Kyoto in Autumn

Sabtu, 08 Februari 2020


 
Fushimi Inari, senbon torii

10 Oktober 2019

Hari ini adalah tahun keempat usia pernikahan saya dengan suami. Kami dalam posisi sedang long distance marriage. Saya di Jepang dan ia di Vietnam. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu menunggu saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh disanaa… tuuuuut…..(sinyal spotify hilang). Oke, lanjut. Berhubung saya ingin memberi hadiah spesial untuk suami, pun untuk diri saya sendiri, maka bertualang-lah saya ke Fushimi Inari bersama kedua buah hati. Di sana, kami, lebih tepatnya saya, berkeliling senbon torii (deretan seribu torii/gerbang) yang eksotis dan misterius. Kedua bocah sukses tertidur di stroller dan gendongan selama saya mengelilingi torii. Tujuan utama saya tercapai: memotret tulisan dengan latar belakang senbon torii. Tujuan lainnya juga tercapai: saya jalan-jalan dan anak-anak bergembira. Kami jajan takoyaki, taiyaki, dorayaki, dan jeruk peras yang diminum langsung dari buah jeruknya. Segar, alhamdulillah!  


Sepeda

Bulan Oktober-November sudah memasuki musim gugur di Kyoto. Udara terasa sejuk, berada di kisaran 18-25 derajat celcius. Bersepeda juga mulai lebih nyaman karena angin yang menerpa wajah saat berkendara tidak lagi angin panas. Yang lebih menyenangkan lagi adalah saya sudah memiliki sepeda listrik dalam dua bulan terakhir. Model mamachari tentu (mamachari adalah istilah model sepeda mini yang ada keranjangnya, biasa dipakai para ibu untuk berbelanja atau antar jemput anak), dengan satu keranjang di depan dan satu boncengan anak di belakang. Bagi emak berbocil dua seperti saya, memiliki sepeda listrik menjadi seperti kebutuhan primer. Dulu awal-awal masih menggunakan sepeda biasa yang bergigi, masih sanggup sih. Sanggup ngos-ngosan tapi, kalau berkendara jauh, seperti ke masjid, ke sungai, atau ke kampus. Setelah ada sepeda listrik, hidup terasa lebih mudah!

sepeda mamachari listrik

Meski demikian, model sepeda listrik yang saya miliki sebenarnya adalah model sepeda untuk ibu beranak satu. Hanya ada satu boncengan di belakang dengan desain stang depan biasa. Jadi biasanya Yujin bonceng di belakang, sementara Yumna saya gendong pakai gendongan bayi di depan. Kalau desain sepeda mamachari untuk ibu beranak dua, terdapat satu boncengan anak di belakang, dan satu boncengan anak lagi di depan dengan desain stang yang sudah disesuaikan. Desain boncengan anak yang belakang berbentuk kursi untuk posisi duduk seperti biasa, sedangkan boncengan depan ada yang berbentuk kursi duduk, ada pula yang berbentuk seperti baskom mandi bayi yang berbentuk lonjong, untuk anak posisi tiduran. Ini sangat cocok untuk anak kedua yang masih bayi, sementara usia kakaknya sudah lebih dewasa dan bisa duduk dengan tenang di belakang. Selain itu, idealnya di sini untuk anak yang duduk di belakang seharusnya mengenakan helm sepeda. Idealnya naik sepeda memang pakai helm sih untuk siapa saja, tetapi saya belum, hehe. Dahulu semasa bersepeda ria saat sekolah dan kuliah S1 juga tidak pernah pakai helm. Hanya pakai topi sebagai pengganti helm. Tidak menggantikan fungsi safety sih yaa sebenarnya, tapi lumayan lah menjaga jilbab saya tidak berkibar-kibar atau berantakan oleh angin, hhe.

Kembali ke sepeda listrik ‘baru’ saya. Kini saya bisa bepergian dengan lebih nyaman dan menyenangkan. Tidak ngos-ngosan lagi. Selain bermanfaat untuk mengantar saya dan anak-anak berbelanja, hadir pengajian TPA, main ke kampus atau ke teman, bersepeda juga menjadi pintu darurat kalau saya sudah terlalu jenuh dan mulai marah-marah terus di rumah. Saat emosi sudah memuncak, sedangkan anak-anak tidak bisa dititip ke siapa-siapa, saya lebih baik mengajak mereka ke luar. Bersepeda kemana saja. Menyusuri trotoar atau pergi ke rumah teman untuk bergosip, eh. Dan saat sepedaku sudah meluncur di atas trotoar dan melewati kanopi-kanopi pohon yang berjajar indah, emosiku berangsur reda saat itu juga. Jadi kalau lagi marah posisi berdiri, maka duduklah. Kalau belum reda juga, berbaringlah. Kalau belum reda juga, ke kamar mandilah ambil wudlu atau sekalian mandi. Kalau belum reda juga akibat bocah nangisnya malah tambah kenceng karena ditinggal ke kamar mandi, maka ke luar rumah dan bersepedalah!

