Sedikit berbagi tentang perjalanan 4 hari 4 malam ke Magelang-Yogya pasca erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 silam.
Ini pertama kalinya saya naik kereta ekonomi jarak jauh, keluar Jawa Barat pula. Biasanya saya keluar Jawa Barat hanya saat pulang kampung ke Losari-Cirebon dan akses langsung menyeberang di pertigaan jalan menuju rumah kakek ditutup sehingga kami harus berputar di Jawa Tengah. Menyeberangi jembatan Sungai Cisanggarung yang menjadi batas antara Losari-Cirebon dan Losari-Brebes, lalu mencari median jalan yang tidak terhalang beton atau besi sehingga kami bisa berputar dan berbalik menuju Jawa Barat lagi. Ini nggak keren sih, sebenarnya -___-.
Oke. Kembali ke ‘naik kereta ekonomi untuk pertama kalinya’. Dulu kereta ekonomi masih bebas siapa saja dan berapa saja yang naik, belum ada peraturan ‘setiap orang harus memiliki tiket duduk’ seperti sekarang. Banyak penumpang yang mengantongi tiket berdiri, sehingga kapasitas kursi untuk dua orang menjadi empat, kursi untuk tiga orang menjadi lima, dst. Karena sudah mempersiapkan mental, jadi tidak ada kekagetan yang berarti ketika kita harus merelakan kursi-kursi kita untuk berdesak-desakkan dengan orang lain.
Rasanya benar-benar luar biasa. Sejak kereta beranjak dari St.Senen, penjaja berbagai jenis dagangan mulai berseliweran. Semakin lama semakin banyak yang berseliweran (;p)...tapi di sini kita bisa melihat berbagai macam orang, mengenali karakter-karakter orang, mengamati kreativitas dan budaya masyarakat kita yang berwarna. Termasuk kreativitas 35 orang FIM Rescue dengan cara-caranya yang unik untuk sekedar mengisi waktu atau mengusir kebosanan dan rasa pengap karena oksigen semakin menipis di dalam gerbong (main Uno benar-benar membuat saya merasa gerbong ini adalah rumah kami,haha..)
Di kereta selalu ada banyak cerita yang menurut saya dapat memperkaya jiwa. Tidak hanya sekedar candaan yang menghibur, tapi terkadang kita perlu mengerti cara menghargai orang lain lewat candaan kita. Sehingga candaan bukan membuat kita tertawa terbahak-bahak yg dapat mematikan hati, justru melembutkan jiwa yang membuat kita peka dengan lingkungan sosial kita (benar kan, Kak aka ‘Mbah’ Mario?). Tapi ending-nya di dalam kereta ketika 'entah siapa' yang menyetel lagu Justin Bieber dengan toa sehingga satu gerbong layaknya ruang karaoke, itu bisa dibilang peka lingkungan sosial atau tidak, saya tidak tahu.
Perjalanan panjang dengan kereta juga seyogyanya membuat kita semakin dekat dengan Sang Pencipta. Menafakuri alamnya yang tiada terukur keindahannya, memperhatikan perbedaan-perbedaan dari satu wilayah ke wilayah lainnya, menganalisis bentang alamnya (hhe..mentang-mentang saya anak lanskap). Intinya nikmat yang diterima setiap manusia itu sebenarnya sangat banyak, benar kan?
Sampai di tujuan pun kita semua memperoleh nikmat yang tidak disangka-sangka. Mungkin di satu sisi kita bingung dan kecewa 'Ke mana para FIM Yogya?'. Merasa agak ditelantarkan dan dilepas begitu saja tanpa kepastian dari tuan rumah. Mempersiapkan diri bermalam di stasiun dengan segala sesuatu yang tampaknya masih mengambang. Namun, bumi Allah ternyata sangat luas. Kita mendapatkan jauh lebih baik dari yang kita pikirkan. Menginjakkan kaki di Masjid Jogokaryan serasa pulang ke suasana rumah yang bertahun-tahun lamanya tidak saya rasakan (lebayy...). Namun, sungguh fasilitas yang jauh dari perkiraan saya ini mengobati semua penat dan letih selama perjalanan di kereta. Kami diterima begitu hangat oleh Ust. Salim A Fillah, diberikan tempat istirahat yang nyaman, sarapan soto, bahkan dus minum air mineral untuk perjalanan esok harinya. Alhamdulillah.....
