FAKSI BINTANG #3 Tiga Serangkai

Kamis, 20 Februari 2020




“Bin, pinjem yang nol koma satu dong.”

“Nih.”

“Eits…weits…duh duh, nyaris.”

“Itu es kelapa jangan taro di atas meja dah, Gie. Cari bahaya banget sih, ckck.”

“Hehe…biar gampang, tinggal sruput. Slurrppp… hemm, enak banget.”

“Hha…tapi kalo lo nari-nari kayak gitu tiap nangkep drawing pen gue, lama-lama tuh es bakal numpahin kalkir lo, yakin deh.”

“Jangan suka mendahului takdir gitu, Bin. Gua kan cowo paling lembut yang selalu berhati-hati.”

“Fitnah itu, cuy.”

“Haha..iya iya. Nih, taro di sini aja. Gak terlalu deket sama gambar. Sip.”

“Yeee..cuma geser lima senti doang. Bentar lagi juga tumpah beneran.”

“Lu jangan men-sugesti gua gitu, dong. Serem, ah. Gua habisin aja sekarang es-nya,” *sesaatkemudian*
“aaaakk....tidaaak...gambar guaaaa!!!!”

“Innalillah.... Gie, udah gue bilang juga. Awas, awas... bentar, tissue.. duh, lap, lap.. DePe gue, DePe gue....”

“Ya Allah Bin, DePe lu gak kenapa-napa. Kalkir guaaa...plaza bung karno guaa, hiks. Bisa dijadiin dodol gua sama eyang karno.”

“Udah, udah, bawa kalkirnya ke belakang sono. Kita gunting kalkir baru.”

“Elu sih, doain es kelapa gua tumpah. Beneran tumpah kan jadinya.”

“Hhe, sori sori. Kagak maksud gue, maaf.”

“Enggak Bin, gua yang salah emang. Harusnya gua nurutin elu. Cinta membawa petaka. Es kelapa membinasakan desain plaza yang telah kubuat penuh derita.”

“Lebay lo. Udah nih, pegang ujungnya. Gue yang gunting.”

“Ini udah pas ukurannya?”

“Udaaah... 42 x 59,4. Gue lebihin dikit doang, nanti kalau udah finishing mau digunting juga bisa.”

“Eyang, maafkan ananda. Hiks....
Omong-omong  desain Bung Karno punya lu mau dijadiin apa?”

“Hmm... mau gue ubah jadi Bung Hatta.”

“Hah?”

“Haha... enggaklah, canda. Orang jarang ada yang tau juga itu namanya Plaza Bung Karno. Signage-nya terlalu kecil, kurang representatif. Mahasiswa lebih kenal pohon pinus dibandingkan sejarah orang yang pertama kali menanam pinus itu disini.”

“Eh iya ya? Jadi Bung Karno yang menanamnya sehingga dinamakan Plaza Bung Karno?”

“Kurang tau juga sih, gue belum konfirmasi langsung ke Bung Karno soalnya. Dulu gue cuma motret pas doi lagi nyangkul tanahnya doang.”

“Hahah, ceritanya dulu lu fotografernya? Tapi kok masih hidup sekarang?”

“Awet muda gue.”

“Ah, gua tau. Lu tiap hari pasti minum formalin, kan?”

“Hahaha..bisa jadii...bisa jadiii....”

“Tiba-tiba gua jadi kepikiran. Kampus kita diresmikan langsung oleh presiden, oleh orang besar, tapi kadang kita lupa –bukan kadang- sering lupa sama jasa orang-orang besar di masa lalu. Ah, kalau gitu gua mau buat desain yang mengingatkan orang sama Eyang Karno ahh...”

“Eyang Karno? Sembarangan lo, haha. Nggak gampang tauk buat dapat julukan ‘Bung’. Panggilan terhormat itu. Elo, cucu pungutnya bukan, cucu angkat bukan, cucu kandung apalagi.”

“Sensi lu. Gua tau lu nggak suka sama eyang gua.”

“Bukan nggak suka gue, tapi... tapi gue emang lebih suka Bung Hatta, sih. Hehe.”

“Lu pasti punya cerita spesial tentang mereka. Bagi-bagi gua dong satu. Kali bisa jadi 
inspirasi.”

“Hmm... ada. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi ditambah satu sahabat lagi. Satu ‘Bung’ lagi yang membuat mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai. Ingat, tidak?”

