Field Trip Kota Pontianak
Perjalanan field trip dalam rangka praktikum mata kuliah Perencanaan Lanskap ke Kota Pontianak beberapa waktu lalu merupakan pengalaman yang sangat berkesan. Bukan hanya karena ini pertama kalinya penulis menjejakkan kaki di tanah Borneo, tetapi juga karena ini adalah FIELD TRIP. Perjalanan lapang yang tidak sekedar melihat dan berkeliling, tetapi sambil melihat kami diberitahu, sambil berkeliling kami berdiskusi dan mencari tahu. Yup, sedikit ringkasan tentang perjalanan field trip ini, let’s check this out!
Kota Pontianak merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Barat yang memiliki luas sekitar 10.800 hektar. Kota ini memiliki lima kecamatan; kec.Pontianak Utara, kec.Pontianak Timur, kec.Pontianak Selatan, kec.Pontianak Kota, dan kec.Pontianak Barat. Secara geografis kota inilah yang ditetapkan oleh para ahli geologi sebagai salah satu kota di dunia yang dilewati tepat oleh garis khatulistiwa. Kota inipun dibelah oleh sungai besar terpanjang di Indonesia, sungai Kapuas. Keberadaan sungai ini pula yang menjadi cikal bakal lahirnya kota Pontianak (follow the next section ;)).
Ruas-ruas jalan di Pontianak tidak ada yang terlalu lebar seperti layaknya jalanan di Jakarta. Jalur-jalur primer kota memiliki lebar jalan hanya sekitar 10-15 meter, sudah termasuk median jalan berupa parit, tegalan beton, ataupun tanaman. Misalnya median jalan sepanjang ruas jalur yang kami lalui selepas keluar bandara Supadio. Tanaman hanjuang dan glodogan tiang rapi berbaris di sepanjang ruas jalan. Hal pertama yang dilihat itu saja langsung menjadi bahan diskusi. Mengapa harus glodogan tiang yang dipakai sebagai tanaman pengarah? Mengapa tidak gunakan palem merah saja yang pemeliharaannya akan lebih mudah, karena karakter tanah Pontianak yang asam (rawa gambut) adalah habitat yang sangat sesuai untuk palem merah.
Sebagian besar jalan di kota diberi nama yang berasal dari nama-nama pahlawan, seperti Pattimura, Juanda, Imam Bonjol, dll. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda-beda. Misalnya Jalan Gadjah Mada yang juga dikenal sebagai china town-nya kota Pontianak. Di sepanjang jalan ini banyak sekali kuliner khas China. Kuil tertua kota pun terletak di jalan ini. Namun, karakteristik Jl.Gadjah Mada yang paling menarik menurut penulis adalah budaya nge-warkop yang tersebar di sepanjang jalan. Penulis menyebutnya sebagai coffe street. Saat malam hari, banyak lapak-lapak (spot) di tepi jalan yang berubah menjadi tempat kumpul untuk sekedar ngopi, duduk-duduk, dan mengobrol. Masing-masing spot juga punya karakter sendiri. Ada yang bernuansa lokal seperti tenda biasa, ada yang sederhana hanya dengan gerobak dan meletakkan bangku-bangku di sekelilingnya, ada pula kafe terbuka yang minimalis dengan alas kayu-kayu horizontal seperti nuansa dek di pelabuhan. Seolah sudah memiliki kelas masing-masing, biasanya di spot tertentu khusus pengunjungnya anak-anak muda semua, di yang lainnya rata-rata pengunjung berusia lebih dewasa, dan ada pula yang bervariasi. Bila malam semakin larut, jalanan terasa semakin ramai. Motor-motor bejibun berjajar rapi di beberapa titik, sementara pengendaranya asyik nge-warkop. Jika saat itu tepat dengan final pertandingan bola, jalanan akan semakin ramai dengan spot-spot tambahan nonton bareng. Ramai sekali. Namun, ini hanya berlaku sampai pukul 1 dini hari. Setelah itu, kota sunyi senyap (gak kayak Jakarta kan, yang hidup 24 jam non-stop ;P).
