekan. Bertugas di daerah risiko tinggi dan tidak ada sinyal.

Aku tidak menuliskan secara detail tentang pekerjaan Fay dalam Gadisku. Aku hanya membayangkan bahwa Fay mungkin bekerja untuk sebuah NGO atau semacam lembaga kemanusiaan. Atau biarlah pembaca yang menentukannya sendiri. Dan aku baru tahu bahwa ada jenis pekerjaan bernama “auditor” yang mirip gambaran kerjanya dengan risiko pekerjaan yang dimiliki oleh Fay. Meskipun berasal dari perusahaan besar yang memiliki jaminan lebih baik untuk keamanan dan keselamatan, tidak pernah ada yang tahu takdir apa yang harus kita hadapi esok hari, bukan?

Pada musim hujan, kekasihku harus pergi audit ke perusahaan minyak asing di tengah laut Jawa, tidak lama setelah ia bercerita tentang kasus meledaknya galangan minyak lepas pantai dari perusahaan minyak asal Inggris di Teluk Meksiko lima tahun silam. Pernah juga ia ditugaskan berangkat ke Kalimantan, tidak lama setelah di kantor ada kabar duka tentang salah satu karyawan yang mengalami kecelakaan, diserang oleh buaya rawa, pada pulau yang sama.

Aku merasa mengerti perasaan Anisa yang berat tiap kali ditinggal pergi Fay untuk bekerja. Sama hal nya ketika aku tidak bisa menghubungi kekasihku melalu pesan singkat ataupun telepon karena tidak ada sinyal. Kali kedua kekasihku pergi ke laut lepas, aku tidak lagi berusaha menghubunginya. Mendengar nada tidak aktif dari selularnya hanya membuat khawatirku bertambah-tambah. Akhirnya aku menuggu, seperti Anisa, biarkan ia yang menghubungiku lebih dulu. Membuatku bersyukur dan lega bukan kepalang demi membaca pesan singkat yang dikirimkannya dari telepon selular rekan kerja yang mendapat sinyal lebih baik. Isinya hanya dua kalimat. Neng, aa baik-baik aja di sini. Neng sehat?

***

Teringat salah satu diskusi dengan teman hidupku yang membicarakan tentang hukum fisika yang disebut juga dengan hukum cinta. Entahlah, katanya begitu yang disampaikan oleh guru fisikanya dulu. Namanya Hukum Faraday, disebut juga dengan hukum cinta. Aku tidak pernah piawai pada hal-hal berbau fisika, walaupun banyak orang mengatakan fisika itu lebih mudah dan lebih logis dari biologi. Tetap saja aku lebih mudah mengerti biologi daripada fisika. Urusan Hukum Newton dan Hukum Relativitas Einstein saja masih suka tertukar, apalagi jika ditanya tentang perbedaan teori, hukum, dan postulat.

Baiklah, kembali ke hukum cinta. Aku tertarik mendengarnya karena pelajaran fisika ini terkesan ada unsur-unsur sastra-nya. Gugi mengatakan bahwa gaya merupakan cinta. Ia dapat berbentuk tarik-menarik atau pun tolak-menolak. Kekuatan gaya, yang juga dimaksud sebagai kekuatan cinta, berbanding lurus dengan jumlah muatan-muatannya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang memisahkan kedua muatan tersebut. Ketika analogi ini dimasukkan dalam perumpamaan sepasang manusia yang saling mencinta, rasanya aku begitu mudah mencernanya. Benar juga, dua orang yang saling mengenal akan semakin kuat ikatan yang mereka rasakan apabila bertemu. Artinya jarak mereka dekat. Jika perasaan yang ada di tiap orang kuat, akan semakin kuat pula kekuatan ikatan di antara mereka.

Apakah benar begitu? Lalu mengapa saat jarak itu semakin jauh, gaya tarik-menariknnya justru membesar? Mengapa rasa rindu justru membuncah saat jarak berjauhan? Bukankah rindu itu gaya?