Petualangan di Magelang, tepatnya di Dusun Kradenan Desa Srumbung juga tidak kalah menarik. Sangat panjang kalau mau diceritakan, iya enggak? Bermacam konflik, musibah, kelucuan, keramahan penduduk, masalah pasca erupsi, dan segala kebersamaan lainnya.
Mungkin saat ini cerita sedikit tentang kondisi lahan wilayah Srumbung yang mayoritas 90% ekonomi masyarakatnya bertopang pada perkebunan salak. Wilayah perkebunan salak di sana sangat luas. Hasil salaknya juga terkenal lebih enak dari salak Banjar. Meskipun bentuknya masih lebih bagus salak Banjar, tapi rasa salak pondoh di sana terkenal lebih manis dan enak.
Erupsi Merapi membuat lahan kebun salak rusak, tertutup abu dan pasir 70 cm sampai 1 m. Kondisi buah-buahnya yang masih menggantung sebenarnya masih bagus walaupun tertutup abu, namun buah dan batang pohon yang terkena lumpur sehingga membusuk membuat kondisi masyarakat semakin sulit. Butuh sekitar 2 tahun untuk pemulihan lahan. Sementara jika dilakukan penambahan bahan organik ke tanah ataupun mengalihkan jenis tanaman perkebunan menjadi jagung atau sayur-sayuran juga butuh waktu yang tidak sebentar. Jagung dan tanaman sayur bisa ditanam dan dipanen dalam waktu relatif singkat (3 bulan). Hanya saja hasil panen ini bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan warga, tetapi juga pemenuhan aspek ekonomi terkait pangsa pasar yang ada.
Sejauh ini warga terlihat sangat mandiri dan keadaan sudah jauh lebih kondusif dibandingkan wilayah yang terkena erupsi merapi lainnya (yang lebih parah), petak-petak sawah sudah menghijau kembali, lahan cabai, singkong, ketela pohon (ubi jalar), kacang panjang, dan beberapa tanaman lain berada dalam kondisi baik. Log-log kayu durian dan kayu dadap juga masih bisa diandalkan. Sebenarnya kayu-kayu ini juga berpotensi untuk dijadikan media tumbuh jamur sebagai alternatif pertanian warga untuk beternak jamur.
Hmmm...cukup kompleks membahas masalah pertanian pada wilayah bencana sebenarnya. Di sini juga terkait interdisiplin ilmu, tidak hanya pertanian. Keberadaan kita sudah menjadi dukungan moral yang cukup berarti bagi mereka (ini tipe dukungan yang masih sangat minim y?). Namun, tekad-tekad itu pasti ada dalam setiap jiwa kita kan, bahwa kita tidak akan berhenti untuk berkontribusi. Tak ‘kan berhenti untuk selalu menebar manfaat sebanyak-banyaknya kepada orang lain.
***
Agenda FIM Rescue dalam penugasan lapang ke Magelang, tepatnya di Desa Kradenan, Srumbung, memang difokuskan untuk bidang pendidikan dan kesehatan. Fimers Yogya telah survei sebelumnya dan memutuskan sekolah mana yang akan kami kunjungi, sehingga kepala desa dan pihak sekolah pun telah mengetahui akan kehadiran kami. Tidak disangka, anak-anak MI (madrasah ibtidaiyah) yang seharusnya libur pada hari itu sengaja datang ke sekolah demi menunggu kami.Mereka terus menunggu padahal bel pulang juga sudah berbunyi sejak lama. Kami yang berjanji datang pukul 8 pagi baru sampai pukul 11 siang. Merasa tidak enak, sangat, ketika mengobrol dengan para guru dan mengetahui bahwa mereka memang sengaja menunggu.
