Pulang Kampung (ending)

Kamis, 20 Februari 2020



“Aku adalah turunan Raja Adam dan Ratu Hawa. Tidak bisa dipercaya, kan?”
“Hhh...Wulan yang cantik. Semua orang juga tahu kalau dirinya adalah turunan Adam dan Hawa. Kalau kamu tidak percaya kata-kataku bilang saja tidak percaya. Aku bercerita karena kamu yang bertanya.”
“Ehehe... aku percaya, aku percaya. Kalau begitu, seharusnya kamu tahu dong, dimana Kerajaan Pajajaran dulu berdiri? Apakah di tempat istana kepresidenan sekarang?”
“Entahlah. Aku rasa bukan. Istana presiden dibangun oleh Inggris pada masa kolonial. Kudengar dari cerita abah kepada tamu-tamunya kalau letak kerajaan ada di dekat posisi Tugu Kujang. Beberapa orang yang pernah kutemui mengatakan ada bekas peninggalannya di daerah Batu Tulis. Tapi kurasa belum ada yang benar-benar menemukannya. Hampir tidak ada sisa puing-puing ataupun artefak kerajaan. Lagipula itu kan sudah lama sekali. Kalaupun ada seharusnya ia sudah terkubur sangat dalam.”
“Hei, kapan-kapan ajak aku ke tempatmu.”
“Untuk apa?”
“Ya untuk bermain. Sepertinya kampungmu itu sangat indah.”
“Hmm..tidak juga. Nanti kamu bosan lagi. Disana hanya ada sawah dan hutan, serta beberapa kolam ikan. Tidak ramai angkot seperti disini. Tidak ada toko-toko bagus apalagi mall. Di rumahku pun tidak ada televisi. Ah, juga tidak ada kompor gas. Kami masih menggunakan tungku untuk memasak dan pendaringan untuk menyimpan beras di rumah. Kalau kamu mau memasak, harus meniup-niup tungkunya dulu dengan bambu. Itu bisa membuat wajahmu hitam oleh abu.”
“Justru itu sangat menarik. Aku belum pernah memasak dengan tungku. Di rumah aku menggunakan kompor minyak. Aku harus mencobanya.”
“Kalau wajahmu jadi jelek karena abu, aku tidak mau tanggung jawab ya.”
“Tenang, aku bisa mengubahnya lagi jadi cantik dalam seketika. Cling!”
Percakapanku dengan Wulan di awal-awal perkenalan sangat cair. Aku dikenal sebagai pedagang yang galak oleh pedagang yang lain, bahkan oleh pembeli. Tetapi dia tidak takut padaku. Jika orang bertanya tentang keluargaku dan aku menyampaikannya seperti yang kusampaikan pula pada Wulan, orang akan tertawa, atau menyebutku tidak waras. Paling sederhana mereka meninggalkanku. Tapi tidak dengan Wulan. Dia justru tertarik dan bertanya lagi.
“Jadi kapan kamu mau mengajakku kesana?”
Wulan menagih janji dan mengingatkanku lagi tentang rumah, tiga bulan setelah perkenalan kami. Aku heran mengapa ada gadis yang tertarik dengan kampungku disaat aku yang berasal dari sana saja enggan untuk pulang. Ada sedikit bahagia melihat wajahnya yang selalu tampak ceria dan bersemangat. Apakah dia selalu seperti ini, bersikap baik dan mempercayai setiap orang yang ditemuinya?
“Tidak tahu. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pernah pulang.”
“Apa? Kenapa? Memangnya kamu tidak rindu rumah? Tidak rindu keluarga?”
“Aku hanya rindu ibu dan kampungku saja. Aku tidak pernah mau menjadi pengganti abah. Meneruskan cerita-cerita yang tidak masuk akal hanya untuk meraup keuntungan. Aku tidak suka hidup dengan cara seperti itu. Tidak bisa pergi kemana-mana. Sejak dinobatkan jadi ketua adat, abah hanya ada di dalam rumah, di teras atau pinggir rumah yang perginya tidak lebih dari lima meter, atau ke rumah panggung dan bumi alit. Katanya terlarang bagi ketua adat untuk bepergian. Kerjanya di rumah hanya menerima tamu, mengisap pipa di teras rumah, dan memimpin upacara panen raya atau tahun baru. Menurutku itu membosankan. Mempertahankan tradisi yang tidak masuk logika dan merasa benar memperoleh uang dari orang-orang yang mempercayai tradisi itu.”
“Bukankah tradisi dan budaya juga merupakan kekayaan bangsa kita yang paling besar? Aku rasa justru itu cara yang bagus agar keragaman budaya tradisional kita tidak hilang. Coba bayangkan kalau pemerintah tidak menetapkannya sebagai kampung adat, mungkin suatu hari nanti disana akan dibangun vila atau perumahan modern. Segala keunikan dan bangunan artistik yang kamu ceritakan itu bisa hilang. Tanah yang tadinya sawah dan hutan juga bisa berubah menjadi bangunan. Kalau keindahan alam dan budaya baik yang ada di masyarakat hilang, kan kamu juga yang rugi karena tidak bisa menikmatinya lagi.”
