“Dan kesejahteraan bagi dirinya pada hari lahirnya, pada hari wafatnya, dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” (QS Maryam: 15)
30/01/14
Hari Kamis aku baru bisa kembali ke PMI sore hari. Malam Kamis hingga Kamis pagi Om Heri yang berjaga, siang harinya Tante Neneng dari Losari-Cirebon sudah datang dan bergantian jaga. Mang Amri juga kabarnya akan datang malam hari naik kereta sore. Aku mengurus beberapa urusan rumah tangga dulu: memasak, mencuci pakaian kotor yang terbengkalai beberapa hari, dan harus mengurus kawat gigi yang sudah terlampau kadaluarsa jadwal kontrolnya ini. Sudah tiga bulan tidak kontrol. Ketidaknyamanan saat mengunyah makanan sudah tidak tertolerir lagi.
Dua malam ke depan kuniatkan untuk menginap di ‘akuarium besar itu’ bersama Tante Neneng dan Mang Amri, kedua adik Tante Yayu yang berdomisili di Cirebon. Om Heri biar istirahat penuh di rumah memulihkan kondisinya.
Mendapat cerita dari Tante Neneng bahwa kondisi Tante Yayu seharian itu relatif baik, meskipun tekanan darah masih tinggi, agak membuatku tenang. Tante Yayu bisa mengobrol dengan Tante Neneng cukup lama di siang hari. Katanya Tante ingin bertemu Bapak (kakekku). Katanya lagi Tante bermimpi bertemu Mimi (almarhumah nenekku). Tante minta diajak pergi, ingin ikut dengan Mimi, tapi oleh Mimi tidak boleh. Tante Neneng menjawab bahwa Bapak tidak memungkinkan lagi untuk perjalanan jauh, apalagi dengan transportasi umum. Bapak sudah agak susah untuk berjalan. Tapi Mang Amri akan datang, Mas Nono dan Mbak Yuyun dari Cirebon juga akan menyusul esok harinya. Artinya semua saudara akan datang. Kupikir Tante sedikit terhibur mendengarnya.
Tante adalah anak ke-4 dari 6 bersaudara. Anak pertama adalah Wa’ Pendi. Sudah meninggal karena serangan jantung pada tahun 2001 silam. Anak kedua adalah Pakde Nono. Anak ketiga adalah ayahku. Anak keempat adalah Tante. Anak kelima Tante Neneng, dan terakhir adalah Mang Amri. Diantara enam bersaudara, hanya ayah dan Tante Yayu yang berdomisili di luar kampung halaman mereka.
Aku tidak menjenguk masuk ke ruang ICU hari ini, hanya melihat Tante yang sedang terlelap dari jendela. Aku sudah mengabari perawat jaga terkait hasil kunjunganku ke RSCM. Tante juga langsung kuberitahu kemarin malam sepulang aku dari Jakarta. Kondisi Tante tidak memungkinkan untuk dibawa MRI ke Jakarta tanpa ada kejelasan rawat inap, akan sangat berisiko bahkan dalam perjalanannya saja, kata perawat.
Mang Amri datang sekitar pukul 9 malam. Setelah saling bersapa di ruang tunggu, Mang Amri langsung naik ke ruang ICU hendak menjenguk Tante. Sudah dikunci. Jam besuk pun sudah habis sehingga melihat dari jendela saja tidak bisa. Mang Amri kembali turun, tampak kecewa. Kukatakan padanya jika tidak ada panggilan, maka kondisi Tante insya Allah baik. Selain mengobrol dengan Tante Neneng, Tante banyak tertidur seharian ini.
Akhirnya Mang Amri ikut duduk melingkar di atas kasur lipat bersama aku dan Tante Neneng. Kami makan malam bersama. Nasi bungkus dan ayam bakar yang dibawa Mang Amri dari stasiun. Setelah mengobrol panjang bertiga hingga larut, kami pun tidur membentuk shaf agar muat kasur lipat untuk bertiga. Aku tentu saja kebagian tidur di pinggir. Tidak boleh di tengah. Bisa-bisa aku terjepit dan tanpa kusadari badan ini menipis ketika bangun karena berada diantara dua tubuh besar paman dan bibiku ^^”.
