Dalam suatu acara ifthar jama’i (buka shaum) di Jakarta, aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia. Salah seorang dari mereka bertanya, “Naj, kemarin dari Korea ya? Mampir ke sungai yang terkenal di Seoul itu gak? Yang melintasi tengah kota?”
Aku mulai menebak, “Hangang? Atau Cheonggyecheon?”
“Pokoknya yang direstorasi itu, yang sungai bawah tanah terus diangkat lagi sama walikotanya. Dulunya di atas itu tertutup jalan tol. Jalan tolnya dirobohkan untuk mengembalikan sungai. Proses restorasinya keren banget, motong beton-betonnya itu pake alat berat yang mata pisaunya saja dari berlian.”
Tunggu sebentar... sungai bawah tanah? Yang dimaksud itu Cheonggyecheon???
***
Pertama kali mendengar nama Cheonggyecheon adalah ketika salah seorang teman seperjalanan ke Korea menunjukkan sebuah video klip lagu yang mengambil setting sungai ini sebagai lokasi syuting, jauh sebelum keberangkatan kami ke Korea (bahkan lolos paper untuk berangkat ke Korea saja belum pasti). Ia mewajibkan untuk mengunjungi Cheonggyecheon jika kami ke Seoul. Aku hanya berkata, “Insya Allah. Kita akan berada di sana nanti.” Sejauh itu aku hanya merasa bahwa tempat itu sepertinya sangat indah. Bolehlah untuk dikunjungi :p
Sampailah kami di Cheonggyecheon. Kami menuruni tangga ke arah aliran sungai yang letaknya 4,6 m lebih rendah dari posisi jalan raya. Saat itu hari sudah gelap dan turun hujan. Hujan pertama kami di Korea. Temanku agak kecewa karena cuaca tak mendukung untuk mengambil gambar yang bagus melalui kamera. Aku yang berharap banyak anak-anak bermain air di sepanjang aliran air sungai pun tak mendapat yang kuharapkan (siapa juga yang mau main air di tengah hujan -___-“). Yahh.. maksudnya sih kalau ada anak-anak main air kan aku bisa ikutan. Kalau sepi sih, masak (baca: malu kan) main sendirian??
Namun, dengan rasa haru aku tetap berkata pada teman-temanku, “Aku pernah berkata kan, kita akan sampai di sini. Dan sekarang kita benar-benar berada di sini.”
Dan untuk mengobati rasa tidak puas, kami memutuskan untuk kembali lagi esok harinya. Alhasil, satu-satunya objek wisata yang kami kunjungi sebanyak dua kali dalam perjalanan perdana ke Korea ini adalah Cheonggyecheon :))
***
Awalnya aku hanya menilai bahwa Cheonggyecheon adalah suatu bentukan lanskap yang dirancang untuk memadukan konsep natural dengan manmade-modern. Sebuah water stream dari anak sungai Han (pada akhirnya kuketahui bahwa ia bukan anak sungai Han, tapi cucu sungai Han. Cheonggyecheon adalah anak sungai Junnangcheon). Bentukan sempadan sungai yang berupa plaza/perkerasannya untuk berjalan kaki cukup bagus, dibuat mengikuti sinuositas aliran sungai dan terdapat bentuk kreativitas tepi-tepi plaza yang dibentuk runcing seperti ujung-ujung daun. Terdapat tempat-tempat khusus untuk duduk dan mencelupkan kaki ke air, dipayungi jembatan yang menghubungkan boulevard di atasnya. Ada juga sculpture berbentuk kerang melingkar setinggi 20 m yang berada di Cheonggye-plaza. Air mancur dan air terjun yang berada di ujung Cheonggye-plaza yang sangat cantik kalau malam hari karena efek lighting yang dihadirkan. Berbagai macam vegetasi yang berada di sepanjang bantaran Cheonggyecheon melembutkan kesan ‘keras’ dari dinding dan jalur pedestriannya. Stepping stone untuk menyeberang dari satu sisi sungai ke sisi lainnya juga dibuat sederhana agar terkesan alami. "Rancangan bantaran sungai di tengah kota yang sangat baik," pikirku pendek saat itu. Aku belum mengetahui bahwa sungai kecil ini menyimpan nilai filosofis dan historis yang sangat tinggi.
