Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Sudah lewat tiga pekan sejak petualanganku di negeri Jawa sana usai, baru sempat menuliskannya sekarang. Maaf yah.. Ternyata setelah selesai urusan yang satu, kita tetap harus bersungguh-sungguh (dipaksa untuk sungguh-sungguh kali yaa) untuk urusan berikutnya.
Di sini ingin berbagi sedikit pengalaman yang terlewati selama tiga pekan hidup di desa. Namanya Desa Glempang, Kecamatan Mandiraja, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia Raya (saya belum sempat mengecek kode posnya). Semacam program KKN –kuliah kerja nyata- (sebutan jaman dulu) atau KKP –kuliah kerja profesi- (sebutan jaman sekarang). Bedanya, nama program ini IGTF, IPB Goes to Field. Program yang dirancang oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) IPB untuk mahasiswa dalam rangka mengisi liburan semesternya agar lebih bermanfaat #tsaahh..
Berhubung ceritanya panjang kali lebar, luasannya kita bagi dua saja oke?
Ini bagian pertama, selamat membaca
***
Civitas akademika pendidikan tinggi idealnya dapat menerapkan apa yang disebut dengan “tridharma pendidikan”. Saya rasa kebanyakan mahasiswa –salah satu elemen dari civitas- tidak banyak yang ingat tentang komponen tridharma ini, karena biasanya kata “tridharma pendidikan” hanya familiar didengar ketika baru masuk kampus dan berstatus sebagai maba, ketika ujian KKP di semester 7 dan dosen penguji menanyakan “KKP adalah bagian dari tridharma yang mana?”, dan ketika menyanyikan hymne IPB saat gladiresik wisuda di GWW #ups. Bukan, itu bukan saya. Saya masih ingat kok, komponen tridharma pendidikan, yakni 1) belajar dan melakukan penelitian, 2) mengajarkan ilmu dan mengamalkannya, dan 3) melakukan pengabdian untuk masyarakat. Benar kan, ya? ^^”
Kegiatan IGTF ini diselenggarakan untuk melatih mahasiswa, khususnya mahasiswa-mahasiswa semester muda untuk menerapkan poin tridharma yang ke-3. Tujuan lainnya mungkin agar program-program penelitian dan kerjasama IPB dengan berbagai pemda di daerah yang jumlahnya bejibun itu ada yang bantu mengerjakan. Hehe.. Mungkin, lohh :p
Begitulah, sebanyak 27 orang akhirnya terjebak dalam program IGTF dengan tema “Pengembangan Agrowisata Durian Banjarnegara”.
Sebenarnya saya bersedia berangkat ke Banjar agak setengah hati pada awalnya. Sekitar dua bulan sebelumnya saya dikabari oleh dosen untuk membantu sebagai asisten yang mengurus berbagai administrasi pada program ini. Oh, oke. Kalau hanya asisten mungkin tidak perlu fulltime berada di sana karena dalam rentang tiga pekan itu juga bertepatan dengan hari wisuda saya tanggal 3 Juli. Lagipula saya paling sulit menolak permintaan dosen, jadi saya menerima tawaran tersebut. Saat pembukaan IGTF di auditorium, tiba-tiba nama saya tercantum sebagai ketua kelompok. Olala... ternyata maksudnya asisten pendamping dosen itu ketua kelompok?? Peserta IGTF terseleksi memang berasal dari mahasiswa semester 4 atau 6, tetapi ketua kelompok adalah alumni IGTF sebelumnya atau mahasiswa senior yang diminta tolong oleh dosen pembimbing program yang bersangkutan. Lah, itu sih tanggung jawabnya banyak, dong.. Tidak mungkin hanya sekedar mengurus administrasi.
Setelah konsultasi dengan dosen ketua panitianya, beliau merasa keberatan jika saya tidak bisa mendampingi secara penuh di desa karena alasan wisuda. Beliau meminta saya untuk cari teman yang lain saja sebagai pengganti. Saya senang sekaligus kebingungan karena rata-rata teman seangkatan di ARL sudah bekerja, sedang sibuk mengejar jadwal seminar, atau mempersiapkan ujian sidang. Saya hanya terpikir satu orang, yaitu sesama rekan asisten mata kuliah Lanskap Agrowisata yang memang sedang dijalani pada semester kemarin. Sebut saja namanya Fariz. Dia satu level dengan saya di angkatan 45, tapi usianya lebih muda tiga tahun empat bulan dari saya. Ini saya yang terlampau tua apa dia yang terlalu buru-buru masuk sekolah ya? :O
Tanpa mengonfirmasi terlebih dulu kepada yang bersangkutan, saya mengirimkan nama dan nomor teleponnya pada dosen ARL yang membimbing program ini. Sent. Ffiiuhhh... lega sudah rasanya. Saya pun kembali fokus merancang penyelesaian novel yang sudah sebulan lebih sejak dimulai tetapi baru berhasil menulis sepuluh halaman saja -___-”. Saya juga kembali menerima order panggilan untuk berpartisipasi di beberapa kegiatan terkait persiapan Ramadhan dan peringatan Hari Anak Nasional. IGTF sempurna terlupa dari dalam benak.
