sumber: luruskanlah.blogspot.com |
Beberapa waktu lalu, aku berkesempatan silaturahim ke rumah salah seorang ustad di Sukabumi. Dalam perbincangan kami sempat membahas tentang fenomena real estate pemakaman yang sekarang mulai digemari oleh para investor Tiongkok, bahkan kabarnya investor properti muslim juga berencana membangun komplek pemakaman yang mewah. Alasannya agar keluarga atau kerabat yang berkunjung dan ingin ‘nyekar’ merasa nyaman.
Kalau investor Tiongkok membangun real estate pemakaman pastinya karena ada unsur budayanya juga. Mereka mengincar konsumen dari etnis mereka yang berlimpah harta atau siapapun yang memang bingung tumpukan hartanya ingin digunakan untuk apa. Berhubung kebutuhan untuk yang hidup sudah cukup bahkan berkelebihan, akhirnya mereka mengalokasikan harta untuk membahagiakan keluarga di alam sana.
Per kavling satu jenazah bisa memakan lahan hingga 10x10 meter persegi. Cobalah hitung perkiraan harga untuk satu ‘rumah masa depan’ itu. Katanya lagi semakin dekat dengan jalan, harga tanahnya akan semakin tinggi. Apa sebab? Entahlah, mungkin karena tepi jalan berpotensi untuk membuka dan membangun usaha. Lalu akupun membayangkan adegan dimana para zombi dan arwah berbaju putih menjaga ruko dan menjajakan dagangan mereka pada setiap orang dan kendaraan yang lewat. Oh, no.... aku kebanyakan menonton film.
Well, kita cukupkan pendahuluannya sampai khayalanku tentang arwah-arwah orang Tiongkok yang membuka usaha di pinggir jalan. Sekarang mari masuk ke bab pembahasan.
Jika ada orang yang berbicara tentang pemakaman, tentu asosiasi terdekatnya adalah..... jurig (hantu).
Ups, sori...salah lagi. Mati. Tadi kita sedang bicara tentang mati, bukan?
Beberapa hari belakangan, pengingat mati itu rasanya sering kutemui. Namun kali ini, hikmah yang kuperoleh bukanlah tentang diri sendiri yang pasti akan mengalami mati, lalu bekal apa yang sudah dipersiapkan, masih punya hutang atau tidak, de el el de es be yang berkaitan dengan mati itu sendiri. Bukan tentang itu. Ini adalah cerita dari sisi yang berbeda. Tentang orang yang ditinggalkan.
***
1. Mahasiswi S1 IPB
Kamis, 16 Oktober. Pagi hari itu kuliah Penilaian dan Pengukuran Perkembangan Anak baru saja usai. Kami di kelas masih sibuk otak-atik laptop, memperbaiki instrumen bahan praktikum atau sekedar berselancar di internet mencari bahan. Seorang teman memperdengarkan musik agak keras karena dosen sudah tidak ada di kelas, jadi kami bebas berekspresi. Sampai teman yang lain tiba-tiba menyuruhnya untuk mematikan lagu yang sedang asyiknya mengalun.
“Diam sebentar. Seperti ada yang menangis di luar.”
Dua orang yang paling dekat pintu bergegas keluar. Ternyata benar, seorang gadis berjilbab sedang menangis histeris. Tangan kirinya menempelkan handphone ke telinga kiri, sementara seorang temannya yang juga berjilbab menopangnya dari sebelah kanan.
“Kenapa? Ayo, masuk dulu. Jangan di koridor. Masuk saja.”
Temannya menggeleng belum mengerti saat ditanya perihal penyebab menangis yang tiba-tiba itu. Sampai akhirnya seorang teman kami yang juga seorang guru berusaha menenangkan sang gadis sambil memeluknya.
“Sayang, tenang dulu ya. Handphone-nya dilepas dulu. Coba istigfar, astagfirullahaladzim...”
Gadis itu tidak mau melepas handphone-nya. Menangis sesengukan sesaat, lalu histeris kembali meraung pada lawan bicaranya di telepon. Berteriak-teriak memanggil ibunya. Jelas sudah. Ayahnya menelepon untuk mengabari bahwa ibunya tiada.
