Dia

Selasa, 04 Oktober 2016

Dieng, 2013

Pagiku berganti lagi

Ditelusup cahaya menembus tirai

Beramai kicau burung sahut-menyahut

Aku ingin berlari dengannya

Mengejar hujan sampai pelangi

Dibalut mimpi untuk selalu bersamanya

Pada bulan baru yang dikatakan sunnah untuk bercinta

Bahkan tembikar di rumahku pun tertawa

Melihatku merengek manja

Hingga melepasnya membuatku biasa

Dan meskipun esok kan terjadi lagi

Aku ingin pagi yang menyejukkan mengerti

Rindu itu selalu ada

Setiap hari


-POLARIS-
Bogor, 12 Juli 2016

Saatnya Lebaran, Saatnya Kondangan :p

sumber gambar: katakata.me

Suasana lebaran di negeri ini, biasanya tidak jauh-jauh dari suasana hajatan dan memenuhi undangan walimahan kawan, rekan, ataupun sanak-saudara. Bulan Syawal (lebaran Idul Fitri) yang lalu ramai rasanya undangan datang silih berganti. Memasuki Bulan Dzulhijah (lebaran Idul Adha) sampai tahun baru di Bulan Muharam sekarang, masih berduyun-duyun undangan datang melalui bentuk tercetak ataupun pesan elektronik.

Seharusnya aku juga tidak boleh lupa bahwa tahun lalu aku pun menikah di bulan “musim nikah”, wkwk... Aku menikah di penghujung Bulan Dzulhijah. Dan sekarang sudah masuk tahun baru lagi di Bulan Muharam. Baru kusadari kembali saat tadi pagi berpapasan dengan pawai tahun baru Hijriyah yang disemarakkan oleh anak-anak sekolah dengan berkeliling jalan dan komplek, membawa poster sambil membagikan permen, serta memainkan musik dan bunyi-bunyian sepanjang perjalanan. Iring-iringan pawai yang kutaksir mencapai panjang satu kilometer. Seingatku, tahun lalu aku menyaksikan pawai yang begitu ramai di sepanjang jalan lingkar Kebun Raya Bogor setelah aku menikah pada 10 Oktober. Kenapa sekarang sudah pawai lagi yah, padahal belum waktunya anniversary?

“Ukuran tahun Hijriyah ‘kan lebih pendek dari tahun Masehi, duduuuul....” otak bagian logika-ku berkomentar sebal.

Oh iya, benar juga. 

Well, senang sekali rasanya bisa berpapasan dengan pawai tahun baru hari ini. Seperti sedang menonton pertunjukan yang tidak kurencanakan sebelumnya. Seperti tahun lalu yang tidak kusangka-sangka. Suamiku jatuh sakit selepas acara pernikahan, sehingga rencana jalan-jalan bulan madu kami ke luar kota pun batal. Namun, dalam sakitnya ia tetap memaksakan diri mengajakku berkeliling kota. Walaupun itu hanya mengunjungi stasiun dan makan bersama di kafe, tetapi nyatanya aku beroleh gembira lebih dari yang kukira. Aku bisa menyaksikan pawai kolosal yang begitu seru di jalan. Aku bisa menikmati hujan sambil ditemani sup panas dalam temaram lilin yang romantis. Dan... aku jadi berharap bahwa aku bisa menyaksikan pawai seperti ini setiap tahun. Pawai Tahun Baru Islam. Pengingat bahwa aku harus memulai segalanya dengan penuh syukur. Pengingat bahwa aku harus memulai kembali berkarya dan menebar sebanyak-banyaknya manfaat. Pengingat bahwa aku telah memulai untuk memberikan baktiku pada seseorang yang disebut suami, hehe....

***

Baiklah, di episode kali ini, aku ingin bercerita tentang salah satu undangan pernikahan yang kuhadiri beberapa waktu lalu bersama suamiku. Pernikahan dua orang teman SMA yang proses perjalanannya unik. Kita sebut saja mereka sebagai Dono dan Manda. Dono adalah temanku dari SMP-SMA, satu organisasi di Rohis, dan pernah satu tempat les bahasa Inggris juga saat SMP. Manda baru kukenal saat bertemu di SMA, satu organisasi juga di Rohis, dan satu tempat bimbingan belajar saat kelas 3 SMA.

