“Apakah cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, semakin tulus kau melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Aku tahu, kau akan protes, bagaimana mungkin? Kita bilang itu cinta sejati, tapi kita justru melepaskannya? Tapi inilah rumus terbalik yang tidak pernah dipahami para pencinta. Mereka tidak pernah mau mencoba memahami penjelasannya, tidak bersedia.”
“Lepaskanlah. Maka besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu. Kisah cinta di dalam buku, di dongeng-dongeng, atau hikayat, semua ada penulisnya. Tapi kisah cinta kau, siapa penulisnya? Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi. Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka tidak mengapa kalau kau patah hati, kecewa, atau menangis karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik selalu mengajari kau agar menjaga diri.”
“Jika harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. Teruslah berbuat baik kepada siapapun. Insya Allah, besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”
(kutipan novel “Rindu” karya Tere Liye)
***
Pertama kalinya kau bercerita tentang mereka yang hendak menjodohkanmu dengan akhwat high quality (atau kau ingin menyebutnya akhwat strategis?) adalah saat untuk ketiga kalinya kita bertemu untuk urusan pekerjaan. Selesai berdiskusi dan menyusun draft laporan proyek, mendadak kau bercerita dan meminta pendapatku tentang seorang senior yang ingin menjodohkanmu dengan seorang akhwat calon dokter yang sedang studi di negeri sakura. Mengetahui sedikit profilnya, tanpa perlu dijelaskan aku pun mengerti galaunya hatimu untuk bersanding dengan seorang yang sholihah, cerdas, dan kutebak pasti tinggi dan cantik. Lalu kau pun bertanya, “Harus jawab apa ya, Mba?”
Begitulah. Kau hanya meminta pendapatku sebagai seorang senior yang mungkin kau hormati dan kau anggap memiliki pengalaman bijak untuk dibagi. Kau merasa berat untuk menolak jika tidak memiliki alasan yang kuat. Khawatir dianggap menolak rezeki, bahkan takut terhadap karma jika kesempatan baik itu tidak akan datang lagi.
Saat itu pun aku hanya menganggapmu sebagai rekan kerja, sekaligus teman satu komunitas yang ingin kubantu di dalam proyek yang sedang kau tangani. Tidak lebih. Aku senang bisa menolong. Aku senang jika ilmu yang kupelajari bisa kuamalkan dan bermanfaat. Tidak ada pikiran bahwa pekerjaan ini akan memberiku cerita berbeda.
Kau tahu, dahulu aku pun sempat merasa takut akan karma. Saat datang berbagai tawaran dengan profil yang tidak sembarangan, namun kutolak karena berbagai alasan. Terlebih setelah melalui istikharah dan meminta pendapat orangtua, hatiku tidak juga tenang. Dan masukan yang kusampaikan padamu dahulu, tidak lebih hanya karena berdasarkan sedikit ilmu dan pengalaman yang pernah kualami. Tidak perlu terburu-buru untuk memutuskan sesuatu yang besar. Tidak perlu terlalu takut jika kesempatan baik itu tidak akan datang kembali. Toh, ibundamu belum mengizinkanmu menikah, dan dirimu juga merasa belum siap saat itu.
Nyatanya? Saat kau menyampaikan belum siap untuk berproses, kau justru mendapatkan tawaran bertubi-tubi setelahnya. Kesempatan baik itu justru semakin banyak yang datang. Dari murobbi, dari senior-senior yang sangat kau hormati, dari teman, bahkan dari mereka yang menyatakan secara langsung ingin kau nikahi. Tidak ada yang salah dengan cara itu menurutku, selama penyampaiannya baik. Bukankah zaman Rasulullah Saw juga demikian? Tidak ada larangan seorang akhwat untuk melamar lebih dulu dan meminta kepada lelaki sholeh tersebut jika berkenan menjadi suaminya.
Entah kenapa, aku ditempatkan pada posisi sehingga selalu saja tahu jika tawaran-tawaran untuk berproses itu datang padamu. Dan tidak sekali engkau merasa begitu bimbang untuk memutuskan. Padahal kita hanya rekan kerja dan teman diskusi, bukan?
Aku tahu, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benakmu bahwa akulah yang kelak menjadi pendampingmu. Aku pun tidak berpikir sejauh itu pada awalnya. Namun kau tahu, aku wanita. Makhluk yang diciptakan mudah berharap dan jatuh hati pada pria. Aku pernah berkata pada diriku sendiri bila menonton film-film korea yang ending-nya sudah bisa kutebak. “Hhhhh.. kebiasaan. Weting tresno jalaran soko kulino. Jadi jatuh cinta karena sering bertemu dengan tokoh utama, padahal tokoh utamanya menyebalkan. Aku sih gak bakal kayak gitu. Terlalu biasa jatuh cinta dengan cerita begitu. Aku maunya cerita yang berbeda.”