Setelah cukup tenang dan temannya mendampingi keluar ruangan, kami membahas hal ini di kelas. Bergabung dengan mahasiswa S2 IKK membuatku terlibat pada analisis setiap emosi dan perilaku manusia. Hal baru yang cukup unik menurutku.
“Bapaknya salah itu. Tidak seharusnya memberitahu anak langsung lewat telepon. Seharusnya bilang untuk menyuruh pulang saja, tetapi jangan langsung dikabari begitu. Ya, shock-lah!”
“Tapi memang kulihat anaknya emosional. Hampir tidak bisa tenang, dituntun istigfar saja tidak bisa.”
“Kalau begitu berarti masuk kategori mana?”
“Self control. Itu berkaitan banget dengan kontrol diri.”
“Dan self control itu bergantung sekali dengan input yang membentuk konsep diri.”
Yap. Aku hanya mendengarkan diskusi teman-teman sekelas sambil terkesima. Pertama, aku speechless karena baru pertama kali melihat langsung seorang yang histeris sambil teriak-teriak mendengar kabar kepergian orang terkasihnya. Pengalaman beberapa teman semasa sekolah hingga S1 yang ditinggal pergi ayah atau ibunya, tidak pernah sampai teriak-teriak seperti itu. Apakah mereka menangis? Iya. Apakah mereka bersedih? Jelas. Tapi melihat ekspresi histeris secara langsung, ini baru pertama kali. Biasanya aku hanya menonton di drama televisi.
Kedua, teman sekelas yang seorang guru dan tadi menenangkan sang gadis itu juga baru saja pulang dari memakamkan ayahnya di Bandung. Ia baru tiba pagi hari dan langsung ke kampus untuk kuliah. Beliau beralasan, daripada bengong di rumah dan tambah sedih, lebih baik kuliah. Sebuah paradoks sikap dan perilaku emosi yang bersumber dari faktor kejadian serupa, menurutku.
Jadilah bercampur baur di hati rasa ikut bersedih, prihatin, sekaligus heran. Mungkinkah histeris itu pun reaksi yang wajar jika mendengar kabar tentang kematian? Apakah mungkin karena kematian sang ibu yang begitu tiba-tiba, bukan karena sakit yang sudah diketahui, sehingga sang anak begitu terpukul hingga bereaksi demikian?
“Tetap saja, itu balik lagi ke kontrol diri.”
Well, aku tidak berani membuat penilaian apapun. Jadi aku tidak memberikan pendapat apapun. Namun terlintas sesaat di hati, semoga aku tidak perlu bereaksi demikian jika harus berada di posisinya.
2. Mr.Kim
Baru sepekan sejak aku pulang dari Korea tanggal 13 Oktober lalu. Selain presentasi paper yang harus kulakukan pada acara Simposium Internasional Arsitektur Lanskap Budaya Asia, anugerah lain yang sangat kusyukuri adalah bisa bertemu kembali dengan orang yang pernah menolongku dan tim saat pertama kali ke Korea dua tahun lalu. Kami pertama kali bertemu di ruang tunggu Bandara Soetta. Ia dan temannya baru saja turun Gunung Bromo. Cerita selengkapnya dapat dibaca di catatan berikut ini..
Dulu aku mengira Mr.Kim adalah seorang yang hidup sendiri, karena saat kami menanyakan rekan naik gunung yang kami kira istrinya, beliau membantah.
“Actually she is not my wife. I live alone, and she lives alone too. So, I ask her to the mountain.”
Mengajak nenek berusia 60-an yang hidup sendiri untuk naik gunung dengan alasan mengusir kejenuhan adalah sesuatu yang tidak logis, menurutku, saat itu. Ok, forget it! Kesimpulan dua tahun lalu yang kuperoleh adalah bahwa Mr.Kim tidak menikah. He lives alone, and he is a mysterious man though.
Entah kenapa saat bertemu kembali dua tahun kemudian, ia menjadi lebih terbuka dan banyak bercerita padaku. Ternyata aku salah. Ia pernah menikah dan memiliki dua orang putera. Istrinya meninggal empat belas tahun yang lalu. Dan sejak itu ia menganggap bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang indah. Sampai sekarang kedua anak lelakinya pun belum menikah. Entah karena belum ingin, tidak merasa butuh, atau mendapat doktrin dari bapaknya tentang cara pandang terhadap pernikahan.
