12 Juni 2019
Rabu pagi di bandara Osaka, Kansai International Airport. Pertama kalinya diri ini menjejak di buminya Kenshin Himura. Kyoto Inferno. Wkwk. Yup, dalam dua tahun ke depan saya dan keluarga akan tinggal di kota Kyoto atas izin Allah. Namun, tidak seperti Kyoto Inferno (neraka Kyoto) yang dibakar oleh Shisio, yang kutemui di kota ini adalah rasa damai. Kota ini damai sekali. Terlebih saya tinggal di pinggiran kota sebelah timur, cukup jauh dari pusat kota yang ramai. Benar seperti yang dikatakan oleh banyak orang bahwa Kyoto itu laksana Yogyakarta-nya Jepang. Kental oleh budaya, damai kotanya, dan cukup ramah pula warganya (walau masih kalah jauh sih, sama ramahnya warga Jogja :p). Dan yang terpenting, hati saya sangat damai bisa berkumpul kembali bersama keluarga (baca: suami tercinta *uhuk*).
sumber: madman.com.au
Asrama
Asrama yang kami tinggali adalah asrama khusus untuk mahasiswa
internasional yang kuliah di Kyoto Daigaku (Kyodai). Shugakuin International House, namanya. Kami tinggal
di kawasan Shugakuin, berjarak sekitar 3 km di utara kampus Yoshida. Terdapat
tiga jenis tipe kamar di sini. Single room, couple room, dan family
room. Kami menempati tipe yang paling besar, family room.
Rumah baru kami memiliki tiga ruangan,
ditambah dengan satu kamar mandi. Seperti kebanyakan rumah model apartemen
lainnya, tata letak pertama setelah pintu adalah rak sepatu dan tempat payung.
Lalu, disambung kamar mandi yang terletak di sisi kiri. Kalau kamar sebelah
biasanya tata letak ruangnya berlawanan, kamar mandi ada di sebelah kanan. Dari
lorong masuk tersebut langsung menyambung ke ruang makan. Di ruangan ini ada
meja dan kursi makan untuk sekeluarga, kompor, tempat cuci piring, kulkas, dan
microwave. Ruangan ini juga menjadi penghubung menuju teras balkon tempat mesin
cuci berada. Di sebelah kiri ruang makan adalah kamar tidur utama, sedangkan di
sebelah kanan adalah ruang kerja. Saya dan anak-anak selalu menyebutnya
‘kantor’. Kalau kamar utama disebut ‘kamar’, sementara ruang makan kami sebut
‘dapur’. Kamar, dapur, dan kantor terletak sejajar. Setelahnya terdapat teras
balkon selebar kurang lebih satu meter, tempat mesin cuci, blower AC, dan
jemuran berada. Antara ruang dalam dan ruang luar (teras balkon) hanya
dipisahkan oleh pintu geser kaca, tidak ada yang disekat oleh dinding bata.
Asrama kami memiliki beberapa failitas
umum, seperti perpustakaan, lounge yang sekaligus menjadi ruang
olahraga, ruang bersama / japanese room yang hanya dibuka pada saat
khusus, dan lobby yang ada pianonya. Kereeen…. Oh ya, di lantai 1 juga ada
fasilitas dapur umum, kamar mandi, dan mesin cuci koin. Soalnya tipe kamar single
room, khususnya yang di lantai 1, tidak memiliki ofuro (bath tub
untuk berendam) dan shower untuk mandi. Jadi mereka menggunakan kamar
mandi bersama. Mereka juga tidak memiliki mesin cuci sendiri. Kalau mau mencuci
baju, tinggal memasukkan koin 200 yen ke mesin cuci. Asyiknya, di sini kami
tidak perlu mencuci seprei atau pun selimut. Pengelola menyediakan seprei,
sarung bantal, dan futon gratis untuk digunakan. Kalau seprei kotor, tinggal
diletakkan di tempat yang disediakan, lalu kita mengambil seprei baru yang
bersih. Alhamdulillah.
Belanja
Asrama tempat kami tinggal tergolong
strategis, karena dekat dengan halte bis, stasiun, maupun tempat belanja. Ada
berbagai pilihan tempat belanja disini, dengan hari diskon yang berbeda-beda.