“Lu kalau nanya siapa striker Barca dari masa ke masa gua bisa deh jawab, Bin.”

“Ah, elo mah. Pernah SD kagak, sih?”

“Kagak. Gua langsung loncat kelas jadi mahasiswa, hehe.”

“Jangan-jangan pengarang lagu Ibu Kita Kartini juga lu nggak tau?”

“Emang ibu kita sama, Bin? Punya nama masing-masing kali, bukan Kartini. Ogah gua kalo 
ternyata kita sodara sedarah. Udah buruan. Siapa ‘Bung’ satunya lagi?”

“Yaa Salam... Yaa Rabbii... ni bocah satu bikin gue pengen gigit sandal dah.”

“Sandal pahit, Bin. Janganlah, nggak tega gua. Nanti para penggemar lu bisa ngegerebek 
kosan gua kalo lu sakit.”

“Udah ah. Ceritanya sekarang gue lagi serius. Dengerin cerita gue.
Ketiga sahabat yang dikenal sebagai Tiga Serangkai itu Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Kisah persahabatan mereka itu sangat menakjubkan. Berkebalikan dengan kebanyakan orang sekarang yang bermanis-manis di depan orang lain tetapi di belakangnya mencela, mereka saling mengkritik langsung di depan orangnya walau itu sahabat mereka sendiri. Namun, di saat sulit mereka tetap saling mendukung.
Beberapa waktu lalu gue baca bukunya Rosihan Anwar yang wartawan tiga zaman itu. Kenal, nggak? Oke, pasti nggak.”

“Lu kenapa nanya kalo udah tau jawabannya?”

“Hehe, gue juga belum sempet kenalan, kok.
Jadi di buku itu beliau mengulas kejadian-kejadian yang dialami para tokoh sejarah yang jarang dibahas oleh umum. Dan gue menyimpulkan bahwa ikatan batin yang ada diantara ketiga orang tersebut bukanlah sebuah ikatan persahabatan biasa. Ketika pada tahun 1956 Bung Hatta memutuskan untuk nggak lagi menemani Bung Karno karena perbedaan prinsip politik, gue pikir ya udah. Kayak gitu aja. Bung Karno memilih paham Nasakom dengan dalih ingin menyatukan kaum nasionalis, agama, dan komunis. Sementara Bung Hatta ingin kerakyatan, politik kedaulatan rakyat, ekonomi kerakyatan. Sejak awal Bung Hatta ga pernah setuju kalo Bung Karno dekat dengan komunis. Tapi ya itu, mungkin karena faktor usia, atau sudah terlalu nyaman karena memiliki kuasa, biasanya orang jadi susah menerima pendapat orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. Merasa ga bisa lagi mengingatkan sahabatnya, Bung Hatta pun mundur.
Dulu gue pikir betapa menyebalkannya Bung Karno karena melepaskan seorang sahabat dan partner berjuang sebaik Bung Hatta. Bung Karno bahkan pernah mencemooh Bung Hatta dalam otobiografinya, mengatakan bahwa Bung Hatta orang yang kaku, tidak peka terhadap wanita, dan lain-lain. Mereka selalu saling kritik secara langsung dan terang-terangan. Tahun 1920-an Bung Karno mengkritik Bung Hatta habis-habisan sewaktu Bung Hatta ditawari untuk mengikuti pemilihan anggota perlemen Belanda. Padahal sebenarnya tanpa diingatkan pun bung Hatta tidak akan ikut berpartisipasi. Tahun 1930-an gantian Bung Hatta menegur Bung Karno waktu Bung Karno dipenjara di Sukamiskin dan meminta kepada Belanda untuk dibebaskan dengan berjanji nggak akan aktif di dunia politik lagi. Bohong banget sih, kalo Bung Karno janji ga bakal aktif di dunia politik. Tapi gue nggak suka dengan sikap manja Bung Karno yang minta dibebaskan gitu.”

“Eehh.. enak aja lu nyebut eyang gue manja?!”

