Dakwah Kreatif Sampai Sayang Ibu

Selasa, 31 Maret 2015



Saat pulang dan waktunya bersilaturahim dengan orang tua, terkadang ada saja hal yang memunculkan inspirasi, walaupun itu sekedar obrolan santai di pagi hari.

Mama     : “Teh, udah tau belum film Korea baru yang siang-siang?”
Saya       : “Sudah lama tidak nonton TV, Ma. Memangnya siapa yang main?”
Mama     : “Itu loh yang di Man From Another Star.”
Saya       : “Oh, Kim Soo Hyun. Bagus, filmnya?”
Mama    : “Lumayan. Man From Another Star-nya juga kan mau diputer lagi. Dream High juga lagi diputer lagi. Sama ada satu film lagi yang dia main. Ada empat film yang dia semua yang main.”
Saya        : “Seriusan? Banyak amat. Yaa..di Korea-nya juga dia lagi populer sangat sih.”
Mama      : “Seo Young juga kan, lagi diputer lagi.”
Saya        : “Iya, tapi hampir tidak sempat nonton juga.”
Mama     : “Kalau yang jam 4 pagi udah ganti lagi film-nya. Kurang bagus yang sekarang, modelnya sinetron Indonesia banget. Yang jahatnya, jahaat..yang tertindasnya, tertindas banget. Jadi mama nggak ngikutin. Lebay.”

Well, sungguh emak satu ini jauh lebih gaul dari anak perempuannya. Hampir semua jadwal film Korea yang sedang diputar di stasiun TV aku dapatkan update-nya dari beliau. Sama juga dengan informasi skor bola yang habis tanding malam hari sebelumnya, apakah itu Liga Inggris ataupun Liga Spanyol, ia lebih tahu dariku. Sewaktu aku baru beroleh kabar darinya tentang Raffi Ahmad yang akan menikah dengan Nagita Slavina, beliau geleng-geleng kepala.

“Nagita yang mana sih, Ma?”

“Teh, masa’ nggak tahu Nagita? Itu loh, yang panggilannya Gigi.”

Mau panggilannya Nana, Gigi, atau Tata, tetap saja wajahnya tidak terbayang dalam benakku. Kalau Raffi Ahmad-nya sih, tahu. sering muncul di TV soalnya. Hmm... artis sinetron Indonesia yang berkesan bagiku tidak banyak sih, paling Sahrul Gunawan sama Paramitha Rusady. Eh, tapi mereka mah belum pernah main bareng deng ya...

Oke, cukup dulu bicara tentang artisnya. Sekarang mari kita ngobrol sedikit tentang korama (istilah film serial Korea). Masih berbincang dengan ibuku, aku berbagi dengannya tentang obrolanku dan beberapa teman di salah satu grup whatsapp. Tentang nilai dan karakter dari sebuah film.

Beberapa waktu lalu kampusku kedatangan Asma Nadia dan Revalina dalam acara “Bedah Buku dan Film Assalamualaikum Beijing”. Mbak Asma bicara tentang dakwah kreatif, bahwa film-film bernuansa islami harus tumbuh dan mampu menggeser film-film setan yang minim mutu dan nilai-nilai positifnya, apalagi film-film yang agak-agak nyerempet ‘biru’ gitu. Melalui dakwah, kita memperebutkan mental generasi muda yang banyak digempur oleh hiburan dan gaya hidup kebaratan yang negatif. Dan kemasan dakwah inilah yang perlu sentuhan kreativitas. Bahwa nilai-nilai kebaikan Islam perlu disampaikan dengan cara yang menarik dan dapat diterima oleh berbagai kalangan. Rasulullah Saw saja diutus ke muka bumi untuk menjadi rahmatan lil ‘alamin, bukan sekedar rahmatan lil muslimin. Sudah bukan saatnya lagi kita mengkotak-kotakkan diri pada satu pakem dan metode tertentu yang menurut kita itu paling benar. Kebenaran hanya milik Allah Swt, toh... dan pedoman kita jelas: Al-quran dan sunnah. Cara menyampaikan kedua warisan nabi itulah yang tidak bisa disamakan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, antara satu golongan dengan golongan lainnya. Oleh karena itu diperlukan kreativitas. Bukankah dengan ragam cara berbeda namun bersinergi untuk tujuan yang sama itu indah?

Bagiku, film adalah salah satu metode visual paling jitu dalam menanamkan nilai dan membentuk karakter diri. Mungkin karena aku memiliki karakter visual, sehingga sejak kecil hampir setiap tontonan di televisi menjadi sangat berpengaruh.

