Sedikit diskusi yang saya dan beberapa teman perbincangkan bersama dosen di jurusan kami beberapa waktu lalu membuat saya kembali memetik hikmah. Awalnya kami hanya membahas tentang hal-hal berbau akademis, sampai akhirnya saya yang suka kepo menanyakan kabar perihal putri sang dosen yang dulunya merupakan adik kelas saya sewaktu SD. Dosen saya begitu bersemangat bercerita tentang hal-hal menarik yang dialami putrinya dewasa ini, termasuk menjadi salah satu mahasiswa berprestasi di jurusannya. Putrinya tengah menempuh pendidikan di salah satu kampus ternama di Bandung dan akan melakukan praktik magang di sebuah perusahaan di Medan.
Hal paling menarik dari cerita dosen yang membuat saya mengoneksikan dengan berbagai hal yang juga saya alami adalah tentang pesan ibundanya kepada beliau. Sang ibunda berpesan, “Ibu telah menyekolahkan kamu, mendidik kamu, dan memberikan yang kamu butuhkan. Ibu tidak ingin meminta apapun, hanya ingin kamu bertanggung jawab terhadap anak-anakmu nanti.”
Hal itulah yang selalu dipegang teguh oleh beliau dan disampaikannya pula kepada kami. Bertanggung jawab terhadap anak. Membalas kebaikan dengan cara meneruskan kebaikan tersebut kepada generasi selanjutnya. Indikator kita berhasil mendidik anak adalah jika cucu kita nanti memiliki akhlak yang lebih baik daripada kita sendiri. Estafet kebaikan.
Saya jadi teringat perjalanan saya ke Korea tahun 2012 lalu. Saat itu saya dan teman seperjalanan bertemu dengan seorang kakek 64 tahun yang hendak pulang dari petualangannya mendaki Gunung Bromo. Saya yang suka iseng menyapa-nyapa orang, dengan sok berani mengucapkan ‘Annyeonghasimnikka’ (sapaan halus dalam bahasa Korea) kepada kakek bertopi rotan itu di ruang tunggu bandara Soetta. Saya yang sebenarnya agak gugup karena pertama kalinya pergi ke luar negeri tanpa orang dewasa (haha.. umur 20-an masih anak-anak yah?? ^^’) dan harus memimpin tim, merasa lega bisa mendapat kenalan orang Korea yang begitu ramah. Ini perjalanan pertama saya ke Korea, dan begitu melihat mimik wajah sang kakek, saya merasa bahwa kami akan dikawal selama transit di Kuala Lumpur sampai tiba di Incheon nanti.
Benar saja. Sang kakek, anggap saja namanya Mr.Kim, bukan hanya membantu kami di urusan keimigrasian di bandara dan memesankan tiket bis untuk kami sampai ke tempat konferensi, tetapi juga mencarikan kami penginapan murah di Seoul saat kegiatan konferensi yang kami ikuti telah usai. Mr.Kim agak ngomel-ngomel karena menelepon berkali-kali ke kamar penginapan dan tidak ada yang mengangkat. Ia menelepon sejak pukul 9 pagi, padahal kami sudah meninggalkan penginapan dan melanglang buana keliling Seoul sejak pukul 8.30. Telepon baru kami angkat pukul 11 malam dan beliau mengontrol kami dengan menanyakan seluruh aktivitas kami seharian itu. Saya cukup maklum Mr.Kim agak khawatir, tapi akhirnya ia tertawa mendengar ceritaku dan teman-teman.
Mr.Kim mengajarkan kami cara menggunakan tiket elektrik untuk naik kereta bawah tanah, menjelaskan cara penyewaan sepeda, dan bercerita banyak tentang lingkungan tempat penginapan kami di Eung Am. Malam terakhir kami di Seoul, Mr.Kim bersedia mengantar kami ke beberapa tempat yang belum sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu dengan Veloster-nya. Bersyukurnya saya karena masih bisa mengelilingi Seoul sekali lagi tanpa harus naik-turun tangga stasiun subway. Dan meskipun kami berkata tidak usah diantar ke bandara karena kami tahu itu hari kerja dan Mr.Kim harus berangkat ke kantor, esok paginya tetap saja kami dikagetkan oleh Mr.Kim yang sudah siap di depan penginapan untuk mengantar kami.