Sempat bingung awalnya, karena begitu FIM Rescue datang, anak-anak langsung menyerbu dan mengerubungi, menanti sesuatu yang -mereka pikir- akan luar biasa. Menurut beberapa guru pula, mereka memang ingin segera bermain dan diajari oleh kakak-kakak relawan. Akhirnya, tanpa briefing dan tanpa instruksi, FIM Rescue langsung menyebar ke kelas-kelas dan anak-anak MI dengan cepatnya duduk rapi berlipat tangan di atas meja. Berbagai permainan dan kreativitas kakak-kakak relawan pun 'dimuntahkan' demi meramaikan kelas, mengambil hati, serta menghibur adik-adik MI. Saya yang terdampar di kelas satu menjadi satu-satunya relawan wanita di sana (permintaan khusus Bu Guru yang katanya anak-anak meminta supaya ada kakak perempuannya, -ihik, jadi enak-). Kami yang berada di kelas satu, mengajak berkenalan adik-adik, mengajak mereka bernyanyi, membaca puisi, belajar bahasa inggris, membuat beberapa games seperti game jari yang diperkenalkan oleh ust.Hasan, dan game-game lainnya (lupa game apaan aja). Kelas diakhiri dengan pengumuman untuk kegiatan esok hari dan berdoa bersama. Rata-rata semua kelas berakhir pada pukul 12 siang. Namun, ada dua kelas yang keluar paling akhir karena begitu semangatnya bermain (entah yang bersemangat adik-adik MI-nya atau justru kakak-kakak FIM Rescue? :p).
Sungguh bersyukur berada dalam satu tim yang penuh dengan orang-orang luar biasa dan memiliki inisiatif tinggi. Sumberdaya FIM Rescue bisa menyebar dengan baik ke semua lini dalam waktu singkat. Kelas 1 sampai kelas 6 tertangani, konfirmasi dan urusan perizinan dengan Pak Kades diurus dengan baik, komunikasi dengan guru-guru dan kepala sekolah oke, urusan logistik berupa hadiah tas beserta perangkat isinya dipindahkan dan ditata rapi di ruang perpustakaan dengan cepat, beramah tamah singkat dengan penduduk (atau orangtua murid) juga tidak terlewatkan. Inisiatif dan kreativitas tinggi tim kadang benar-benar menakjubkan, kadang juga jadi sumber konflik internal yang 'menghangatkan suasana', (ya, enggak?;p)
Rasanya senang sekali bisa bercengkrama dengan banyak anak dan melihat wajah ceria mereka (entah bagaimana mimik wajah mereka saat kejadian 'Merapi' berlangsung). Semoga saja kehadiran kami dapat membantu menyalurkan harapan dan membawa asa untuk semangat belajar mereka di hari-hari berikutnya.
Ada sebuah insiden terkait kedatangan FIM Rescue yang mungkin agak 'rusuh' karena personelnya banyak. Seorang anak yang memiliki masalah psikologis berat kaget akan kehadiran kami. Ia tiba-tiba mengamuk, lalu pingsan (ini agak lebay ceritanya). Seorang relawan menggendongnya dan berusaha menyelamatkannya (hahaa..yang ini lebay lagi). Setelah dikonfirmasi, kegiatan mengamuk sang anak ternyata sudah sering terjadi. Sekolah maklum. Bukan akibat efek psikologis bencana, tapi karena memiliki masalah dalam keluarga. Hmmm..seharusnya hal seperti ini juga menjadi perhatian untuk ditangani, bukan sekedar dibiarkan. Saya tidak tahu rincian kejadiannya dan bagaimana pembahasannya -yang sepertinya sempat memanas di ruang kelas 3- terkait anak ini. Saat itu saya sedang ada urusan kunci-perkuncian dengan salah seorang guru.
Membahas terkait kondisi psikologis anak pasca bencana sepertinya tidak sesederhana yang terpikir. Bukan hanya sekedar menghibur mereka, mengajak bermain dan belajar, tetapi juga terkait latar belakang dan permasalahan mereka bahkan sebelum bencana terjadi. Kasus di atas adalah salah satunya. Seorang anak lain, Shifa, bersyukur karena memiliki keluarga yang cukup harmonis. Sang ibu sangat perhatian dan secara ekonomi kondisi keluarganya cukup mapan. Shifa hanya terkena sindrom trauma pada saat berada di pengungsian selama dua hari. Ia tidak berhenti mengompol sampai ibunya harus memakaikan popok (bahasa gampangnya pampers). Padatnya barak pengungsi dan tidak nyamannya kondisi mungkin menjadi penyebab traumatis sang anak. Begitu ia kembali ke rumahnya, ngompolnya pun berhenti.
