“Berangkat dulu ya…”
“Memangnya kumpul di mana?”
“Di depan SMA 1, apa ya? De..yours..apa gitu namanya??”
“Memangnya naik apa?”
“Bis. Mungkin..”
“Ngapain bolak-balik, sih? Nanti bisnya juga pasti lewat depan rumah.”
“Ah, iya, ya? Emang, iya?”
“Lah, mau ke puncak pasti lewat Cijago dong. Liat aja, pasti lewat depan rumah.”
“Tapi disuruhnya kumpul di sana. Mungkin ada pengarahan dulu atau apa... Lagipula ini kan malam, belum tahu juga naik bis kayak apa...”
“Terus disuruhnya kumpul jam berapa?”
“Ditunggu sampai jam tujuh.”
“Kumpul jam tujuh, baru berangkat jam tujuh.” -,-
“Iyaaa...ini makanya mau berangkat. Udahan tanya-tanya-nya....” >o<
***
Baiklah. Itu adalah perdebatan kedua saya dengan Ayah setelah malam dua hari sebelumnya saya dibuat menangis karena berdebat untuk urusan yang sama. Ssst....tolong jangan beritahu Ayah kalau saya menangis hanya karena perdebatan sepele. Sepele bagi Ayah. Tidak bagiku.
Dua hari sebelumnya Ayah menanyakan agenda akhir pekanku. Saya mengatakan bahwa ada pelatihan menulis di Puncak. Dan dimulailah ‘interogasi’ itu. Sama siapa? Penyelenggaranya dari mana? Bayar berapa? Saya yang saat itu sedang sangat lelah setelah aktivitas seharian lintas kota (Darmaga-Lenteng Agung-Depok) :p berusaha menjawab pertanyaan sebisanya. Sebisa yang saya jawab, karena saya juga tidak tahu pelatihan ini akan seperti apa? Mengurusi sidang, revisi, dan administrasi kelulusan dengan segala embel-embelnya sudah cukup membuat saya jarang koneksi dunia maya dari komputer. Informasi tentang pelatihan ini pun hanya saya lihat sepintas via FB yang saya buka dari mobile saya. Lihat-pikir-putuskan-sms-transfer. Menjadi omelan-lah ketika Ayah tahu untuk pelatihan ini saya mengeluarkan kocek nyaris satu juta. Oke, itu uang Teteh, tapi itu tidak kecil. Iya, saya tahu. Lalu sasarannya siapa? Siapa ya? Mana proposalnya? Ha?? Proposal? Kan Teteh peserta, bukan panitia. Lalu target Teteh ikut itu apa? Saya diam. Sedang kehabisan kata-kata.
Sungguh. Saya juga tidak tahu kenapa saya mau ikut. Saya hanya tahu pelatihan ini bukanlah pelatihan motivasi menulis, katanya. Pelatihan ini adalah inkubasi untuk menjinakkan bakat. Baiklah, itu istilah baru bagi saya. Menjinakkan apapun saya tidak terlalu peduli sebenarnya, karena kenyataannya saya tetap takut kucing (lho??). Saya hanya merasa bahwa tabungan hasil kerja saya tidak akan sia-sia jika saya gunakan untuk ini (baca: investasi). Uhm.. saya tidak terlalu suka kata investasi sebenarnya. Saya lebih menyukai istilah ‘energi yang disalurkan’. Halah, apaan sih? -_-“ Lho, benar kan? Tidak ada energi yang diam. Energi hanya berpindah dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Tinggal kita yang mengatur ingin mengubah energi menjadi positif atau negatif. Begitupun dengan uang. Uang itu kalau didiamkan nilainya akan menurun (kata buku manajemen keuangan yang saya lupa siapa penulisnya). Saya menerjemahkannya menjadi ‘uang kalau didiamkan itu tidak baik, jadi lebih baik digunakan, hehe..’. Penggunaannya untuk apa tergantung pengaturan kita. Kita yang mengatur uang, bukan uang yang mengatur kita. Benar, kan? Kalau ingin memperoleh energi fisik, bolehlah uang kita ubah menjadi makanan. Kalau ingin mendapatkan ‘energi’ lainnya, penggunaan uang juga menjadi bervariasi. But, trust me! Ini bukan pelatihan ilmu hitam kok. Beneran....
