Be An Honest

Selasa, 31 Maret 2015



Tetaplah jujur....
Walau mungkin hal yang sulit terukur
Sebagai pelajar, mahasiswa, pekerja, manusia...

Kau mendengar cerita tentangnya
Sekolah yang bahu membahu membocorkan
soal dan jawaban ujian
Demi muridnya agar lulus semua
Tak perlu marah-marah
Cukuplah beristigfar
dan bersyukur bahwa kau tidak menjadi bagian mereka

Kau menyimak kisah para mahasiswa
Yang sibuk mengunjungi rumah dosen menjelang ujian
dengan buah tangannya
Demi nilai transkrip yang digantungkan
pada ada dan tidaknya sang buah tangan
Atau mereka yang membayar absen dengan uang puluhan
Tak perlu marah-marah
Cukuplah beristigfar
dan bersyukur bahwa kau tidak menjadi bagian mereka

Kau melihat pekerja dan pejabat
Yang berliku jemari di balik kantong jas mereka
Pada yang tercatat dan diperbuat tidaklah sama
Hingga mereka semakin kaya tanpa ada yang bersahaja
Tak perlu marah-marah
Cukuplah beristigfar
dan bersyukur bahwa kau tidak menjadi bagian mereka

Tetaplah jujur
Tak perlu ikut-ikutan menyontek, menyelipkan kertas catatan,
atau tergoda bertanya saat ujian
Tak perlu menitip absen pada teman
saat malas berangkat kuliah karena kesiangan
Tak perlu ikut-ikutan tanda tangan atau mengatakan suatu hal
yang sebenarnya tak kau kerjakan
Tetaplah jujur 
Walau mungkin hal yang sulit terukur
sebagai pelajar, mahasiswa, pekerja, manusia...

Namun,
Tak berarti pula engkau diam
Ajaklah sejauh kau bisa
Dan jika kau tak mampu menjangkau mereka
Tetap sajalah jujur
Buktikan pada dunia
Bahwa kejujuran belum sirna
Selama kau masih ada

Dan tetaplah jujur...
Karena jujur itu baik dan membawa pada kebaikan

***

POLARIS, 14 September 2011 

Edelweiss



Apa kabar edelweiss?
Masihkah dalam kukuh abadimu
di tempat tinggi nan menjulang di sana
Menyimpan indahmu dalam diam
Menyelip wangimu dengan kesahajaan
***
Ceritakanlah pada mereka
Para pencarimu nan gagah jumawa
Sukarnya pendakian tidaklah berjeda
Tapi mulailah dengan langkah pertama

Kau pasti 'kan temukan tanah beraral dan bebatuan
Lalu lelahmu meronta
Padahal kau baru berjalan sebentar saja
Maka rukuklah sejenak dan gumamkan,
Jangan menyerah!

Setelah kau bangkit dan melalui tikungan kedua
Kau pun bertemu dengan kawah belerang
Yang asapnya saja membuat perutmu mual dan ingin pulang
Jangan engkau duduk ataupun membungkuk
Tapi bersandarlah pada sebuah batu besar
dengan kepala tengadah dan ucapkan,
Jangan menyerah!

Perjalananmu sebenarnya tak 'kan selalu melelahkan
Di balik tebing kerikil yang katamu licin
Kau 'kan temukan tanah berumput yang menyejukkan
Yang dengannya semua pemandangan tampak menakjubkan
Lembah nan cantik dan gunung-gunung lain di seberang
Membuatmu melirihkan tasbih dan puji-pujian
Namun, tujuanmu jangan pernah kau lupakan
Berhentilah sebentar
untuk kembali berjalan dan katakan,
Jangan menyerah!

Jalan setapak berikutnya mungkin
akan membuatmu lebih cepat tersengal
Parit-paritnya menarik energimu
untuk menjaga keseimbangan
Pasir-pasir berdebu
Tanjakan curam berbatu
Dan tanyamu dalam keluh yang terlintas,
"Di manakah ujungnya?"
Teruslah saja berjalan dan pekikkan,
Jangan menyerah!

Sungguh,
akhir perjalananmu akan berbuah indah
Yakinkan tekadmu pada janji-Nya yang pasti
Bahwa ianya hanyalah untuk engkau,
sang pejuang sejati
***
Apa kabar edelweiss?
Rasa lelahkah yang kau dendangkan
dalam sunyi dan kesendirian
Dalam doa dan penantian yang tak kunjung datang
Maka tataplah langit yang berjarak sedepa
yang kau lukis segala mimpi dan cita-cita
Bahwa kau istimewa
Bahwa kesabaranmu, kelak berbuah surga
***

POLARIS, 4 Oktober 2012

Resume Materi CISAK 2012 (Plenary Talk)

Plenary Talk 1
Bapak Warsito P. Taruno
TOWARDS INDONESIA'S TECHNOLOGICAL RESURRECTION AND INDUSTRIAL SELF-RELIANCE

Berbicara tentang teknologi, sebenarnya Indonesia adalah pendahulu teknologi dunia. Jauh sebelum Amerika ditemukan, apalagi Jepang dan Korea dengan teknologinya sekarang. Abad VII Indonesia sudah menguasai dunia dengan teknologi baharinya. Bagaimanakah kapal pinisi-kapal pinisi sanggup dibuat? Desain dan teknologinya saat itu sudah sangat tinggi hingga sang kapal mampu mengarungi lautan dan menjadi begitu terkenal.

Pada tema ini Pak Warsito berbagi tentang tiga perusahaan swasta nasional yang memiliki peran besar dalam bidang teknologi.
1. Terafulk Megantara Design, perusahaan manufaktur ini dibangun oleh Dr.Kaharuddin Djenad, M.Eng.
2. Versatille Silicon Company, perusahaan pembuat IC ini dibangun oleh Dr.Eko, salah seorang peneliti elit di PT.Sony dan memutuskan untuk kembali ke Indonesia
3. Edwar Technology, perusahaan R&D yang merupakan rantai level ke-1 dalam global supply chain

Di sini tidak akan dibahas ulang mengenai profil ketiga perusahaan tersebut. Yang ingin Pak Warsito sampaikan adalah motivasi kepada para mahasiswa dan peneliti untuk membangun negeri. Tidak berhenti ilmunya hanya pada lembaran kertas dan disertasi. Pendiri ketiga perusahaan tersebut memiliki kesamaan, yakni bahwa mereka pernah belajar di luar negeri, pernah bekerja untuk negeri orang, tetapi memutuskan untuk kembali dan membangun di negeri sendiri. Ada beberapa poin penting yang menjadi kunci.

Pertama, bagaimana kita melihat adanya peluang dan mengambil kesempatan. Para pendiri perusahaan tersebut sadar bahwa mereka memiliki ilmu untuk dimanfaatkan, memiliki teman dan jaringan untuk mengembangkan sesuatu yang lebih besar, dan melihat bahwa inilah kesempatan itu.

Kedua, keberanian dalam mengambil keputusan. Keputusan untuk kembali ke Indonesia di saat sudah memiliki nama besar dan posisi nyaman di perusahaan asing bukanlah sesuatu yang ringan. Tetapi bukankah hanya mereka yang berani yang akhirnya berhasil untuk membangun perubahan?

Ketiga, membangun kapasitas.

Keempat, membuat rantai kerja.

Kelima, mengelola rantai kerja tersebut.

Dalam global supply chain aktivitas, dapat dikategorikan tiga level alur:
Level 1: basic research & technology
Level 2: R&D and manufacturing
Level 3: bussiness / customer service

Pada setiap level terdapat dinding barrier yang tinggi. Itulah mengapa para pemberani harus melewatinya jika ingin membuat perubahan. Rantai level ke-3 adalah rantai yang paling banyak menyerap sumber daya (tenaga kerja), juga merupakan ujung tombak dari penerapan basic research yang berada di rantai level 1. Para peneliti tidaklah boleh puas hanya dengan hasil penelitiannya. Ia harus menjadikannya bermanfaat untuk orang lain. Karena itulah dinding-dinding pembatas tersebut harus kau lampaui.

"You must be the first, the best, or different."
"Pushing the limit, going through the thresholds."
"How hard you can push yourself the very end?"

Plenary Talk 2
Bapak Ir. Yudiutomo Imardjoko, M.Sc., Ph.D.
PT. Batan Teknologi (Persero)
STRATEGY FOR PRODUCTION AND MARKETING RADIOISOTOPE FROM INDONESIA

Haduh, bingung nih nulisnya. Yang jelas bapak yang satu ini juga keren banget...