Haha, ini seperti menjadikan teman sebagai tumbal, karena sebenarnya Fariz juga sedang sibuk mempersiapkan sidang skripsinya. Saat itu saya berpikir kalau Fariz pasti bisa bantu membimbing junior dalam kelompok secara penuh, karena perkiraan waktu sidangnya adalah sebelum tanggal keberangkatan IGTF. Dan secara dia satu-satunya senior (selain saya) yang sudah dapat ilmu tentang agrowisata lumayan komprehensif di kelas berhubung Lanskap Agrowisata adalah mata kuliah baru di departemen kami. Ternyata oh ternyata... draft skripsi Fariz belum juga ACC sampai menjelang keberangkatan, sehingga Fariz belum mendapatkan tanggal sidang. Galaulah dunia.
Seminggu sebelum keberangkatan mendadak dosen mengirim pesan singkat yang menyatakan bahwa saya juga berangkat ke Banjar dan sudah mendapat izin dari dosen ketua panitia untuk pulang ke Bogor sebentar saat wisuda. O-ow... saya yang saat itu baru saja pulang berkeliling Brebes-Pekalongan-Cirebon langsung terperangah.. bukan terperangah.. lebih tepatnya melongo-diam-senyum-lalu meringis, saat membaca pesan tersebut. Ini bukan lagi penawaran, tetapi surat perintah. Sudah lewat sebulan lebih dan saya tidak mengikuti banyak kuliah pembekalan pada minggu-minggu sebelumnya. Tiba-tiba kepala ini pening. Saya pun langsung menghadap esok harinya untuk membantu persiapan keberangkatan. Dosen pembimbing hanya tersenyum dan mengatakan bahwa program ini tidak sulit karena pasti sudah menjadi makanan sehari-hari di ARL. Azzzt...pak -,-?? Tetap saja saya gugup karena tidak ikut pembekalan. Saya rasa dari sekitar tiga puluh kelompok yang disebar ke berbagai daerah, hanya kelompok kami yang dipandu oleh dua ketua kelompok. Eh, maksudnya satu ketua dan satu wakil, tetapi dua-duanya sama-sama galau untuk berangkat ke Banjarnegara. Fariz galau karena belum ujian sidang. Saya pun galau karena harus meninggalkan draft novel dan membatalkan janji untuk berbagai kegiatan yang telah direncanakan sebelumnya.
Usut punya usut, rupanya tidak hanya kami yang berangkat ke Banjar setengah bingung, setengah galau, dan setengah porsi, eh.. setengah hati maksudnya. Ke-25 peserta IGTF Banjarnegara yang lainnya juga ‘tertipu’ di awal-awal pendaftaran IGTF karena mengira desa di Banjar yang akan dijadikan pengembangan agrowisata durian ini adalah daerah yang durian-nya sudah tumbuh dan berbuah. Ternyata program ini adalah perencanaan desa untuk dikembangkan sebagai kawasan agrowisata durian. Tentu saja buah duriannya belum ada. Wong pohon-pohonnya saja baru usia setahun-dua tahun. Setidaknya masih harus menunggu tiga hingga lima tahun lagi untuk bisa menikmati buah durian jenis simimang yang katanya lebih enak dari durian montong ini.
Perencanaan lahan (tapak) untuk agrowisata memang bidangnya ARL banget sih... tapi karena mungkin banyak yang tertipu di awal itu sehingga banyak yang mendaftar untuk program ini beragam dari berbagai departemen dan fakultas. Dari sembilan fakultas di IPB, hanya Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Perikanan, dan Fakultas Kehutanan yang tidak ada dalam kelompok kami. Tapi ya itu, yang niat awal semangat ikut agar bisa makan durian gratis harus menelan (sedikit) kecewa karena makan durian gratisnya tidak jadi. Hehe... engga juga, ding. Itu niatan sampingan. Kebanyakan dari kami mengira tema program ‘pengembangan agrowisata durian’ artinya di desa sudah tersedia industri pertanian (atau si durian dan teman-temannya itu) dari hulu sampai hilir. Dari pembibitan tanam hingga pengolahan pasca panennya. Karena itulah banyak dari mahasiswa Agribisnis yang mendaftar pada program ini. Ada pula mahasiswa dari Teknologi Pangan yang ikut berniat mengaplikasikan ilmunya karena berpikir hal serupa.