Cheonggyecheon adalah sebuah sungai kecil yang mengalir dari barat laut ke tenggara, melintasi pusat kota Hanyang (sekarang: Seoul), dan menjadi salah satu sumber kehidupan masyarakat Hanyang di masa lampau. Nilai historis sungai ini melintasi berbagai masa sejak zaman Kerajaan Joseon – masa kolonial Jepang – Perang Korea 1950-1953 – hingga masa industrialisasi Korea. Cheonggyecheon dahulu merupakan tempat masyarakat Hanyang mengambil air dan melakukan berbagai aktivitas harian, seperti mencuci dan berkumpul. Airnya digunakan untuk kebutuhan pertanian dan kebutuhan rumah tangga. Setelah usai masa kolonial Jepang dan Perang Korea pada 1953, bantaran sungai Cheonggyecheon ramai oleh permukiman kumuh para tunawisma. Jumlah penduduk bertambah, limbah yang dihasilkan dan dibuang ke Cheonggyecheon-pun semakin banyak. Tahun 1958, permukaan sungai mulai tertutup oleh pembangunan jalan dan jalan ini sempurna tahun 1960 pada masa pemerintahan Presidan Syngman Rhee. Memasuki masa industrialisasi, kebutuhan aksesibilitas perkotaan semakin tinggi. Tahun 1968-1976 dibangunlah sebuah jalan layang sepanjang 6 km pada masa pemerintahan Presiden Park Chung Hee. Pedagang kaki lima dan pemukiman liar meningkat. Kondisi di bawah jalan menjadi sangat padat, rawan kejahatan, dan tingginya tingkat polusi udara. Cheonggyecheon sempurna terkubur seperti harta peninggalan masa lalu yang terlupakan.
Sebuah ide gila diusulkan oleh seorang walikota Seoul pada tahun 2003, Lee Myung Bak (yang kemudian menjadi presiden Korea). Untuk mengatasi masalah perkotaan yang semakin padat, polusi, dan suhu udara tinggi, ia berencana merobohkan jalan layang sepanjang 6 km dan membuka kembali Cheonggyecheon. Jika mempelajari masa lalu, tampaknya Lee Myung Bak ingin penataan ruang kota kembali menggunakan pendekatan geomansif. Geomansi adalah seni mengenali bentuk interaksi energi (qi) bumi dengan budaya masyarakat (Pramukanto 2010). Seperti halnya Hanyang (Seoul) yang dipilih sebagai ibukota karena cekungannya yang terletak diantara empat gunung (utara-Pugaksan, timur-naksan, barat-Inwangsan, selatan-Namsan), Cheonggyecheon yang alirannya berhulu dari keempat gunung tersebut (mengalir dari barat laut ke tenggara), dan sungai Han yang merupakan sungai terpanjang keempat di Korea (mengalir dari timur laut ke barat) juga dipercaya sebagai tapak pembawa ‘keberuntungan’ menurut fengshui Cina. Karena itu, kaidah geomansi agar menjadikan alam sebagai pengikat struktur dan tidak mengubah relief bumi supaya energi alam tidak hilang harus diterapkan.
Tidak mudah bagi Lee Myung Bak mendapatkan dukungan. Para pedagang dan pelaku industri ekonomi yang sudah nyaman dengan keberadaan jalan layang tersebut tentu memprotes ide tersebut. Belum lagi sangsi dari para birokrat lainnya yang menganggap bahwa ide sang walikota tidak logis. Ada 10.000 kendaraan yang melewati jalan tersebut tiap harinya. Itu saja kemacetan masih terus bertambah. Jika jalan tersebut dirobohkan, bagaimana bisa mengatasi kemacetan?
Mendapatkan kritikan dan kecaman, Lee Myung Bak bergeming. Ia mengadakan pertemuan dengan warga tidak kurang dari 4000 kali untuk menyosialisasikan idenya. Transportasi massal digalakkan melalui pembangunan subway dan jaringan bus yang baik. Program ‘tembok tanda tangan’ dukungan dan penyediaan informasi aktual melalui situs web terpadu menjadi solusinya meraih dukungan. Restorasi dan revitalisasi Cheonggyecheon akhirnya berhasil dilakukan dan berlangsung selama 27 bulan dengan memakan biaya sebanyak 386 miliar won. Pada Oktober 2005, pemulihan Cheonggyecheon sepanjang 5,84 km resmi kembali dapat dinikmati oleh warga. Bukan hanya nilai filosofis dan sejarah saja yang kembali melalui restorasi ini, tetapi kehadiran Cheonggyecheon telah memberikan jasa lingkungan yang besar bagi kota Seoul. Suhu udara menurun 3,6 oC dibandingkan daerah Seoul yang lainnya. Jumlah kendaraan yang masuk ke kota menurun sebanyak 2,3%, sementara itu penggunaan transportasi massal bus meningkat sebanyak 1,4% dan subway meningkat 4,3%. Jumlah oksigen kota bertambah dengan kehadiran berbagai tanaman yang ada di sepanjang bantaran sungai. Keberadaan sungai dan greenbelt di tengah kota ini pun meningkatkan populasi hewan seperti ikan, burung, dan serangga. Lebih daripada itu, Cheonggyecheon telah menjadi tempat refreshing dan rekreasi cuma-cuma bagi warga Seoul dan para turis yang berkunjung. Rekreasi ini penting bagi kesehatan jiwa. Bukankah kesehatan jiwa juga harga yang mahal bagi setiap orang? So, let’s eternal our nature^^
Ada beberapa hikmah yang dapat kita petik dari cerita panjang sebuah Cheonggyecheon. Keberadaannya saat ini adalah hasil tekad dan kerja keras dari seorang pemimpin anti-mainstream yang memiliki konsep kuat untuk memajukan daerah yang dipimpinnya. Betapa pentingnya untuk selalu berpikir out of the box dalam menyelesaikan masalah. Kenyataannya, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan jika kita berani dan mau berbuat. Seorang pemimpin haruslah memiliki visi dan keteguhan hati, juga harus siap untuk dicaci. Asal yakin dengan apa yang dilakukannya adalah benar, bukan demi kekayaan, jabatan, apalagi popularitas, kerja keras (ditambah doa :D) pasti akan membuahkan hasil yang baik.
Buat siapa saja yang berkesempatan mengunjungi Seoul, cobalah untuk datang ke Cheonggyecheon dan menyusuri bantaran sungainya atau sekedar duduk di bawah jembatan sambil mencelupkan kaki. Akan ada banyak hal yang bisa dipelajari dari alam sekitar yang masih terlalu sedikit kita tafakuri. Selamat bertualang!
-catatan 14 Agustus 2012-
Sumber:
Pramukanto Q. Tatanan geomansi lanskap kota Seoul. 2010.
Dhelika R. Pelajaran dari Seoul untuk transformasi Jakarta. 2011.
www.balytra.com
www.banguntwone.com
http://wikipedia.com
5 komentar:
Aku ndak ngerti, itu knp pake payung
itu lagi hujan Al di sana
Cheonggyecheon adalah salah satu tema yang dari dulu pengen sy tulis tp belum dilaksanakan, haha
jadi inget lagi
ayo ka ecky, segera ditulis... supaya bisa diliat dari sudut pandang berbeda juga. saya ambil referensi dari ka radon yg pernah nulis ttg cheonggyecheon juga. trus saya nulis, trus ka ecky nulis, jadi geng smansa nulis semua haha
ayo ka ecky, segera ditulis... supaya bisa diliat dari sudut pandang berbeda juga. saya ambil referensi dari ka radon yg pernah nulis ttg cheonggyecheon juga. trus saya nulis, trus ka ecky nulis, jadi geng smansa nulis semua haha
Posting Komentar