Ini pertama kalinya aku bermalam di ruang tunggu ICU. Bersama para keluarga penunggu pasien lainnya. Rasanya seperti sedang tidur di barak peperangan. Aku mencoba terlelap meski rasanya sulit. Tidak lama hujan deras turun lagi, setelah sebelumnya sempat reda. Bunyi hujan dan aroma rumput basah yang masuk melalui sela-sela jendela membuatku lebih tenang. Aku tidak sendirian.
Dalam doa, harap, dan cemas, aku pun pergi menari dengan gelombang alfa, beta, dan akhirnya sampai pada gelombang delta (baca: tidur pulas).
31/01/14
Pagi hari aku menjenguk Tante Yayu ke atas, selepas perawat selesai memandikan dan beres-beres. Tante masih tertidur pulas. Aku melihat mesin ATM di atas kiri ranjang Tante. Salah, bukan mesin ATM, tapi mesin monitor –aku tak tahu namanya- pemantau kondisi pasien. Tekanan darah Tante masih tinggi, 165. Hmm... ada empat baris angka, aku tidak tahu persis angka apa saja. Berapa kadar gula darah Tante sekarang?
Siang hari tekanan darah Tante menurun, 148. EKG 130. Oksigen oke, tapi dari fisik Tante kuperhatikan nafasnya bersuara, mungkin tertahan lendir. Aku berharap kondisinya membaik. Kalau dinilai cukup kuat, Tante bisa dibawa ke RSCM untuk MRI, meskipun tidak mendapatkan kamar rawat.
Pakde Nono dan Bude Yuyun datang bersama Om Slamet dan Tante Yanti, sepupu ayah dari pihak ibu. Rupanya kereta malam Pakde datang lebih cepat di Jatinegara, meskipun keberangkatannya terlambat dari Cirebon (kok, bisa yah?). Pakde tiba sekitar subuh dan transit di Cijantung, lalu dijemput oleh Om Slamet yang berdomisili di Depok.
Pakde dan Bude segera menjenguk Tante ke atas, sayang saat ini jam besuk dan pintu ICU dikunci. Artinya kami tidak bisa masuk dan hanya bisa melihat dari kaca jendela. Tante masih tampak tertidur. Kami tidak berlama-lama di atas. Setelah melihat kondisi Tante, mengobrol dengan beberapa keluarga lain yang juga sedang menjenguk keluarganya melalui jendela, kami pun turun dan melanjutkan obrolan di bawah. Beberapa kali kami berdiskusi membuat alternatif solusi jika Tante sembuh nanti. Apakah tetap di Bogor? Atau bagaimana kalau pulang ke Losari-Cirebon saja?
Bukankah itu keinginan Tante sejak lama? Kupikir Tante harus pensiun dini. Yang pasti semua saudara harus bertekad untuk mendukung dan menyokong Tante juga anak-anak. Om harus dimotivasi untuk mencari kerja dan berpenghasilan. Sudah seperti ini, Tante tidak boleh lagi jadi tulang punggung keluarga. Tante perlu istirahat. Atau bagaimana jika kondisi ini disampaikan juga kepada keluarga besar di level Bani Suryadi? –level pohon keluarga empat tingkat di atasku alias kakek buyutnya ayah- Bukankah saat halal bihalal lebaran kemarin salah seorang cicit (alias paman sepupuku) mempresentasikan program keluarga untuk membuat semacam lembaga zakat-infaq-sodaqoh yang terorganisasi? Tentunya ide ini selain bermanfaat menyalurkan dana yang lebih besar, juga berpotensi untuk subsidi silang kepada anggota keluarga yang memerlukan. Hmm... aku tidak tahu bagaimana realisasi programnya karena ide ini diusulkan oleh ‘ring tiga’, sementara posisiku berada di 'ring empat'. Aku meminta pendapat Mang Amri dalam hal ini, karena Mang Amri cukup dekat dengan paman sepupuku. Ia menyetujuinya. Begitupun dengan Tante Neneng, Pakde, dan Bude.
Menjelang Ashar, kami menyudahi obrolan. Aku, Tante Neneng, dan Bude Yuyun memutuskan untuk pulang ke Sindang Barang dan beristirahat di rumah. Malam ini Mang Amri dan Pakde Nono yang akan menginap di ICU. Om Heri kami minta istirahat di rumah saja, memulihkan kondisi untuk persiapan menginap lagi hari-hari esok. Biar akhir pekan ini kami yang bergantian menjaga penuh Tante. Besok pagi Ayah juga sudah pulang dari Garut dan akan langsung menuju ke RS. Malam Minggu besok giliran Ayah dan Mama yang menjaga Tante.