Nyatanya? Aku terjebak dengan kata-kataku sendiri. Seringnya pertemuan denganmu membuatku semakin mengenal perangaimu. Berdiskusi hampir tiap hari membuatku merasa kehilangan saat kita tidak bertemu. Sampai akhirnya aku menyadari, aku jatuh hati. Dan aku tidak bisa mengatakannya, apalagi mengungkapkannya secara langsung. Aku bukan pemberani yang bisa dengan terang-terangan meminta padamu untuk kau nikahi. Aku tidak memiliki seorang yang mungkin dapat menjadi perantara hatiku. Aku terlalu malu, dan merasa tidak cukup layak untuk mendapatkan cinta, kala itu. Terlalu banyak dosa dan keburukan yang kumiliki. Akhirnya aku pun hanya bisa menyimpan harapku dalam sunyi.
Sekali waktu, pernah aku bertanya tentang kriteria wanita idamanmu. Kau mananggapinya sambil tersenyum, “Kenapa Mba? Pengen nyariin?”
“Enggak... nanti aku yang bantu screening. Haha...”
Jujur, mungkin saat itu aku mulai berharap. Tapi logikaku mengatakan bahwa aku tidak memiliki perasaan apapun terhadapmu. Kita hanya rekan kerja dan teman diskusi. Dan aku ingin membantumu untuk bisa bahagia. Itu saja. Sayangnya, hatiku tidak seiring sejalan dengan logika. Aku bertanya tentang kriteria wanita idamanmu untuk memastikan apakah hatiku mungkin berharap atau tidak.
Setelah mendengar jawabmu, aku semakin diyakinkan bahwa aku tidak memiliki kesempatan tersebut, meski hatiku merespon sebaliknya. Tidak ada karakter padaku yang kupikir masuk sebagai kriteria istri yang kau harapkan. Dan aku cukup tahu diri. Kau menginginkan pendamping yang sanguinis, tidak keras kepala, cerdas, dan nyaman untuk diajak berdiskusi. Dan aku merasa bahwa aku tidak sanguinis (melainkan melankolis), agak keras kepala, tidak begitu cerdas, dan sebenarnya lebih sering berdebat meskipun kita adalah teman diskusi. Kau tidak menyukai seorang yang cerewet, bukan? Dan bakat bawelku ini sudah menjadi bakat alam. Tidak bisa diapa-apakan lagi. Kau berkata bahwa tidak ingin menikah dengan anak FIM. Mendengar itu, aku pun bergegas mematikan harapku sebelum melambung terlalu tinggi. Aku tidak memiliki kesempatan itu. Aku anak FIM. Dan itu tidak bisa diapa-apakan lagi. Hanya satu pernyataan darimu yang menyisakan sedikit harapan untukku, “Yang terpenting, dia mau sama saya.”
Kau pasti tidak mendengarnya saat itu, karena aku hanya menggumamkannya di hati. “Kalau aku mau, apakah boleh aku memiliki kesempatan jadi pendampingmu? Aku tidak cantik, tidak terlalu cerdas, seorang yang melankolis dan cengeng, suka berdebat dan bertengkar denganmu, tapi... kalau aku mau jadi pendampingmu, apakah aku bisa memiliki kesempatan itu?”
Berkali-kali aku menolak kenyataan hatiku yang mungkin jatuh cinta. Aku terlalu takut untuk jatuh cinta, dan merasa tidak layak untuk itu oleh sebab berbagai alasan. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai berdamai dengan diri sendiri dan membiarkan harapku bertumbuh sewajarnya. Tidak memupuknya, tetapi tidak juga membunuhnya. Aku akan merasa lebih sakit jika demikian. Jadi, kubiarkan begitu saja. Aku akan merasa senang jika bisa bertemu denganmu untuk alasan pekerjaan, diskusi ringan tentang keluarga, bisa mendengar suaramu secara tidak sengaja, atau mempunyai alasan yang pantas untuk mengontakmu melalui pesan singkat. Komunikasi kita didominasi hanya pada soal pekerjaan dan sesekali tentang cita-cita, atau tentang teman yang sama-sama kita kenal. Aku berusaha untuk wajar, bersikap normal. Alasannya tidak lain hanyalah agar sesuatu yang kurasakan di hati ini tidak menjadi berlebihan. Tidak terekspresi pada sesuatu yang belum pada tempatnya. Tidak menjadi sesuatu yang tidak diridhoi-Nya.
