Pulang Kampung* (part 1)

Senin, 10 Februari 2020



Kampung Urug. Mendengar namanya seperti hendak membicarakan sesuatu yang berkaitan dengan tanah. Bukan. Nama ini tidak ada hubungannya dengan tanah, meski bukan berarti tidak berkaitan sama sekali. Ini cerita tentang kampungku, tanah kelahiranku. Namanya Kampung Urug. Kata ‘urug’ yang dibalik dari penamaan sebenarnya. Guru.

Sudah hampir empat tahun aku tidak pulang. Asyik berdagang sayur dan buah di pasar dan berinteraksi dengan orang-orang kota. Kota lebih menyenangkan bagiku. Banyak tempat menarik, fasilitasnya lengkap, teknologinya modern, dan orang-orangnya dinamis.

Lihatlah disini, hampir tidak ada yang berubah, kecuali jalanan aspal yang kupikir semakin baik sejak gubernur datang berkunjung empat tahun lalu dan menetapkan desa kelahiranku sebagai kampung adat. Bah! Aku tidak pernah percaya penetapan status dapat membuat kehidupan desaku menjadi lebih makmur. Kedatangan gubernur justru menyebabkan warga kampung menjadi manja dan keenakan. Sejak papan bertuliskan “Kampung Adat Urug” dipasang di depan rumah dengan hiasan tanda tangan gubernur dibawahnya, uang mengalir dengan mudah ke kampung ini. Dalam setahun begitu mudahnya abah memperoleh uang 75 juta rupiah, untuk pengelolaan kampung dan perawatan rumah katanya. Belum lagi jika banyak pendatang yang berkunjung. Dari sekolahan, dari kampus, dari luar kota atau bahkan luar negeri. Mengapa tidak abah jadikan saja tempat ini sebagai tempat wisata? Tidak perlu menjual cerita bohong hanya untuk menarik perhatian dan meraup keuntungan. Siapa yang akan percaya dengan segala cerita yang tidak masuk logika itu?

“Apa? Gunung Salak itu adalah jelmaan dari Prabu Siliwangi?”

Dia Wulan. Kekasihku. Setidaknya aku yang menyebutnya begitu. Gadis lembut dan bijaksana yang menyeimbangkan sifatku yang keras dan tidak mudah mempercayai sesuatu. Selalu memberiku pengertian dari sudut pandang yang sebelumnya tak pernah kupikirkan. Bijaksana seperti namanya. Wulan.

“Ketika datang serangan yang mengancam keberadaan keraton, Prabu Siliwangi disembur dengan air sungai Ciliwung, lalu berubah menjadi gunung Salak, dan para punggawanya berubah menjadi rusa-rusa yang ada di halaman komplek istana.”

“Wah, kalau begitu aku harus lebih menghormati para rusa saat memberi mereka makan. Dan oh tidak, berarti aku hampir tiap hari mengobrol dengan Prabu Siliwangi. Setiap pagi sebelum membuka warung, aku pasti menyapa gunung Salak karena jalanan belum ramai dan gunung jadi terlihat sangat jelas. Oh, aku harus lebih sopan saat menyapanya nanti.”

“Bodoh, kamu percaya cerita tersebut?”

“Kalau aku tidak percaya, untuk apa kamu cerita?”

Begitulah. Ia selalu mempercayai kata-kataku, atau pura-pura mempercayainya. Aku heran ada orang yang selalu mempercayai cerita dan tidak pernah berprasangka seperti dia. Seperti saat aku bertemu dengannya untuk pertama kali dulu.

“Akang, punten sebentar titip tasnya. Saya mau turun ambil topi yang jatuh.”

Waktu itu aku sedang sarapan lontong sayur di dekat Lapangan Sempur. Duduk diatas sebuah batu besar yang menjadi favoritku sebagai tempat makan dan menghadap ke aliran sungai yang cukup deras. Suara jeramnya seperti alunan musik yang menyenangkan dan membuat menu apapun yang kumakan terasa nikmat. Tiba-tiba saja ia muncul dan meletakkan tas kain berwarna coklat di sampingku.

Aku melongo. Tidak sampai sempat menjawab atau menawarkan bantuan karena tanganku memegang mangkuk dan sendok, sementara mulutku masih penuh dengan makanan. Ia sudah turun ke sungai, mengambil topinya yang tersangkut diantara bebatuan. Tidak sampai dua menit, ia sudah kembali ke atas dengan wajah sumringah.

“Haah..untung tidak hanyut. Tapi jadi basah deh. Eh iya, hatur nuhun, Kang.”

Anehnya aku hanya mengangguk kaku. Tidak menjawab. Tidak juga mengunyah makanan. Hanya menatapnya tanpa berkedip dan melihatnya berlalu membalikkan badan, berjalan menyeberangi lapangan dengan tas coklatnya yang disampirkan di bahu kanan sambil tangan kirinya mengibas-kibas topi krem-nya yang basah. Dan aku masih menatapnya tidak percaya.

“Dia tidak khawatir tas-nya kubawa lari?”

***
(bersambung)

*cerita ini pernah diikutsertakan pada lomba cerpen nasional tahun 2014 oleh Yayasan Obor dan meraih peringkat Harapan II 

0 komentar:

Posting Komentar