FAKSI BINTANG #1 Sempurna, Sederhana, Seimbang

Senin, 10 Februari 2020

sumber: www.thingkinggardens.co.uk


“Bin, lu dicari Ka Reza noh.”

“Ha? Nape?”

“Giliran lu jadi narsum kopdar sore ini.”

“Hee? Kata siapa? Ogah ah, lo aja.”

“Jiaah.. kagak pernah baca mading sih lu. Emang giliran lu sekarang. Ka Reza nanya lu mau bahas apa, dia moderatornya nanti sore.”

“Arrgh...beneran? bahas apa gue?”

“Yeee...makanya gua nanya. Kata Ka Reza, Bu Rieke mau ikutan kopdar. Lumayan kan, lu bisa keliatan keren. Cieee...”

“Astagfirullah... tobat lo, Gie. Argggh.... seriusan?? Bahas apa gue?”

“Apa kek, bahas skripsi lu juga boleh.”

“Ah, masa skripsi? Yang ada gue curcol itu.”

“Yaa...yang penting kan berbagi. Itu kan ilmu juga, Bin. Asal ngobrolnya gak pake banyak ngeluh aja.”

“Hmm..tunggu, gue minta es kelapa lo dulu.”

“Yee..ni anak cari ketan di balik nampan. Cari kesempatan dalam kesempitan, dasar.”

“Haha... lo kalo naro ketan di balik nampan, nempel, Gie.”

“Eeeh...jangan dihabisin. Dua ribu lima ratus ituh. Udah naik gope, heu.”

“Ya Allah Gie, lebay lo. Besok besok lo juga bakal lebih kaya dari tukang es kelapa.”

“Aamiiin.... Ya Allah...”

“ Eh iya...ngomong-ngomong lebay. Lo inget materi tentang salat dua hari lalu? Tentang fiqih salat yang sama Ustad Fathi itu?  Kalau gerakan salat nggak perlu lebay.”

“Errr...ga nyatet sih gua. Hee...”

“Eh...itu plastik, plastik. Buang di tong belakang. Kebiasaan lo, ah. Katanya cinta lingkungan.”

“Aduh, iyee ampun. Tuh, udah.
Terus, lu mau bahas fiqih salat nanti sore?”

“Tiba-tiba gue kepikiran mengaitkan materi salat kemarin itu dengan arsitektur.”

“Sepertinya menarik. Dikaitkan gimana, Bin?”

“Misalnya beberapa gerakan yang dijelaskan kemarin, Gie.
  1. Takbiratul ihram, gerakan takbir tangan selaras dengan tinggi bahu atau telinga. Ada orang yang (kebanyakan orang awam) hanya mengangkat tangan hanya sampai dada atau lebih rendah dari itu. Ada orang yang berlebihan sehingga mengangkat tangannya hingga setinggi kepala. Yang dicontohkan Nabi Saw adalah selaras dengan bahu atau dengan telinga. Santai saja, biasa saja. Jangan berlebihan.
  2. Gerakan rukuk posisi badan membentuk sudut siku-siku. Punggung hingga kepala berada pada satu garis lurus sejajar tanah. Posisi tangan berada di lutut layaknya menggenggam telur. Lengan jangan ditegangkan, karena Nabi Saw memerintahkan untuk menjauhkan lengan dari lambung. Jadi, posisi lengan idealnya juga membentuk segitiga ideal dengan punggung dan kaki, lengan agak dijauhkan sedikit. Gue pikir juga bener,  kalau posisi lengan tegang karena kita anggap itu lurus, justru sebenarnya posisi sudut akan melengkung. Jadi memang yang paling ideal adalah diregangkan sedikit, dijauhkan sedikit dari lambung.
sumber: www.adzkia.com

Dan detail-detail gerakan lainnya yang disampaikan beliau. Sempet sih gue mikir, udah sering belajar tapi kenapa tetap aja sepertinya ada yang baru dan berbeda? Nggak sedikit orang yang berpendapat ini masalah furu’iyah. Sebenarnya gue nggak terlalu tertarik tertarik di perbedaan,, yang membuat gue tertarik itu kalimat Ustad Fathi yg sering sekali berkata, “Biasa aja. jangan lebay. santai aja.”
Gue melihat energi yang lain ketika beliau berkata demikian sambil mencontohkan gerakan yang sesuai dengan Nabi Saw menurut kesepakatan ulama (baik yang diperdebatkan maupun tidak). Gue ngerasa bahkan fiqih salat-pun berkaitan dengan ilmu terapan kita, arsitektur dan penataan. Tentang kesempurnaan, tentang kesederhanaan, tentang fungsionalitas.
Lu tau kan, Gie, berapa kali gue bisa kena omelan dosen dalam sebulan tiap kali nge-draft skripsi? Berkali-kali dapat nasihat, “Orang menata itu gak usah berpikir rumit, yang logis, yang sederhana. Kalau membuat rumah saja orang pasti akan meletakkan ruang tamu di depan dan dapur di belakang. Kamu mau menempatkan ruang penerimaan (rekreasi) di mana? Pintu masuknya mana? Ruang rekreasinya di mana? Pengunjung perlu membeli tiket gak? Posisinya di mana? VIC (visitor information center)-nya di mana? Bla..bla..bla..”
Gue jadi mikir kalau ilmu menata ini sama dengan gerakan salat.”