Kami bertiga keluar RS menuju jalan besar untuk naik angkot. Jalanan masih becek di sana-sini meskipun hujan sudah reda. Beberapa kali aku melompati air bekas hujan yang tergenang di coakan jalan yang rusak atau akibat permukaan jalan yang tidak rata. Selalu klasik melalui jalan utama RS PMI yang dibatasi pohon-pohon kenari besar di sisi kiri dan kanannya. Pohon-pohon sejajar ini membentuk dinding koridor layaknya pergola. Megah. Sejuk.
Begitu tiba di rumah, aku menyiapkan kamar untuk Tante dan Bude beristirahat. Aku hendak mengambil handuk untuk mandi saat telepon selular Bude berbunyi. Keluarga Ibu Ayati dipanggil ke ruang ICU!
Suara pakde terdengar panik di telepon, kondisi Tante Yayu memburuk. Pihak RS meminta persetujuan keluarga untuk pasang ventilator. Pakde meminta kami segera kembali ke RS.
Lagi. Seperti waktu itu. Kondisi Tante memburuk saat aku meninggalkan RS dan berpikir akan baik-baik saja. Tubuhku mulai letih. Aku berkata pada Bude untuk mandi sebentar menyegarkan badan. Setelahnya, kami segera keluar rumah dan berangkat menuju RS.
Kali ini hujan turun lagi. Dalam perjalanan di angkot hujan turun semakin deras. Kami bingung karena hanya memiliki satu payung untuk dipakai bertiga. Akhirnya kami meminta tolong supir angkot untuk mengantar kami sampai di depan pintu RS. Kami bergegas turun masuk ke lobi, setelah membayar ongkos supir yang baik hati.
Kami melihat Pakde dan Mang Amri duduk dengan wajah pias di ruang tunggu. Tampak Om Heri dan anak-anak juga duduk di atas tikar. Aku menanyakan kondisi Tante. Pakde hanya berkata kondisinya menurun dan sudah harus dipasang ventilator, selang yang dimasukkan melalui mulut untuk mengalirkan oksigen langsung ke paru-paru sebagai pendukung proses oksigenisasi. Kalau selang ini sudah dipasang, status Tante berarti sudah gagal nafas.
Ayah meneleponku. Rupanya Pakde sudah mengabari Ayah lebih dulu. Sekarang sedang dalam perjalanan pulang dari Garut, katanya. Ayah memintaku untuk menanyakan lebih detail kepada kepala perawat ruangan. Jika ini sudah tanda-tanda, minta izin untuk keluarga bisa mendampingi dibacakan QS.Yaasin dan talqin sepanjang malam ini. Berganti-gantian.
Tanda-tanda. Secepat inikah?
Aku segera naik ke ruang ICU. Pintu tidak dikunci sehingga aku bisa langsung masuk. Ruangan berkesan sunyi, seperti biasa. Kulihat seorang perawat melintas, tapi tampak sibuk. Aku diam di tengah ruangan, sampai seorang perawat lain menanyakan maksud kehadiranku. Kukatakan ingin menanyakan kondisi Bu Ayati. Aku tahu harus menunggu karena kulihat sendiri beberapa perawat ICU berbaju hijau sedang mengurus Tante memasang selang.
Aku duduk di kursi pada bilik pembatas antara ruang rawat dengan pintu keluar. Mengambil handphone dan mengubahnya menjadi mode ‘silent’ agar tidak mengganggu pasien lainnya di dalam ruangan. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Aku memainkan kalender meja bertuliskan macam-macam kata-kata positif sebagai budaya kerja medis, disamping tanggalan Tahun 2014 tentunya. Satu-satunya benda yang ada di atas meja di hadapanku. Sudah dua kali aku membolak-balik kalender, tindakan terhadap Tante belum juga usai.
