Hectic time ini mungkin dimulai sejak berakhirnya ujian terakhir mata kuliah minor yang kuambil sepanjang kuliah. Saya selalu berpikir, “ Oke, ini kuliah terakhir. UAS terakhir. Harus berikan yang terbaik. Setelah ini bebaaas…”. Tak dinyana, ternyata kebebasan itu tak ‘kan pernah terjadi.
Dua hari menjelang UAS, saya memfokuskan diri untuk mengulang-ngulang materi dan latihan hitungan. Mendekam dalam kamar dan berkutat dengan diktat tebal dan kalkulator. Tapi di sela-sela itu sempat sih, bolak-balik Bogor-UI (duniaku gak jauh-jauh dari tempat-tempat itu dah: kampus-rumah-UI). Biasa… ada kewajiban yang harus ditunaikan. Hanya 3 jam, sudah termasuk waktu bolak-balik kereta yaa… setelah itu mendekam lagi dalam kamar. Rencananya saya ingin membuat UAS terakhir ini benar-benar gemilang. Okelaaah… jenis-jenis soal sudah dikuasai. Teori-teori si Heizer dan Render masih menempel ko di kepala. Doa? Harus itu. Minta doa ortu dan teman-teman? Siplah. And when the battle started…. Eng..ing..eng… ‘Apaan nih?... tunggu… ini soal yang kemarin sudah kukerjakan. Kenapa memori otakku sepertinya galau? Yang ini juga. Yang ini juga…. Duh, ni otak yang dibawa salah hardisk apa ya?’
Dan demikianlah. UAS terakhirku kacau balau akibat blank brain. Jurus terakhir yang harus kulakukan adalah TAWAKAL. Ingin sekali berkata, “I’m sorry, Mom. I can’t fulfill my willingness to make you proud of me.”
***
Esok harinya aku memenuhi hak jasmani dengan berolahraga: berenang. Dilanjutkan pemenuhan hak terhadap kesehatan: kontrol gigi. Siang harinya sedikit melakukan hal yang kusukai: tidur. Pada saat itulah aku menerima kabar dari Silvy, “ALHAMDULILLAH. Paper kita diterima. Jadi mau ke Korea?”
Jadilah….
Apa? Korea?Ini mimpi, Sil?
Begitulah. Setelah kucek-kucek mata dan mengelap iler kesadaranku baru pulih sepenuhnya. Tidak ada waktu istirahat. Harus segera berpikir dan bergerak. Belum lagi janji-janji dan amanah yang harus dipenuhi.
So, it’s hustle and bustle.....
Jumat sore-malam: rapat ASA Indonesia, mengurus suatu keperluan di Margonda, mencari-cari link perusahaan dari tetangga-tetangga yang punya kenalan.
(rumah-Kedai Merapat-rumah-margonda-keliling rumah tetangga)
Oke, sampai di sini hanya sedikit ngos-ngosan..
Sabtu: rapat persiapan ke Korea, rapat persiapan ke Gunung Gede, menghadiri undangan pernikahan teman SD, gathering ospek fakultas di kampus.
(rumah-Perpus UI-pelataran depan perpus UI-rumah-Cibinong-Darmaga-Sindang Barang)
Sampai di sini baut-baut penyambung tulang mulai berdecit-decit...
Ahad: asistensi junior untuk persiapan UAS, kajian bersama Ust.Yazid, mencari-cari teman yang bisa diminta tolong mengajari cara menentukan tebal perkerasan jalan (ampuuun.... ini jurusan arl jadi kayak sipil).
(Sindang Barang-Darmaga-daerah Bogor Timur-Sindang Barang-Bojong Gede)
Baiklah, tulang dan persendian mulai mati rasa....
Senin: membantu junior persiapan ujian, mengawasi ujian, bertualang ke Kantor Harian Republika
(Bojong Gede-Depok-Bogor-Jakarta-Depok)
Errr… remuk redam…..
Selasa: jadwal kunjungan ilmiah SMP, memberikan kemajuan draft skripsi
(Depok-Kebun Raya Bogor-Kampus Darmaga-Depok)
Oke, mulai tidur sambil berjalan……
Kalau sudah seperti ini, biasanya saya mulai mengalami banyak disorientasi:
Disorientasi waktu: saat harus bermalam di rumah teman, alarm hp berbunyi dan saya bertanya-tanya sendiri, ‘Ini hari Sabtu atau Ahad?’, dan dijawab oleh sang hp, “Ini hari Senin, bodoh!”
Yah... terkadang kalau kita menginap di rumah teman, apalagi teman lama biasanya otakku berkata bahwa ‘saya sedang liburan’, jadi saya pikir ini adalah akhir pekan.
2. Disorientasi diri: keharusan untuk mobilisasi cepat ke tempat-tempat yang jaraknya tidak dekat memaksaku untuk mengendarai motor: Depok-Cibinong-Bogor-Darmaga-Bogor-Bojong Gede-Depok. Sayangnya, MENGENDARAI MOTOR ITU SAMA SEKALI BUKAN GAYAKU. Saya tipe orang yang cocoknya naik sepeda dan kereta. Namun, karena tuntutan janji dan amanah (halah..), dan berhubung kakakku yang biasanya kuandalkan masih di kantor akibat jam kerjanya yang aneh, saya harus mengendarai motor sendiri. Mengapa saya tidak terlalu suka naik motor?