Beliau bukan hanya peneliti cerdas, tetapi juga pebisnis yang cemerlang. Beliau yang mendobrak berbagai sistem birokrasi yang merumitkan dan mengangkat Batan menjadi PT. Nuclear Industry Indonesia. Beliau salah satu pemain utama yang berhasil membuat rantai kerja level ke-1 berhasil sampai pada tahap level-level berikutnya dan membuat siklus yang saling menguntungkan. Biaya produksi yang awalnya 400 USD per gram currie (satuan nuklir) menjadi 70 USD. Ekspor penjualan sudah menjangkau Malaysia, China, Jepang, India, Vietnam, Bangladesh, dan Filipina dengan harga jual antara 1000-1900 USD. Ini ya, yang disebut dengan added value... Harga jual bisa mencapai 10 sampai 20 kali lipat dari biaya produksi. Pesannya, "Ayo belajar, ayo membangun Indonesia!" ^^

Plenary Talk 3
Bapak Suharna Surapranata
THE FUTURE OF TECHNOLOGY IN INDONESIA CHALLANGE AND OPPORTUNITY

Pak Suharna membahas tentang inovasi. Belum dikatakan inovasi jika suatu temuan tidak dapat memberikan manfaat atau tidak dapat digunakan dan hanya menjadi seonggok kertas. Daya saing Indonesia masih berada jauh di bawah negara-negara lainnya. Peringkat 1 dimiliki oleh Switzerland, peringkat 2 Singapore, Korea berada di peringkat 24, sementara Indonesia berada pada peringkat 46. Pembelanjaan Indonesia dalam bidang riset pun masih sangat rendah (GDP R&D), yakni 0.08% dari APBN. (perasaan dari dulu gak naik-naik ya persentasenya -_____-")

Nomor 1 GDP? Ternyata diraih oleh Israel..

Fffiuuh... banyak deh yang dibahas oleh Pak Suharna dan membuat semua orang termotivasi. Intinya, membangun bangsa itu tidak bisa dilepaskan dari membangun IPTEK. Jadi, jangan pernah berhenti belajar. Jangan berhenti untuk memberi manfaat pada orang lain. Saya dan teman-teman satu tim lalu saling pandang dan berkata, "Paper kita sepertinya harus dilanjutkan. Tidak boleh berhenti hanya di poster. Dan harus melibatkan banyak orang."

Insya Allah, Insya Allah, Insya Allah....
Semoga niatan ini diridhoi oleh-Nya. Kita tidak boleh berhenti hanya sampai di sini.

***

For my beloved friends, sisters, and partners.
Bersyukur Allah Swt mempertemukan aku dengan kalian..


Konservasi Air



Air. Salah satu syarat demi terbentuknya sebuah kehidupan. Bumi layak ditinggali oleh manusia karena ada air. Suatu daerah layak menjadi tempat tinggal karena ada air. Pegunungan memiliki tempat yang cocok untuk berkemah juga karena air. Bahkan tubuh manusia, sekitar 55-75% terdiri dari air (tergantung ukuran dan berat badan). Manusia dan hampir seluruh makhluk hidup lainnya memiliki ketergantungan terhadap air. Manusia membutuhkan air untuk minum, mandi, mencuci, memasak, dan melakukan berbagai aktivitas sehari-hari lainnya. Bagaimana kondisi air yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup ini? Apakah eksistensi air di bumi akan terus ada atau adakah kemungkinan hilang? Bagaimana cara terbaik untuk mengkonservasi air?

Sang Pencipta menciptakan air sebagai berkah untuk kesejahteraan manusia. Hakikat air adalah baik dan untuk kebaikan, namun belakangan ini sering kita jumpai bencana yang disebabkan oleh air. Beberapa permasalahan terkait air yang menjadi perhatian, antara lain banjir, berkurangnya pasokan air bersih, pencemaran sumber-sumber air, pendangkalan badan air, dan kekeringan.Permasalahan ini muncul sebagian karena faktor alam, seperti kondisi topografi dan geologi, serta iklim dan curah hujan. Namun permasalahan air lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia yang tidak tepat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya, sehingga dampak negatif yang dirasakan menjadi lebih besar dari yang seharusnya.

Pembahasan mengenai konservasi air sejalan dengan hukum termodinamika dan kekekalan energi dimana energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan, hanya berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Sama halnya dengan air.Jumlah air di bumi adalah tetap.Air berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya melalui siklus hidrologi. Air laut mengalami evaporasi menjadi uap air. Uap air tersebut menggumpal menjadi awan, dan terjadi kondensasi sehingga terbentuk massa hujan. Hujan atau presipitasi turun ke permukaan, masuk ke dalam tanah, ke sungai, ke danau, atau menggelontor begitu saja menjadi run-off.Air yang terserap ke dalam tanah (infiltrasi) dan terus masuk ke lapisan dalam akuifer (perkolasi) akan tersimpan sebagai air tanah dalam dan inilah yang biasanya menjadi sumber air sumur.Air di permukaan akan kembali mengalami evaporasi atau kembali ke laut dan siklus terus berulang.

Jika melihat siklus air yang demikian, dapat diterka bahwa hanya sedikit air di bumi yang dapat kita manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Menurut Simonds (2007), jenis air di bumi didominasi oleh air laut sebesar 97% dan hanya 3% air tawar. Dari air tawar yang sedikit itu, 69% tersimpan dalam bentuk glasier&es, 30.1% dalam bentuk ground water, dan 0.9% air yang ada di permukaan. Jumlah 0.9% inilah yg digunakan oleh hampir seluruh manusia untuk aktivitasnya sehari-hari.

Permasalahan banjir, pencemaran air, intrusi air laut, dan kekeringan, sebagian besar disebabkan oleh pengelolaan air permukaan yang tidak terkendali sehingga timbul bencana.Satu daerah kelimpahan air, daerah lainnya kekeringan sampai menimbulkan kebakaran hutan.Sebagai contoh adalah kasus ibukota Jakarta yang hampir setiap tahun mengalami banjir. Sejarah mencatat bahwa banjir di Jakarta tidak hanya terjadi dalam kurun waktu 10-20 tahun terakhir dimana pembangunan dan pencemaran yang terus meningkat telah mengganggu siklus air.Banjir besar pertama Jakarta tercatat pada tahun 1621, lalu terjadi lagi tahun 1654, dan tahun 1876.Jakarta tergolong daerah yang sangat potensial banjir. Karakter geologis di Jakarta didominasi oleh batuan yang kedap air, sehingga tanpa meluapnya rob air laut atau melimpahnya kiriman air permukaan dari Bogor, Jakarta tetap akan banjir jika curah hujan setempat tinggi.Topografi Jakarta cenderung datar dengan rata-rata ketinggian 8 mdpl. Sebagian daerah, khususnya di bagian utara, ketinggian permukaannya lebih rendah dari tinggi muka air laut.Karakteristik fisik ini, ditambah pembangunan yang tidak terkendali sehingga terjadi banyak alih fungsi lahan, menyebabkan dampak banjir di Jakarta menjadi semakin besar dan merugikan.Salah satu solusi mengelola sumber daya air (termasuk masalah banjir) agar sirkulasinya seimbang adalah dengan mengelola penampangnya, yakni Daerah Aliran Sungai (DAS). 

DAS adalah area atau kawasan dimana seluruh air (hujan) yang jatuh di kawasan tersebut akan mengalir ke satu sungai utama. Oleh karena itu pembagian kawasan dalam satu pulau bisa habis oleh pembagian DAS, misalnya DAS ciliwung, DAS citarum,dan lain-lain.Jakarta yang dilalui oleh 13 sungai dan anak sungai termasuk ke dalam DAS Ciliwung.

DAS berhulu di puncak gunung dan berhilir di muara sungai. Berdasarkan profilnya,DAS terbagi tiga menjadi upper stream, middle stream, dan down stream. Upper stream adalah area pegunungan yg konturnya berbukit dan karakteristiknya ideal untuk optimalisasi penangkapan air. Eksistensi hutan dengan pohon dan berbagai vegetasi lainnya baik untuk memperlambat laju air, selain mendukung pula untuk pencegahan erosi. Down stream adalah dataran rendah/flat, paling sesuai untuk permukiman  dan pengembangan kota. Drainase yang baik akan mendukung sirkulasi air yg baik pula. Vegetasi-vegetasi di perkotaan dapat membantu tanah menyerap air. Middle stream adalah area pertengahan yg paling krusial, dsebut juga kawasan ekoton dimana karakter upper- bertemu dengan karakter down-. Penataan kawasan ekoton harus memperhatikan kepentingan dari kedua kawasan yang mengapitnya tersebut.

