Pulang Kampung (part 2)

Rabu, 12 Februari 2020


Kampung tempat kelahiranku disebut-sebut sebagai daerah asal lahirnya Kerajaan Pakuan Pajajaran. Oleh karena itu dinamakan Kampung Urug yang berarti ‘guru’, sebutan kehormatan bagi daerah yang menjadi cikal bakal  kerajaan. Aku tidak peduli dengan kerajaan atau penetapan ketua adat pertama yang katanya disaksikan oleh Raja Inggris, Prabu Kiang Santang anaknya Prabu Siliwangi, dan Nabi Muhammad Saw. Bahkan Nabi Muhammad Saw sudah sering datang ke kampung ini, kata abah. Tanah berundak yang ada di sebelah rumah panggung adalah jalan yang selalu dilewatinya. Yang benar saja? Tidak ada jejak nabi di atas tanah, yang kulihat hanya jejak ayam-ayam milik Mang Engkon atau Mang Sarip tetangga dekat rumah. Darimana nabi bisa sampai ke sini?

Rumahku adalah bangunan terbesar di kampung ini. Orang menyebutnya bumi ageung atau rumah besar. Tepat di depan rumah terdapat sebuah rumah panggung berukuran sedang yang sering digunakan warga untuk berkumpul di hari raya atau hari khusus tertentu. Aku tidak terlalu peduli dengan cerita abah ataupun tradisi leluhur yang katanya harus aku teruskan di kemudian hari. Aku hanya suka jika banyak orang berkumpul sambil membawa hasil panen dan berbagai makanan. Selalu ada banyak anak-anak saat perayaan, dan aku memperoleh banyak teman. Kami main layang-layang sambil mengemil kudapan singkong dan jagung rebus. Setelahnya kami akan berebutan mengambil nasi kuning berbentuk tumpeng besar yang dibuat oleh ibuku dan para tetangga.

Kalau sedang bosan dan tidak ada teman aku hanya bermain sendiri. Mengajak main ayam-ayam Mang Surip, membuat sumpitan dari pelepah pohon kelapa, atau jalan-jalan keliling kampung yang hanya terdiri dari sekitar 400 rumah ini. Berkeliling kampung tidak pernah membuatku bosan. Letak kampungku yang di dataran tinggi membuat areanya tidak datar karena mengikuti kontur tanah yang berbukit-bukit. Kadang dari satu rumah ke rumah lainnya saja harus menanjak dulu, atau turun tangga satu level ke bawah. Mengelilingi setengah kampung saja sudah membuatku pegal. Belum lagi jika aku melewati rute hutan bambu atau sawah. Walaupun jalan-jalan keliling kampung hampir aku lakukan setiap pekan, selalu saja ada hal baru yang menarik buatku.

Hanya ada dua tempat yang belum pernah aku singgahi di kampung ini. Sejak kecil abah melarangku untuk mendekatinya, apalagi masuk kedalamnya. Pertama adalah hutan larangan yang terletak di sisi barat. Pernah sekali waktu aku bermain dekat hutan larangan dan hampir masuk kedalamnya karena penasaran. Belum sampai kakiku melewati jajaran pohon jati yang membatasi hutan, sudah ada orang yang meneriaki dari belakang. Sampai di rumah aku disemprot abah dengan marahnya yang mengerikan. Mengancamku untuk tidak lagi bermain dekat hutan larangan. Aku menurut. Bukan karena takut oleh hutan larangan yang terkenal mistis, tapi karena takut dimarahi abah untuk kedua kalinya.

Tempat terlarang kedua adalah sebuah bangunan kecil yang terletak tak jauh dari rumah. Hanya berjarak sekitar seratus meter membentuk satu garis lurus dengan bumi ageung. Nama bangunan itu adalah bumi alit atau rumah kecil, mengapit rumah panggung yang terletak diantaranya. Kata orang-orang, itu adalah makam leluhur Kampung Urug yang terkenal sakti, yang bahkan namanya saja dilarang untuk disebut. Bangunannya terlarang untuk dimasuki oleh siapapun, kecuali oleh ketua adat dan itupun hanya setahun sekali. Artinya abah pernah masuk kesana. Jika suatu hari nanti aku harus menggantikan abah, berarti aku bisa masuk kesana pula kelak.

Ah, siapa peduli. Aku tidak berniat untuk menjadi pengganti abah. Berminat untuk masuk ke bumi alit-pun tidak. Memang dulu aku begitu penasaran, walaupun akhirnya tidak pernah berani bandel masuk kedalamnya karena takut ketahuan abah. Tetapi sekarang tertarik untuk mendekatinya saja sudah hilang. Kalau dilihat-lihat, tidak ada yang terlalu istimewa dari bumi alit. Bentuk bangunannya hampir serupa dengan bentuk rumahku, hanya ukurannya yang lebih kecil. Makam leluhur sakti? Kalau isinya hanya makam, ini benar-benar pemborosan. Memugar bangunan hanya agar terlihat bagus dan sakral. Masih lebih baik bangunan-bangunan penyimpan beras yang ada di dekatnya. Leuit namanya.

Leuit berbentuk mirip rumah panggung yang memiliki kolong dibawahnya. Hanya saja bentuknya lebih tertutup. Tiang-tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya berasal dari rotan, dan atapnya merupakan jerami-jerami yang tersusun rapi dan membentuk rumbai. Bangunan ini digunakan oleh warga sebagai lumbung padi untuk menyimpan seluruh hasil panennya dalam masa satu kali tanam. Bangunan yang lebih artistik menurutku, dibandingkan bumi alit yang hanya berbentuk kotak dan harus dipagari hanya karena dianggap sakral.

***

“Ayahmu keturunan ke-21 dari Prabu Siliwangi? Ahaha... mana mungkin. Masa’ keturunan raja jadi pedagang sayur dan buah di pasar?”

“Sudah kuduga kamu tidak percaya. Tidak apa-apa. Aku pun hampir tidak pernah percaya kata-kata abah.”

“Ehem, aku percaya. Sebenarnya aku juga keturunan raja yang sangat terkenal.”

“Oh ya?”

(bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar