Tulisan ini merupakan tulisan setahun lalu saat Indonesia sedang dalam periode demam Piala Dunia dan bersamaan dengan perubahan tampuk kepemimpinan negara Pemilu 2014. Lebih daripada kedua momen besar itu, agenda paling besar yang juga sedang dijalankan oleh seluruh umat muslim dunia ialah puasa Ramadhan 1435 H. Semoga bermanfaat :)..
Sebelum kick-off semi final world cup 2014 dimulai dini hari tadi, masih jelas teringat analisis yang disampaikan oleh komentator di salah satu stasiun televisi swasta mengenai perbandingan kedua tim, antara Samba (Brazil) dan Der Panzer (Germany). Akan sulit mengalahkan Brazil, katanya. Apalagi mengingat Brazil sebagai tuan rumah dan juga pernah memboyong gelar juara dunia sebanyak lima kali.
“Brazil itu sudah identik dengan bola. Darahnya Brazil adalah bola. Bisa dikatakan bola yang mengejar Brazil. Berbeda dengan Jerman, Jerman harus mengejar bola.”
Mengejar bola!
Sambil terkantuk-kantuk dengan mata setengah terpejam, masih ada rasa ingin teriak dalam hati kepada bapak komentator itu, “Lihat saja, Pak! Der Panzer akan menang! Orang yang mengejar bola akan menang. Mereka yang mengejar bola dan berusaha mengubah nasibnya dengan berusaha, selalu mendapatkan lebih baik dari yang sekedar memiliki julukan raja bola lalu merasa sudah berada di atas angin.”
Agak sebal mendengar analisis prediksi sang komentator, karena tiba-tiba saja aku teringat salah satu tausiyah teman tentang QS.Ar-Ra’du:11. “..Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri..”
Bagiku istilah harus mengejar bola yang diprediksikan berada pada posisi yang lebih lemah daripada sang juara dunia masa lalu, justru merupakan kekuatan yang tidak boleh diremehkan. Der Panzer adalah salah satu tim tersolid yang pernah ada. Bahkan Podolski yang jarang diturunkan pada turnamen kali ini saja (akibat cedera yang dialaminya) sempat bertutur, “Ada pemain seperti Messi atau Neymar, yang mana bisa membuat perbedaan. Namun kami punya tim yang kuat, dan hal tersebut juga bisa membuat perbedaan serupa.”
Orang-orang yang berusaha untuk berubah, akan menjadi perubahan itu cepat ataupun lambat. Mungkin Der Panzer bermain tidak terlalu bagus pada beberapa pertandingan sebelumnya karena alasan cedera atau serangan flu, tapi aku yakin ia akan membuat perbedaan yang mengesankan pada pertandingan kali ini. Hmm... terlalu mengesankan bahkan. Baru kali ini ada skor 1-7 pada pertandingan puncak semifinal. Tadinya kupikir jangan-jangan akan sampai skor 0-8 seperti ketika Jerman melawan Arab Saudi di penyisihan world cup 2002 lalu. Haha.. setidaknya kali ini Jerman lebih berbaik hati pada tuan rumah, satu skor diberikan sebagai hadiah.
Kembali lagi ke QS.Ar-Ra’du:11.