Jalan yang lain misalnya Jl. Pattimura. Di sini adalah tempatnya membeli oleh-oleh berupa makanan khas dan berbagai souvenir. Makanan khas yang bisa dibawa pulang: ada berbagai olahan lidah buaya, olahan kering hewan laut, kue bingke, dll. Makanan lainnya: bubur pedas, ikan asam pedas, olahan ikan jelawat, olahan ikan saniang (nama-nama ikan ini pertama kali penulis mendengarnya di Pontianak). Souvenir ada lebih banyak lagi, mulai dari kaos, gantungan kunci, sampai berbagai aksesoris dan kotak kaca yang menunjukkan ciri khas Pontianak. Entah itu Tugu Khatulistiwa, suku dayak, pola dan corak khas Kalimantan, ataupun burung enggang gading (burung rangkong) yang merupakan fauna khas Kalimantan Barat. Di Jl. Pattimura ini pula terdapat lapangan kebun sayur tempatnya PSP (Persatuan Sepak Bola Pontianak) biasa berlatih.
Taman Alun Kota terdapat di Jl. Rahadi Usman. Di sini terdapat miniatur Tugu Khatulistiwa dan bersisian dengan jalur kapal Jembatan Kapuas yang mengangkut berbagai macam kendaraan menyeberangi sungai. Lanskap artifisial taman ini sangat menarik. Ditambah dengan view tepi sungai selebar lebih dari 400 meter, semakin memperkuat nilai tempat ini untuk berfoto-foto (lhoh?!haha..). Setiap malam Minggu, di sini diadakan pasar malam, kadang-kadang ada festival. BENAR-BENAR RAMAI -____-“ . Bukan hanya oleh manusia, tetapi juga oleh motor, mobil, dan truk-truk besar yang parkir mengantri karena ingin menyeberang, hehe...
Pusat kota terletak di Jl. Ahmad Yani, di mana berbagai kantor pemerintahan berada di jalan ini. Median jalan ini pula yang tampaknya paling lebar dan ditata paling estetis. Selain ditanami pohon pengarah dan rumput, tersedia jembatan di beberapa titik untuk menyeberang karena parit besar yang membelah jalan.
Jl. Ampera khas dengan rawa gambut dan sungai kecil yang airnya berwarna coklat kehitaman akibat kandungan besi yang tinggi pada tanahnya.
Jl. 28 Oktober juga banyak rawa gambutnya, dan di sini terdapat pusat Aloe vera yang meneliti dan menghasilkan berbagai produk dari lidah buaya. Tahukah? Lidah buaya di sini berukuran raksasa-raksasa, bobot terberat ada yang mencapai 6 kilogram!
Jl. Juanda khas dengan bangunan-bangunan kolonial (peninggalan Belanda / Portugis ya?) yang berfungsi sebagai pusat-pusat perbelanjaan dan ruko. Jalanan ini mengingatkan penulis pada Jl.Panjunan Cirebon yang bernuansa mirip, hanya saja di sini bangunan-bangunannya lebih flat.
Jl. Khatulistiwa tentu khas dengan keberadaan Tugu Khatulistiwa-nya.
Jl. Imam Bonjol khas dengan perumahannya yang “gedong” (seperti Menteng di Jakarta kali, ya..)
Asrama haji tempat kami menginap sendiri terletak di Jl. Sutoyo, di mana perpustakaan propinsi dan kantor Disbudpar juga terletak di sini ;p
Topografi di Pontianak relatif datar. Karena itulah rata-rata persimpangan jalan di Pontianak berupa perempatan. Yang khas, hampir di setiap persimpangan jalan, traffic island yang berfungsi sebagai pengatur sirkulasi memiliki tugu atau sculpture yang unik. Salah satunya adalah Tugu Digulis, bambu runcing yang dibuat berukuran raksasa.