Saya hanya kengen nulis. Kangen dunia tulis-menulis. Pengen ketemu orang-orang baru yang juga suka nulis. Pengen punya guru (lagi). Pengen belajar (lagi). Pengen mulai dari awal (lagi) karena apa-apa yang dulu pernah saya mulai tidak kunjung selesai. Niat menulis novel sejak SMP, baru 70 halaman, file-nya hilang. Saat tingkat satu kuliah, mulai lagi dari halaman satu, baru 11 halaman, berhenti. Komputernya harus diinstal ulang. File-nya-pun hilang (lagi). Begitulah. Terus.
Ada sesuatu yang salah. Sudah dua puluh dua tahun hidup dan saya baru menghasilkan buku kumpulan puisi dan beberapa artikel-esai yang berserakan. Mungkin Ayah merasa tidak dihargai jika alasanku hanya karena ingin menulis dan menerbitkan buku, terlebih saya tidak mendiskusikan keinginan mengikuti pelatihan ini lebih dulu dengannya. Mengapa tidak mengatakan padanya saja? Dunia penerbitan adalah dunia Ayah selama hampir tiga puluh tahun. Kalau ingin belajar, Ayah memiliki banyak koneksi penulis, editor, dan segala yang berkaitan dengan kepenulisan. Tidak perlu mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sebuah pelatihan menulis. Bukan, bukan itu. Saya mengikuti pelatihan juga bukan untuk sekedar mencari motivasi. Ini bukan pelatihan motivasi. Baiklah, saya salah karena tidak mengatakannya sejak awal. Saya minta maaf, tetapi masalahnya bukan itu. Lalu target Teteh ikut itu apa? Ayah, ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan karena dikerjakan, tapi tidak bisa dikatakan. Please, saya selalu sensitif jika disinggung masalah uang. Bolehkah saya pergi tidur sekarang?
Azzzt.... ini kenapa malah curcol gini??? Haha... maap, maap. Niat saya menulis ingin berbagi materi pelatihan yang saya ikuti tanggal 22-24 Maret lalu, tetapi malah keterusan ngetik prolognya. Well, berikut saya rangkumkan sedikit materi yang saya peroleh dari Pak Bambang Trim dan Mas Tasaro. Ada pesan sponsornya sih... Kata yang punya acara jangan dirangkum semua, soalnya materinya memang khusus untuk yang mengikuti acara *lirik panitia*. Maksudnya mungkin.. “ayo yang lain ikut di Writinc Camp Batch #2” ^o^.... Hoho...
Untuk yang pengen banget ikutan Writinc Camp tapi belum sempat, semoga sedikit berbagi ini bermanfaat yaa... cekidot.
***
Materi awal sudah dimulai sejak jumat malam kedatangan kami di Cisarua. Setelah makan malam (makan malam kedua saya lebih tepatnya), Pak Bambang Trim memulai dengan materi pencerahan. ENLIGHTMENT. Ada empat alasan seseorang memosisikan kegiatan menulis dalam hidupnya:
Pertama, hobi.
Kedua, karir.
Ketiga, keterampilan.
Keempat, pelarian.