Profil DAS di atas menjelaskan bahwa permasalahan terkait air di satu bagian tidak terlepas dari bagian lainnya. Cara mengatasi masalah banjir di Jakarta yang merupakan hilir Sungai Ciliwung (down stream), juga harus memperhatikan daerah Puncak (upper stream) dan kota-kota yang dilaluinya (middle stream). Alih fungsi lahan di daerah hulu dari fungsi hutan dan lahan pertanian ke bentuk urban dengan bangunan-bangunan dan perkerasan, telah menutupi daerah-daerah resapan air sehingga jumlah aliran permukaan (run off) meningkat, melebihi kapasitas daya tampung badan air (sungai, danau, kanal, selokan), dan meluap sebagai banjir. Pendangkalan badan air akibat erosi dan terhambatnya aliran air oleh sampah industri dan rumah tangga juga menyebabkan dampak banjir semakin parah.





Hal yang harus dilakukan adalah memasukkan kembali air ke dalam tanah. Dapat dilakukan dengan cara membuat sumur resapan, biopori, reboisasi, sampai rekayasa konstruksi tanah (jika karakter tanah dan batuan rendah daya serap airnya, direkayasa dengan mengatur komposisi pasir-debu-liat yang ideal).Secara umum konservasi air dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui stormwater harvesting dan rainwater storing.

Stormwater harvesting dilakukan dengan "menanam" air untuk "dipanen" pada waktunya.Caranya adalah dengan menggunakan pond (kolam), sumur resapan, biopori, embung, dan sebagainya.Intinya adalah menyimpan air tersebut untuk kemudian dipanen ketika musim kemarau. Selain dipanen, stormwater harvesting juga membuat tanah lebih gembur dan mencegah penurunan muka tanah.Cara kedua adalah denganrainwater storing, yaitu menyimpan air hujan di dalam tangki-tangki untuk digunakan secara langsung untuk keperluan sehari-hari.Berapa banyak yang harus disimpan? Rumusnya seperti bahasa Sunda ^^”: V=CxAxI. Volume yang disimpan adalah koefisien run-off dikali luas atap dikali intensitas curah hujan. Rainwater storing ini dilakukan untuk mengurangi kebutuhan air sekunder.Dengan dan tanpa filter, air hujan ini bisa digunakan untuk menyiram tanaman, mencuci mobil, flush, cooling tower,dan sebagainya.

Permasalahan air selain banjir adalah intrusi air laut. Eksploitasi air tanah secara berlebihan akan menyebabkan meningkatnya intrusi air laut.Intrusi air laut adalah masuknya air laut ke darat, mengisi pori-pori tanah, sehingga air tanah menjadi payau.Hal ini sering terjadi di kota-kota pesisir, seperti Jakarta, Cirebon, dan Semarang. Pembuatan sumur artesis dan menyedot air secara berlebihan juga dapat menyebabkan air tanah menjadi payau. Air laut memiliki densitas dan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan air tanah. Massa jenis air laut 1,025 gr/cm3, sedangkan air tawar 1 gr/cm3.Dilihat dari aspek fisik, air tanah yang memiliki densitas lebih ringan, posisinya berada diatas air laut. Terdapat pembatas bidang cembung diantara keduanya. Jika air tanah terus-menerus disedot, batas tersebut akan semakin naik mendekati permukaan. Hal ini dapat dianalisis pula dari aspek kimiawi, yakni saat air tanah dan air laut yang memiliki perbedaan konsentrasi bertemu maka akan membentuk suatu lapisan permeabel.  Secara perlahan akan terjadi perpindahan massa/ion dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Ketika air tanah diambil, lapisan permeabel ini akan naik mendekati permukaan tanah, sehingga air tanah menjadi payau. Solusinya? Memperbanyak sumur resapan untuk menampung air hujan dan gunakanlah air secara hemat :).

Ketika  Jakarta mengalami kelimpahan air yang berdampak merugikan (banjir), terdapat fenomena kontras di daerah lain yang mengalami kekurangan air dan juga berdampak merugikan (kekeringan), misalnya Wonosari, Yogya. Karakter air di Jakarta adalah penuh di atas permukaan, namun kering di bawah. Sebaliknya di Wonosari penuh di bawah permukaan, namun kering di atas. Masyarakat Wonosari sulit memanfaatkan air karena letaknya jauh di lapisan bawah, padahal Wonosari memiliki lapisan akuifer yang besar. Karakter geologinya berupa batuan gamping yang bolong-bolong sehingga air hujan yang jatuh langsung tergelontor ke lapisan bawah membentuk sungai bawah tanah. Tanpa survei geologi, sulit untuk memanfaatkan air hanya dengan membuat sumur-sumur blind drill.

Kondisi berlawanan dialami oleh Jakarta dimana tanah dan batuannya sudah terlampau jenuh hingga sulit untuk menyerap air. Drainase yang terhambat, seperti sungai sebagai drainase alami yang mengalami pendangkalan ataupun tercemar sampah industri dan rumah tangga, serta drainase buatan lainnya (selokan, kanal) yang juga banyak tercemar oleh sampah, ditambah curah hujan yang tinggi, menyebabkan tingkat run-off sangat tinggi hingga menimbulkan banjir.Kondisi tanah jenuh ini tidak hanya dialami oleh kota Jakarta yang didominasi oleh bangunan, tetapi juga dapat terjadi di lahan pertanian yang didominasi oleh sistem penanaman monokultur.

Tanah jenuh, atau dikenal juga dengan istilah saturated land /‘tanah mutung’, adalah sebuah kondisi saat tanah tidak lagi memiliki unsur-unsur hara seperti kondisi awalnya dan kemampuannya dalam menyerap air semakin menurun.Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas tanah sebagai media tanam dan fungsi konservasi air. Faktor penyebab tanah menjadi jenuh bermacam-macam. Ada yang disebabkan oleh aktivitas fisik, seperti pembangunan dan pertambangan. Ada pula yang diakibatkan oleh aktivitas kimiawi karena unsur-unsur hara yang terus-menerus diambil, misalnya kegiatan pertanian yang monoton atau hutan produksi.Beberapa solusi untuk mengatasi permasalahan tanah jenuh ini adalah dengan rekayasa unsur tanah, penghijauan, biopori, atau menggilir jenis tanaman pada lahan pertanian.Mengistirahatkan tanah melalui ‘bera’ juga penting agar tanah memiliki waktu untuk mengembalikan unsur-unsur haranya yang hilang. 

Ada satu pelajaran menarik dari Vietnam terkait masa bera. Vietnam membanjiri lahan pertanian padi dengan air sungai. Setelah panen, Vietnam mengistirahatkan tanahnya sebelum masuk ke musim tanam berikutnya. Namun ia tidak membiarkan lahan bera begitu saja. Lahan-lahan bera tersebut dialiri dengan air sungai yang ada di sekitarnya. Kandungan mineral yang terdapat di air sungai akan terbawa ke lahan sehingga pengembalian unsur hara ke dalam tanah akan berlangsung lebih cepat.

Dalam suatu kesempatan seminar, dijelaskan bahwa mengelola keberlanjutan ruang terbuka biru (RTB) merupakan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi banjir daripada ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini dikarenakan RTH lebih bersifat preventif dan membutuhkan periode jangka waktu yang cukup lama sampai manfaatnya dapat dirasakan, sedangkan RTB yang merupakan badan-badan air, seperti danau, sungai, dan waduk langsung menampung air dan menahan air agar tidak lantas meluap atau tergelontor begitu saja ke tempat yang lebih rendah.

Beberapa fungsi penting RTB, antara lain:
1. menampung air,
2. menurunkan suhu iklim mikro,
3. habitat wildlife dan berbagai tumbuhan,
4. sarana rekreasi cuma-cuma bagi warga kota.

Hal ini bukan berarti RTB menjadi lebih penting daripada RTH, meskipun untuk tindakan responsif banjir RTB dinilai lebih efektif. Keberadaan RTH dan RTB sama-sama penting karena keduanya saling mendukung untuk konservasi air. Pemerintah kota dapat menghitung luas badan air sebagai RTB yang dibutuhkan perkotaan berdasarkan jumlah penduduk yang ada di kota tersebut. Konservasi air di perkotaan juga harus dilihat dari aspek keberlanjutan, baik itu ekologi, ekonomi, maupun sosial. Oleh karena itu, keseimbangan dalam pembangunan dan penegakkan hukum dan aturan sangatlah penting. Kita semua tentu berharap bahwa kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dapat diterapkan secara tepat. Pengelolaan sumber daya alam dan energi vital sudah jelas aturannya dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3. Peraturan tentang luasan RTH ada dalam UU No. 26 Tahun 2007. Pengelolaan sumber daya air ada dalam UU No. 7 Tahun 2004. Hampir semua kebijakan yang kita butuhkan telah tertuang dalam aturan di negeri ini, namun rendahnya law enforcement tentu menjadi permasalahan tersendiri yang butuh pembahasan khusus secara lebih lanjut.