Proses perjalanan mereka menuju pernikahan membuatku begitu penasaran, karena aku cukup dekat dengan keduanya saat masa sekolah dulu. Aku dan sahabatku, Irma, sering sekali membicarakan Dono sejak SMP kala kami membahas tentang dinamika organisasi sekolah ataupun tentang ragam uniknya teman-teman kami. Dan tidak pernah nama Dono tidak disebut dalam setiap obrolan. Bagi kami, Dono adalah teman yang paling kami apresiasi tinggi atas “catatan bersih”-nya dalam pergaulan. Saat SMP dan banyak dari teman kami di Rohis terjerat ‘virus merah jambu’ dan mengekspresikan masa puber dengan saling memberi perhatian pada lawan jenis, menolak untuk berpacaran tetapi menjalani HTS (hubungan tanpa status), ataupun mengatakan hanya berteman tetapi sering terlihat jalan bersama berdua, Dono adalah satu-satunya anggota Rohis laki-laki yang tidak kami kirimkan surat kaleng. Yup, dalam kepengurusan Irma sebagai ketua keputrian saat itu dan aku sebagai penasihat bayangannya (haha... beneran, dulu itu jabatanku ^^”), kami berdua memutuskan untuk menuliskan surat kaleng yang kami kirimkan diam-diam sebagai bentuk peringatan dan kepedulian kami kepada saudara-saudara kami di Rohis. Hampir seluruh pengurus Rohis laki-laki dalam kepengurusan kami saat itu mendapatkan surat kaleng tersebut, kecuali Dono. Aku lupa bagaimana Dono sampai bisa memiliki catatan paling bersih dalam catatanku dan Irma, padahal perilakunya di kelas tak jarang membuat kami berdua sebal. Namun, selain pintar dan rajin, Dono memang ringan tangan untuk membantu teman, tidak pernah menyontek saat ujian, dan tidak pernah sekalipun pacaran.

Rupanya saat masuk SMA, Dono jatuh cinta pada pandangan pertama saat bertemu Manda, alumni SMP sebelah. Aku baru tahu menjelang pernikahan mereka, bahwa sebagai remaja, Dono juga pernah melakukan seperti kebanyakan remaja yang jatuh cinta lainnya, pedekate. Dono sering mengirimkan pesan singkat pada Manda sebagai ekspresi perasaannya, walaupun tidak secara langsung. Sahabat Manda, kita panggil saja Aisha, melihat itu seperti sebuah kode. Aisha pun mengomeli Dono untuk lebih menjaga sikap. Dan, perilakunya itu tidak tertangkap oleh rekam jejak aku dan Irma, haha. Bagi kami berdua, ia tetaplah teman satu pemahaman yang sangat kami hargai atas keteguhannya dalam menjaga hati.

Saat lulus SMA, Dono dan Manda berada pada fakultas yang berbeda (saat SMA juga sudah beda jurusan sih ^^”), tetapi mereka masih berada pada universitas yang sama. Selama empat tahun kuliah, Dono tidak berkutat pada perasaan yang sempat menyapanya semasa SMA itu, bahkan mungkin ia sempat lupa dan tidak lagi memikirkan Manda karena padatnya aktivitas, perkuliahan, dan tugas-tugas. Barulah setelah lulus sarjana, ia mulai menata kembali rencana masa depan dan memikirkan perkara pendamping hidup. Dono mengajak Manda untuk berproses ke arah yang serius. Manda menolak. Ia belum berencana untuk menikah saat itu, alasannya.

Dono pun pergi ke Edinburg untuk melanjutkan studi program magister. Selama di sana, ia masih berusaha  untuk menghubungi Manda, dan mencoba kembali untuk meluluhkan hati Manda agar besedia berproses untuk menikah dengannya. Rencana Dono adalah Manda bersedia untuk berproses jarak jauh, sehingga saat ia kembali ke Indonesia, mereka tinggal melangsungkan acara pernikahan. Apalah mau dikata, takdir selalu mengajarkan bahwa kenyataan tidak selalu berjalan sesuai dengan keinginan. Komunikasi diantara mereka tidak berjalan mulus. Dono merasa ‘digantung’, sedangkan Manda berpikir tidak ada kejelasan dan kepastian dari komunikasi yang mereka jalani. Untuk kedua kalinya, Dono merasa bahwa Manda menolaknya.  

Aku membayangkan kisah Dono yang mirip dengan Arai. Ditolak dan diabaikan oleh Zakiah Nurmala berkali-kali. Terdampar di benua Eropa, lalu membacakan puisi untuk Zakiah dan mengungkapkan segala resah rindunya dalam penghayatan yang begitu dalam di hadapan orang-orang asing yang tidak mengerti bahasa Indonesia, hehe... 

Sayangnya, hal tersebut hanya ada dalam bayangan hiperbola-ku. Dono bukan tipe orang galau yang suka mendramatisasi perasaan. Ia menyelesaikan studinya tepat waktu, pulang ke Indonesia, dan mencoba memperjuangkan Manda kembali. Salah seorang sahabat Manda mencoba menjembatani mereka, hingga akhirnya mereka memulai proses ke arah serius dengan murabbi mereka sebagai perantara-nya. Di tengah jalan, Dono menghentikan proses. Ada hal tertentu yang dirasa tidak sesuai dengannya. Mereka pun kembali berjalan sendiri-sendiri.