Awal membawakan materi saja sudah menimbulkan riuh. Bagi mereka (atau saya?) yang sering menulis curhatan via dunia maya pasti merasa tersindir melihat pernyataan nomor empat. Pelatihan ini didesain untuk mengarahkan kami kepada nomor dua dan tiga. Jadi, bagi yang alasan menulisnya hanya untuk nomor satu dan empat, pulang lagi saja ke Depok. Ya udah, udahan ah, pulang nii.... *pundung* :p
Tidak ada yang tidak bersemangat mengikuti materi walau hari semakin larut. Pertanyaan dari beberapa peserta tetap saja bergulir, menambah panas sesi awal ini. Oh ya, lupa menyampaikan tentang hal menarik lainnya. Total peserta berjumlah 21, tetapi yang mengikuti sesi pertama ini baru 19 orang. Dua orang lainnya menyusul esok hari. Latar belakang peserta sangat beragam dari segi profesi maupun usia. Tiga orang di antara kami bekerja di tiga stasiun televisi swasta yang berbeda-beda. Ada yang bekerja sebagai copy writer, ada yang sebagai produser, dan... apa lagi ya? Saya lupa, hehe. Maaf ya Pak dan Masbro sekalian, saya belum hafal macam-macam istilah dunia broadcast. Ada di antara kami yang berprofesi sebagai pengisi suara (dubber), ada yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum, ada yang sebagai pengajar, beberapa adalah guru SD, ada aktivis sosial, ada seorang web designer, dan ada juga yang masih berstatus mahasiswa dari berbagai macam jurusan (Sastra Inggris, Sastra Jepang, Matematika, Ekonomi, adakah yang belum disebut??). Kalau saya? Sebut saja sebagai petualang yang sejenak mampir untuk belajar. Haha... *ditimpukpermen* *sayatangkap* *sayamakan*
Kembali ke laptop. Bukan. Kembali ke niat saya untuk berbagi materi. Intinya bersemangatlah untuk menjadi profesional dalam dunia tulis-menulis. Tidak ada satu bidang pun yang lepas dari profesi kepenulisan. Ekonom butuh penulis untuk menyampaikan teori-teorinya kepada publik. Dokter butuh penulis untuk menyebarkan ilmu kedokterannya. Ilmuwan butuh penulis untuk menyampaikan hasil-hasil laporan dan penelitiannya. Arsitek juga butuh penulis untuk mendukung profesinya, misalnya ingin menyusun gambar-gambar rancangannya ke dalam bentuk buku. Ada banyak sekali ragam dan laras tulisan. Dunia menulis sangatlah luas. Kita tinggal pilih. Namun, dunia ini bukanlah sebuah keterampilan yang bisa diperoleh dengan cara main-main. Tidak perlu terlalu serius juga sih, yang penting kita tahu apa visi kita, apa yang kita inginkan, dan kekuatan apa yang kita miliki. Emmh... misalnya visi kita adalah menciptakan perdamaian dalam lima tahun ke depan. Kita ingin fokus untuk menangkap para penjahat yang mengancam hancurnya dunia. Ternyata kita memiliki kekuatan super yang tidak kita sadari sebelumnya. Tentu kekuatan super itu harus kita gunakan untuk fokus menangkap para penjahat agar perdamaian dunia bisa terwujud. Dziiigg!!! Ngaco abis -__-“
Njaluk ngapuro Pak Bambang dan Mas Tasaro, saya telah mengacaukan contoh materinya ^^".
***
Terdapat perbedaan antara seorang pengarang (author) dan penulis (writer). Author adalah orang yang menggagas sebuah tulisan berdasarkan hasil pemikiran atau imajinasi, sedangkan writer adalah orang yang memiliki keterampilan mengolah kata menjadi tulisan yang memiliki daya pikat untuk dibaca. Seorang author belum tentu menjadi writer yang baik, begitupun sebaliknya. Karena itulah Writinc ada untuk membantu author memiliki keterampilan sebagai writer, ataupun writer agar dapat menggagas ide-ide fantastik layaknya author, dan mengasah keterampilan keduanya agar menjadi seorang profesional. Haghag... ini kenapa saya jadi promosi Writinc gini? -,-
Menulis sebenarnya sederhana. Ia hanya membutuhkan hal-hal yang pasti dimiliki setiap manusia yang diciptakan sempurna oleh Sang Pencipta. Menulis adalah menggunakan lima panca indera dan melatih indera keenam berupa indera pengoneksi. Kemampuan mengoneksi inilah yang membedakan seorang penulis dengan penulis lainnya. Sesi latihan dalam mengaktifkan kelima panca indera ini sangat seru. Para peserta dipaksa keluar kreativitasnya untuk lebih peka terhadap sekitar dalam menyusun kata terkait lima panca indera. Kami dilatih untuk tidak ‘mengatakan’ kepada pembaca, tetapi ‘memperlihatkan’. Seperti apa latihannya? Yang jelas seru, makanya ayo gabung di Writinc ^^..
Ish, ini kenapa saya promosiin Writinc lagi?? -__-“
Bicara tentang ‘memperlihatkan’ cerita kepada pembaca, saya teringat kata-kata Old Shatterhand dalam novel favorit saya, Winnetou. Tentang melihat dengan lebih tajam, mendengar dengan lebih peka, melakukan lebih banyak daripada orang lain. Jika saja setiap orang mau mengaktifkan panca inderanya lebih banyak, mereka akan mampu melihat dan mendengar lebih daripada yang mereka kira. Ternyata melatih panca indera tidak hanya berlaku untuk suku Indian Apache dan Old Shatterhand dalam menghadapi perang, tetapi juga untuk para penulis dalam mempersiapkan karya-karya besarnya :).