“Hehe, itu persepsi gua dulu, Gie. Setiap orang selalu punya sisi positif dan sisi negatif. Gua maklum kalo Bung Karno itu gayanya perlente dan susah untuk hidup susah. Sewaktu dipenjara di Bangka bersama Bung Sjahrir saja beberapa kali meminta dibelikan baju baru ke sipir penjaganya. Dan gara-gara itu Bung Sjahrir dan Bung Karno sering sekali perang mulut. Bung Sjahrir bilang Bung Karno pengecut dan tidak punya harga diri, Bung Karno bilang kalau Sjahrir itu nggak melakukan apa-apa untuk negeri ini. Padahal Bung Sjahrir yang awal-awal memperjuangkan perdamaian melalui jalur perundingan, makanya bisa lahir Perjanjian Linggarjati sebagai hasil perundingan pertama pasca kemerdekaan. Tapi mereka itu keren. Kalau berantem dan saling menghina itu secara langsung di depan orangnya, nggak pernah sekalipun menghina di belakang. Oleh karena itu nggak satupun dari mereka yang menyimpan dendam walaupun pernah tersakiti. Tahun 1962, Bung Karno memenjarakan Bung Sjahrir, tapi di penjara Bung Sjahrir masih menitipkan pesan pada Soejatmoko dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainnya untuk segera membantu Bung Karno jika diminta tolong.”

“Kalau Bung Hatta pernah dipenjara bareng juga sama eyang gua?”

“Mereka bertiga itu dipenjara bareng, dudul, pas Agresi Militer Belanda II. Cuma yang paling sering bertengkar ya Bung Karno dan Bung Sjahrir. Kalau Bung Hatta lebih kalem, kayak gue gitu deh.”

“Azzzt.. gua tarik pertanyaan gua lagi deh.”

“Hhe. Tunggu, tunggu, dengerin endingnya dulu. Lo tau adegan apa yang paling buat gue terharu?”

“Apaan sih, kayak film Bollywood aja. Pas Bung Hatta sedang sakaratul maut mau meninggal, terus Bung Karno datang menjenguk sahabatnya, meminta maaf, lalu berbaikan. Iya, bukan? Mengharukan banget, kan?”

“Lo kayaknya bener-bener harus ikut kursus sejarah dah. Bung Karno eyang lo itu meninggal lebih dulu dari Bung Hatta. Diantara Tiga Serangkai, Bung Sjahrir yang paling cepat pergi. Doi meninggal tahun 1966, Bung Karno tahun 1970, dan Bung Hatta 1980. Kondisinya justru terbalik. Bung Hatta yang menjenguk Bung Karno saat beliau terbaring sakit di RSPAD dengan status tahanan rumah. Kebayang nggak sih, orang koleris ahli komunikasi dan negosiasi sekelas Bung Karno harus diisolasi sebagai tahanan rumah? Menurut gue, itu hukuman yang lebih menyakitkan dibandingkan berkali-kali dipenjara Belanda dulu.
Waktu itu Bung Karno masih mengenali Bung Hatta dan memanggil ‘Ji, Ta. Ta…’, hanya ucapan seperti itu yang artinya ‘kau hatta?’. Dan Bung Hatta hanya menjawab dengan mata berair sambil menggenggam tangan Bung Karno. Bagi gue, ucapan dua kata Bung Karno dan mata berkaca-kaca Bung Hatta itu memiliki lebih banyak makna dibandingkan seribu kata-kata.  Bukan para pengawal atau asisten Bung Karno yang jenguk, bukan pengikut atau rekan politik pendukungnya dulu, tetapi Bung Hatta. Sahabat yang dulu pernah dilepaskannya dan tidak didengarkan pendapatnya. Gue yakin, kalau saat itu Bung Sjahrir masih hidup, beliau juga bakal bergegas datang menjenguk Bung Karno, sama seperti Bung Hatta.
Lo tau apa hal paling penting dari persahabatan mereka?”

“Sahabat harus selalu setia. So sweet banget, sih. Pengen nangis gua inih.”

“Gue udah pernah denger ini sebelumnya, tapi gue baru bener-bener paham sekarang bahwa sahabat adalah orang yang mengatakan hal yang benar kepada kita, bukan orang yang selalu membenarkan tindakan kita. Seperti itulah persahabatan antara Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir.”

“Berarti Bin, lu harus berkata yang benar tentang gua. Membenarkan kalo gua emang ganteng, nggak sekedar pinter. “

“Gie, lo kerjain dah itu desain plaza-nya. Semua DePe gue boleh lo pake, tapi statusnya pinjaman, bukan tahanan rumah. Gue mau beli es kelapa dulu. Haus. Bye.”

“ Yaah, Bin. Biiin… gua juga mau dong pliis. Beliin gua satu ya, Bin. Punya gua yang tadi tumpah. Bintang….”


***

0 komentar:

Posting Komentar