Apakah yang dapat kita lakukan? Paling mudah adalah memulainya dari diri sendiri dan lingkungan terdekat. Tidak membuang sampah ke badan air (sungai, selokan, danau), menggunakan air secara hemat sesuai dengan kebutuhan, dan menanam pohon atau membuat lubang-lubang biopori di halaman rumah adalah langkah kecil yang dapat dilakukan oleh setiap individu. Jika kita menghitung kebutuhan air bersih per orang (berdasarkan standar PU) adalah sebesar 120 liter/hari, artinya kita bergantung pada ketersediaan sumber air bersih  sebanyak 840 liter seminggu atau 3.600 liter sebulan. Jika air bersih semakin sedikit ketersediaannya, maka air akan menjadi benda ekonomi yang semakin berharga untuk diperjualbelikan. Berapakah biaya yang harus kita keluarkan untuk memenuhi kebutuhan kita akan air? Asumsijika kita harus membeli air seharga dengan air  mineral dalam kemasan yakni Rp 4000/liter, artinya setiap orang harus mengeluarkan Rp 480.000/hari atau Rp 14.400.000/bulan. Betapa berharganya air. Itulah mengapa setiap individu memiliki kewajiban untuk menjaga air dan sumber-sumber air. Bukan untuk orang lain, melainkan untuk diri sendiri, keluarga, dan orang-orang terdekat yang kita miliki.

Sumber:
Diskusi Grup FC3 Eneling, Forum Indonesia Muda, 19 Februari 2014

Narasumber:
1. Nurul Najmi
2. Gugi Yogaswara
3. Aveliansyah

Selamat Hari Pahlawan!

"Merdeka, Allahuakbar!" -Bung Tomo-

Seperti apakah sosok pahlawan yang ada dalam benakmu?

Tiba-tiba saja saya teringat sebuah komik yang sejak zaman sekolah dulu selalu berhasil memotivasi saya dan memberi inspirasi. Judulnya Harlem Beat karya Yuriko Nishiyama. Dalam suatu episode (eh, komik mah bukan episode ya?)...oke, dalam suatu jilid (dih, kok kagak pas yah rasanya?)...fine, dalam suatu nomor jilid (ini ribet banget dah!). Hehee, woles ah, ngga usah pake sewot :p

Jadi ceritanya dalam satu episode (ujung-ujungnya balik lagi ke episode -_-“) salah satu tokoh utama, namanya Naruse, sedang mengikuti tanding basket ilegal bersama rekan-rekan satu timnya, Scratch. Street basket yang biasanya menggunakan peraturan three on three ini berlangsung sangat alot dan seru. Hingga akhirnya mereka sampai pada pertandingan final dan harus menghadapi tim yang terkenal sangat hebat karena permainan basketnya yang indah tetapi mematikan. Saya lupa nama tim lawan yang hebat ini. Yang jelas nama pimpinan tim ini adalah J. J berasal dari Amerika. Sering berkeliling ke tempat-tempat street basket di sudut kota untuk mencari bibit unggul yang menurutnya paling hebat dalam basket dan tidak terkalahkan. Untuk dijadikan calon atlet NBA? Bukan. Untuk dijadikan pahlawan menurut ukurannya. Dia berharap menemukan sosok yang kuat dan tidak terkalahkan, yang lebih kuat dari dirinya, yang selalu bisa ia kagumi, yang selalu dapat menjadi inspirasi.

Si J ini punya kemampuan seperti hipnotis melalui mata sehingga tubuh lawan main basketnya menjadi kaku dan sulit untuk bergerak. Dari seluruh anggota tim Scratch yang melawan J, hanya Naruse yang akhirnya mampu menghadapi mata medusa-nya J sehingga Scratch berhasil memperoleh angka dalam pertandingan. Rupanya itu adalah taktik J yang diberikan kepada Naruse untuk membuktikan bahwa Naruse pantas menjadi sosok pahlawan bagi dirinya. J mengatakan bahwa tidak seharusnya Naruse bersama dengan rekan-rekannya yang lemah dan ikut bersamanya ke Amerika. Karena Naruse yang piawai dalam air walk itu sepantasnya untuk menjadi pahlawan.

Naruse yang marah karena diberikan ekspektasi berlebihan, sedangkan teman-temannya justru direndahkan oleh J, lalu berujar, “Jangan ngawur! Setiap orang memiliki tempatnya masing-masing untuk menjadi pahlawan. Ada banyak sekali pahlawan di dunia ini.”

Teman-teman Scratch dan street basket lainnya yang direndahkan oeh J, justru merupakan pahlawan  bagi Naruse. Karena merekalah yang mengenalkan Naruse pada basket, mendorong keberanian Naruse untuk melompat dan terbang, dan memberinya kepercayaan untuk bermain. Bagi Naruse, mereka yang membantunya bangkit setelah jatuh, memarahinya ketika ia melakukan kesalahan, tetapi juga mengarahkannya menemukan potensi diri, adalah pahlawan yang sesungguhnya. Pahlawan bukanlah sosok hebat tanpa kekalahan. Mereka yang walau hanya dengan senyuman dan kata-kata sederhana, tetapi mampu memberikan energi positif kepada orang di dekatnya yang hampir putus asa hingga ia bersemangat kembali, pantas untuk disebut pahlawan.



Well, kenapa kita justru membicarakan komik Jepang di Peringatan Hari Pahlawan milik Indonesia ya? Hhe... itu sedikit intermezo karena saya tiba-tiba teringat kata-katanya Naruse. Tokoh pahlawan di dunia nyata jelas sangat banyak. Sebutlah Bung Tomo. Pemuda Surabaya yang menjadi alasan ditetapkannya tanggal 10 November ini sebagai Hari Pahlawan. Yang walau badannya tidak kekar, tetapi pidato-pidatonya di radio dan suaranya di medan perang selalu berhasil membakar semangat seluruh rakyat. Atau Jenderal Sudirman. Satu-satunya jenderal yang berasal dari sipil dan satu-satunya yang mendapat penghargaan sebagai ‘panglima besar’ Indonesia. Jenderal yang memimpin perang dari atas tandu dengan bergerilya, tetapi sanggup membuat penjajah ketakutan oleh sosoknya. 

Sosok pahlawan dari kaum hawa, sebutlah Kartini. Orang umum mungkin hanya mengenal namanya sebagai pahlawan emansipasi yang memperjuangkan hak-hak wanita. Namun, saya selalu menilai Kartini bukanlah pahlawan emansipasi. Kesannya kalau menyebut kata emansipasi identik dengan menyamakan hak-hak gender, perempuan harus sama dengan laki-laki. Kartini sangat jauh dari sosok itu.  Ia bukan hendak merebut hak wanita agar diperlakukan sama seperti laki-laki. Ia memperjuangkan apa yang menurutnya tidak benar menurut hatinya melihat kebiasaan dan aturan ketat dalam budaya daerah tempatnya hidup dan dibesarkan. Benar, ia ingin perempuan memperoleh pendidikan yang sama seperti halnya laki-laki, karena ia pun memiliki kehausan ilmu yang sangat besar. Namun, ia tidak pernah minta perempuan untuk disejajarkan dengan laki-laki. Cukuplah pada porsi yang sesuai dengan sepantasnya. Menghormati orang sewajarnya, tidak perlu sampai membungkuk-bungkuk membentuk sudut sembilan puluh derajat sambil menundukkan kepala saat harus berlalu di depan orang yang lebih tua. Menghormati musuh juga sewajarnya. Tidak karena pihak penjajah berbaik hati padanya dan keluarganya karena berasal dari keluarga bangsawan, lalu ia pun selalu bersikap ramah pada bangsa penjajah. Tidak. Kartini tetap melawan bangsa penjajah yang menyengsarakan saudara-saudaranya setanah air, meski hanya dalam rangkaian kata surat-suratnya pada Nyonya Abendanon. 

Hmm..kita tidak sedang bicara tentang biografi Kartini, kan? Duh, saya kalau sudah bicara Kartini bawaannya tidak bisa berhenti. Haha... yah sederhananya saya ingin mengambil contoh bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan laga. Kartini mungkin tidak pernah ikut memanggul bedil, memegang bambu runcing, ataupun mengangkat parang dan ikut berperang. Ia tidak seperti Cut Nyak Dien atau Cut Meutia yang ikut berdarah-darah saat melawan penjajah. Juga tidak seperti Dewi Sartika yang aktivis pendidikan dan berhasil mendirikan berbagai kelas dan sekolah perempuan pertama se-Hindia Belanda. Kartini berjuang dengan caranya. Ia tidak hanya pahlawan bagi kaum wanita karena pemikiran-pemikirannya. Kartini pun berkontribusi melahirkan pahlawan seperti Agus Salim, tokoh Indonesia jenius yang belum ada gantinya hingga kini. Dan Agus Salim adalah salah satu inspirator Soekarno, sang proklamator kita. See? Kepahlawanan itu saling membentuk rantai kebermanfaatan yang indah sekali, walaupun mungkin satu atau dua mata rantainya harus berkorban dan tidak dilihat oleh yang lain.