Namun, tetap saja hati tidak bisa berbohong. Jika awal dulu kau bercerita dan meminta pendapatku tentang tawaran yang datang padamu, lalu aku menanggapinya secara netral tanpa maksud dan kecenderungan apapun, maka berbeda hatiku setelah kau bercerita untuk keenam kalinya.
“Mba, datang tawaran lagi.”
“Dari siapa?”
“Dari senior.”
“Fokus dulu aja sama target. Diizinkannya usia 25 kan? Sekarang fokus dulu saja ke pekerjaan sambil mempersiapkan diri sebaik mungkin.”
“Iya Mba, sudah saya jawab kok. Saya mau fokus dulu.”
Kau tahu? Rasanya seperti menjadi wanita bermuka dua saat itu. Aku seolah memberimu saran yang bijak, padahal di sudut hatiku terselip harap bahwa kau akan kembali menolak tawaran tersebut. Setidaknya aku masih bisa lebih lama menyimpan harap yang tidak bisa kusampaikan ini. Aku hanya mengadu pada Yang Maha Membolak-balik Hati, bahwa jikalau kau baik untukku, untuk agamaku, untuk keturunan-keturunanku, untuk rezekiku, dan untuk kehidupan dunia akhiratku, maka mudahkanlah jalan ini bagiku. Namun, jika sebaliknya, maka pintaku Allah yang akan memupus langsung harapanku. Karena hakikatnya, diriku tidak memiliki daya kekuatan apapun, bahkan untuk sekedar membunuh rasa dan harapan yang tumbuh di hati.
Kali kedelapan kau mendapatkan tawaran, hatiku semakin waswas karena kau semakin serius mempersiapkan diri untuk berproses. Tapi kau bercerita bahwa kau tidak ingin melanjutkannya karena ada hal yang kau rasa tidak sesuai sehingga membuat hatimu tidak nyaman. Sejenak aku merasa lega, tapi tidak berlangsung lama, karena semenit kemudian kau melanjutkan cerita bahwa ada tawaran kesembilan yang masuk lagi padamu. Kali ini kau bercerita bahwa hatimu gemetar saat hendak melihat profil biodata sang akhwat. Sekali lagi. Aku harus membunuh harapanku dan menyiapkan hati untuk melepasmu pergi.
Aku berusaha bersikap biasa saja dan mencoba untuk tidak menyuburkan harapan di hati. Tapi gagal. Hatiku tetap saja berharap. Akhirnya aku hanya ingin menjadikan rasa yang kumiliki sebagai sebuah bentuk cinta yang dewasa. Bahwa hakikat cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus aku untuk melepasnya. Toh, Allah juga yang menganugerahi rasa indah ini, setelah sebelumnya aku berpikir bahwa aku tidak bisa jatuh cinta lagi. Jadi tidak ada salahnya jika aku mengembalikannya pada Yang Maha Pemberi Cinta. Jika kau cinta sejatiku, maka aku pasti akan bersanding denganmu, meskipun aku tidak tahu bagaimana caranya. Karena tidak mungkin bagiku untuk mengungkapkannya padamu, sementara aku tahu kau tidak pernah menganggapku lebih dari seorang senior dan partner kerja. Prinsip diriku menegaskan bahwa aku terlalu malu. Dan menjaga malu adalah kehormatanku sebagai wanita. Meskipun agama sekalipun membolehkanku untuk mengatakannya atau meminta secara langsung kepadamu, aku tetap saja tidak berani.
Kalau ternyata akhirnya aku tidak bersama denganmu, maka seperti kata Tere Liye dalam banyak bukunya, bahwa cerita ini menjadi lebih sederhana. Aku bukan jodohmu. Dan kehadiranmu hanyalah sepenggal episode yang menambah warna indah dalam hidupku. Aku ingin meyakini itu, bahwa bahagiamu adalah bahagiaku juga. Tapi realitanya ternyata tidak mudah. Saat mengetahui proses yang kau jalani melangkah ke arah yang lebih serius, dari bertukar biodata ke tahap ta’aruf, tangisku hampir meledak di kantor. Aku buru-buru mengambil wudhu dan mendirikan salat. Aku tidak boleh membiarkan diriku menangis. Kau tidak boleh tahu bahwa aku ingin menangis. Kau tahu, rasanya tidak mudah mengendalikan diri untuk tetap bersikap santai dan tersenyum normal saat perasaan berkecamuk karena merasa kehilangan harapan. Tapi logikaku cukup menetralkan badai di hati. Aku ingin turut berbahagia jika kau bahagia. Dan wudhu serta salat mampu membuat hatiku lebih tenang saat itu.
Keajaiban itu pun terjadi. Allah memberiku rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Betapa kagetnya diriku saat mengetahui aku hendak berproses denganmu lewat jalan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya, di luar ekspektasi dan imajinasiku bahwa kesempatan itu akan hadir lewat jalan A atau jalan B. Tiba-tiba saja yang muncul di hadapan adalah jalan Z, eh.. bukan ding... jalan G... #eeaa....
Sungguh, aku seperti mendapat kejutan besar dari Allah. Oleh karena itulah sakit maag-ku kambuh saat awal kita berproses lima bulan lalu. Aku terlalu tidak percaya dan tubuh seolah tidak menapak di bumi (haha... lebay.. tapi beneran, aku sakit maag selama dua minggu saat itu). Dan saat itu, saat kau bertanya mengapa akhirnya aku mau menerimamu, dari segala alasan yang harus kutahan supaya tidak kau ketahui dulu, aku hanya menyebutkan tiga hal. Pertama, kau adalah seorang yang berakhlak mulia. Berinteraksi denganmu dalam pekerjaan dan melihat interaksimu dengan orang lain cukup menjelaskan bagaimana perangai dan pribadimu. Kedua, kau memiliki integritas yang baik. Kau mengatakan benar adalah benar dan salah adalah salah. Tidak jarang aku merasa tersindir oleh nasihatmu, meski kau tidak bermaksud untuk mengkritikku. Tapi jika setiap apa yang kau katakan itu benar, aku bersyukur bahwa aku bisa belajar darimu. Dan kau pun tidak pernah menjadi orang yang selalu merasa paling benar. Sifat untuk mau terus belajar itu pula yang aku suka. Alasan ketiga, adalah alasan yang paling utama. Kau yang kukenal adalah seorang yang sangat memuliakan orangtua, terutama ibu. Bagiku, itu sudah cukup untuk menjawab apapun. Kau berbakti kepada ibumu. Kau memuliakan kedua orangtuamu. Kau sangat menyayangi adikmu dan menghormati keluargamu. Kuyakin kau pun akan memuliakanku dan menghormati keluargaku.
Untuk alasan lain yang belum kusebutkan, mungkin kau sudah bisa menebaknya kini.
“..dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. 65:3)
Kekasih, kau tahu? Sudah lama aku menyukaimu. Syukurlah akhirnya engkau tahu.
-to be continued-
15 komentar:
niiice
mmm akhirnya keluar juga part 1
makasih sudah berkunjung dan menjejak disini bang sule :)
iya galih, udah bisa posting sekarang alhamdulillah.. tunggu lanjutannya ya :)
Menarik sekali kak najmi tulisannya 😁
Penasaran nih lanjutannya...
Kak Najmi, aku udah baca 2x :) Thanks cerita ny...
Kisahnya bagus bangat mba. sangat Inspiratif
*nunggu part 2 dulu ah*
hihihi
Najmi, barakallah ya. Gw terharu bacanya, semoga sakinah mawaddah warahmah sampai ke surgaNya :)
Subhanallah.. Naj, terharu bacanya :')). Tulisannya bgus. Menginspirasi dlm sabar dn ikhlas. Boleh bgt dbuat buku :D.
Barakallah kak Najmii.. :* Semoga jadi keluarga sakinah mawaddah dan rahmah. Amiiinn
Kak, mohon maaf kemarin ngga bisa dateng kak, keluar kota dan pulang ke Jkt telat gegara asap.
@pradila: ditunggu yah ;)
@amrina: sama-sama.. semoga berhikmah dan manfaat ^^
@toko buku ikhwan: terima kasih, semoga manfaat
@mba yas: hehe.. iya mba... ditunggu part 2-nya yaa :D
@ka avina: aamiin Yaa Rabb.. makasih ka
@erna: alhamdulillah... makasih yaa udah berkenan baca ^^"
@aci: aamiin Yaa Rabb... jazakillah khoiron yaa cii... iya ci gpp, mhn doanya ^^
Kak, ijinkan aku buat belajar banyak dari kakak. :)
@teguh: aku kali guh yg harus banyak belajar dr teguh yg ud master :D
banjir air mata~~~
barakallaah kak najmiiii :'))
@halimah: aamiin... moga ada hikmah yg bisa jd manfaat ya hal ^^
Posting Komentar