Jujur saya dan teman-teman begitu bersyukur dan merasa ajaib dengan perjalanan kami selama di Korea. Mr.Kim hanya salah satu dari banyak kebaikan yang kami terima lainnya dari saudara-saudara kami sebangsa dan orang-orang yang kami temui sepanjang perjalanan. Mr.Kim berkali-kali juga cerita bahwa kebaikannya pada kami adalah untuk membalas kebaikan seorang Indonesia berkebangsaan Surabaya, eh... maksudnya seorang Bapak -kita sebut saja namanya Pak Aan- yang berdomisili di Surabaya dan telah banyak membantunya. Pak Aan, seperti Mr.Kim pada saya dan teman-teman, juga bertemu dengan Mr.Kim secara tidak sengaja di Soetta. Pak Aan agak kaget ketika berkenalan dengan Mr.Kim yang akan mendaki Gunung Bromo untuk pertama kalinya dan mengaku tidak tahu cara untuk ke sana. Pak Aan-lah yang mencarikan transportasi ke Malang, memesankan penginapan, dan membantu banyak dalam hal komunikasi dengan penduduk lokal. Mr.Kim berkata bahwa saya harus berterima kasih pada Pak Aan. Karena kebaikan yang diterimanyalah, beliau jadi begitu bersemangat memberikan kebaikan yang sama untukku dan teman-teman. Sekali lagi, estafet kebaikan.
Saya pernah mendengar kata-kata “balaslah kebaikan orang yang berbuat baik kepadamu dengan berbuat lebih baik kepada orang-orang lain”. Seorang teman sekaligus pejabat tinggi BEM di kampus yang tampaknya semakin banyak saja fans-nya dari hari ke hari juga pernah menulis tentang ia yang semakin yakin bahwa setiap kebaikan akan berbalas kebaikan lainnya. Tentang harapannya bahwa semua kebaikan yang ia terima dapat menjadi kebaikan yang lebih untuk banyak orang. Dan itulah yang dilakukannya: terus berbuat baik.
Jika semua orang hanya berpikir untuk memberi dan bukan menerima, tentu ketamakan manusia tidak akan menjadi penyebab hancurnya sebuah peradaban ya...
Jika semua orang tua berpikir bahwa kebaikan yang diberikan pada anak bukan untuk menuntut sang anak mengembalikan semua pengorbanannya ketika dewasa, melainkan agar sang anak bisa meneruskan lebih baik lagi pada generasi berikutnya, dapat dibayangkan generasi mendatang akan menjadi sangat luar biasa...
Jika setiap orang yang mendapat satu kebaikan membalas minimal dengan satu kebaikan yang sama pada orang lain, tentu akan semakin bertebaran kebaikan di muka bumi...
Bersyukurlah. Mungkin kebaikan yang kita terima adalah buah dari kebaikan-kebaikan kecil yang telah kita lakukan sebelumnya. Bukankah Allah Swt juga barkata, “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS.Al-Zalzalah:7)
Tetaplah berbuat baik, walaupun kita dicela, walaupun kita tidak dilihat orang. Tetaplah berbuat baik dan balaslah orang yang berbuat baik pada kita dengan berbuat lebih baik lagi pada orang lain. Semua kebaikan itu berasal dari Allah, bukan? Jadi tidak ada sedikitpun alasan bagi kita untuk merasa tinggi hati dan enggan berbuat. Semoga saya, kamu, dan kita semua bisa terus berlomba-lomba dalam kebaikan yaa ;)
“...Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...” (QS.Al-Maidah:48)
-catatan 23 Mei 2013-
-catatan 23 Mei 2013-
0 komentar:
Posting Komentar