I love you, bicycle.


Pengajian dan TPA

Bersyukur sekali saya memiliki banyak teman Indonesia di sini. Ada komunitas para ibu di Kyoto yang dinamakan Annisa Shalihah. Ada program pengajian untuk anak-anak juga yang dinamakan TPA Annisa Shalihah. Ada juga grup khusus belanja online tempat para ibu borongan janjian belanja supaya gratis ongkir. Ada grup besar, tempat hampir seluruh warga Indonesia di Kyoto, yang dinaungi oleh PPI Kyoto-Shiga. Dominan anggota grup adalah mahasiswa yang sedang menempuh studi dan keluarga yang berstatus dependant. Cukup banyak pula warga yang tinggal di sini dengan tujuan bekerja di perusahaan, mengajar di kampus, ataupun melaksanakan tugas negara sebagai peneliti.

Saya sendiri berstatus dependant di sini. Aktivitas harian saya bersama anak-anak selain di rumah, jalan-jalan, dan main ke taman, adalah ikut pengajian dan mengisi kajian. Ah ya, ikut TPA (taman pendidikan alquran) juga tentu. TPA biasanya diadakan dua pekan sekali. Agenda rutin TPA adalah belajar mengaji, hafalan surat pendek dan doa-doa harian, materi keislaman, dan membuat kerajinan tangan/craft. Saya ikut membantu pengurus TPA untuk mendampingi anak-anak mengaji iqro, membuat craft, dan sesekali membawakan kisah nabi untuk mereka. Kalau anak-anak saya sendiri biasanya ngerusuh sih kerjaannya di TPA. Belum bisa diajak duduk manis mendengarkan materi dan mengaji. Kegiatan TPA sesekali juga digabung dengan acara besar Annisa Shalihah, seperti seminar kesehatan, kecantikan, dan yang berhubungan dengan topik kewanitaan lainnya. Sesekali juga kami melakukan rihlah. Saya baru sekali mengikuti rihlah TPA saat ke sungai Yase. TPA membawakan materi tentang tafakur alam sebenarnya. Namun, saya dan anak-anak lebih fokus main air dan menangkap ikan di sungai, wkwk.

Acara kajian keislaman di sini tidak sebanyak dan semudah di Indonesia tentunya. Oleh karena itu, bisa menghadiri ceramah ulama yang sedang berkunjung ke Jepang, mengikuti dauroh keislaman yang biasanya hanya setahun sekali, atau silaturahim bulanan bersama teman-teman Indonesia yang suka disisipi berbagi tausiyah, menjadi sangat berharga. Salah satu hal baru dan paling mengesankan buat saya di sini adalah mengisi kajian sekaligus mengajar tahsin untuk para muslimah di kota Shiga. Shiga adalah kota di sebelah Kyoto, PPI-nya (Perkumpulan Pelajar Indonesia) pun satu, PPI Kyoto-Shiga. Salah seorang volunteer yang sudah lama hidup di Jepang, pun bersuamikan warga Jepang, menginisiasi perkumpulan Silaturahim Muslim Shiga (SMS) sebagai wadah para muslimah Shiga bersilaturahim. Mbak Lilis, namanya. Kajian SMS diadakan sebulan sekali dengan menggilir lokasi di rumah para anggotanya. Sebagian besar anggota SMS adalah mix married, alias muslimah Indonesia yang menikah dengan lelaki Jepang, baik muslim ataupun mualaf. Sebagian lainnya adalah para kensushei yang bekerja di berbagai perusahaan Jepang di Shiga dengan kontrak kerja beragam. Ada yang tiga, lima, sampai enam tahun. Ah, banyak sekali sebenarnya cerita seru tentang para ibu mix married dan kensushei ini. Jika ada kesempatan, in syaa Allah lain waktu akan saya ceritakan. Yang jelas, saya merasa sangat bersyukur bahwa di negeri minoritas muslim ini, jodoh saya tidak jauh-jauh bertemu dengan orang-orang yang juga gemar mengaji dan gemar bersilaturahim. Padahal saya tidak mencari, tiba-tiba saja dihubungi. Tiba-tiba saja diajak. Tiba-tiba saja diminta mengisi kajian. Ah, memang rezeki dari Allah itu luar biasa. Kita tidak perlu repot-repot mencari, mereka yang mendatangi. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihittatimushaalihaat.