Seorang anak lain, Surya, terbiasa ditinggal berdua saja dengan adiknya di rumah karena orangtuanya bekerja. Sebagian FIM Rescue putri menginap dua malam di rumahnya untuk menemani. Surya duduk di kelas enam, terlihat sangat mandiri. Begitu pula adiknya. Meskipun tidak terlalu terlihat ekspresif, tapi jelas dia sangat senang akan kehadiran kakak-kakak FIM Rescue. Sampai sekarang Surya masih mengirim sms ke kakak-kakak FIM Rescue putri yang menginap di rumahnya (benar, tidak?). Saya tidak ikut menginap di sana, jadi tidak kebagian sms dari Surya, hhe.
Agak dilematis sebenarnya. Membawa dan memberikan keceriaan pada anak-anak, kemudian risiko akan rasa kehilangan terhadap kebersamaan dan keceriaan itu pasti ada dalam setiap kegiatan kerelawanan. Baik dalam diri relawan, terlebih yang dirasakan oleh anak-anak yang ditinggalkan.
Di sini sebenarnya peran orangtua sangatlah penting. Kondisi trauma baru akibat rasa kehilangan mungkin bisa dihindari jika orangtua dan lingkungan (guru, dll) mampu memberikan perhatian jauh lebih baik daripada para relawan. Relawan hanya bersifat mendampingi, menghibur, menolong, dan sementara. Bagaimanapun, tanggung jawab terhadap perkembangan mental anak juga berada di tangan ayah-ibu sang anak sendiri. Benar, kan? Cinta orang tua bukan hanya disampaikan melalui materi dan pemenuhan kebutuhan fisik anak, tetapi juga perhatian terhadap kondisi psikologis mereka. Semoga para Fimers dapat menjadi orangtua-oranguta teladan yang melahirkan generasi terbaik masa depan ^^.
Hmmm… masih banyak sepertinya yang belum diceritakan...
Cerita-cerita heboh saat outbond (hayyoo..sape aje nieh yg terlibat?), kegiatan penyuluhan "CARA HIDUP SEHAT" bersama dr. Mea dan dr. Lela di mesjid desa, acara cuci tangan bersama sabun *sensor*__________ (gak boleh sebut merek) -pake acara sabun hilang pula sehingga harus beli lagi, atau jangan-jangan tuh sabun emang belum dibawa dari minimarket malemnya??-, sampai penutupan acara dengan pembagian tas dan susu. Oh ya, malam hari sebelumnya juga ada agenda para FIM Rescue ngopi bareng warga. Entah sampai jam berapa, tidak tahu pasti juga hal-hal apa saja yang diobrolkan. Tapi pada intinya masing-masing relawan memiliki cara-cara tersendiri dalam pendekatan ke warga, beberapa bahkan sangat gesit karena sejak awal tiba di Srumbung sudah melakukan pengkajian (analisis sosial) dan permasalahan warga bisa langsung diangkat pada saat rapat.
Melesat ke hari terakhir, Jumat pagi tanggal 24 Desember.
Akhirnya FIM Rescue Rangers bisa bangun lebih pagi (termasuk saya). Merasa malu karena pagi hari sebelumnya ditanyakan oleh warga karena hanya sedikit dari kami yang shalat subuh di mesjid, sementara saya datang ke mesjid ketika semua jamaah sudah bubar (hwaa...ketangkap basah). Setiap ibu-ibu yang lewat tersenyum dan menyapa, salah seorang nenek bahkan bertanya dengan ramah "Ngantuk ya?"
Jawab saya, "He..he..iya mbah, kesiangan" *dengan mata setengah terpejam*. Padahal baru jam setengah 5, kok jamaah cepat sekali bubarnya? Saya baru sadar ini di Magelang, makin ke timur waktu shalat makin cepat. Jam 4 kurang 5 menit azan subuh! Setidaknya di pagi hari terakhir di Srumbung hampir semua dari kita shalat di mesjid, be better in every second of life, khan???