“Ketika jarak membesar, muatan yang terkandung di tiap elemen juga membesar,” jawab Gugi. Itu yang menyebabkan gaya tarik-menariknya tetap besar, atau bahkan membesar dan membentuk rindu. Ada penyesuaian jumlah besaran pada setiap elemennya. Muatan dan jarak dapat berubah-ubah. Yang tetap adalah konstanta. Konstanta dapat diartikan sebagai lingkungan, yakni keberadaan sanak keluarga, kerabat, tetangga, atau teman. Begini rumusnya.



F merupakan kekuatan ikatan atau cinta, q1 dan q2 adalah muatan cinta yang ada di masing-masing orang, r2 adalah jarak antara kedua orang tersebut, dan k adalah lingkungan. Hmm... rasanya rumus ini menjadi begitu mudah untuk diingat. Mengapa tidak dari dulu saja aku menggunakan analogi ini?

Hmm... setelah itu aku mencoba berselancar di internet untuk mencari tahu lebih jauh tentang bunyi hukumnya yang asli. Ternyata rumus tersebut bukan Hukum Faraday, tetapi Hukum Coulomb, haha. Ya sudahlah, apapun namanya, aku sekarang menyebutnya hukum cinta. Begini bunyi aslinya hukum cinta, eh... maksudnya Hukum Coulomb.

“Gaya  tarik menarik atau gaya tolak menolak antara dua muatan listrik sebanding dengan muatan-muatannya dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak yang memisahkan kedua muatan tersebut.” (Hukum Coulomb)


F = gaya tarik manarik/tolak menolak (newton)
q = muatan listrik (coulomb)
r = jarak antara kedua muatan
k = konstanta = 1/4πεo = 9 x 109 N.m2/C2
εo = permitivitas listrik dalam ruang hampa/udara = 8,85 x 10-12 C2/Nm2

Aku termasuk tipe orang yang tidak menyukai hubungan jarak jauh atau yang biasa disebut orang LDR. Sekarang tampaknya mulai populer juga istilah LDM a.k.a long distance marriage. Aku sudah pernah menyampaikan hal ini pada kekasihku. Ia paham, karena ia pun memiliki prinsip yang sama denganku. Tidak suka berjauhan. Meskipun kami tidak termasuk dalam kategori LDM, sering berjauhan tetap saja menjadi kondisi yang tidak menyenangkan. Jika sudah begitu, ia akan mengeluarkan jurus pamungkasnya yang berasal dari QS. Al-Baqarah ayat 216.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” 
(QS.2:216)

Kami menyadari bahwa yang perlu kami lakukan hanyalah menguatkan keyakinan dan berpasrah kepada-Nya. Kala jarak kami jauh, kami hanya perlu memperbesar muatan dan doa dalam diri kami, sehingga hati kami tetap terasa dekat. Dan kala jarak kami dekat, kami hanya perlu bersyukur bahwa nikmat bersama itu masih kami miliki.

***

Yang jauh itu dekat. Begitulah tiap kali aku berpikir tentang kematian dan perpisahan. Bahwa kita menjalani hidup menuju mati. Bahwa menikmati sebuah pertemuan adalah untuk menuju perpisahan. Saat ada awal, maka disana telah ditetapkan akhir. Maka iman-lah yang membuat kita yakin bahwa setelah akhir dan berpisah, ada saat pertemuan kembali yang juga merupakan niscaya.

Jadi kekasih, cukuplah kita senantiasa bersyukur untuk tiap detik kebersamaan yang kita miliki. Cukuplah kita mengingat jikalau emosi sedang menguasai diri, kita tidak memiliki waktu untuk marah, karena kita harus saling mencintai. Kurasa kalimat tersebut lebih cocok kuarahkan untuk diri sendiri yang seringkali meluapkan cemas dalam bentuk amarah. Mohon bukakan pintu maafmu untukku yah, atas segala perilaku yang mungkin tidak membuatmu nyaman. Terima kasih karena engkau telah bekerja keras.

Di sini, aku selalu menunggumu pulang.  

***