Obrolan ringan dengan ibuku membahas beberapa korama yang betapa nilai-nilai dan karakter yang dimiliki oleh tokoh-tokoh ceritanya adalah nilai-nilai Islam, karakter umat Islam yang seharusnya. Misalnya saja drama Winter Sonata (WS) yang diputar pertama kali 12 tahun silam. Kebanyakan orang hanya berpikir WS adalah drama yang bercerita tentang romantika cinta pertama. Tetapi bagiku, WS adalah drama pertama yang sungguh mengajarkan tentang bagaimana seharusnya berbakti kepada orangtua.



Kalau sinetron-sinetron dulu jaman Tersanjung, Tersayang, dan Ter-Ter sebagainya itu jika salah satu tokoh utama punya konflik dengan orangtua, biasanya si tokoh utama marah-marah. Terkadang sampai membentak bapak/ibunya karena dianggap merugikan atau menghalangi kebahagiaannya. Kadang orangtuanya yang dibuat antagonis, kadang anaknya juga ada yang antagonis. Kadang pembantunya yang antagonis (haha..). Semuanya jadi marah-marah karena dapat peran antagonis. Tetapi tidak dengan WS. Dalam drama ini, simpul penderitaan para tokoh utamanya juga bersumber dari orangtua. Tetapi tidak ada adegan marah-marah apalagi bentak-bentak si anak ke orangtua. Semarah-marahnya sang tokoh utama pada ibunya, dia hanya berkata, “Ibu, mengapa kau melakukan ini pada kami?” dengan sedikit menghentak kaki kanannya dan tetap bersuara tidak dengan nada tinggi, apalagi melengking. Tidak ada adegan lempar-lempar barang. Tidak ada adegan mencaci maki orangtua dengan nada kasar. Sang tokoh utama bersedih, tetapi ia tetap berbuat baik terhadap ibunya.

Bukankah itu nilai Islam? Tetap berbuat baik meskipun orangtua kita tidak satu jalan dengan kita (QS.31:14). Tetap berbuat baik meskipun kadang mereka tidak mampu mengerti apa yang kita mau, atau bahkan hati kita pernah tersakiti oleh ucapan dan tindakan mereka yang mungkin tidak disengaja.

Jika WS adalah drama tentang kasih sayang kepada orangtua, maka Glass Shoes (GS) adalah drama Korea pertama yang mengajariku tentang kasih sayang terhadap saudara. Cerita tokoh utamanya mirip sama WS, mengalami amnesia gitu pasca kecelakaan, sehingga sang kakak hidup kaya bersama kakeknya, sementara sang adik yang lupa ingatan harus hidup miskin. Garis besar ceritanya juga sama, seputar konflik asmara dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita. Namun, lagi-lagi yang berkesan dalam benakku justru hal-hal kecil seperti sang kakak yang tidak putus asa mencari adiknya, sang adik yang pekerja keras dan suka menolong, sang adik yang memaafkan tokoh antagonis yang menyamar menjadi dirinya demi harta, serta memaafkan pendengki yang bahkan sampai menyebabkan kekasihnya terbunuh. Adegan kecil seperti sang kakak yang memeluk adiknya saat tidur atau mereka berdua yang bergandengan tangan di adegan terakhir, itu cukup membuatku tergerak untuk lebih menyayangi adik perempuanku satu-satunya yang biasanya sering kujahili saat kecil.



Bukankah itu juga nilai Islam? Tidak mendengki terhadap orang-orang yang dengki (QS.113:5). Menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda. Menyayangi kakak, adik, dan saudara. Islam mampu membuat karakter yang lebih baik daripada itu. Karena Islam melandaskan kasih sayangnya bukan hanya sekedar sifat humanisme ataupun ikatan darah, tetapi karena Allah Swt yang mempersatukan hati. Jika nilai-nilai ini dikemas dengan apik untuk disebarluaskan, sehingga banyak yang tersentuh, tertarik, dan semakin mengerti akan indahnya Islam dan menyebabkan lebih banyak orang berislam dengan lebih baik, bukankah itu juga berarti pencapaian dakwah yang luar biasa?

Drama lainnya yang kental akan kasih sayang antar-saudara adalah Happy Together. Yang ini lebih keren, karena bercerita tentang perjuangan seorang kakak yang sebenarnya tidak memiliki hubungan darah, tetapi berusaha mencari dan mempersatukan keempat adiknya agar kembali menjadi satu keluarga. Drama keseharian yang mudah sekali ditemukan di lingkungan kita. Ketika beranjak dewasa, tidak sedikit dari kita yang sibuk masing-masing dengan dunianya. Dengan keluarga barunya. Dengan hidupnya sendiri. Bersikap peduli menjadi suatu gengsi. Merasa bahwa ‘diriku dan keluargaku’ saja perlu diurus, mengapa harus memikirkan diri dan keluarga orang lain? Happy Together mengajarkanku untuk lebih peduli, untuk tidak cuek terhadap kesusahan orang lain, untuk ikut bahagia pada kebahagiaan saudara kita, meskipun itu adalah kebahagiaan yang juga kita inginkan. Tentang bagaimana wujud ikhlas dan berlapang dada.