Saya ingin meminjam istilah Bunda Tatty Elmir (Pembina Forum Indonesia Muda; penulis Keydo), bahwa betapa banyaknya “pahlawan di jalan sunyi” di negeri ini. Mereka yang tidak memiliki rekam jejak dalam dokumentasi, tidak diliput media, tetapi sungguh menjadi alasan bagi orang lain untuk terus hidup dan melangkah maju karena kebaikan yang mereka tebarkan. Mereka yang mungkin merasa dirinya bukan apa-apa dibandingkan orang-orang besar di negeri ini, tetapi sungguh ada jiwa-jiwa yang merasa berterima kasih oleh kehadirannya. Mereka yang mungkin tidak berinteraksi dengan orang-orang lainnya, tetapi sesungguhnya memberikan kontribusi bagi perbaikan lingkungan dan kondisi di negeri ini. 

Oleh karenanya, sungguh tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk merasa sombong hingga meremehkan orang lain. Karena mungkin mereka yang tidak lebih kaya dari kita, tidak lebih tinggi pendidikannya dari kita, tidak lebih cantik dan ganteng dari kita (halah -,-), tetapi ternyata memiliki kontribusi manfaat yang lebih banyak dari kita. Mungkin ada lebih banyak orang yang merasa berterima kasih pada mereka dibandingkan orang yang merasa berterima kasih pada kita. Seorang sopir bajaj yang bekerja menafkahi keluarganya, mungkin pulang disambut dengan rasa terima kasih yang lebih besar oleh istri dan anak-anaknya karena perjuangannya hari itu sehingga mereka masih bisa makan, dibandingkan kita yang misalnya pulang sekolah dengan baju kotor dan perut lapar, lalu mendapat ucapan terima kasih dari orang rumah karena kita tidak berbuat onar dan jajan sembarangan di luar :p. 

Atau jangan-jangan kita kerjanya hanya merepotkan orang saja? ^^”

Satu kesadaran yang selalu menjadi pengingat saya di kala lemah adalah bahwa kita tidak pernah hidup sendirian. Bahkan Adam saja tidak sendirian saat diturunkan ke bumi. Disertainya Hawa, meski pada awalnya mereka harus terpisah jauh dan baru kembali bertemu dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Separuh dari diri kita sekarang adalah karena keberadaan orang lain di sekitar kita. Kalau kata Pak Mario, jadilah mandiri pada tataran proporsional untuk bergantung pada diri sendiri, namun bersikap rendah hati saat membutuhkan bantuan orang lain, dan belajarlah santun ketika meminta tolong. 

Allah Swt adalah satu-satunya tempat kita bergantung. Saat kita membutuhkan pertolongan, terlalu mudah bagi Allah dengan kun fayakun-Nya untuk menolong kita secara langsung. Oleh karena itu Allah mengirimkan perantara-perantara hidayah-Nya bagi kita. Agar kita tidak larut dalam takabur dan kebesaran diri kita sendiri. Agar kita juga memiliki empati pada orang lain. Agar kita belajar dengan hikmah dari kisah-kisah.

Untuk setiap jiwa yang pernah memiliki jejak dalam perjalanan hidup saya, terima kasih. 

Untuk orang tua, keluarga, guru, tetangga, dan teman-teman yang selalu luar biasa, terima kasih. 

Untuk orang-orang sepintas yang bertemu di jalan dan hanya sekedar bersapa atau tersenyum, terima kasih. 

Untuk yang tidak bisa disebutkan satu-persatu, terima kasih
(aigoo...ini bocah lebay amat dah, berasa lagi penerimaan penghargaan di atas panggung Baeksang Award -,-). Ahaha... lagi sok romantis ceritanya :p.

Sip. Mari kita kembali pada setiap detik berjuang yang harus kita lakukan. Seperti pelajaran sebelum-sebelumnya yang selalu mengingatkan bahwa setelah selesai satu pekerjaan, segeralah berpindah untuk menyelesaikan pekerjaan berikutnya. Dulu saya selalu berharap, selesai ujian tengah semester atau ujian akhir semester bisa berlibur atau rehat lebih banyak. Nyatanya tidak,  tetap saja  jasad ini tidak bisa beristirahat kecuali sedikit saja (bo’ong banget kamu, wong lagi ujian aja tidur -,-“). Ssst....diam!    

Oke pemirsa, selamat hari pahlawan! Mari sejenak kita mengingat mereka yang pernah berjasa dan menorehkan jejak kepahlawanan dalam hidup kita untuk kita doakan kebaikan dan kesejahteraan dalam hidupnya. Dan segera berlari kembali fokus mengejar mimpi-mimpi kebaikan yang sedang kita lukis pada kanvas-kanvas kita.

Share your kindess, and be the hero ^^

Bogor, 10 November 2014  

Menjemput Pulang #bagian3

“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS Maryam: 15)



30/01/14

Hari Kamis aku baru bisa kembali ke PMI sore hari. Malam Kamis hingga Kamis pagi Om Heri yang berjaga, siang harinya Tante Neneng dari Losari-Cirebon sudah datang dan bergantian jaga. Mang Amri juga kabarnya akan datang malam hari naik kereta sore. Aku mengurus beberapa urusan rumah tangga dulu: memasak, mencuci pakaian kotor yang terbengkalai beberapa hari, dan harus mengurus kawat gigi yang sudah terlampau kadaluarsa jadwal kontrolnya ini. Sudah tiga bulan tidak kontrol. Ketidaknyamanan saat mengunyah makanan sudah tidak tertolerir lagi.

Dua malam ke depan kuniatkan untuk menginap di ‘akuarium besar itu’ bersama Tante Neneng dan Mang Amri, kedua adik Tante Yayu yang berdomisili di Cirebon. Om Heri biar istirahat penuh di rumah memulihkan kondisinya. 

Mendapat cerita dari Tante Neneng bahwa kondisi Tante Yayu seharian itu relatif baik, meskipun tekanan darah masih tinggi, agak membuatku tenang. Tante Yayu bisa mengobrol dengan Tante Neneng cukup lama di siang hari. Katanya Tante ingin bertemu Bapak (kakekku). Katanya lagi Tante bermimpi bertemu Mimi (almarhumah nenekku). Tante minta diajak pergi, ingin ikut dengan Mimi, tapi oleh Mimi tidak boleh. Tante Neneng menjawab bahwa Bapak tidak memungkinkan lagi untuk perjalanan jauh, apalagi dengan transportasi umum. Bapak sudah agak susah untuk berjalan. Tapi Mang Amri akan datang, Mas Nono dan Mbak Yuyun dari Cirebon juga akan menyusul esok harinya. Artinya semua saudara akan datang. Kupikir Tante sedikit terhibur mendengarnya.

Tante adalah anak ke-4 dari 6 bersaudara.  Anak pertama adalah Wa’ Pendi. Sudah meninggal karena serangan jantung pada tahun 2001 silam. Anak kedua adalah Pakde Nono. Anak ketiga adalah ayahku. Anak keempat adalah Tante. Anak kelima Tante Neneng, dan terakhir adalah Mang Amri. Diantara enam bersaudara, hanya ayah dan Tante Yayu yang berdomisili di luar kampung halaman mereka.

Aku tidak menjenguk masuk ke ruang ICU hari ini, hanya melihat Tante yang sedang terlelap dari jendela. Aku sudah mengabari perawat jaga terkait hasil kunjunganku ke RSCM. Tante juga langsung kuberitahu kemarin malam sepulang aku dari Jakarta. Kondisi Tante tidak memungkinkan untuk dibawa MRI ke Jakarta tanpa ada kejelasan rawat inap, akan sangat berisiko bahkan dalam perjalanannya saja, kata perawat.

Mang Amri datang sekitar pukul 9 malam. Setelah saling bersapa di ruang tunggu, Mang Amri langsung naik ke ruang ICU hendak menjenguk Tante. Sudah dikunci. Jam besuk pun sudah habis sehingga melihat dari jendela saja tidak bisa. Mang Amri kembali turun, tampak kecewa. Kukatakan padanya jika tidak ada panggilan, maka kondisi Tante insya Allah baik. Selain mengobrol dengan Tante Neneng, Tante banyak tertidur seharian ini.