Materi lainnya yang sangat menyentak hati saya adalah pernyataan bahwa IDE ADALAH SEBUAH PERTEMUAN, BUKAN SEBUAH PENCARIAN. Iya juga ya.... sejarah yang selalu berulang mengisahkan bahwa ide diperoleh bukan karena dicari, melainkan ditemukan. Ide membuat pesawat terbang. Ide tentang teori gravitasi. Ide tentang pengukuran massa mahkota emas raja yang membuat sang ilmuwan lolos dari hukuman mati dan menjadi populer-lah kata Eureka!
Ide datang begitu saja. Bukan karena kita mencarinya. Mungkin karena itu juga banyak yang mengatakan, “Tangkaplah ide dengan tulisan.” Seperti Khalifah Ali bin Abi Thalib yang menganjurkan untuk mengikat ilmu dengan tulisan. Bukankah ilmu pengetahuan juga lahir dari ide? Tiba-tiba terbersit dalam benak saya. Sepertinya pernyataan ide ini cocok menjadi analogi jodoh. Jodoh adalah sebuah pertemuan, bukan pencarian. Salah jika ada yang mengatakan bahwa saya sedang mencari belahan jiwa, seharusnya adalah saya pasti bertemu dengan belahan jiwa saya. Tsaaah.... Haha... astagfirullahaladzim, ini bocah kagak khusyuk banget yah ngikutin materi?? Pikirannya kemana-mana *geleng-geleng*.
Pada salah satu sesi kami dilatih secara lebih spesifik. Peserta dibagi ke dalam dua grup. Satu grup dilatih untuk membuat outline tulisan non-fiksi maupun faksi oleh Pak Bambang, sedangkan grup lainnya dilatih tentang segala yang berkaitan dengan fiksi oleh Mas Tasaro. Jenis tulisan secara umum memang terbagi menjadi tiga, yakni fiksi, non-fiksi, dan faksi. Fiksi adalah tulisan berbasis imajinasi. Sebaliknya, non-fiksi adalah tulisan berbasis data dan fakta. Faksi merupakan tulisan yang juga berbasis data dan fakta, namun disampaikan dengan cara berkisah, seperti biografi, autobiografi, dan memoar.
Saya masuk ke dalam grup 1 yang dibimbing oleh Pak Bambang. Selama dua jam pertama kami mendengarkan materi, tanya-jawab, dan harus menyampaikan ide non-fiksi atau faksi lalu menuliskannya dalam sebuah outline. Kemudian kami bertukar dengan grup 2 yang dibimbing oleh Mas Tasaro berkaitan tulisan fiksi. Kami dilatih untuk mengembangkan daya kreatif terhadap tiga hal utama dalam setiap karya fiksi: karakter, alur, dan diksi. Latihan untuk sesi ini pun sangat seru karena para peserta saling bertukar komentar terhadap apa yang dibuat dan disampaikan oleh peserta lainnya. Sesi ini, seperti pada sesi latihan menggunakan panca indera sebelumnya, juga memakan beberapa korban bullying Mas Tasaro. Kalau pada sesi panca indera urusannya dengan seperti apa rasa karpet?, sesi fiksi kaitannya dengan matematika (haha.. saya tidak terlalu paham sebenarnya karena saya tidak satu grup dengan ‘korban’ bullying-nya Mas Tasaro). Setidaknya sesi latihan menjadi lebih hidup dan seru. Benar, tidak?