Well, walaupun semuanya sama-sama bingung, kami tetap saja berangkat dengan gembira. Bagiku hal yang pertama harus dilakukan adalah kembali meluruskan niat. Kami pergi ke desa untuk mengabdi pada masyarakat #tsaahh, untuk membantu dosen dan program IPB, juga untuk saling belajar dengan masyarakat desa. Tidak ada yang memaksa kami untuk mengikuti program ini. Tidak ada nilai dan SKS yang akan kami peroleh. Tidak juga liburan santai seperti teman-teman lainnya yang langsung pulang ke kampung halaman begitu ujian semester berakhir. Kami ingin pengalaman baru. Bertemu orang baru. Melakukan sesuatu yang bisa lebih bermanfaat untuk diri kami juga memberi kebermanfaatan untuk yang lainnya. Bukankah sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain?
***
Ada tiga program utama yang harus kami kerjakan selama di desa dari 23 Juni – 14 Juli 2013. Pertama, membuat siteplan (rencana tapak) kawasan inti agrowisata durian, melanjutkan pra-siteplan yang telah dibuat oleh dosen pembimbing sejak setahun sebelumnya. Kedua, memetakan profil lahan untuk perencanaan irigasi menuju tapak. Ketiga, menyusun dan menentukan tipe polikultur yang paling sesuai untuk diterapkan pada tapak. Namun, seperti dugaan Pak Sarwono dan Mas Ayip yang disampaikan pada pembekalan khusus bagi para ketua kelompok menjelang keberangkatan, waktu tiga pekan sangatlah singkat untuk turun desa. Untuk bersosialisasi dan menggali potensi desa saja bisa menghabiskan waktu satu pekan sendiri. Untuk mengenali berbagai masalah yang sesungguhnya ada di desa butuh waktu lebih lama lagi. Loh, kami sudah dibekali dengan tema-tema khusus untuk dikerjakan selama tiga pekan di desa, kok. Apakah itu yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat desa tujuan kalian? Bukankah tema ini diangkat karena IPB sudah orientasi terlebih dahulu ke sana? Itulah kebiasaan jeleknya IPB (oops..), selalu menentukan program lebih dulu sebelum benar-benar bersosialisasi dengan masyarakat desa. Haghag... begitu ya? Sudahlah. Toh kita tidak dituntut untuk melakukan dan menyelesaikan segala masalah. Kita hanya diminta untuk mengerjakan sesuatu yang bermanfaat. Jalani sajalah. Hidup di desa pasti banyak cerita.
Benar saja seperti yang dikatakan oleh Pak Wono dan Mas Ayip. Begitu satu per satu masalah petani di desa terkuak, kami mulai kelimpungan.
Hari pertama kami tiba di desa, kami langsung turun lapang ke tapak. Tapak perencanaan kami berada di Pertapan, suatu area berbukit seluas ±10 hektar yang dahulu hanyalah lahan tidur, tetapi sekarang mulai banyak digarap untuk sawah dan kebun. Khususnya dua tahun belakangan ini, petak-petak lahan di Pertapan sudah ramai ditanami pohon durian sebagai tanaman utama dan pohon pisang rajalawe sebagai tanaman sela. Pada tapak ini juga terdapat lahan bengkok, istilah untuk lahan yang dapat digarap dan hasilnya diperuntukan bagi kepala desa yang sedang menjabat saat itu.
Kami naik sampai puncak pertapan untuk orientasi lahan. Saat itu hari sudah sore, hujan pula. Beberapa alas kaki menjadi korban keganasan tanah kebun yang jika basah maka kau-tahu-bagaimana, sehingga beberapa pasang sandal terjebak dalam tanah dan ketika diangkat paksa talinya pun putus. Turun dari Pertapan, warung kelontong menjadi tujuan utama. Berburu sandal, deterjen, dan air mineral.