Pukul 20.00
Kepala perawat jaga menghampiriku sambil melepaskan maskernya. Ia mempersilakanku bertanya semua yang ingin diketahui pihak keluarga dan berjanji akan berusaha menjelaskannya sebaik mungkin. Ventilator sudah terpasang pada Tante karena statusnya sudah pada tahap gagal nafas GCS 1+2+1. Saat ini sedang diambil AGD-nya (gas dalam darah). Tekanan darah sebelumnya sempat nge-drop sampai 70/40, sekarang sudah naik lagi menjadi 110/117. Kondisi sudah sampai pada tahap somnolen 4 (aku lupa ini artinya apa). Gula darah 339. Kesimpulannya, saat ini Tante dalam kondisi koma.
Aku meminta izin padanya agar pihak keluarga bisa menemani disamping Tante secara bergantian. Kepala perawat jaga justru berkata, “Oh, silakan, silakan. Barusan saya juga ingin menyarankan begitu. Kalau misalkan semua ingin masuk, silakan. Kita kan tahu bahwa pendengaran adalah indera yang paling awal berfungsi dan paling akhir masih bisa aktif. Walaupun kondisi Bu Ayati sudah sulit bergerak, sulit melihat, atau merespon, insya Allah beliau masih bisa mendengar suara keluarganya yang hadir. Kami disini juga berusaha semaksimal mungkin. Namun, kami tidak ingin ada penyesalan. Jangan sampai jika memang ini sudah saatnya, namun keluarga tidak berada disampingnya. Kalau bisa anak-anaknya juga masuk. Berapa usia anak-anaknya?”
“Enam tahun dan delapan tahun. Apa tidak apa-apa?”
“Waduh, masih kecil sekali, ya?”
Anak kecil tentu saja tidak boleh masuk ICU. Mungkin kali ini pengecualian.
“Tidak apa-apa. Didampingi saja.”
Dan oh, baru saja setengah jam yang lalu Om Heri pulang untuk mengantar anak-anak.
Aku buru-buru turun ke ruang tunggu dan mengabari Pakde-Bude, Mang Amri, juga Tante Neneng. Aku menelepon Om Heri, mengabarkan bahwa Anwar dan Faisal diperbolehkan masuk ICU. Anak-anak sudah sampai dirumah, sudah mengantuk, tidak mungkin kembali lagi ke RS.
“Jangan tidur dulu. Nanti Anwar bicara sama Mama lewat telepon, ya. Nanti Teteh loudspeaker supaya Mama bisa dengar.”
Kami mengatur giliran Yaasin-an dan talqin di atas, sementara yang lainnya bisa istirahat di bawah. Setiap setengah jam bergantian agar tidak lelah berdiri. Aku meminta giliran pertama. Mang Amri menemaniku. Ia ingin berjaga semalaman, katanya.
Pukul 21.05
Masuk ke ICU di atas, aku sudah dibuat kaget terlebih dahulu karena ternyata ranjang tempat Tante berbaring sudah penuh dikelilingi teman-teman perawat berbaju putih dari ruangan yang lain. Paling banyak dari Ruang Seruni. Rupanya perawat jaga ICU sudah mengabari ruang lainnya. Para perawat masuk melalui pintu khusus pasien dan staf medis yang posisinya berlawanan dengan pintu untuk para pembesuk. Beberapa diantara mereka sudah mulai membaca Yaasin. Aku memintanya berhenti sejenak untuk menelepon Anwar -Faisal dan mengarahkan handphone ke dekat Tante.
“Mama. Ini Anwar. Mama cepet sembuh yaa... Mama, Anwar sayang Mama.”
Rupanya itulah kalimat terakhir Anwar untuk Tante. Kuyakin Tante mendengarnya.
Aku mulai membaca Yaasin di sisi kiri ranjang. Belum sepuluh menit aku membaca, tiba-tiba perawat teman Tante yang sebelumnya juga mengaji di sebelahku pergi ke meja perawat jaga. Tidak lama kepala perawat jaga dan seorang perawat berbaju hijau lainnya berlari ke arah ranjang Tante sambil membawa semacam papan dan ambu oksigen. Aku bingung. Segera kulihat monitor diatas ranjang Tante. Garisnya lurus.
Kepala perawat jaga langsung memasukkan papan ke bawah punggung. Ia naik ke atas ranjang, berlutut di sisi kanan dan melakukan resuscitation. Perawat lainnya mengatupkan ambu ke hidung dan mulut. Angka-angka di monitor masih bergerak walaupun posisi garis belum berubah. Masih ada harapan. Masih ada. Masih ada.