Akhirnya Mang Amri ikut duduk melingkar di atas kasur lipat bersama aku dan Tante Neneng. Kami makan malam bersama. Nasi bungkus dan ayam bakar yang dibawa Mang Amri dari stasiun. Setelah mengobrol panjang bertiga hingga larut, kami pun tidur membentuk shaf agar muat kasur lipat untuk bertiga. Aku tentu saja kebagian tidur di pinggir. Tidak boleh di tengah. Bisa-bisa aku terjepit dan tanpa kusadari badan ini menipis ketika bangun karena berada diantara dua tubuh besar paman dan bibiku ^^”.

Ini pertama kalinya aku bermalam di ruang tunggu ICU. Bersama para keluarga penunggu pasien lainnya. Rasanya seperti sedang tidur di barak peperangan. Aku mencoba terlelap meski rasanya sulit. Tidak lama hujan deras turun lagi, setelah sebelumnya sempat reda. Bunyi hujan dan aroma rumput basah yang masuk melalui sela-sela jendela membuatku lebih tenang. Aku tidak sendirian.

Dalam doa, harap, dan cemas, aku pun pergi menari dengan gelombang alfa, beta, dan akhirnya sampai pada gelombang delta (baca: tidur pulas).

31/01/14

Pagi hari aku menjenguk Tante Yayu ke atas, selepas perawat selesai memandikan dan beres-beres. Tante masih tertidur pulas. Aku melihat mesin ATM di atas kiri ranjang Tante. Salah, bukan mesin ATM, tapi mesin monitor –aku tak tahu namanya- pemantau kondisi pasien. Tekanan darah Tante masih tinggi, 165. Hmm... ada empat baris angka, aku tidak tahu persis angka apa saja. Berapa kadar gula darah Tante sekarang?

Siang hari tekanan darah Tante menurun, 148. EKG 130. Oksigen oke, tapi dari fisik Tante kuperhatikan nafasnya bersuara, mungkin tertahan lendir. Aku berharap kondisinya membaik. Kalau dinilai cukup kuat, Tante bisa dibawa ke RSCM untuk MRI, meskipun tidak mendapatkan kamar rawat.

Pakde Nono dan Bude Yuyun datang bersama Om Slamet dan Tante Yanti, sepupu ayah dari pihak ibu. Rupanya kereta malam Pakde datang lebih cepat di Jatinegara, meskipun keberangkatannya terlambat dari Cirebon (kok, bisa yah?). Pakde tiba sekitar subuh dan transit di Cijantung, lalu dijemput oleh Om Slamet yang berdomisili di Depok.

Pakde dan Bude segera menjenguk Tante ke atas, sayang saat ini jam besuk dan pintu ICU dikunci. Artinya kami tidak bisa masuk dan hanya bisa melihat dari kaca jendela. Tante masih tampak tertidur. Kami tidak berlama-lama di atas. Setelah melihat kondisi Tante, mengobrol dengan beberapa keluarga lain yang juga sedang menjenguk keluarganya melalui jendela, kami pun turun dan melanjutkan obrolan di bawah. Beberapa kali kami berdiskusi membuat alternatif solusi jika Tante sembuh nanti. Apakah tetap di Bogor? Atau bagaimana kalau pulang ke Losari-Cirebon saja?

Bukankah itu keinginan Tante sejak lama? Kupikir Tante harus pensiun dini. Yang pasti semua saudara harus bertekad untuk mendukung dan menyokong Tante juga anak-anak. Om harus dimotivasi untuk mencari kerja dan berpenghasilan. Sudah seperti ini, Tante tidak boleh lagi jadi tulang punggung keluarga. Tante perlu istirahat. Atau bagaimana jika kondisi ini disampaikan juga kepada keluarga besar di level Bani Suryadi? –level pohon keluarga empat tingkat di atasku alias kakek buyutnya ayah- Bukankah saat halal bihalal lebaran kemarin salah seorang cicit (alias paman sepupuku) mempresentasikan program keluarga untuk membuat semacam lembaga zakat-infaq-sodaqoh yang terorganisasi? Tentunya ide ini selain bermanfaat menyalurkan dana yang lebih besar, juga berpotensi untuk subsidi silang kepada anggota keluarga yang memerlukan. Hmm... aku tidak tahu bagaimana realisasi programnya karena ide ini diusulkan oleh ‘ring tiga’, sementara posisiku berada di 'ring empat'. Aku meminta pendapat Mang Amri dalam hal ini, karena Mang Amri cukup dekat dengan paman sepupuku. Ia menyetujuinya. Begitupun dengan Tante Neneng, Pakde, dan Bude.

Menjelang Ashar, kami menyudahi obrolan. Aku, Tante Neneng, dan Bude Yuyun memutuskan untuk pulang ke Sindang Barang dan beristirahat di rumah. Malam ini Mang Amri dan Pakde Nono yang akan menginap di ICU. Om Heri kami minta istirahat di rumah saja, memulihkan kondisi untuk persiapan menginap lagi hari-hari esok. Biar akhir pekan ini kami yang bergantian menjaga penuh Tante. Besok pagi Ayah juga sudah pulang dari Garut dan akan langsung menuju ke RS. Malam Minggu besok giliran Ayah dan Mama yang menjaga Tante.

Kami bertiga keluar RS menuju jalan besar untuk naik angkot. Jalanan masih becek di sana-sini meskipun hujan sudah reda. Beberapa kali aku melompati air bekas hujan yang tergenang di coakan jalan yang rusak atau akibat permukaan jalan yang tidak rata. Selalu klasik melalui jalan utama RS PMI yang dibatasi pohon-pohon kenari besar di sisi kiri dan kanannya. Pohon-pohon sejajar ini membentuk dinding koridor layaknya pergola. Megah. Sejuk.

Begitu tiba di rumah, aku menyiapkan kamar untuk Tante dan Bude beristirahat. Aku hendak mengambil handuk untuk mandi saat telepon selular Bude berbunyi. Keluarga Ibu Ayati dipanggil ke ruang ICU!

Suara pakde terdengar panik di telepon, kondisi Tante Yayu memburuk. Pihak RS meminta persetujuan keluarga untuk pasang ventilator. Pakde meminta kami segera kembali ke RS.

Lagi. Seperti waktu itu. Kondisi Tante memburuk saat aku meninggalkan RS dan berpikir akan baik-baik saja. Tubuhku mulai letih. Aku berkata pada Bude untuk mandi sebentar menyegarkan badan. Setelahnya, kami segera keluar rumah dan berangkat menuju RS.

Kali ini hujan turun lagi. Dalam perjalanan di angkot hujan turun semakin deras. Kami bingung karena hanya memiliki satu payung untuk dipakai bertiga. Akhirnya kami meminta tolong supir angkot untuk mengantar kami sampai di depan pintu RS. Kami bergegas turun masuk ke lobi, setelah membayar ongkos supir yang baik hati.

Kami melihat Pakde dan Mang Amri duduk dengan wajah pias di ruang tunggu. Tampak Om Heri dan anak-anak juga duduk di atas tikar. Aku menanyakan kondisi Tante. Pakde hanya berkata kondisinya menurun dan sudah harus dipasang ventilator, selang yang dimasukkan melalui mulut untuk mengalirkan oksigen langsung ke paru-paru sebagai pendukung proses oksigenisasi. Kalau selang ini sudah dipasang, status Tante berarti sudah gagal nafas.

Ayah meneleponku. Rupanya Pakde sudah mengabari Ayah lebih dulu. Sekarang sedang dalam perjalanan pulang dari Garut, katanya. Ayah memintaku untuk menanyakan lebih detail kepada kepala perawat ruangan. Jika ini sudah tanda-tanda, minta izin untuk keluarga bisa mendampingi dibacakan QS.Yaasin dan talqin sepanjang malam ini. Berganti-gantian.

Tanda-tanda. Secepat inikah?

Aku segera naik ke ruang ICU. Pintu tidak dikunci sehingga aku bisa langsung masuk. Ruangan berkesan sunyi, seperti biasa. Kulihat seorang perawat melintas, tapi tampak sibuk. Aku diam di tengah ruangan, sampai seorang perawat lain menanyakan maksud kehadiranku. Kukatakan ingin menanyakan kondisi Bu Ayati. Aku tahu harus menunggu karena kulihat sendiri beberapa perawat ICU berbaju hijau sedang mengurus Tante memasang selang.

Aku duduk di kursi pada bilik pembatas antara ruang rawat dengan pintu keluar. Mengambil handphone dan mengubahnya menjadi mode ‘silent’ agar tidak mengganggu pasien lainnya di dalam ruangan. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku memainkan kalender meja bertuliskan macam-macam kata-kata positif sebagai budaya kerja medis, disamping tanggalan Tahun 2014 tentunya. Satu-satunya benda yang ada di atas meja di hadapanku. Sudah dua kali aku membolak-balik kalender, tindakan terhadap Tante belum juga usai.

