“Aku
adalah turunan Raja Adam dan Ratu Hawa. Tidak bisa dipercaya, kan?”
“Hhh...Wulan
yang cantik. Semua orang juga tahu kalau dirinya adalah turunan Adam dan Hawa.
Kalau kamu tidak percaya kata-kataku bilang saja tidak percaya. Aku bercerita
karena kamu yang bertanya.”
“Ehehe...
aku percaya, aku percaya. Kalau begitu, seharusnya kamu tahu dong, dimana
Kerajaan Pajajaran dulu berdiri? Apakah di tempat istana kepresidenan
sekarang?”
“Entahlah.
Aku rasa bukan. Istana presiden dibangun oleh Inggris pada masa kolonial. Kudengar
dari cerita abah kepada tamu-tamunya kalau
letak kerajaan ada di dekat posisi Tugu Kujang. Beberapa orang yang pernah
kutemui mengatakan ada bekas peninggalannya di daerah Batu Tulis. Tapi kurasa
belum ada yang benar-benar menemukannya. Hampir tidak ada sisa puing-puing
ataupun artefak kerajaan. Lagipula itu kan sudah lama sekali. Kalaupun ada
seharusnya ia sudah terkubur sangat dalam.”
“Hei,
kapan-kapan ajak aku ke tempatmu.”
“Untuk
apa?”
“Ya
untuk bermain. Sepertinya kampungmu itu sangat indah.”
“Hmm..tidak
juga. Nanti kamu bosan lagi. Disana hanya ada sawah dan hutan, serta beberapa
kolam ikan. Tidak ramai angkot seperti disini. Tidak ada toko-toko bagus
apalagi mall. Di rumahku pun tidak ada televisi. Ah, juga tidak ada kompor gas.
Kami masih menggunakan tungku untuk memasak dan pendaringan untuk menyimpan
beras di rumah. Kalau kamu mau memasak, harus meniup-niup tungkunya dulu dengan
bambu. Itu bisa membuat wajahmu hitam oleh abu.”
“Justru
itu sangat menarik. Aku belum pernah memasak dengan tungku. Di rumah aku
menggunakan kompor minyak. Aku harus mencobanya.”
“Kalau
wajahmu jadi jelek karena abu, aku tidak mau tanggung jawab ya.”
“Tenang,
aku bisa mengubahnya lagi jadi cantik dalam seketika. Cling!”
Percakapanku
dengan Wulan di awal-awal perkenalan sangat cair. Aku dikenal sebagai pedagang
yang galak oleh pedagang yang lain, bahkan oleh pembeli. Tetapi dia tidak takut
padaku. Jika orang bertanya tentang keluargaku dan aku menyampaikannya seperti
yang kusampaikan pula pada Wulan, orang akan tertawa, atau menyebutku tidak
waras. Paling sederhana mereka meninggalkanku. Tapi tidak dengan Wulan. Dia
justru tertarik dan bertanya lagi.
“Jadi
kapan kamu mau mengajakku kesana?”
Wulan
menagih janji dan mengingatkanku lagi tentang rumah, tiga bulan setelah perkenalan kami.
Aku heran mengapa ada gadis yang tertarik dengan kampungku disaat aku yang
berasal dari sana saja enggan untuk pulang. Ada sedikit bahagia melihat
wajahnya yang selalu tampak ceria dan bersemangat. Apakah dia selalu seperti
ini, bersikap baik dan mempercayai setiap orang yang ditemuinya?
“Tidak
tahu. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pernah pulang.”
“Apa?
Kenapa? Memangnya kamu tidak rindu rumah? Tidak rindu keluarga?”
“Aku
hanya rindu ibu dan kampungku saja. Aku tidak pernah mau menjadi pengganti abah. Meneruskan cerita-cerita yang
tidak masuk akal hanya untuk meraup keuntungan. Aku tidak suka hidup dengan
cara seperti itu. Tidak bisa pergi kemana-mana. Sejak dinobatkan jadi ketua
adat, abah hanya ada di dalam rumah,
di teras atau pinggir rumah yang perginya tidak lebih dari lima meter, atau ke
rumah panggung dan bumi alit. Katanya
terlarang bagi ketua adat untuk bepergian. Kerjanya di rumah hanya menerima
tamu, mengisap pipa di teras rumah, dan memimpin upacara panen raya atau tahun
baru. Menurutku itu membosankan. Mempertahankan tradisi yang tidak masuk logika
dan merasa benar memperoleh uang dari orang-orang yang mempercayai tradisi
itu.”
“Bukankah
tradisi dan budaya juga merupakan kekayaan bangsa kita yang paling besar? Aku
rasa justru itu cara yang bagus agar keragaman budaya tradisional kita tidak
hilang. Coba bayangkan kalau pemerintah tidak menetapkannya sebagai kampung
adat, mungkin suatu hari nanti disana akan dibangun vila atau perumahan modern.