“Hei, kamu sepintar ini, mengapa tidak kerja di sekolah atau di kantoran saja?”
“Siapa yang mau menerima orang tanpa ijazah? Aku memang pintar. Tapi aku tidak suka kalau pintarku hanya dipakai untuk mencari uang. Aku bisa mencari uang dimana saja, tapi aku tidak suka disuruh-suruh, hehe.”
“Aku pun demikian. Bagiku hidup adalah kerja keras. Jadi jangan menyuruhku untuk bersantai di kampung dan menikmati uang yang dengan mudahnya datang dari orang-orang dan pejabat yang suka menyuap.”
“Kata siapa kalau tinggal di kampung itu tidak kerja keras? Suatu hari nanti, kamu yang harus mempertahankan tanah kelahiranmu dari ancaman orang-orang luar yang justru ingin mengambil keuntungan, kan? Aku pernah belajar waktu sekolah kalau aturan adat itu mendahului aturan pemerintah. Masyarakat kita lebih patuh pada kepercayaan adat dibandingkan peraturan tertulis. Aku rasa kampungmu itu dihargai pemerintah karena ayahmu dan warganya mampu menjaga kekayaan yang kalian punya. Alamnya, budayanya, kesederhanaannya, dan nilai-nilai baik yang diturunkan secara turun-temurun. Urusan cerita yang menurutmu tidak masuk akal itu hanya sebagian kecil, bukan? Terserah padamu mau diteruskan atau tidak. Tapi kamu sangat beruntung memiliki kampung yang punya sejarah hebat.”
***
Begitulah akhirnya. Setelah hampir empat tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini, aku kembali. Bukan hanya karena Wulan yang begitu cerdasnya membujukku, tetapi juga karena kabar yang tiba-tiba datang esok harinya. Aku sedang bersiap menutup kios saat Mang Engkon datang, mengatakan bahwa ibu sakit. Aku sadar aku bersalah pada ibuku. Ia merindukanku, seperti aku rindu padanya. Tetapi ia memahamiku melebihi siapapun. Tidak sekalipun ia memintaku pulang, bahkan saat sedang sakit. Mang Engkon yang berinisiatif pergi ke kota dan memberitahuku, tanpa sepengetahuan ibu.
Jalur menuju Kampung Urug begitu sempit, curam, dan berkelok-kelok. Meskipun jalannya sudah beraspal, akan sangat sulit untuk dua mobil jika harus berpapasan. Aku menumpang motor Mang Engkon yang datang menjemputku di perbatassan jalan raya, setelah tiga jam lamanya aku naik angkutan umum dari kota. Kerinduanku pada tanah kelahiran meluap tiba-tiba. Tebing-tebing curam yang berada di sisi jalan, sawah-sawah berteras yang hijau berkilau karena pendaran air-airnya yang terkena sinar matahari, udaranya yang sejuk tanpa polusi....
Wulan benar. Mungkin aku tidak menyukai abah dengan cerita-ceritanya yang berlebihan atau tamu-tamunya yang membuatku tidak nyaman, tetapi aku harus menjaga kampungku. Salah, aku ingin menjaga kampungku. Menjaga alamnya, menjaga orang-orangnya, menjaga nilai-nilai baik yang ada didalamnya.
Saat ini aku harus pulang untuk menengok ibu. Setelah itu aku akan kembali ke kota untuk bekerja dan mencari banyak pengalaman. Berkenalan dengan banyak orang. Mungkin juga berkeliling ke kota-kota lainnya untuk lebih banyak belajar, sebelum nanti pulang kembali dan menjaga kampung ini.
***
“Terima kasih ya, untuk nasihat baiknya.”
“Jadi kapan rencana kamu pulang kampung?”
“Tidak tahu. Nanti aku pikirkan.”
“Aku boleh ikut? Boleh ikut main kesana?”
 “Untuk apa?”
“Aku belum pernah memasak dengan tungku. Belum pernah melihat leuit. Belum pernah main sumpitan juga. Aku ingin main dengan anak-anak desa disana.”
“Kalau kamu ikut, kamu tidak boleh hanya sekedar main.”
“Kenapa?”
“Kamu akan jadi istriku nanti.”
“Eh? Eee.. aku pulang dulu, ya. Besok kita mengobrol lagi. Terima kasih jeruk-jeruknya.”
Aku pasti akan pulang. Aku akan pulang dan menjadikan Wulan sebagai pendampingku nanti.
***

0 komentar:

Posting Komentar