Panitia menjadwalkan sesi hari kedua sampai pukul 9 malam, tetapi para peserta dan coach kami masih semangat untuk terus melanjutkan sesi hingga hampir tengah malam. Sesi malam hari kedua lebih seru lagi karena selain bisa konsultasi banyak hal kepada kedua coach, para peserta diminta kembali menggagas ide cerita fiksi sesuai keinginan masing-masing (tidak dibatasi tema) untuk disampaikan dalam grup, kemudian masing-masing grup mengirimkan perwakilannya untuk presentasi di hadapan semua peserta. Perwakilan yang mendapatkan suara minimal 50% dari seluruh peserta dianggap lolos untuk melanjutkan outline ide fiksi tersebut menjadi sebuah novel. Outline tulisan fiksi ternyata sederhana. Hanya ada 7 pertanyaan yang harus dijawab dengan 7 jawaban, dan itulah outline fiksi. Ke mana saja saya selama ini? Menyusun diagram pohon, terkadang diganti dengan diagram tulang ikan untuk membuat alur, menentukan tokoh-tokoh dan karakter, dan ternyata outline novel selesai hanya dengan 7 pertanyaan yang mampu kita jawab. Apa sajakah 7 pertanyaan tersebut? Nantikan jawabannya di Writinc Camp Batch #2.... Zzzzt -,-
Ayo panitia, saya sudah tiga kali promosi Writinc nih, ada gelas cantiknya ga?? Eh iya, alumni Writinc boleh ikutan lagi dong kalo ada camp ke-2, atau minimal panitia nanti menyediakan video conference yang bisa diakses oleh para alumni dari habitatnya masing-masing gitu, hhe.. (ini idenya Steven, bukan saya):p
Oke, cukup intermezo-nya. Lanjut.
Jika malam hari kedua beberapa peserta menyampaikan gagasannya di tulisan fiksi, pagi hari terakhir adalah giliran perwakilan peserta untuk presentasi outline tulisan non-fiksi yang telah dibuat hari sebelumnya dan mendapat tanggapan dari peserta yang lain. Setelah sesi presentasi, masih ada materi terakhir yang disampaikan oleh Pak Bambang tentang mengedit dan merevisi naskah dan tentang menjadi seorang writerpreneur. Ah ya, sudah agak banyak cuap-cuap, tetapi saya belum menyampaikan tentang urutan menulis.
Secara umum menulis terdiri dari lima tahapan: prewriting, drafting, revising, editing, dan publishing. Sesi dalam pelatihan inipun disusun secara bertahap mengikuti tahapan penulisan. Oleh karena itu materi awal merupakan ENLIGHTMENT dan diakhiri dengan PUBLISHING. Saya yakin otak manusia memang dirancang untuk menerima segala sesuatu secara bertahap. Tidak ada sesuatu yang terjadi secara instan. Hasil yang baik pasti lahir dari sebuah proses yang baik pula. Bukankah penciptaan manusia juga terjadi melalui tahapan-tahapan yang menakjubkan?
Sungguh banyak pelajaran dan ilmu yang kami peroleh dari pelatihan ini. Sebagian pelajaran mungkin sesuatu yang sudah saya ketahui sejak duduk di bangku sekolah (berhubung Bahasa Indonesia adalah mata pelajaran favorit saya). Namun, normalnya manusia selalu butuh untuk diingatkan. Terima kasih untuk semangat, energi, dan ilmu yang telah Pak Bambang dan Mas Tasaro bagi kepada kami. Terima kasih untuk panitia yang sudah berjuang menyiapkan acara ini. Terima kasih untuk teman-teman Writinc Camp Batch #1 yang begitu luar biasa. Ayo, kita berjuang sama-sama agar tidak kalah dengan para senior kita yang sudah memperkaya banyak jiwa melalui kata-kata :).
***
Sepulang dari pelatihan di Puncak.
“Dek, ini novelnya udah ditandatangani.”
“Teteh nyampein salam dede gak?”
“Haa...nyampein gak ya? Lupa. Yang jelas udah Teteh bilang ini untuk Yasmin, yang sering ketemu kalau di pameran buku dan selalu minta tanda tangan. Teteh bahkan sudah cerita kalau Yasmin sudah menikah. Kurang apa, coba?”
Yasmin, adikku yang hampir jadi bungsu itu senyum-senyum.
“Oh ya, Pitaloka yang buku ketiga masih dalam proses katanya. Ganti penerbit lagi sekarang.”
“Masih proses? Harusnya Teteh bilang kalau dede menunggu buku kesatu dan kedua aja udah dari single sampai sekarang jadi double. Jangan sampai buku ketiganya aku udah triple nih...”
“Haha... bilang aja sana sendiri.”
“Teh, ini banyak kue dari mana?” Ayah turut berkomentar.
“Oh, dari teman pelatihan. Sepanjang pelatihan Teteh keliatan ngunyah terus. Kayaknya dia bersimpati untuk masa pertumbuhan Teteh, jadi semua cemilannya dikasih deh.”
Ayah pun manggut-manggut sambil senyum.
***
-catatan 28 Maret 2013-