Sejarah mencatat bahwa perkembangan kota Pontianak dimulai pada tahun 1771. Konon salah seorang anak sultan kerajaan Melayu bernama Syarif Abdurrahman menyusuri Sungai Kapuas dan menembakkan meriam. Di tempat meriam itu jatuh-lah ia akan mendirikan kesultanan. Kesultanan ini dibangun di area simpang tiga antara Sungai Kapuas, Sungai Landak, dan Sungai Kapuas Kecil. Di sana pula beliau membangun pusat perdagangan yang makmur hingga berkembanglah Kota Pontianak.
Bangunan kesultanan ini bernama Istana Kadriyah, memiliki satu aksis garis lurus dengan masjid jami’ dan makam Batu Layang (makam khusus keluarga sultan). Istana Kadriyah terletak di Kampung Bugis Dalam. Di dekatnya, terdapat pasar tradisional dan ada pula kampung tradisional lain bernama Kampung Beting. Sebuah kampung yang dibangun di atas air dengan gartak-gartak kayu sebagai sirkulasi penghubung antarrumah. Jalur transportasi sendiri adalah sungai yang sudah menjadi alur median di perkampungan tersebut. Sayang sekali, gartak kayu yang eksotis itu sekarang sudah berubah jadi semen-semen beton.
Selama lima hari field trip, kami tidak hanya melakukan interpretasi dan keliling di dalam kota. Kami juga melakukan ekskursi ke salah satu kampung asli suku Dayak di Kecamatan Pauman Kabupaten Landak, berjarak lima jam dari Pontianak bila menggunakan bis Marus, Maju Terus..(ihik, sebut merk^^). Kampung Saham tempat Suku Dayak Kanaya (Dayak Bukit) yang hendak kami kunjungi terletak di dalam hutan. Namun, kondisi sirkulasinya sudah cukup baik, berupa aspal dengan lebar sekitar 3 m.
Yang paling menarik dari kampung Dayak ini tentu saja rumah tradisionalnya yang disebut Rumah Panjang atau Rumah Betang. Panjang bangunan ini sekitar 200 m dan mampu menampung lebih dari 40 keluarga. Rumah Betang dibuat di atas kayu-kayu menancap setinggi 6 m. Tujuannya untuk menghindari hewan-hewan buas. Jenis kayu yang dipakai adalah kayu hitam atau kayu belian, kayu yang semakin lama direndam dalam air akan semakin kuat.
Suku Dayak punya berbagai macam filosofi, termasuk dalam membangun struktur Rumah Betang. Rata-rata seluruh struktur yang terbuat dari susunan kayu ini memiliki jumlah ganjil untuk setiap elemennya. Misalnya, setiap anak tangga berjumlah 13, susunan kayu teras berjumlah 47, susunan kayu untuk sami (lorong tempat pesta adat) berjumlah antara 29-31, kayu untuk pagar horizontal 3, dan pagar vertikal 3-5.
Suku Dayak juga memiliki tanggal-tanggal khusus, seperti pesta adat pada 27 April, hari Payugu pada 1 Juli, hari Pantang pada 28 Mei, dan hari penyakit padi pada 11 November. Pada dasarnya suku tradisional Indonesia seperti Dayak ini keseharian hidupnya sangat ‘menjaga alam’. Ada pembagiannya sendiri, misalnnya lahan untuk sawah, kebun, hutan adat, dan hutan larangan. Sangat sedih mengetahui bahwa daerah teritorial suku kian terdesak oleh perusahaan sawit asing yang seenaknya membuka lahan dan menentukan batas. Meskipun infrastruktur kampung Dayak dapat dikatakan sudah semakin maju, namun sesungguhnya mereka harus berjuang sendiri dalam mempertahankan dan melestarikan eksistensi mereka.
-catatan 12 Desember 2011-
sumber gambar:
www.obsessionnews.com
dokumentasi pribadi
0 komentar:
Posting Komentar