Segala keunikan dan bangunan artistik yang kamu ceritakan itu bisa hilang.
Tanah yang tadinya sawah dan hutan juga bisa berubah menjadi bangunan. Kalau
keindahan alam dan budaya baik yang ada di masyarakat hilang, kan kamu juga
yang rugi karena tidak bisa menikmatinya lagi.”
“Hei,
kamu sepintar ini, mengapa tidak kerja di sekolah atau di kantoran saja?”
“Siapa
yang mau menerima orang tanpa ijazah? Aku memang pintar. Tapi aku tidak suka
kalau pintarku hanya dipakai untuk mencari uang. Aku bisa mencari uang dimana
saja, tapi aku tidak suka disuruh-suruh, hehe.”
“Aku
pun demikian. Bagiku hidup adalah kerja keras. Jadi jangan menyuruhku untuk
bersantai di kampung dan menikmati uang yang dengan mudahnya datang dari
orang-orang dan pejabat yang suka menyuap.”
“Kata
siapa kalau tinggal di kampung itu tidak kerja keras? Suatu hari nanti, kamu
yang harus mempertahankan tanah kelahiranmu dari ancaman orang-orang luar yang
justru ingin mengambil keuntungan, kan? Aku pernah belajar waktu sekolah kalau
aturan adat itu mendahului aturan pemerintah. Masyarakat kita lebih patuh pada
kepercayaan adat dibandingkan peraturan tertulis. Aku rasa kampungmu itu
dihargai pemerintah karena ayahmu dan warganya mampu menjaga kekayaan yang
kalian punya. Alamnya, budayanya, kesederhanaannya, dan nilai-nilai baik yang
diturunkan secara turun-temurun. Urusan cerita yang menurutmu tidak masuk akal
itu hanya sebagian kecil, bukan? Terserah padamu mau diteruskan atau tidak. Tapi
kamu sangat beruntung memiliki kampung yang punya sejarah hebat.”
***
Begitulah
akhirnya. Setelah hampir empat tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini, aku
kembali. Bukan hanya karena Wulan yang begitu cerdasnya membujukku, tetapi juga
karena kabar yang tiba-tiba datang esok harinya. Aku sedang bersiap menutup
kios saat Mang Engkon datang, mengatakan bahwa ibu sakit. Aku sadar aku
bersalah pada ibuku. Ia merindukanku, seperti aku rindu padanya. Tetapi ia
memahamiku melebihi siapapun. Tidak sekalipun ia memintaku pulang, bahkan saat
sedang sakit. Mang Engkon yang berinisiatif pergi ke kota dan memberitahuku,
tanpa sepengetahuan ibu.
Jalur
menuju Kampung Urug begitu sempit, curam, dan berkelok-kelok. Meskipun jalannya
sudah beraspal, akan sangat sulit untuk dua mobil jika harus berpapasan. Aku
menumpang motor Mang Engkon yang datang menjemputku di perbatassan jalan raya,
setelah tiga jam lamanya aku naik angkutan umum dari kota. Kerinduanku pada
tanah kelahiran meluap tiba-tiba. Tebing-tebing curam yang berada di sisi
jalan, sawah-sawah berteras yang hijau berkilau karena pendaran air-airnya yang
terkena sinar matahari, udaranya yang sejuk tanpa polusi....
Wulan
benar. Mungkin aku tidak menyukai abah
dengan cerita-ceritanya yang berlebihan atau tamu-tamunya yang membuatku tidak
nyaman, tetapi aku harus menjaga kampungku. Salah, aku ingin menjaga kampungku.
Menjaga alamnya, menjaga orang-orangnya, menjaga nilai-nilai baik yang ada
didalamnya.
Saat
ini aku harus pulang untuk menengok ibu. Setelah itu aku akan kembali ke kota
untuk bekerja dan mencari banyak pengalaman. Berkenalan dengan banyak orang.
Mungkin juga berkeliling ke kota-kota lainnya untuk lebih banyak belajar,
sebelum nanti pulang kembali dan menjaga kampung ini.
***
“Terima
kasih ya, untuk nasihat baiknya.”
“Jadi
kapan rencana kamu pulang kampung?”
“Tidak
tahu. Nanti aku pikirkan.”
“Aku
boleh ikut? Boleh ikut main kesana?”
“Untuk apa?”
“Aku
belum pernah memasak dengan tungku. Belum pernah melihat leuit. Belum pernah main sumpitan juga. Aku ingin main dengan
anak-anak desa disana.”
“Kalau
kamu ikut, kamu tidak boleh hanya sekedar main.”
“Kenapa?”
“Kamu
akan jadi istriku nanti.”
“Eh?
Eee.. aku pulang dulu, ya. Besok kita mengobrol lagi. Terima kasih
jeruk-jeruknya.”
Aku
pasti akan pulang. Aku akan pulang dan menjadikan Wulan sebagai pendampingku
nanti.
***
0 komentar:
Posting Komentar