Alhamdulillah, rencana kegiatan pagi untuk senam bersama dan dilanjutkan dengan kerja bakti juga berjalan dengan lancar. Sarapan pagi hari juga luar biasa (katanya). Special morning day, deh. Kalau saya tidak ikut sarapan di rumah Pak Kades karena ditawari makan di rumahnya Shifa. Ibunya Shifa selalu dengan merendah berkata bahwa makanannya sangat sederhana, seadanya. Tapi saya merasa sarapan pagi hari itu dengan sayur bening dan tempe goreng tepung buatannya enak sekali. Feel homing. Entah karena sayurnya memang enak, atau karena ketulusan sang ibu yang sampai pada papila-papila lidahku sehingga saya merasakan nikmat makan yang luar biasa.
Berpamitan kepada kepala desa dan keluarganya, kepala sekolah, bertandang ke beberapa rumah guru, bersalaman dengan warga, dan yang pasti foto-foto sebelum keberangkatan kami kembali ke Yogya.
Rencana awal untuk kerja bakti di Yogya dialihkan menjadi survei lapang (assessment). Karena memang tidak ada link dan belum memiliki gambaran mengenai kondisi fisik dan sosial di sana, kami tidak merencanakan untuk mengadakan kegiatan -terlebih menurut kabar yang kami dapat saat rapat malam hari sebelumnya wilayah di sana memang sudah dijadikan area wisata yang mewajibkan setiap pengunjung untuk membayar-.
Sesampainya di Desa Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, semua FIM Rescue turun dari bis dan berjalan memasuki daerah yang terkena langsung jalur lahar dingin saat Merapi meletus. Di sini kondisinya benar-benar memprihatinkan. Seluruhnya rata menjadi seperti padang pasir abu. Pertanian hancur, rumah-rumah terkubur, pohon-pohon mati. Batu-batu besar berserakan. Kedalaman pasir dan abu mencapai 7-8 m. Seolah membuat 'sungai pasir' yang sangat lebar, area ini membentuk alur turun terus ke arah Selatan. Tidak tergambar jelas bekas-bekas perkampungan ataupun petak-petak lahan perkebunan seperti apa sebelumnya. Di sini emosi saya mulai campur aduk. Kami berjalan di atas perkampungan yang terkubur, kami berjalan di atas rumah dan kebun penduduk, dan mungkin kami berjalan di atas mayat-mayat yang tidak terangkut karena tertimbun lahar dan pasir. Butuh waktu berapa lamakah untuk pemulihan ini? Bagaimana baiknya perencanaan panataan wilayah selanjutnya agar dapat mengurangi dampak bencana? Karena bukan hanya faktor alam yang harus diperhatikan di sini, tetapi juga aspek budaya dan karakter sosial masyarakat yang cukup kompleks perlu dipikirkan.
Tiga orang warga yang merupakan korban Merapi tengah berada di 'padang pasir abu' berdiri dan duduk di dekat pohon nangka yang sudah tak nampak lagi daunnya. Dua diantaranya suami-istri, seorang lagi adalah tetangga dekat. Sang istri menceritakan tentang hari saat kejadian berlangsung, tentang anak-anaknya, dan juga tentang ibunya yang berusia 90 tahun dan sangat ingin kembali ke rumahnya yang lama dua hari saja sebelum kematian menjemputnya. Ia bercerita sambil menangis, berharap mampu membeli angkong untuk mengeruk pasir yang menimbun rumahnya. Bercerita pula tentang seluruh lahan kebun salak yang hancur, tentang 70 ribuan pengungsi yang ditempatkan di GOR, tentang kondisi ekonomi, tentang keadilan Allah...
Rasanya sangat bingung saat itu, tidak ada yang dapat dilakukan selain mendengarkan. Dalam hati,"Ya Allah, apa yang dapat kuberikan?". Akhirnya saya pun pergi setelah mendengar azan zuhur berkumandang. Setelah menanyakan posisi mesjid, saya beranjak. Heran, karena dua orang Bapak tersebut tetap bergeming dan tidak bernjak untuk jumatan. Tambah heran lagi, karena dalam kondisi susah akibat bencana -bahkan untuk makan sekalipun-, sang bapak tetap menghisap rokok. Rokok benar-benar sudah menjadi kebutuhan primer ya, melebihi sandang, pangan, dan papan?!