Aku mentalqinkan Tante melalui telinga kirinya. Terus menerus membaca syahadat sambil menatap kedua mata Tante yang kulihat tidak menutup penuh. Dari sisi kiri kulihat matanya berair. Aku terus membaca syahadat disamping telinga Tante. Tidak terlalu menyadari pula saat kulihat Pakde, Bude, dan Tante Neneng sudah hadir semua di ruangan.
Rupanya Mang Amri menelepon Pakde dari atas.
“Priben, Mri, kondisine? Masih koma?”
“Sudah najah!”
Saat itu juga Pakde, Bude, dan Tante Neneng berlari ke atas.
Sudah berlalu sepuluh menit. Perawat bergantian melakukan resuscitation. Kupikir profesi perawat sungguh luar biasa. Aku yang melihatnya saja bisa mengatakan kalau melakukan resuscitation pasti memakan banyak tenaga, apalagi yang melakukannya langsung.
Aku yang sedang membaca talqin di samping Tante diminta bergeser sejenak karena dokter sudah datang, hendak memeriksa Tante. Perawat masih terus melakukan resuscitation. Aku memperhatikan monitor, angka tensi-nya rendah sekali.
Seorang perawat mengingatkanku untuk menghubungi Om Heri. Sejak dari resuscitation pertama aku sudah menelepon Om dan memintanya segera ke RS. Kali ini aku meneleponnya lagi. Tidak ada jawaban.
Aku kembali membacakan talqin di telinga Tante. Bude sudah menangis. Tante Neneng menangis. Teman-teman perawat semakin banyak yang datang, juga menangis. Kudengar seorang perawat meminta temannya mengambilkan tissue dari atas meja jaga. Kejauhan. Aku punya tissue di dalam tas lengan yang sejak tadi selalu kubawa. Kukeluarkan tissue dan kutawarkan padanya. Kupikir ia hendak mengunakan tissue tersebut untuk melakukan tindakan medis. Ia justru menggeleng. Teman perawat yang tadi diminta tolong mengambil tissue sudah kembali dan menyerahkan tissue-nya padaku. Rupanya aku juga menangis. Aku terus membaca talqin dan tidak sadar kalau air mataku banyak sekali keluar.
Sudah berlalu dua puluh menit. Dokter mengatakan kalau sudah lewat dua puluh menit resuscitation tidak ada perubahan, biasanya sudah sulit untuk kembali.
Perawat masih melakukan resuscitation. Kini bergantian lagi.
Seorang teman perawat menanyakan lagi dimana posisi Om Heri.
“Kasihan euy, eta nungguin suaminya mereun.”
Aku menelepon Om lagi. Tidak diangkat.
“Sudah, jangan ditelepon lagi. Udah di jalan mereun. Kalau ditelepon terus malah panik nanti. Bahaya,” kata teman yang lain lagi.
Handphone-pun kumatikan. Aku jadi mengkhawatirkan Om yang sedang menuju ke sini. Aku ingin menjemputnya di bawah, tapi aku berat meninggalkan Tante. Aku ingin jadi orang yang sangat dekat dengan Tante di saat-saat terakhirnya. Aku tidak mau Tante pergi sementara aku tidak ada di sini. Tapi kalau memang benar Tante menunggu Om, maka aku pasti masih sempat membaca talqin di saat paling akhir.
Aku memutuskan ke luar ICU, turun ke ruang tunggu dan keluar menuju koridor utama. Menunggu Om datang dari arah parkir. Satu menit rasanya berjalan sangat lambat. Aku ingin segera kembali ke atas. Tapi aku harus menunggu Om. Aku berjalan gelisah menuju lobi, lebih dekat ke tempat parkir. Kenapa Om belum juga muncul?
Pikiranku terpusat di ruang ICU. Aku menelepon Pakde.
“Pakde, gimana Tante?”
“Sudah selesai, Teh.”
Apa???
Bukankah Tante menunggu Om datang?
Aku berlari cepat kembali ke atas. Berpapasan dengan Pakde, Bude, Tante Neneng, dan Mang Amri yang berjalan menuruni tangga dengan lunglai.
“Sudah selesai, Teh.”
