Sore hari ini dapat oleh-oleh tentang “sabar dan syukur”, jadi ingin berbagi sedikit.
Polaris, 2012 |
Hari-hari kerja pada pagi dan sore hari adalah jam umum transportasi padat, termasuk kereta. Seperti hari ini, seorang yg berbagi tausiyah setelah naik KRL commuter line saat jam berdesak-desakan sore tadi. Tentang hampir semua penumpang yang mengeluh, mengomel, bahkan sengaja mengganjal pintu otomatis agar pintu kereta tidak tertutup. AC-nya tidak dingin, lebih baik buka pintu saja!!!, alasannya. Mereka yang mengganjal pintu mungkin merasa sangat tidak nyaman karena panas dan pengap, tapi tindakannya itu tentu saja membuat AC semakin tidak dingin karena pintu terbuka, terlebih memperbesar kemungkinan cepat rusaknya sarana transportasi umum yang ada.
“Sudah bayar mahal-mahal, AC-nya tidak dingin.”
“Sudah bayar mahal-mahal, desak-desakkan kayak gini.”
“Kerja pemerintah apa, sih?”
....
Yang memilih untuk menggunakan moda transportasi kereta siapa? Kita sendiri, kan?
Yang memilih pulang pada jam padatnya kereta siapa? Kita sendiri juga, kan?
Yang memilih untuk mengeluh siapa? Kalian... haha, saya ngga ikut-ikutan :p
Naik kereta tetap yang paling murah dan cepat. Nah, loh.. tadi katanya kereta mahal.
Saya tidak memilih kok, memang jam kerja pulangnya jam segitu. Keluarga saya menunggu di rumah, jadi saya tetap harus pulang. Lah, yang memilih kerja di Jakarta siapa? Yang memilih pekerjaan untuk pergi pagi pulang petang siapa? Kenapa mengeluh untuk sebuah konsekuensi yang memang sudah dipilih sendiri?
Jika tidak ingin berdesak-desakan, naik motor saja. Capeknya pasti. Macet juga iya.
Jika tidak ingin berdesak-desakan, naik mercy-mu saja yang pasti dingin dan nyaman.
Namun pasti kau akan sampai di rumah lebih lama lagi. Macet. Jarak tempuhnya-pun lebih jauh.
Lalu kenapa kau masih juga mengeluh, jika hanya harus bertahan sebentar saja untuk berdesak-desakan dan kepanasan? Berdesak-desakan paling lama hanya satu jam kok, nanti di Stasiun Citayam dan Bojong Gede, gerbong akan lebih lengang. Kata seorang kenalan, “80% penduduk Indonesia itu tinggal di Citayam dan Bojong Gede.” Haha..itu memang berlebihan, tapi terkadang memang seperti keajaiban saat hampir satu jam berebut oksigen dengan ratusan penumpang dalam gerbong, lalu tiba-tiba saja tempat kaki berpijak menjadi begitu lapang setelah melewati Citayam dan Bojong Gede.
Kereta itu memang mengajarkan orang untuk bersabar. Sabar mengantri. Sabar tidak mendapatkan duduk. Sabar berdesak-desakan. Sabar untuk tidak meluapkan kekesalan pada orang lain. Hey, tahukah? Pengalaman mengajarkan bahwa mengeluh dan marah-marah itu mengeluarkan energi negatif dan dapat memberi dampak negatif pula pada orang lain. Jika kita merasa tidak nyaman, mengapa kita harus membuat orang lain mengikuti ketidaknyamanan kita dengan saling berkeluh-kesah?
Imam Ghozali dalam Ihya Ulumuddin mengatakan bahwa sabar itu adalah separuh iman. Menurutnya, ada yang senantiasa mengiringi hidup manusia di dunia ini. Pertama, sesuatu yang sesuai dengan kemauan dan kehendak hati. Kedua, sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak hati. Untuk menghadapi keduanya, dibutuhkan kesabaran yang mulia.
Nah, kan... Sabar itu tidak hanya dalam kesusahan, tetapi juga dalam kesenangan. Sebaliknya, rasa syukur juga bukan hanya untuk kelapangan, tetapi juga dalam kesempitan. Bersyukur fasilitas KRL sudah lebih baik, bersyukur jumlah rangkaian kereta juga lebih banyak dibandingkan dulu, bersyukur jadwal kereta sudah lebih sering, terutama pada jam-jam sibuk berangkat dan pulang kerja. Kalau keretanya ngaret? Bukankah PT.KAI juga terus berbenah untuk menjadi lebih baik dan profesional? Mungkin ini saatnya untuk kita juga untuk berbenah diri. Untuk lebih tertib dalam menggunakan fasilitas publik. Untuk lebih menghargai orang lain. Untuk lebih bersabar. Untuk lebih bersyukur.
Jadi teringat obrolan di peron antara seorang bapak 54 tahun yang katanya sudah banyak pengalaman hidup dengan seorang ibu. Mereka, begitu pula dengan semua penumpang yang berada di peron harus menunggu lama kereta ke Kota karena jadwal ekonomi tidak seperti seharusnya. Sang bapak bercerita tentang pemerintah yang selalu menipu rakyatnya. Tentang Indonesia yang nggak ada bagus-bagusnya. Tentang.. sudahlah, orang kecil tetaplah orang kecil. Rakyat tidak akan pernah menang.
Saat itu, ingin sekali rasanya menjawab. Bahwa masih banyak orang yang saling percaya dan tidak saling menipu. Bahwa Indonesia itu sangat kaya dan indah, sungguh. Bahwa yang membuat kita kecil atau besar itu hanyalah pikiran, kalau tidak pernah mau berpikir positif, selamanya tidak akan pernah mendapatkan kebaikan positif orang lain.
Aku ingin percaya bahwa masih banyak calon pemimpin negeri yang tidak hanya memikirkan diri sendiri. Masih banyak pemuda yang giat berkarya untuk bangsa ini. Masih banyak mereka yang selalu ingin bermanfaat untuk sesamanya. Karena itu, tetaplah berpikir optimis. Tetaplah mengeluarkan energi positif. Kapanpun, dimanapun.
Senja di Stasiun 1881 (Polaris, 17-03-13) |
-catatan 27 Mei 2013-
0 komentar:
Posting Komentar