Perubahan tidak akan terjadi semerta-merta seperti membalik telapak tangan. Tausiyah yang disampaikan teman di awal Ramadhan lalu membahas tentang berubah terhadap kebiasaan kita sebagai masyarakat Indonesia dalam ber-Islam. Islam tidak sekedar ritual ibadah yang diwujudkan dalam salat, puasa, zakat, dan mengaji. Islam juga merupakan akhlak yang mulia. Mengapa seringkali kita dibandingkan oleh negara lain yang terkesan lebih maju, lebih bersih, lebih tertib, dan lebih tertata pola hidupnya? Hal tersebut dikarenakan penduduknya juga memiliki sikap dan perilaku yang lebih bersih, lebih tertib, dan lebih menghargai antarsesama-nya. Hal-hal sepele seperti kesadaran membuang sampah pada tempatnya, tidak menyelak antrian, mendengarkan orang lain yang sedang berbicara di depan, atau menghargai pejalan kaki yang hendak menyeberang jalan dengan menghentikan sejenak kendaraan adalah beberapa contoh kecil yang seringkali diabaikan oleh masyarakat Indonesia, termasuk mungkin kita sendiri. Sebagian besar diantara kita sering berpikir bahwa perubahan adalah membuat program-program fenomenal sebagai wujud ekspresi aktif-kreatif (ini anak organisasi), atau memberikan pencerahan dan perubahan kepada para petani di desa (ini anak sosial pertanian), atau membuat sebanyak-banyaknya inovasi teknologi untuk kemajuan bangsa (ini anak tekno), atau mungkin berhasil menjaring dan menangkap para koruptor adalah sebuah perubahan yang membuat hati jumawa (kalo ini kata anaknya anggota KPK :p).
Bukan, bukan artinya perubahan-perubahan yang tersebut diatas tidak berarti. Tetaplah itu perubahan-perubahan besar yang harus diupayakan. Namun, perubahan tidak hanya itu. Tidak hanya perubahan besar yang akan berpengaruh besar terhadap kondisi negeri ini, tetapi juga perubahan-perubahan kecil yang nampak dan sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Perubahan kecil, jika dikerjakan dengan solid oleh warga negara indonesia yang tidak sedikit jumlahnya, akan berpengaruh besar pula, bahkan mungkin lebih besar dari yang pernah terpikirkan sebelumnya (seperti skor 1-7 Samba-Der Panzer ^^”). Permasalahannya adalah kita mau atau tidak sedikit merepotkan diri untuk berperilaku lebih bersih, lebih tertib, dan lebih menghargai sekitar kita.
Hal-hal sederhana, seperti membuang sampah pada temannya tempatnya, memilah sampah secara benar, mengantri pada jalurnya, menaati rambu-rambu lalu lintas dengan bersabar, menepati janji walau kecil, menghargai waktu, memberi kesempatan penumpang kereta keluar gerbong lebih dulu, dan memberikan kursi untuk lansia dan ibu hamil (haha..ketahuan anker-nya a.k.a anak kereta), bukan kita tidak tahu aturan-aturan sederhana itu. Logika dan naluri kita sebenarnya sudah tahu, hanya terkadang kita malas untuk menginternalisasikannya ke dalam diri. Malas untuk yakin bahwa hal-hal sederhana tersebut akan membuat perubahan lebih baik untuk negeri kita, yang otomatis berdampak pula pada kehidupan individu kita nantinya. Logika praktis mendesak bahwa kita sedang terburu-buru, maka terobos saja lampu merahnya. Tetap menaati lampu merah belum tentu menjadikan kita tidak terlambat. Logika praktis mentolerir, ah buang sampah hanya bungkus permen, hanya sedikit, hanya saya sendiri, tidak akan apa-apa, sehingga kita abai pada pelajaran TK dulu: Buanglah sampah pada tempatnya. Logika praktis kadang menyesatkan kita dengan mengatakan, kalau bukan saya yang harus mengambil lebih dulu, pasti orang lain yang akan melakukannya, sehingga menyelak antrian dan berebut segala sesuatu menjadi sebuah kebiasaan.
Apakah disini logika yang bersalah?
Tidak. Bukan logikanya yang salah. Hanya saja logika praktis tersebut muncul akibat ketidakyakinan kita terhadap potensi perubahan baik yang tidak terlihat. Kita tidak yakin orang lain akan berbalik menghargai jika kita menghargai lebih dulu. Kita tidak yakin kalau orang lain tidak akan berebutan jika kita tetap mengantri. Kita tidak yakin orang lain juga tidak membuang sampah sembarangan jika kita konsisten membuang sampah pada tempatnya. Pada akhirnya kita hanya berdalih, ah bukan hanya saya yang seperti ini, mereka juga seperti itu. Bersikap tertib dan tertata hanya membuat repot diri sendiri. Mengapa tidak mencoba berpikir sebaliknya dan menumbuhkan keyakinan bahwa jika kita selalu berusaha bersikap dan berakhlak islami, maka orang lain pun akan mengikuti kita.