TPA

Bakda kajian SMS di Shiga



Kyoto in Autumn

Suatu hari pintu kamar asrama saya diketuk dari luar. Tetangga sebelah rumah ternyata. Mahasiswa asal New Zealand yang juga sudah bekeluarga, Rory namanya. Istrinya bernama Catherine dan ananya bernama Julian. Ia memberikan saya setangkai buah yang katanya habis diambilnya dari pohon di kebun. Masih dengan tangkai dan daunnya! Buah persimmon alias buah bedak. Di Jepang disebut buah khaki. Ternyata itu kesemek kalau di Indonesia, haha. Jujur, saya belum pernah mencicip buah kesemek. Dan kesemek Jepang itu enak sekali, maa syaa Allah. Jadi, buah khaki ini adalah buah khas musim gugur. Kalau sebelumnya saya mencicip buah persik yang khas di musim panas dengan merogoh kantong lumayan, di musim gugur ini saya bisa menikmati buah khaki dengan mudah karena tetangga rutin memberi hasil petikan kebunnya. Kalaupun membeli di supa, harganya pun tidak terlalu mahal. Masih sebelas dua belas dengan harga jeruk atau apel.

kesemek Jepang

Awal musim gugur ini juga saatnya suami yang saya tunggu-tunggu pulang dari Vietnam. Setelah perjuangan saya mengasuh dua bocil yang super aktif ini sendirian di sini, dan perjuangan suami yang riset sampai harus menempuh drama operasi batu ginjal sendirian di sana, kami pun kembali bersua. Alhamdulillah…alhamdulillah. Momen pertemuan kami juga begitu dramatis. Saya dan anak-anak hendak menjemput suami di stasiun kereta. Kami berjalan lewat pintu belakang. Setelah keluar pintu otomatis gedung, kami menyusuri lorong konblok menuju gerbang. Sesaat hampir sampai gerbang pagar yang membatasi wilayah asrama dan jalan raya, ada seorang lelaki gagah berompi dan bertopi yang berjalan ke arah gerbang dengan menenteng koper besar dari arah berlawanan. Itu abi! Saya bersorak dalam hati. Si abi setengah berlari langsung menggendong sulung kami yang masih menatap bingung dan kaget. Apalagi bocil kedua yang mimik wajahnya sempurna bengong karena hampir tidak mengenali abinya yang berpisah selama dua bulan (padahal hampir tiap hari video call). Saya? Hanya sanggup mencium tangan dan sedikit memeluk tanpa berkata apapun. Padahal suami saya berkata, “Maa syaa Allah, bunda cantik banget!” saya hanya tersenyum. Iyah, saya mah begitu. Kalau terlalu gembira jadi hlang kata-kata. Hanya bisa tersenyum, tapi lidah menjadi kelu. Lebay yah? Biar saja.

Setelah suami pulang, sesungguhnya diri ini ingin sejenak bersantai dan bersenang-senang. Namun, seyogyanya aktivitas muslim memang tidak boleh banyak bersantai-santai. Setelah selesai satu urusan, bersegeralah untuk menyelesaikan urusan berikutnya. Dan begitulah Allah mengatur segala urusan kami. Tidak sampai sepekan berikutnya, kami harus bertolak ke Indonesia. Suami melanjutkan risetnya di lokasi baru, sementara saya dan anak-anak mendampinginya sekaligus melepas rindu dengan keluarga besar. Sepekan di Kyoto ini suami langsung sibuk bolak-balik kampus mengurus administrasi, sedangkan saya mencicil berkemas bawaan dan belanja oleh-oleh yang hendak dibawa ke Indonesia. Kami pun tidak sempat menikmati ‘momiji’ tahun pertama kami di Kyoto. Momiji saat puncak musim gugur dan semua daun berubah warna menjadi merah dan kuning berlangsung di pertengahan bulan November, sementara kami berangkat ke Indonesia tanggal 5 November. Aih, sedihnya. Tertinggal satu momen indah di Jepang, meskipun kami juga gembira karena mau pulang. Akhirnya, saya dan keluarga menyempatkan piknik singkat berupa makan siang bersama di tepi sungai Kamogawa bersama pasangan Wawe-Kamil. Dedaunan di sepanjang tepi sungai belum berubah warna semua, tetapi tampak sedikit yang mulai memerah dan mencoklat. Tetap indah. Sungai Kamogawa ini adalah lokasi favorit para penduduk dan turis untuk berpiknik atau sekedar berolahraga. Ia selalu indah di segala musim. Kami pun mengambil spot di sisi sungai yang terdapat dipan kayu lebar di bawah pohon untuk lesehan, lalu makan bersama sambil menikmati pemandangan Kamogawa. Setelahnya, Yujin bermain di sungai bersama abi dan Wawe, sementara Yumna sibuk naik turun di tanah miring sambil tertawa-tawa bersama Kamil. Bundanya? Memotret mereka semua, hehe. 


tepi sungai Kamogawa

Semoga kami bisa menikmati momiji di tahun 2020 yaa.

Kyoto in Autumn


0 komentar:

Posting Komentar