“Menata apaan, Bin? Menata hati? Haha...”

“Ah elo...
  • Nih, pertama, sama seperti salat, dalam merencanakan, merancang, ataupun menata suatu lahan/bangunan/kota kita harus sempurna. Sempurna dalam apa? Sempurna dalam prosesnya. Mempertimbangkan elemen fisik/non fisik, bahkan sampai sosial-budaya masyarakat setempat. Dalam tahap awal surveying kelengkapan data (sesuai dengan kebutuhan) menjadi sangat penting.
  • Kedua, jangan berlebihan, berpikirlah sederhana. Dalam gerakan salat, kadang orang-orang pengajian yang ingin gerakannya tampak bagus, suka meletakkan tangannya terlalu tinggi saat gerakan bersedekap atau sujud terlalu jauh sehingga posisi kaki (antara paha dan betis) tidak siku-siku, melainkan membentuk sudut tumpul. Padahal yang sederhananya (sifat salat Nabi Saw), bersedekap itu ya di atas dada, posisi sujud selain 7 anggota badan yang menempel pada lantai, posisi telapak tangan seperti ketika takbiratul ihram, lengan dibuka, dan kaki membentuk sudut siku-siku, tidak terlalu pendek posisi sujudnya atau terlalu jauh. Proporsional. Biasa aja, tidak berlebihan. Belakangan ini kan sangat populer tuh desain-desain minimalis, model simpel tapi cantik. Dalam perancangan lanskap juga demikian. Biasanya dalam lomba-lomba gitu, juri lebih menyukai desain yang sederhana tapi memiliki konsep yang kuat. Gue pikir memang manusia pun dirancang seperti itu, lebih menyukai pada sesuatu yang mudah dimengerti dan masuk di akal. Think simply.
  • Ketiga, keseimbangan dan proporsional. Dalam perencanaan ruang suatu tapak misalnya, ruang penerimaan (welcome area) biasanya lebih besar dari ruang transisi, dan ruang utama/inti aktivitas (main area) pasti lebih besar dari welcome/transition area. Kenapa? Ya karena users akan lebih banyak beraktivitas di ruang utama untuk melakukan berbagai kegiatan. Tetapi terkadang kebutuhan ruang transisi justru lebih besar daripada ruang penerimaan. Misalnya pada kawasan Taman Nasional atau Taman Wisata Alam. Area utama biasanya memiliki kepekaan ekologi yang tinggi/rentan, sehingga tidak boleh terlalu banyak orang yang masuk. Jadi ruang transisi dan ruang pelayanan antara welcome dan main harus diperbesar untuk menampung pengunjung.
Gimana menurut, lo?”

“Gila, Bin. Lu keren banget.”

“Ga usah lebay. Gue emang keren dari dulu.”

“Gua tarik lagi ucapan gua. Haish...
Eh tapi, nanya deh. Kalo untuk desain-desain futuristik gimana? Kadang kita dituntut klien untuk berpikir inovatif, kreatif, dan ngasih ide-ide menggugah gitu. Rasanya berpikir sederhana nggak jadi hal menarik lagi kalau udah berhadapan sama klien dan pemangku kebijakan. Nah loh...”

“Desain futuritik juga harus logis kan? Harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang. Simplicity di sini bukan berarti konsep/ide desainnya “biasa-biasa” aja. Tapi bisa merupakan konsep yang unik, bahkan aneh, tapi juga tidak rumit. Umm, mungkin contohnya desain taman kota yg dibuat oleh Martha Schwartz. MS membuat desain taman, bukan taman sebenarnya, hanya ruang terbuka di tengah kota yang sangat padat mobilitasnya. Doi meriset sekitar 4000 pedestrian untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan users. Hasil desainnya hanya berupa bangku yang bentuknya meng-ular sangat panjang, tapi ternyata mampu menampung semua keinginan pengguna jalan: mereka yang ingin diskusi kelompok bisa duduk di spot lingkar bangku yang melengkung ke dalam, yang ingin privasinya aman bisa memilih spot lingkar individual. Desainnya simpel banget, tapi menjawab kebutuhan users yang sebelumnya mungkin tak terpikir. Nah...”

“Sip, Bro. Keren parah, Bro. Bu Rieke bisa minta foto bareng lu nanti sore.”

“Haha..lo yang siapin-lah, Gie. Gue kan narsum, ceritanya.”

“Bereees, haha.” 

***

0 komentar:

Posting Komentar