Pukul 20.00

Kepala perawat jaga menghampiriku sambil melepaskan maskernya. Ia mempersilakanku bertanya semua yang ingin diketahui pihak keluarga dan berjanji akan berusaha menjelaskannya sebaik mungkin. Ventilator sudah terpasang pada Tante karena statusnya sudah pada tahap gagal nafas GCS 1+2+1. Saat ini sedang diambil AGD-nya (gas dalam darah). Tekanan darah sebelumnya sempat nge-drop sampai 70/40, sekarang sudah naik lagi menjadi 110/117. Kondisi sudah sampai pada tahap somnolen 4 (aku lupa ini artinya apa). Gula darah 339. Kesimpulannya, saat ini Tante dalam kondisi koma.

Aku meminta izin padanya agar pihak keluarga bisa menemani disamping Tante secara bergantian. Kepala perawat  jaga justru berkata, “Oh, silakan, silakan. Barusan saya juga ingin menyarankan begitu. Kalau misalkan semua ingin masuk, silakan. Kita kan tahu bahwa pendengaran adalah indera yang paling awal berfungsi dan paling akhir masih bisa aktif. Walaupun kondisi Bu Ayati sudah sulit bergerak, sulit melihat, atau merespon, insya Allah beliau masih bisa mendengar suara keluarganya yang hadir. Kami disini juga berusaha semaksimal mungkin. Namun, kami tidak ingin ada penyesalan. Jangan sampai jika memang ini sudah saatnya, namun keluarga tidak berada disampingnya. Kalau bisa anak-anaknya juga masuk. Berapa usia anak-anaknya?”

“Enam tahun dan delapan tahun. Apa tidak apa-apa?”

“Waduh, masih kecil sekali, ya?”

Anak kecil tentu saja tidak boleh masuk ICU. Mungkin kali ini pengecualian.

 “Tidak apa-apa. Didampingi saja.”

Dan oh, baru saja setengah jam yang lalu Om Heri pulang untuk mengantar anak-anak.

Aku buru-buru turun ke ruang tunggu dan mengabari Pakde-Bude, Mang Amri, juga Tante Neneng. Aku menelepon Om Heri, mengabarkan bahwa Anwar dan Faisal diperbolehkan masuk ICU. Anak-anak sudah sampai dirumah, sudah mengantuk, tidak mungkin kembali lagi ke RS.

“Jangan tidur dulu. Nanti Anwar bicara sama Mama lewat telepon, ya. Nanti Teteh loudspeaker supaya Mama bisa dengar.”

Kami mengatur giliran Yaasin-an dan talqin di atas, sementara yang lainnya bisa istirahat di bawah. Setiap setengah jam bergantian agar tidak lelah berdiri. Aku meminta giliran pertama. Mang Amri menemaniku. Ia ingin berjaga semalaman, katanya.

Pukul 21.05

Masuk ke ICU di atas, aku sudah dibuat kaget terlebih dahulu karena ternyata ranjang tempat Tante berbaring sudah penuh dikelilingi teman-teman perawat berbaju putih dari ruangan yang lain. Paling banyak dari Ruang Seruni. Rupanya perawat jaga ICU sudah mengabari ruang lainnya. Para perawat masuk melalui pintu khusus pasien dan staf medis yang posisinya berlawanan dengan pintu untuk para pembesuk. Beberapa diantara mereka sudah mulai membaca Yaasin. Aku memintanya berhenti sejenak untuk menelepon Anwar -Faisal dan mengarahkan handphone ke dekat Tante.

“Mama. Ini Anwar. Mama cepet sembuh yaa... Mama, Anwar sayang Mama.”

Rupanya itulah kalimat terakhir Anwar untuk Tante. Kuyakin Tante mendengarnya.

Aku mulai membaca Yaasin di sisi kiri ranjang. Belum sepuluh menit aku membaca, tiba-tiba perawat teman Tante yang sebelumnya juga mengaji di sebelahku pergi  ke meja perawat jaga. Tidak lama kepala perawat jaga dan seorang perawat berbaju hijau lainnya berlari ke arah ranjang Tante sambil membawa semacam papan dan ambu oksigen. Aku bingung. Segera kulihat monitor diatas ranjang Tante. Garisnya lurus.

Kepala perawat jaga langsung memasukkan papan ke bawah punggung. Ia naik ke atas ranjang, berlutut di sisi kanan dan melakukan resuscitation. Perawat lainnya mengatupkan ambu ke hidung dan mulut. Angka-angka di monitor masih bergerak walaupun posisi garis belum berubah. Masih ada harapan. Masih ada. Masih ada.

Aku mentalqinkan Tante melalui telinga kirinya. Terus menerus membaca syahadat sambil menatap kedua mata Tante yang kulihat tidak menutup penuh. Dari sisi kiri kulihat matanya berair. Aku terus membaca syahadat disamping telinga Tante. Tidak terlalu menyadari pula saat kulihat Pakde, Bude, dan Tante Neneng sudah hadir semua di ruangan.

Rupanya Mang Amri menelepon Pakde dari atas.

“Priben, Mri, kondisine? Masih koma?”

“Sudah najah!”

Saat itu juga Pakde, Bude, dan Tante Neneng berlari ke atas.

Sudah berlalu sepuluh menit. Perawat bergantian melakukan resuscitation. Kupikir profesi perawat sungguh luar biasa. Aku yang melihatnya saja bisa mengatakan kalau melakukan resuscitation pasti memakan banyak tenaga, apalagi yang melakukannya langsung.

Aku yang sedang membaca talqin di samping Tante diminta bergeser sejenak karena dokter sudah datang, hendak memeriksa Tante. Perawat masih terus melakukan resuscitation. Aku memperhatikan monitor, angka tensi-nya rendah sekali.

Seorang perawat mengingatkanku untuk menghubungi Om Heri. Sejak dari resuscitation pertama aku sudah menelepon Om dan memintanya segera ke RS. Kali ini aku meneleponnya lagi. Tidak ada jawaban.

Aku kembali membacakan talqin di telinga Tante. Bude sudah menangis. Tante Neneng menangis. Teman-teman perawat semakin banyak yang datang, juga menangis. Kudengar seorang perawat meminta temannya mengambilkan tissue dari atas meja jaga. Kejauhan. Aku punya tissue di dalam tas lengan yang sejak tadi selalu kubawa. Kukeluarkan tissue dan kutawarkan padanya. Kupikir ia hendak mengunakan tissue tersebut untuk melakukan tindakan medis. Ia justru menggeleng. Teman perawat yang tadi diminta tolong mengambil tissue sudah kembali dan menyerahkan tissue-nya padaku. Rupanya aku juga menangis. Aku terus membaca talqin dan tidak sadar kalau air mataku banyak sekali keluar.

Sudah berlalu dua puluh menit. Dokter mengatakan kalau sudah lewat dua puluh menit resuscitation tidak ada perubahan, biasanya sudah sulit untuk kembali.

Perawat masih melakukan resuscitation. Kini bergantian lagi.

Seorang teman perawat menanyakan lagi dimana posisi Om Heri.

“Kasihan euy, eta nungguin suaminya mereun.”  

Aku menelepon Om lagi. Tidak diangkat.



“Sudah, jangan ditelepon lagi. Udah di jalan mereun. Kalau ditelepon terus malah panik nanti. Bahaya,” kata teman yang lain lagi.

Handphone-pun kumatikan. Aku jadi mengkhawatirkan Om yang sedang menuju ke sini. Aku ingin menjemputnya di bawah, tapi aku berat meninggalkan Tante. Aku ingin jadi orang yang sangat dekat dengan Tante di saat-saat terakhirnya. Aku tidak mau Tante pergi sementara aku tidak ada di sini. Tapi kalau memang benar Tante menunggu Om, maka aku pasti masih sempat membaca talqin di saat paling akhir.

Aku memutuskan ke luar ICU, turun ke ruang tunggu dan keluar menuju koridor utama. Menunggu Om datang dari arah parkir. Satu menit rasanya berjalan sangat lambat. Aku ingin segera kembali ke atas. Tapi aku harus menunggu Om. Aku berjalan gelisah menuju lobi, lebih dekat ke tempat parkir. Kenapa Om belum juga muncul?

Pikiranku terpusat di ruang ICU. Aku menelepon Pakde.

“Pakde, gimana Tante?”

“Sudah selesai, Teh.”

Apa???

Bukankah Tante menunggu Om datang?

Aku berlari cepat kembali ke atas. Berpapasan dengan Pakde, Bude, Tante Neneng, dan Mang Amri yang berjalan menuruni tangga dengan lunglai.