Malam harinya kami mendapat undangan untuk menghadiri pertemuan rutin kelompok tani dusun tempat kami tinggal yang selalu diadakan pada malam Selasa Kliwon. Namanya kelompok tani Sido Subur, bagian dari gapoktan (gabungan kelompok tani) Gandul. Tidak semua anggota kelompok ikut, karena hari sudah malam...ikan bobo...eh, maksudnya cukup beberapa perwakilan kelompok saja yang hadir untuk perkenalan. Sebagian yang lain bisa istirahat lebih awal karena kami memang belum benar-benar beristirahat sejak keberangkatan sore sehari sebelumnya. Di sisi lain saya bersyukur karena hari pertama kami berada di desa bertepatan dengan kumpul rutin poktan. Kami bisa bersosialisasi lebih cepat dan bisa menggali banyak hal seputar pertanian desa lebih awal kepada para petani tanpa perlu bersusah-susah. Namun, saya sempat mati kutu seperti yang dikhawatirkan sebelumnya. Selesai perkenalan dan ketua kelompok menyampaikan rencana program kami tentang pembuatan siteplan selama di desa, dibukalah sesi tanya jawab. Dan... pertanyaan para petani tidak berhubungan langsung dengan rencana program kami. Rata-rata mereka bertanya seputar hama tanaman, tentang perbandingan pupuk, dan PETERNAKAN!! O-oww.. matilah awak. Awak sudah lama lupa materi seputar hama penyakit tanaman dan perpupukan yang pernah didapat di semester-semester awal dulu. Apalagi bicara seputar peternakan??! Belum pernahlah awak belajar tentang dunia kambing dan sejenisnya.
Salah seorang petani bahkan bertanya dan menunjuk langsung saya, “Saya ingin Mbak yang berkerudung hijau yang menjawab. Kalau di pohon pisang saya ada @#$xyz237^!p?*#%.. itu berarti hama apa ya? Dan harus dikasih apa pohonnya?”
Saya yang merasa ditunjuk oleh sang bapak mendadak bingung dan gugup. Saya tidak berkerudung hijau, Pak. Ini warna kerudungnya biru -.-“...
“Ehm, terima kasih Pak untuk pertanyaannya. Jadi begini, kelompok kami terdiri dari berbagai mahasiswa dari berbagai jurusan. Pertanyaan Bapak sepertinya berkaitan langsung dengan jurusan Hama dan Proteksi Tanaman. Mahasiswa HPT akan lebih ahli untuk menjawab pertanyaan Bapak. Insya Allah pertanyaannya akan dijawab oleh Trini dan Dian. Silakan Trini.”
Saya menoleh ke kiri, menatap Trini yang duduk di sebelahku, dan tersenyum manis. Trini pun berdiri dan menjawab pertanyaan dengan berdiplomasi. Tidak menjawab langsung secara tepat, tentu. Tetapi diplomasinya mampu membuat sang petani mengangguk-anggukkan kepala. Ffiuhh... bersyukur untuk yang kesekian kalinya. Terkadang kemampuan ngeles itu perlu untuk selalu diasah ya??
Beruntung sekali saya dikelilingi junior-junior yang baik dan cerdas. Bersyukur Fariz masih bersedia jadi ketua kelompok di tengah kegalauannya meninggalkan revisi skripsi. Bersyukur juga junior-junior saya di kelompok IGTF ini karakternya unik-unik. Ada yang heboh, aneh, kalem, rusuh, ceriwis, sampai pendiam. Jika ingin lebih mengenal personel-personel De Glempangers lebih jauh dan cuplikan kehebohan kami selama di desa, bisa dibaca di sini http://prajanaparamita.tumblr.com/post/55926787527/oleh-oleh-igtf-2013-dari-banjarnegara, ditulis oleh Mita ARL 48.
***
Selama di desa, kami tinggal di beberapa rumah warga yang tidak jauh dari rumah tinggal Pak Kades. Kami dibagi ke empat rumah. Anak laki-laki yang berjumlah sembilan disatukan di satu rumah. Yang perempuan dibagi ke tiga rumah dengan perbandingan empat, enam, dan delapan. Saya berada di kelompok rumah kapasitas enam. Rumahnya Mbah Kartinem. Rumah yang juga paling sering dijadikan basecamp kumpul untuk diskusi, kerja kelompok, atau sekedar rujakan.
Rata-rata rumah di desa kerangkanya terbuat dari bambu. Jarang atapnya dilapisi oleh plafon atau internit, sehingga dengan leluasa kita menjelajah tatap susunan genting di atas rangka bambunya. Terkadang ada sarang tawon juga yang bertengger di langit-langit yang bisa jatuh sewaktu-waktu. Kalau di rumah Mbah Kartinem, dinding dan lantainya masih berupa semen tanpa keramik. Bagian dapurnya juga terbuat dari semen berpasir yang belum diaci. Berbeda dengan ketiga rumah lainnya yang sudah berkeramik dengan dinding ber-cat.