Tidak kugubris. Aku tetap berlari ke atas, membuka engsel pintu ICU dan masuk ke dalamnya. Suasana sunyi, sama seperti ketika aku datang di awal pada pukul 20.00 tadi. Hanya tinggal beberapa perawat yang berlalu lalang di tengah ruangan. Kulihat dua perawat yang ada di tepi ranjang Tante, hendak membungkus Tante menggunakan seprai putih. Semua kabel dan peralatan sudah dicabut. Semua angka di monitor sudah kosong.
Aku tidak mendekati Tante. Hanya berdiri di samping tirai pembatas. Di sebelahku berdiri seorang kepala perawat jaga yang berkoordinasi denganku sewaktu mengurus kamar rawat ke RSCM dua hari lalu. Sebenarnya malam ini bukan jadwalnya bertugas, namun ia datang. Aku tahu beliau dikabari dan langsung menuju ke sini. Masih dengan mengenakan kaos di balik baju khusus masuk ICU-nya.
“Yang sabar ya, Mbak,” ujarnya sambil menepuk pundak.
“Terima kasih.”
Aku tahu saat itu aku tidak bisa menangis. Aku baru akan menangis dua atau tiga hari setelah ini.
Aku sedang mencium kedua mata Tante sebelum Tante benar-benar terbungkus seprai saat Om Heri datang. Teman-teman perawat dari Ruang Seruni menyambutnya dengan tangis dan berbagai ucapan belasungkawa. Om tampak tegar, meski matanya terlihat sangat kuyu.
Aku meninggalkan ruang ICU. Bersiap-siap di bawah untuk mengantar Tante yang akan dibawa melalui pintu yang lain. Om memutuskan untuk memandikan dan menyalatkan Tante di rumah, esok hari. Tante akan dimakamkan di pemakaman umum Kebon Pedes, dekat rumah mertuanya.
Om dan Mang Amri duduk di depan, samping supir. Aku duduk sendiri di ambulans bagian belakang, menemani Tante. Sebenarnya aku sangat lelah, juga sedih. Tapi masih sempat-sempatnya aku berpikir, “Kalau ini bukan Tante, aku pasti ngeri duduk di sini.”
Aku menatap dan memegangi keranda di depanku. Sesekali ia bergoyang karena ambulans menaikkan kecepatan atau mengerem. Dalam perjalanan aku menyadari satu hal. Kenapa Tante sudah pergi sebelum Om tiba di ICU? Tante bukan menunggu Om, baru pergi. Tante menungguku keluar dari ruang ICU, baru pergi. Rasanya aku memang tidak diizinkan melihat secara langsung saat-saat kritis Tante sejak awal. Ini skenario dari Allah. Allah tidak ingin kondisi Tante saat memburuk, juga saat benar-benar menjemput ajalnya, terekam selamanya dalam kepalaku. Aku memiliki ingatan pengalaman yang sangat kuat sejak kecil. Kupikir Allah menjagaku dari ingatan klimaks yang mungkin akan membuatku lemah. Ya, pasti begitu.
Sesampainya di Pacilong (gang rumahnya Ummi -ibu mertua Tante-), para tetangga sudah berkumpul. Bendera kuning sudah terpasang di gapura depan gang. Kulihat Anwar menangis, sementara Faisal sudah tertidur sebelum mengetahui kabar tentang Tante.
Mang Amri tinggal, sedangkan aku kembali ke RS bersama supir Ambulans, membereskan barang-barang di ruang tunggu untuk kubawa pulang. Supir ambulans bercerita bahwa Tante adalah seorang yang baik. Ia seorang supir senior yang juga sudah bekerja cukup lama untuk PMI, satu atau dua tahun setelah Tante masuk sebagai perawat tahun 1990. Satu orang lagi yang kuketahui merasakan kebaikan Tante, padahal jelas mereka berbeda divisi pekerjaan. Saat membereskan barang-barang dan memasukannya ke mobil Om Slamet yang menjemput kami dari Depok, dua orang satpam juga menyampaikan perihal yang sama begitu mereka tahu Suster Ayati yang meninggal. Mereka juga mengenal Tante sebagai orang yang baik.