Masih ada banyak drama yang mengangkat karakter tokoh yang sebenarnya itu akhlak islami. Kurasa tidak sedikit dari kita yang sering juga menyampaikan tentang akhlak-akhlak kaum negara maju yang menurut kita lebih islami daripada kita yang menyandang status penduduk muslim terbesar di dunia ini. Kita banyak belajar dari mereka melalui interaksi kita dengan karya-karya mereka di dalam film, komik, lagu, ataupun desain-desain tata kota mereka. So, saatnya kita juga berkarya dengan apapun yang kita bisa. Tidak perlu muluk-muluk untuk bisa melakukan banyak hal dalam kontribusi bagi dakwah ini, cukuplah melakukan sesuatu dengan sungguh-sungguh pada hal yang saat ini mampu untuk kita kerjakan. Dan jika setiap puzzle kebaikan itu berkumpul hingga membentuk sebuah bangunan, itu indah, bukan? Karena tanpa perlu banyak kata, orang-orang akan melihat bangunan kita dan dengan sendirinya bergumam, “Oh, beginilah Islam.”

Obrolan ringan dengan ibuku ditutup dengan pesannya, “Coba deh Teh, nonton Seo Young lagi (maksudnya drama ‘My Daughter, Seo Young’ yang sedang diputar ulang di salah satu stasiun TV swasta). Itu karakter Ho Jung-nya bagus banget untuk ditiru. Pantang menyerah. Tidak pernah menjelek-jelekkan orang. Tetap bersikap baik terhadap saingan. Dia bilang ‘menyukai orang yang disukai oleh yang kita sukai juga bagian dari menyukai orang yang kita sukai’..”

Haha...dialog itu membuatku teringat salah satu game pesan berantai jaman Rohis dulu.

“..dan Ho Jung nggak pake pura-pura, tulus aja baiknya. Dan walaupun dia sering berbeda pendapat dengan ibunya, dia tidak membantah. Yang dia kerjain nggak sesuai dengan yang di-mau ibunya sepenuhnya sih, ada aja taktiknya. Tapi ibunya dibuat tidak bisa marah karena hitungannya dia sudah mengerjakan apa yang ibunya minta.”

“Kalau dia muslim, udah jadi istri sholehah banget ya, Ma.”

“Iya, banget. Kalau tipikal suami sholeh kan Wang Mo yang di Love in Heaven. Kalau istri sholehah itu Ho Jung banget. Tinggal ditambah muslim aja.”



Sebelumnya aku sudah belajar banyak dari karakter kuat yang dimiliki Seo Young, tokoh utama dalam cerita ini. Ternyata ada lebih banyak hal yang juga bisa dipelajari dari karakter para tokoh pendukungnya, seperti Ho Jung yang dipesankan ibuku. Ho Jung adalah salah satu karakter tokoh yang paling perfect, tapi realistis, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mudah berprasangka buruk, tidak putus asa terhadap harapan, tidak pantang menyerah pada keadaan, tidak mudah sakit hati pada omelan orang lain, dan yang terpenting sikapnya memuliakan orangtua itu bagus sekali untuk ditiru.

Yups, jadi sebenarnya apa poin dari tulisan ini?

Tidak ada poinnya sih. Aku tidak jualan voucher. Aku juga bukan mbak-mbak Alfamart yang suka memberi poin pada produk-produk promo. Aku hanya serpihan.... et dah, kepanjangan basa-basinya! Cepetan ditutup! Itu keretanya udah mau berangkat!!!
Santai aja, keleus. Keretanya masih banyak.

Yuk ah, kita semangat lagi ber-Senin pagi. Bersungguh-sungguh lagi menjemput rezeki. Meluruskan niat lagi bahwa setiap yang kita lakukan tidak sekedar untuk diri sendiri. Senantiasa berprasangka baik pada setiap momen yang kita temui. Tapi tetap hati-hati jangan sampai dompet dan handphone raib dari kantong baju atau celana yang masih wangi karena habis dicuci dan disemprot pewangi.

Jangan lupa juga, pekan depan itu Hari Ibu loh.... Yuk ah, berlomba-lomba memuliakan wanita luar biasa yang tidak tergantikan ini. Kita buktikan pada dunia, bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang paling memuliakan wanitanya. Bukankah derajat wanita telah diangkat kemuliaannya oleh hadirnya agama ini?


So, proud to be a muslim, guys ^^ 



-catatan 15 Desember 2014-

0 komentar:

Posting Komentar