Pertama, saya bukan pembalap motor.
Kedua, walaupun saya bukan pembalap motor, saya tidak bisa tidak ngebut kalau naik motor. Ibuku berpesan, “Jangan ngebut-ngebut. 40 atau 50 saja paling tinggi.” Dan saat melihat speedometer di Jalan Raya Bogor..... Eh, koq 70 km/jam?? Speedometernya rusak nih kayaknya?!
Ketiga: kalau saya naik motor, itu akan menambah polusi udara dan suara saja. Kasihan, bumi. Jadi, kalau tidak benar-benar mendesak, untuk mobilisasi jarak jauh angkutan massal itu lebih baik.
3. Disorientasi transportasi: Senin sore di Jakarta, harus mencari-cari kantor pusat Harian Republika. Patokan transportasi terakhir adalah miniarta S75. Saat naik ke atas miniarta saya merasa agak gembira karena tidak banyak penumpang. Tepatnya tidak ada penumpang lain. Saya pun bertanya ke supir, “Lewat Pejaten kan, Pak?”
Sang supir menjawab, “Oh, kita udah mau pulang, Mba. Itu, naik dari sebelah sana.”
Menunjuk ke arah seberang. Mulutku membuat sebuah bulatan O dan saya pun turun.
4. Disorientasi-disorientasi lainnya.... hmm, kadang-kadang berjalan kaki saja serasa mengambang entah di mana. Tapi saya tidak boleh berhenti bergerak. Bukankah kesabaran itu bukan berarti hanya bertahan, tetapi bersabar adalah terus melangkah dengan beban yang ada....
Justru pada hectic time seperti ini, hal-hal kecil yang biasanya saya lewatkan menjadi nikmat yang begitu besar, misalnya:
Naik kereta ekonomi penuh dan langsung ada seorang bapak yang berdiri menyilakanku duduk. Alhamdulillah....
Tertidur di kereta dan setiba di stasiun Bogor seorang ibu membangunkanku, “Sudah sampai, Mba.” Wah, banyak sekali yang begitu peduli. Alhamdulillah....
Seorang mahasiswi mengingatkan, “Awas, Mba!” saat sebuah angkot hampir menabrak dari belakang. Salah saya juga sih, berjalan terlalu ke tengah -____-“. Bersyukur ada yang teriak. Alhamdulillah....
Di dalam angkot yang penuh, sambil terkantuk-kantuk menggunakan sedikit kesempatan untuk memejamkan mata, seorang pengamen profesional menyanyi khusus untuk saya. Hahaaa.. yang ini sih, kege-eran. Habisnya, itu pengamen tidak pergi-pergi walau penumpang lain sudah memberi uang. Saya baru memberi, selesai ia menyanyikan lagu ketiga. Setelah itu ia mengucapkan terima kasih dan pergi. Agak heran juga, tapi saya sedikit terhibur karenanya. Alhamdulillah....
Dua hari berturut-berturut melihat matahari terbenam dari atas motor, dan sekali melihat matahari terbit juga dari atas motor. Ternyata matahari itu benar-benar indah. Tidak semua orang bisa menikmati hal yang sama seperti ini. Itu seperti hiburan yang diberikan Allah untuk melepas sejenak penat dan peluh selama beberapa hari ini. Alhamdulillah....
Dan di atas semuanya, hal yang paling kusyukuri adalah bahwa aku memiliki ibu yang baik luar biasa. Ujianku berantakan, tetapi saya justru disambut pulang oleh pisang goreng kesukaanku, sup jagung, jus wortel, dan buah mangga hasil memetik dari pohon di depan rumah. Ibuku berkata, “Syukuran selesai ujian.” Ibuku tidak peduli ujianku kacau, ia maklum sangat bahwa otak anaknya ini kadang cemerlang tapi kadang juga menjadi sangat dodol. Alhamdulillah.... maka nikmat Engkau lagi yang manakah yang aku dustakan?
Fabiayyi aalaa irabbikumaa tukadzzibaan..... Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kau dustakan? Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan?
***
Kewajiban itu selalu lebih banyak dari waktu yang tersedia. Hectic time seperti ini mungkin akan selalu ada, dan belum usai untuk saat ini. Namun, akan selalu ada pula nikmat dan keajaiban untuk kau syukuri. Teruslah mengalir, tetaplah memberi, dan tutuplah setiap harimu dengan mengucap ALHAMDULILLAHIRABBIL ‘ALAMIN....
-catatan 21 Juni 2012-
sunrise in Lancang Island (Polaris, 26-05-12) |
2 komentar:
"Setelah kucek-kucek mata dan mengelap iler kesadaranku baru pulih sepenuhnya." (strike face). gagal paham.
visit: aldianfarabi.blogspot.com
Al, orang-orang mah fokus di paragraf-paragraf akhir... kamu malah disana zzzt... itu namanya dramatisasi prolog :p
Posting Komentar