Kondisi kamar mandi juga bermacam-macam. Ada yang kamar mandi dan bak-nya sudah berkeramik. Ada juga yang masih khas desa, berupa lantai semen kasar bertekstur dan bak mandi bata semen licin yang ukurannya super besar. Posisi dapur dan kamar mandi biasanya terpisah dengan ruang utama dan kamar tidur. Mereka selalu ditempatkan di daerah paling belakang dari rumah. Kadang untuk ke kamar mandi saja harus melewati kandang kambing dulu. Haha... kalau ini sih memang pergi ke kamar mandi rumah sebelah yang letaknya bersisian dengan kandang kambing. Selain itu, yang khas lagi dari desa di Jawa adalah eksistensi dari ember khusus wudhu yang pasti ada di hampir setiap kamar mandi rumah. Ember ini biasanya terbuat dari kaleng bekas cat atau ember adukan semen yang warna hitam itu. Bagian tepi bawahnya dilubangi agar berfungsi layaknya keran wudhu.
Berbagai macam hewan sangat mudah kami temukan di sini. Mulai dari ayam, kucing, kambing, lele, ular, capung, belalang sembah (kadang sampai masuk-masuk ke kamar juga), tokek, jangkrik, kodok, kadal, tikus, kecoa, dan masih banyak lagi. Tetapi yang paling menyenangkan bagi saya adalah saat lepas magrib dan hari mulai gelap, ada banyak kunang-kunang yang beterbangan di sekitar rumah. Masha Allah.... fenomena yang hampir tidak bisa ditemukan di perkotaan sana. Saya pernah bertemu kunang-kunang di Bogor, satu atau dua kali, hanya seekor-dua ekor saja. Di sini, saya melihat puluhan kunang-kunang menari bercahaya dengan cantiknya dalam gelap.
Waduh, ini sudah hampir enam halaman dan belum cerita sama sekali tentang kegiatan kami selama di sana. Huffft... kita simpan untuk bagian kedua nanti ya. Supaya tidak pegal bacanya. ^^
Untuk bocoran saja, kegiatan kami selama di desa tidak hanya berfokus pada tiga rencana program utama. Selain blusukan naik-turun sawah, kebun, dan sungai untuk mengukur dan memetakan lahan, kami juga melakukan banyak aktivitas sampingan, seperti membantu proses pilkades, sadranan dan gugur gunung, social mapping keliling-keliling dusun, geropyokan tikus di sawah, sampai melancong kabur ke Dieng untuk studi banding.. eh, untuk liburan deng. Pernah sebenarnya kami sibuk berdebat dan berdiskusi membicarakan bagaimana strategi agar dosen-dosen LPPM batal supervisi ke desa. Karena tanggal kedatangan mereka untuk supervisi berbarengan dengan tanggal upacara potong rambut gimbal di Dieng. Kami sangat ingin melihat upacara adat khas Dieng tersebut. Moso’ sudah jauh-jauh ke Banjarnegara kami tidak berkunjung ke Dieng yang eksotis itu? Walaupun Dieng mungkin lebih terkenal sebagai bagian dari Wonosobo, sesungguhnya 70-80% daerah Dieng termasuk Kabupaten Banjarnegara, lho... Berbagai strategi akhirnya kami perbincangkan, mulai dari membujuk dosen bahwa kami diundang langsung ke sana oleh ketua DPRD Banjarnegara, sampai rencana merubuhkan jembatan Kali Sapi yang menghubungkan Desa Glempang bagian utara dan bagian selatan sehingga para dosen tidak bisa sampai ke rumah Pak Kades. Lah, itu sih artinya kami juga tidak bisa pergi ke Dieng juga jika jembatannya dirubuhkan?? Ckckck... brutal-brutal sangat ini mahasiswa.
Aduh, ini kenapa jadi cerita lagi? Sudah dulu yaa... sudah dulu... ditunggu yaa bagian duanya nanti.
Selamat mudiiiik ^o^... #eh selamat memaksimalkan ibadah di akhir Ramadhan yang sebentar lagi pergi :’(... semoga puasa dan semua ibadah kita berkah dan diridhoi yaa, aamiin...
Depok, 4 Agustus 2013
15.30
para personil De Glempangers |
-catatan 4 Agustus 2013-
0 komentar:
Posting Komentar