Bukankah Islam disusun atas tiga pilar, yang jika salah satunya tiada maka tidak bisa ia disebut sebagai bangunan? Akidah sebagai pondasi, syari’ah menjadi dinding, dan akhlak mulia sebagai atap penaungnya? Maka seyogyanya akidah yang lurus dan syariah yang benar akan tercermin dari akhlak yang nampak dalam keseharian. Salat mencegah kita dari perilaku keji dan mungkar. Puasa menahan kita dari maksiat yang melenakan. Zakat dan sedekah seharusnya menjadi sebab kita bersikap santun terhadap yang lebih lemah. Zikir senantiasa mengingatkan kita untuk jujur dan tidak curang. Ibadah yang satu akan berpengaruh untuk memicu kebaikan ibadah-ibadah lainnya. Oleh karena itu, konteks ibadah menjadi sangat luas. Tidak hanya sebatas pada yang dianggap ritual, tetapi juga pada hal-hal sederhana dalam keseharian, namun bila diniatkan, akan bernilai sebagai ibadah.
Salah satu episode serial Umar bin Khattab yang tadi malam diputar di TV kembali membuatku tergetar. Cerita tentang masuk Islam-nya Umar yang datang melalui perantara adiknya dan lembaran kertas berisi QS.Thaha:1-8.
“Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al-Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy. Kepunyaan-Nyalah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang diantara keduanya, dan semua yang di bawah tanah. Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Dialah Allah, tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunya nama-nama yang baik.” (Thaahaa:1-8)
Allah Swt mengatakan bahwa Al-Quran diturunkan bukan untuk menyulitkan. Ibadah diperintahkan bukan untuk menyusahkan dan tidak melampaui batas kemampuan kita sebagai manusia. Beribadah sesuai dengan kemampuan kita adalah nikmat, bukan azab (Quthb 1992). Artinya aturan-aturan sederhana yang kita taati dalam kehidupan sehari-hari, sikap tertib dan menghargai yang kita tanamkan pada diri dalam rangka beribadah kepada-Nya, itu semua ada bukan untuk menyulitkan kita sama sekali. Perubahan untuk kehidupan yang lebih baik selalu ada di hadapan kita, baik dalam bentuk kecil ataupun besar. Dan darimana perubahan itu bisa dimulai? Tentu dari diri kita sendiri. Perubahan itu bisa dilakukan apabila kita mau untuk berubah dan yakin akan hasil yang lebih baik dari kemauan untuk berubah.
Yuk, senantiasa berubah menjadi lebih baik. Sudah memasuki sepuluh hari kedua di bulan Ramadhan nih. Targetan apa sajakah yang sudah kita capai? Ibadah apa lagi yang akan kita tingkatkan? Ayo kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Realisasi gampangnya dengan datang ke TPS terdekat dan mencoblos salah satu pasangan capres di bilik suara. Sudah bukan saatnya bersikap apatis terhadap negeri sendiri. Kalau kita tidak yakin pada perubahan negeri di kemudian hari, yakin saja bahwa perubahan itu niscaya terjadi.
Yang masih tidur setelah Subuh, ayo bangun. Yang lagi nonton TV santai di rumah, ayo berangkat. Yang lagi asyik dengan aktivitasnya masing-masing, ayo luangkan waktu sejenak untuk berpartisipasi pada pesta rakyat. Lumayanlah kalau kita sekalian dapat hadiah alat masak dan pisang sesikat #lupalagipuasa ^^”.
Referensi:
Quthb S. 1992. Tafsir fi zhilalil quran. Jakarta: Gema Insani.
-catatan 9 Juli 2014-
0 komentar:
Posting Komentar