“Jika misalkan saya harus terlahir kembali, saya pun akan memilih untuk tidak menikah. Karena kehilangan orang yang dicintai itu sangat berat rasanya,” ceritanya padaku.
Oh, Appa... T_T... Bagiku pernyataan tersebut mengekspresikan betapa ia masih terluka karena ditinggal oleh orang terkasihnya. Rasanya ingin sekali berkata, ‘Perpisahan itu hanya jasad, Appa... Di dalam Islam kita akan kembali bersama dengan orang-orang yang kita cintai. Masuk Islam dong, Appa..’ :”
3. Ummi dan Ilham
Tanggal 19 Oktober lalu aku diajak silaturahim mengunjungi salah seorang kerabat jauh di Sukabumi. Beliau adalah pengasuh dari ibunya sepupuku dari pihak ibu. Duh, ini ribet amat yah menyampaikan silsilahnya. Intinya adalah beliau tidak memiliki hubungan darah dengan kerabatku di Sukabumi, tetapi sudah dianggap seperti ibu sendiri. Panggilannya Ummi.
Ummi hanya memiliki satu puteri kandung. Puteri satu-satunya ini meninggal tidak lama setelah melahirkan anak yang kedua. Saat anak kedua -namanya Ilham- berusia dua bulan, sang ibu tiada. Mereka sekarang hidup berdua di rumah sederhana di daerah Baros, daerah yang sejuk dan banyak sawah di sekitarnya. Ayah sang anak telah menikah lagi dan hidup berbeda pulau dengan Ilham. Kakaknya Ilham sudah SMA dan tinggal di asrama akademi, tidak tinggal di rumah. Jadi di rumah tersebut hanya ada Ummi dan Ilham yang kini telah berusia dua tahun.
Lagi-lagi aku dibuat speechless. Membayangkan seorang ibu yang kehilangan puteri satu-satunya dan seorang anak yang kehilangan ibunya saat masih bayi. Dalam usia tersebut, Ilham seolah sudah dibuat mengerti tentang takdir yang harus dijalaninya. Saat diajak mengunjungi makam ibunya dan ada orang yang bertanya, dia akan berkata, “Iya, ibu kan lagi istirahat disini.”
Ilham memiliki mata jenaka. Bicaranya sudah sangat lancar, meskipun ia masih suka mengemut empeng. Ia bisa merespon dengan sangat baik setiap kata dan pertanyaan orang yang diarahkan kepadanya. Ia sudah bisa disuruh belanja ke warung oleh neneknya di usia dua tahun ini. Ia masih sangat kanak-kanak dengan segala aktivitasnya yang tidak bisa diam dan suka bermain, tetapi betapa aku belajar kedewasaan darinya.
Ilham |
Cerita Ilham mengingatkanku pada cerita Karel. Anak pertama dari pasangan senior kampus yang harus kehilangan ibundanya 30 menit setelah ia lahir ke dunia. Karel berulang tahun yang pertama tanggal 17 Oktober kemarin. Ulang tahun pertama yang untuk orangtua pada umumnya adalah hari spesial penuh sukacita, namun ulang tahun pertama bagi Karel adalah juga berarti hari kepergian ibunda yang sudah berusia satu tahun.
Ayahanda Karel memberinya nama demikian agar sang anak tumbuh menjadi seorang muslim yang kuat. Betapa Karel memiliki orangtua yang luar biasa. Sang ayah berjuang agar dirinya tetap mendapatkan ASI eksklusif, menulis buku demi memperkenalkan sosok sang ibu pada Karel, dan mendampingi setiap proses tumbuh kembangnya. Untuk mengenal Karel lebih dekat, pemirsa dapat mengunjungi laman Facebook “Karel Sulthan Adnara” atau membaca buku “Surat Untuk Karel”.
Selain mengunjungi Ummi, Ilham, dan kerabat lainnya di Baros, kami juga mengunjungi kerabat lain di Cicurug. Disana aku beroleh satu cerita lagi tentang kematian. Kali ini tentang sang ibu yang belum lama kehilangan anaknya akibat lahir prematur. Bukan saudara di Cicurug yang kehilangan anak, tetapi kakak iparnya yang saat ini tinggal di Palembang. Kalau yang di Cicurug sih, lagi ‘isi’ lagi anak yang ketiga. Sudah usia kandungan lima bulan.