Saya berjalan sendiri waktu itu. Para relawan putra sepertinya sudah beranjak lebih dulu untuk jumatan. Yang putri entah pada ke mana, sepertinya berada di posisi 'padang pasir' yang berbeda.Keluar dari area 'padang pasir', saya masuk ke perkampungan yang cukup hijau dan lembap. Seperti masuk hutan rasanya. Antara ingin mencari tahu, dan meredakan emosi diri sendiri. Terus saja berjalan sampai bertemu penduduk yang bisa saya sapa. Akhirnya berkenalan dengan seorang nenek bernama mbah Supi. Saya mendapat cerita lagi dalam versi yang berbeda, kali ini tidak begitu membuat shock. Mbah Supi mengantar saya ke mushala, kami berwudhu di tengah perjalanan, menimba air dari sumur untuk dituang ke dalam kendi untuk air wudhu. Kami shalat berjamaah, dan saya menangis.
Mbah Supi mengajak saya ke rumahnya setelah mengantar berkeliling melihat kondisi kampung, memperkenalkan saya dengan beberapa keluarganya, dan meminta cucu perempuannya mengambilkan wedang putih untuk saya (duh, kenapa jadi bertamu begini?!). Kami mengobrol, sampai akhirnya handphone saya berbunyi. Hmm..rupanya ada juga yang mencari^^? Sempat berpikir apakah mungkin ya kalau saya ditinggal rombongan?! Karena sudah jam 1 siang dan tidak ada juga yang menelepon. Jujur, saya agak lupa jalan pulang keluar kampung.
Begitu tahu saya dicari, Mbah Supi menyudahi obrolan dan mengantar saya keluar kampung. Awalnya saya menolak diantar, tapi simbah keukeuh mau mengantar sampai depan (dalam hati sih sebenarnya sangat bersyukur karena berarti saya tidak akan kesasar). Saya berpisah dengan Mbah Supi setelah sungkem dan melambaikan tangan, lalu berlari mengejar langkah pimpinan rombongan yang wajahnya sudah mulai jutek karena ada anggotanya yang bandel sehingga menghambat keberangkatan.
Sebelum ke stasiun kami mampir di toko oleh-oleh, membeli penganan khas Yogya sekedarnya untuk dibawa pulang. Kereta Progo yang akan mengangkut kami sudah datang meskipun keberangkatannya baru pukul 16.45 nanti. Kami menge-take bangku di awal, bersyukur karena kursi masih banyak kosong. Hanya 19 orang yang pulang ke Jakarta dengan kereta.
Beberapa FIM Rescue sempat keluar masuk gerbong (karena berpikir keberangkatannya masih lama). Ada yang mengambil laundry, ada yang shalat ashar, ada yang makan, dan ada yang keluar untuk nongkrong sekedar cari angin. Sampai kereta hampir berangkat, yang katanya keluar cari angin belum juga kembali. Akhirnya kami harus menelepon dan diketahui bahwa mereka kesasar!!!Lupa gerbongnya yang mana. Dua orang FIM Rescue putra yang diutus untuk menjemput mereka justru iseng dan membuat DUA DOKTER yang kesasar itu tambah bingung. Akhirnya kedua dokter yang kesasar bisa juga menemukan gerbong kami. Ketika tiba di tempat, tawa khas salah seorang dokter yang -kau tahu siapa- bagai virus menular itu langsung menggelegar, membuat kami semua tertawa atas kekonyolan kami sendiri.
FIM Rescue di gerbong kereta tetap menjadi trend setter. Bahkan seorang ibu yang berbaik hati karena merasa berterima kasih telah diberi kursi memberikan kami banyak salak dan makanan lainnya. Belum lagi permainan-permainan asah otak seperti: berpikir sebelum menjawab yang kemudian dimodifikasi menjadi menjawab sebelum berpikir, bumi itu bulat, keliling dunia, membawa barang yang sesuai dan tahu diri, segitiga, dengarkan saya, saya memotret siapa,tebak angka, de el el yang membuat satu gerbong memperhatikan karena kami begitu berisik. Yaa...cukup menakjubkan. Dalam rasa kantuk dan lelah kami masih bisa melakukan hal-hal yang seru dan menghibur. Perjalanan malam yang terasa panjang, tapi indah. Bersyukur masih bisa melihat matahari terbenam dari dalam kereta. -THE END-
-catatan 14 Maret 2014-
0 komentar:
Posting Komentar