Dono sempat hendak berproses dengan yang lain, begitu pula dengan Manda. Tidak ada yang cocok. Dan sekali lagi, begitulah takdir berbicara. Sejauh apapun kita melangkah, sebanyak apapun jarak memisahkan, orang-orang yang ditakdirkan bersama, pasti akan bertemu kembali. Dan untuk kesekian kalinya, setelah meminta maaf berkali-kail, Dono memohon kembali untuk berproses serius dengan Manda. Perjuangannya kali ini berbuah manis. Manda telah menjadi istrinya, kini.

***

Aku mengingat beberapa petuah tentang layaknya rasa suka dan perjuangan akan cinta. Salah satu orangtua ideologisku yang biasa kupanggil dengan sebutan Pa’e, selalu berkata untuk

“Jangan menyerah sebelum ditolak 21 kali!”

Fitrahnya laki-laki adalah untuk mengejar dan memperjuangkan. Kisah Dono dan Manda menjadi bukti nyata yang kurasakan langsung dari mereka yang pernah berinteraksi dekat denganku. Dono tidak menyerah dan berputus asa, walaupun Manda pernah menolaknya. Dan begitulah seharusnya mental pejuang! Tunjukkan kesungguhan dengan tidak mudah menyerah, sebelum ditolak 21 kali, hehe... Kalau ingin tahu kenapa harus 21 kali, ikut pelatihan Forum Indonesia Muda dulu, kuy! Nanti dikasih tahu langsung rumusnya oleh Pa’e ^.^....

Teringat pula olehku tentang sekian banyak quotes milik Tere Liye yang sering mengangkat urusan perasaan dan rasa suka yang umumnya tumbuh di kalangan remaja. Tentang bahwa sejatinya cinta itu bukan dengan mengumbar-umbar, mengatakan, atau memamerkannya kepada yang bersangkutan yang belum ada ikatan apa-apa dengannya. Yang membuat rasa suka itu berubah hambar, semakin sering ia menunjukkannya. Yang membuat diri sendiri bertanya-tanya, apakah benar sebesar itu rasa suka yang dimilikinya terhadap orang yang bersangkutan. Urusan rasa, jika tidak ditempatkan pada yang seharusnya, tidak akan membawa keberkahan apa-apa. Alih-alih malah membuat Yang Maha Mencinta menjadi tidak ridho pada ekspresi rasa yang kita tuangkan, naudzubillah kan jadinya.

Dono pernah memiliki rasa suka saat remaja. Ia, seperti kebanyakan para pecinta lainnya, juga mengekspresikan rasa sukanya pada yang dicinta. Namun, tidak berlebihan. Tidak diumbar hingga dunia tahu bahwa ia sedang menyukai seorang wanita. Tidak juga menyakiti harga diri yang disuka dengan mengajaknya kepada hal yang tidak Allah suka. Begitu pula sang wanita yang senantiasa menjaga diri dan hatinya, yang tidak mudah luluh pada perhatian dan kebaikan lelaki di sekitarnya, yang menyimpan kekayaan cintanya untuk dicurahkan pada saat yang seharusnya. Sehingga kesabaran mereka berbuah indah pada akhirnya. 

Dan....

Dari semua rasa takjub, kaget, bercampur senang yang kurasakan saat mendengar kabar bahagia kedua teman sekolahku tersebut, hal pertama yang aku ingat adalah kalimat yang pernah disampaikan oleh calon suamiku saat kami berproses dahulu. Kalimat yang menguatkanku bahwa ia bersungguh-sungguh terhadap niatan baiknya. Kalimat yang sekaligus membuatku tenang dan kembali mantap untuk berjuang bersamanya menuju ikatan suci, dan terus berjuang seterusnya di dalam ikatan ini. Tentang perjuangan, bahwa

"Kesungguhan hati seorang pria itu tidak bisa dilihat dari seberapa kuat ia mengejar seorang wanita. Tapi itu bisa terlihat dari seberapa kuat ia menjaga perasaannya agar tetap suci sampai saatnya halal tiba, kemudian ia lampiaskan perasaannya dengan bahagia tak terperi pada wanita yang Allah tunjukkan padanya."
(Yogaswara, 2015)

Akhir kata, barakallah untuk semua pasangan yang menikah pada bulan-bulan musim nikah ini, hehe.... Spesial untuk Manda, selamat yaa... telah menjadi istri seorang Dono yang begitu kuat dalam menjaga hati dan akhlaknya lurus sesuai ajaran-ajaran kewarganegaraan dan budi pekerti ibu pertiwi. Juga untuk Dono, selamat telah berhasil memperjuangkan cintanya pada koridor yang sewajarnya. Mendapatkan Manda yang cantik nan sholihah sebagai teman perjuangan dakwah dan penenteram jiwa dunia akhirat, insyaa Allah. Semoga keluarga kalian senantiasa berlimpah kebaikan dan keberkahan. Barakallahulaka wabaraka ‘alaika wajama’a bainakuma fii khaiir....

***