Lagi dan lagi. Pikiranku tak pernah lepas dari Kemahabesaran Allah yang selalu merancang setiap skenario kehidupan dengan begitu menakjubkan. Lidah ini sungguh kelu dibuatnya. Datang dan pergi yang silih berganti. Terbit dan tenggelam yang selalu pasti untuk matahari. Hidup dan mati. Beuh... sok puitisnya keluar.. :p
4. Ibuku dan kakek
Yang terakhir ini adalah sosok wanita terkuat yang pernah kukenal selama hidup. Tanggal 27 September lalu, ibuku baru saja kehilangan ayahnya alias kakekku. Awalnya aku sempat tidak percaya karena yang mengabariku perihal berpulangnya kakek justru om sepupu, bukan ayah atau ibuku. Kabar terakhir yang kutahu, kakekku dalam kondisi sehat, walaupun beberapa minggu sebelumnya sempat masuk rumah sakit untuk perawatan.
Berpulangnya kakek melengkapi ibuku yang hanya dua bersaudara itu kehilangan kedua orangtuanya. Pertama kali ibuku kehilangan Mamih-nya adalah saat kelas 1 SMA. Mamih, nenek kandung yang belum pernah kutemui secara langsung meninggal karena Diabetes Mellitus Tipe 1.
Sepanjang Mamih sakit, ibuku membantu merawatnya, bergantian dengan Papih menyuntikkan insulin setiap hari. Ibuku termasuk tipe anak yang sangat akrab dengan orangtua, bahkan teman-teman ibuku juga dekat dengan Papih dan Mamih. Sejak kecil, teman-teman ibuku sering menginap di rumahnya, dan terbiasa memanggil Mamih dan Papih dengan sebutan yang sama.
Ketika Mamih meninggal, teman-teman ibuku seolah tampak lebih kehilangan daripada ibuku sendiri. Ibuku bahkan tidak menangis, saat di rumah sakit, maupun saat di pemakaman. Seorang rekan Mamih sampai salah sangka ketika hendak berbelasungkawa.
“Yang sabar ya, Nok.” (nok = panggilan Cirebon untuk anak perempuan)
“”Bukan, Pak. Anaknya Bu Tati yang itu,” jelas seorang tetangga.
Sang pelayat salah mengira teman ibuku yang menangis sesengukan di samping pusara sambil menyebut-nyebut “Mamiih...Mamiih..”, sementara ibuku berdiri diam di sisi lain sambil berdoa.
Tiga minggu yang lalu, saat mendengar kabar Papih meninggal, sempat terbersit khawatir bagaimana perasaan ibuku. Namun kuyakin kali inipun ibuku tidak akan menangis. Benar saja, ibuku justru lega dan bahagia mengetahui bagaimana Papih menjemput ‘kepulangannya’. Papih yang ketika mudanya sangat susah untuk mendirikan salat, menghembuskan nafas terakhirnya saat tidur di waktu Dhuha. Ia melaksanakan salat subuh sebelumnya, meyempatkan mandi dan bersih-bersih, bahkan sampai membuatkan sarapan untuk Mamih Ani (istri ketiganya Papih). Tidak tampak raut kesakitan pada wajah Papih. Dan katanya lagi, mendengar cerita dari saudara yang memandikan jenazah Papih, tubuh Papih harum. Tidak ada kotoran yang keluar dari pencernaannya. Mungkin semuanya sudah dikeluarkan saat Papih mandi pagi tadi. Papih menghadap-Nya dalam kondisi bersih.
Bila kutanya bagaimana perasaan ibuku, ia menjawab, “Perasaan sedih pasti ada, sempat terlintas sesak yang rasanya ‘nyiiiit...’. Tapi ya sudah, begitu saja. Mendengar cerita proses meninggalnya Papih justru lebih melegakan. inSha Allah Papih khusnul khatimah.”