Allahu Rabbi, betapa banyak yang tidak kuketahui tentang Tante. Aku hanya kenal Tante yang cerewet dan suka menyuruh-nyuruhku menyapu dan mengepel rumah, tapi sering juga membuatku gembira karena Tante suka jajan eskrim atau es bon-bon dan mengajakku makan bersama. Sebagai perawat senior di PMI, Tante adalah perawat yang tidak pernah naik jabatan, sementara teman-teman seangkatannya dulu sudah meningkat karirnya kemana-mana. Ada yang jadi kepala ruangan, kepala perawat, pindah ke divisi yang lebih tinggi, atau pindah ke rumah sakit yang lebih bergengsi. Tapi tidak dengan Tante. Tante yang hanya lulusan SPK, sekolah pendidikan keperawatan setingkat SMA, tidak memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya setelah bekerja karena alasan kesehatan. Kondisi mata Tante tidak memungkinkannya untuk mengambil gelar yang lebih tinggi yang menjadi persyaratan pegawai untuk naik level atau jabatan. Tapi Tante tidak pernah mengeluh tertinggal karir dari teman-temannya, pun merasa iri atau cemburu. Tante tetap bekerja dengan baik di ruang perawatan ibu pasca melahirkan, Ruang Seruni.
Esok harinya saat banyak para pelayat yang berkunjung, aku pun mendengar hal serupa dari para pejabat PMI. Wakil direktur hadir mewakili direktur yang tidak bisa datang melayat. Kepala perawat dan kepala bagian SDM pun datang sejak pagi turut menyalatkan dan menguburkan. Beberapa dokter senior dan dokter kepala bagian (aku tidak hafal bagian mana saja) juga datang. Hampir setiap ruangan mengirimkan perwakilannya, baik perawat yang sedang bertugas maupun tidak. Ruang Seruni, ICU, NICU, Anyelir, Cempaka, bagian dapur, dan lain-lain. Mereka mengatakan Tante adalah orang yang baik. Saat bekerja Tante tidak banyak bicara, tetapi pekerjaannya selesai. Tante tidak banyak menuntut macam-macam atau pun mengeluhkan hak-nya sebagai pegawai. Tante begini.. tante begitu... aku mendengar dari orang-orang.
***
Malam itu setelah aku menaruh kasur lipat dan barang-barang lainnya di rumah, aku kembali ke Pacilong sekalian mengantar Om Slamet dan Tante Yanti yang hendak takziah. Pakde, bude, dan Tante Neneng berisitirahat di Sindang Barang. Tante dibaringkan di ruang tengah. Di samping kanannya duduk Ummi yang terlihat sangat sedih. Di samping kiri tampak Om Heri yang berbaring di samping Tante, berbalut selimut. Om demam, menggigil dan mengigau tidak jelas. Aku mencarikan Om obat penurun panas dan memintanya tidur di kamar saja, tidak di lantai. Om menurut.
Akhirnya aku dan Ummi yang malam itu tidur di samping Tante. Ummi di samping kanan, aku di samping kiri, menempati posisi Om sebelumnya. Aku sungguh lelah dan butuh berbaring. Aku memeluk lengan Tante yang sudah tertangkup di dada dan terbungkus seprai putih. Antara sadar dan tidak, aku berharap bahwa apa yang kugenggam masih berdenyut. Kilasan dan segala ingatan tentang Tante berputar seperti kaset rusak saat aku hampir terlelap. Tante orang pertama yang mengajakku ke Kebun Raya Bogor. Tante yang mengajakku makan di A&W. Tante yang membelikanku pizza. Tante yang sering membawaku ikut bekerja dengannya, sementara aku bermain-main di ruangan. Tante yang mengajakku jalan-jalan ke pantai saat karyawisata pegawai. Tante yang penggemar Ladi Di dan menempel posternya banyak sekali di lemari. Tante yang menyukai es krim. Tante yang ulekan sambel terasinya enak sekali.
Tante.... selamat jalan. Selamat memasuki fase kehidupan selanjutnya. Engkau mengingatkanku untuk menjadi istri yang sholihah. Kau tentu tahu, aku orang yang egois dan banyak maunya. Sulit diatur. Keras kepala. Melihatmu membantuku untuk melunakkan hati. Menyadarkanku kembali tentang arti berbagi. Semoga Allah Swt mengampuni segala dosamu, dan menyiapkan untukmu sebuah rumah terindah di surgaNya. Menghadiahkan kehidupan terbaik atas kesabaranmu menjalani kehidupan ini.
“Sesungguhnya kita adalah milik-Nya, dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.”
-THE END-
-catatan 31 Maret 2014-