“Sudah selesai, Teh.”

Tidak kugubris. Aku tetap berlari ke atas, membuka engsel pintu ICU dan masuk ke dalamnya. Suasana sunyi, sama seperti ketika aku datang di awal pada pukul 20.00 tadi. Hanya tinggal beberapa perawat yang berlalu lalang di tengah ruangan. Kulihat dua perawat yang ada di tepi ranjang Tante, hendak membungkus Tante menggunakan seprai putih. Semua kabel dan peralatan sudah dicabut. Semua angka di monitor sudah kosong.

Aku tidak mendekati Tante. Hanya berdiri di samping tirai pembatas. Di sebelahku berdiri seorang kepala perawat jaga yang berkoordinasi denganku sewaktu mengurus kamar rawat ke RSCM dua hari lalu. Sebenarnya malam ini bukan jadwalnya bertugas, namun ia datang. Aku tahu beliau dikabari dan langsung menuju ke sini. Masih dengan mengenakan kaos di balik baju khusus masuk ICU-nya.

“Yang sabar ya, Mbak,” ujarnya sambil menepuk pundak.

“Terima kasih.”

Aku tahu saat itu aku tidak bisa menangis. Aku baru akan menangis dua atau tiga hari setelah ini.

Aku sedang mencium kedua mata Tante sebelum Tante benar-benar terbungkus seprai saat Om Heri datang. Teman-teman perawat dari Ruang Seruni menyambutnya dengan tangis dan berbagai ucapan belasungkawa. Om tampak tegar, meski matanya terlihat sangat kuyu.

Aku meninggalkan ruang ICU. Bersiap-siap di bawah untuk mengantar Tante yang akan dibawa melalui pintu yang lain. Om memutuskan untuk memandikan dan menyalatkan Tante di rumah, esok hari. Tante akan dimakamkan di pemakaman umum Kebon Pedes, dekat rumah mertuanya.

Om dan Mang Amri duduk di depan, samping supir. Aku duduk sendiri di ambulans bagian belakang, menemani Tante. Sebenarnya aku sangat lelah, juga sedih. Tapi masih sempat-sempatnya aku berpikir, “Kalau ini bukan Tante, aku pasti ngeri duduk di sini.”

Aku menatap dan memegangi keranda di depanku. Sesekali ia bergoyang karena ambulans menaikkan kecepatan atau mengerem. Dalam perjalanan aku menyadari satu hal. Kenapa Tante sudah pergi sebelum Om tiba di ICU? Tante bukan menunggu Om, baru pergi. Tante menungguku keluar dari ruang ICU, baru pergi. Rasanya aku memang tidak diizinkan melihat secara langsung saat-saat kritis Tante sejak awal. Ini skenario dari Allah. Allah tidak ingin kondisi Tante saat memburuk, juga saat benar-benar menjemput ajalnya,  terekam selamanya dalam kepalaku. Aku memiliki ingatan pengalaman yang sangat kuat sejak kecil. Kupikir Allah menjagaku dari ingatan klimaks yang mungkin akan membuatku lemah. Ya, pasti begitu.

Sesampainya di Pacilong (gang rumahnya Ummi -ibu mertua Tante-), para tetangga sudah berkumpul. Bendera kuning sudah terpasang di gapura depan gang. Kulihat Anwar menangis, sementara Faisal sudah tertidur sebelum mengetahui kabar tentang Tante.

Mang Amri tinggal, sedangkan aku kembali ke RS bersama supir Ambulans, membereskan barang-barang di ruang tunggu untuk kubawa pulang. Supir ambulans bercerita bahwa Tante adalah seorang yang baik. Ia seorang supir senior yang juga sudah bekerja cukup lama untuk PMI, satu atau dua tahun setelah Tante masuk sebagai perawat tahun 1990. Satu orang lagi yang kuketahui merasakan kebaikan Tante, padahal jelas mereka berbeda divisi pekerjaan. Saat membereskan barang-barang dan memasukannya ke mobil Om Slamet yang menjemput kami dari Depok, dua orang satpam juga menyampaikan perihal yang sama begitu mereka tahu Suster Ayati yang meninggal. Mereka juga mengenal Tante sebagai orang yang baik.

Allahu Rabbi, betapa banyak yang tidak kuketahui tentang Tante. Aku hanya kenal Tante yang cerewet dan suka menyuruh-nyuruhku menyapu dan mengepel rumah, tapi sering juga membuatku gembira karena Tante suka jajan eskrim atau es bon-bon dan mengajakku makan bersama.  Sebagai perawat senior di PMI, Tante adalah perawat yang tidak pernah naik jabatan, sementara teman-teman seangkatannya dulu sudah meningkat karirnya kemana-mana. Ada yang jadi kepala ruangan, kepala perawat, pindah ke divisi yang lebih tinggi, atau pindah ke rumah sakit yang lebih bergengsi. Tapi tidak dengan Tante. Tante yang hanya lulusan SPK, sekolah pendidikan keperawatan setingkat SMA, tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya setelah bekerja karena alasan kesehatan. Kondisi mata Tante tidak memungkinkannya untuk mengambil gelar yang lebih tinggi yang menjadi persyaratan pegawai untuk naik level atau jabatan. Tapi Tante tidak pernah mengeluh tertinggal karir dari teman-temannya, pun merasa iri atau cemburu. Tante tetap bekerja dengan baik di ruang perawatan ibu pasca melahirkan, Ruang Seruni.

Esok harinya saat banyak para pelayat yang berkunjung, aku pun mendengar hal serupa dari para pejabat PMI. Wakil direktur hadir mewakili direktur yang tidak bisa datang melayat. Kepala perawat dan kepala bagian SDM pun datang sejak pagi turut menyalatkan dan menguburkan. Beberapa dokter senior dan dokter kepala bagian (aku tidak hafal bagian mana saja) juga datang. Hampir setiap ruangan mengirimkan perwakilannya, baik perawat yang sedang bertugas maupun tidak. Ruang Seruni, ICU, NICU, Anyelir, Cempaka, bagian dapur, dan lain-lain. Mereka mengatakan Tante adalah orang yang baik. Saat bekerja Tante tidak banyak bicara, tetapi pekerjaannya selesai. Tante tidak banyak menuntut macam-macam atau pun mengeluhkan hak-nya sebagai pegawai. Tante begini.. tante begitu... aku mendengar dari orang-orang.

***

Malam itu setelah aku menaruh kasur lipat dan barang-barang lainnya di rumah, aku kembali ke Pacilong sekalian mengantar Om Slamet dan Tante Yanti yang hendak takziah. Pakde, bude, dan Tante Neneng berisitirahat di Sindang Barang. Tante dibaringkan di ruang tengah. Di samping kanannya duduk Ummi yang terlihat sangat sedih. Di samping kiri tampak Om Heri yang berbaring di samping Tante, berbalut selimut. Om demam, menggigil dan mengigau tidak jelas. Aku mencarikan Om obat penurun panas dan memintanya tidur di kamar saja, tidak di lantai. Om menurut.

Akhirnya aku dan Ummi yang malam itu tidur di samping Tante. Ummi di samping kanan, aku di samping kiri, menempati posisi Om sebelumnya. Aku sungguh lelah dan butuh berbaring. Aku memeluk lengan Tante yang sudah tertangkup di dada dan terbungkus seprai putih. Antara sadar dan tidak, aku berharap bahwa apa yang kugenggam masih berdenyut. Kilasan dan segala ingatan tentang Tante berputar seperti kaset rusak saat aku hampir terlelap. Tante orang pertama yang mengajakku ke Kebun Raya Bogor. Tante yang mengajakku makan di A&W. Tante yang membelikanku pizza. Tante yang sering membawaku ikut bekerja dengannya, sementara aku bermain-main di ruangan. Tante yang mengajakku jalan-jalan ke pantai saat karyawisata pegawai. Tante yang penggemar Ladi Di dan menempel posternya banyak sekali di lemari. Tante yang menyukai es krim. Tante yang ulekan sambel terasinya enak sekali.

Tante.... selamat jalan. Selamat memasuki fase kehidupan selanjutnya. Engkau mengingatkanku untuk menjadi istri yang sholihah. Kau tentu tahu, aku orang yang egois dan banyak maunya. Sulit diatur. Keras kepala. Melihatmu membantuku untuk melunakkan hati. Menyadarkanku kembali tentang arti berbagi. Semoga Allah Swt mengampuni segala dosamu, dan menyiapkan untukmu sebuah rumah terindah di surgaNya. Menghadiahkan kehidupan terbaik atas kesabaranmu menjalani kehidupan ini.

“Sesungguhnya kita adalah milik-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.”

-THE END-



-catatan 31 Maret 2014-