Dan itu karena perjuanganmu, ibuku. Wanita yang selalu kuanggap sebagai agent of change di dalam keluarga. Engkau wanita pertama yang begitu keras mendirikan salat sejak kecilmu, menyuruh dengan keras Papih dan adikmu untuk juga salat, berdoa tanpa lelah agar mereka tersentuh dengan hidayah-Nya. Wanita pertama di keluarga yang berani berhijab di masa hijab masih menjadi fenomena aneh, langka, bahkan dilarang di negeri ini. Berani bermimpi besar tentang kejayaan Islam, meskipun itu rasanya begitu jauh dan tidak nampak pada masa engkau masih belia. Berani berkata benar adalah benar dan salah adalah salah.
Aku tak pernah mengerti bagaimana dirimu mengasah kekuatan hati yang begitu besar. Aku yang bahkan kalau dimarahi guru dan dosen saja pasti menangis. Aku yang menolak menjenguk Ayah ketika ia harus masuk Lapas untuk kedua kalinya demi membela perusahaan tempatnya bekerja, namun engkau tetap berkomunikasi dan menantinya dengan sabar. Saat tidak ada satupun tetangga yang berkunjung ke rumah menanyakan kabar Ayah, engkau tidak merasa susah. Hanya berucap syukur yang begitu dalam saat akhirnya teman-temanku dari FIM-lah yang pertama datang.
Saat harus berlebaran Idul Fitri pertama kali tanpa Ayah, rasanya sangat aneh. Ingin pecah emosi hatiku jika kuturutkan rasa sesak yang datang menggumpal di tengah takbiran saling bersahutan. Engkau tetap saja memasak opor ayam dengan tenang. Kulihat sedikit bening di matamu, namun tidak sampai tertumpah ianya ke pipi. Engkau hanya berkata, “Ini bukan drama Korea, jadi tidak usah mendramatisir perasaan. Harus belajar untuk biasa saja.”
Aku melihatmu sebagai anak yang sangat berbakti kepada orangtua, istri yang begitu berbakti kepada suaminya, dan ibu yang mengayomi anak-anaknya dengan kehangatan yang begitu besar. Tak pernah habis pelajaran yang engkau ajarkan padaku, Bu.
***
Kematian selalu menjadi pelajaran bagi mereka yang masih hidup. Meninggalkan jejak bagi yang ditinggalkan. Sedih adalah sesuatu yang wajar, namun meratap bukankah Rasul-pun melarang? Bahkan seorang Umar bin Khatb saja nyaris hilang logikanya saat mendengar kabar kematian Rasulullah SAW, menghunuskan pedang dan mengancam untuk membunuh siapapun yang mengatakan bahwa Rasul telah wafat. Hingga sahabatnya, Abu Bakr, menenangkannya dan memaksanya kembali pada takdir realita yang tidak akan bisa diubah.
Betapa jauhnya ukuran kekuatan hati mereka dengan kami yang hidup di masa sekarang. Mereka sanggup mengelola emosi untuk tidak berlama-lama larut dalam kesedihan dan bergegas mengurus permasalahan umat yang mulai risau akan pengganti Rasulullah SAW. Bagiku, ucapan dan ekspresi Umar dalam film Omar di episode meninggalnya Rasul SAW benar-benar menyesakkan, mencipta haru, membakar semangat, mengangkat salut yang sangat, speechless.
“Hati begitu sedih karena kepergianmu, Ya Rasul. Namun urusan umat harus didahulukan, lebih penting dari apapun.”
Aku tidak tahu berikutnya giliran siapa. Seperti yang pernah ibuku sampaikan padaku bahwa jodoh, rezeki, hidup, dan mati, semua sudah terjamin oleh-Nya. Tidak seharusnya kita risau akan sesuatu yang sudah dijamin Allah. Yang belum dijamin adalah apakah kita akan masuk surga atau masuk neraka. Cemaslah akan bekal masa depan kita yang abadi nanti.
Mungkin aku tidak sekuat ibuku. Tidak juga sekuat Ummi, Ilham, ataupun Karel dan ayahandanya. Tapi aku berharap memiliki sahabat layaknya Umar kepada Abu Bakr, yang mampu menerima nasihat di saat hati lupa untuk mengingat-Nya. Bahwa sejatinya kita diciptakan untuk hanya menyembah-Nya dan kembali pada-Nya. Menyadari dengan hati bahwa semua yang kita miliki hanyalah titipan. Wallahu a’lam.
Neneknya Ilham (tengah) da ibuku (kanan) |
-catatan 22 Oktober 2014-
0 komentar:
Posting Komentar