Uniknya, rata-rata tempat belanja disini tidak seperti supermarket besar di
Indonesia yang segala ada di satu lokasi. Disini tempat belanja sayur dan bahan
makanan terpisah dari toko yang menjual kebutuhan toiletries sebagai
komoditi utama.
Saat saya hendak belanja sayur-mayur, toko
Fresco atau Yaotami adalah pilihan terdekat dari asrama. Fresco tempatnya lebih
modern dan lebih lengkap isinya. Namun, saya lebih sering belanja di Yaotami
yang agak tradisional, karena lebih nyaman. Tempatnya tidak seramai Fresco. Dan
untuk beberapa jenis sayuran, Yaotami lebih murah. Kalau di Fresco, harga telur
dan udangnya yang lebih murah. Toko yang menyediakan sayur mayur dan berbagai
produk pangan di sini disebut sebagai ‘supa’.
Untuk kebutuhan toiletries, seperti
sabun, sampo, dan pospak, tempat terdekat dari asrama adalah Welcia dan
Kentboys. Welcia terletak di pertigaan jalan utama, sekitar 100 meter dari
asrama, sementara Kentboys terletak berdekatan dengan Fresco dan Yaotami. Tinggal
pilih mau jalan ke mana. Walaupun menyediakan kebutuhan toletries,
tetapi di sana juga ada produk cemilan dan minuman. Bahkan terkadang ada telur
dan buah pisang yang harganya lebih murah daripada di supa.
Transportasi
Jepang sudah terkenal dengan kemajuannya
dalam transportasi umum. Bus dan kereta adalah moda kendaraan yang menjadi
pilihan sehari-hari hampir seluruh warga, muda dan tua, bahkan para difabel. Ya,
kaum difabel sangat terfasilitasi di sini. Mereka mampu hidup mandiri dan
beraktivitas seperti orang kebanyakan lainnya. Tidak ada satu pun trotoar yang
tidak memiliki marka untuk para tuna netra. Bus kota selalu mendahulukan mereka
yang berkursi roda. Setiap stasiun kereta, walaupun stasiun kecil pinggiran,
selalu memiliki ramp atau lift untuk naik dan turun. Di sini, saya benar-benar
mempraktikkan hal-hal yang sebelumnya saya pelajari di kelas tentang elemen
lanskap.
Selain transportasi umum, sepeda adalah
kendaraan yang paling banyak ditemui di jalan. Bahkan di kampus, tempat parkir
sepeda selalu penuh, sampai berdesak-desak. Kalau sudah sekali tertiup angin
kencang, amboiii… rangkaian sepeda jatuh layaknya kartu domino. Entah siapa
yang akan membereskan. Dulu sewaktu saya masih kuliah S1 dan selalu bersepeda
ke kampus di Bogor, saya biasanya akan mengembalikan sepeda yang jatuh di
tempat parkir ke posisinya semula. Namun, di sini saya hanya lewat dan melirik
sekilas. Haha. Sepeda yang jatuhnya puluhan!
Orang-orang yang hidup di sini sudah
terbiasa hidup mandiri. Ibu rumah tangga yang berbelanja dan beraktivitas
sambil membawa anak, para lansia, mereka juga terbiasa bersepeda. Oleh karena
itu, memiliki sepeda menjadi sebuah hal wajib. Suami saya langsung membeli
sepeda baru saat awal kedatangan untuk aktivitasnya pergi pulang kampus. Saat
saya dan anak-anak tiba, saya pun membeli sepeda dari teman yang pulang ke
Indonesia. Sepeda ‘mamachari’ yang sudah terdapat boncengan anak di
belakangnya. Sepeda ‘mamachari’ adalah sepeda yang umum digunakan untuk
beraktivitas para ‘mama’. Bentuknya seperti sepeda mini kalau di Indonesia. Modelnya
rata-rata memiliki keranjang di depan dan boncengan di belakang. Ada yang depan
belakang jadi keranjang. Ada pula yang depan belakang jadi boncengan anak. Tipe
sepeda yang biasa, bergigi, dan elektrik. Kalau untuk ‘mamachari’ dengan
boncengan khusus anak, paling enak adalah yang elektrik, atau minimal bergigi.
Kyoto in Summer
Satu-satunya yang menjadikan episode ini
mirip sama Kyoto Inferno-nya Kenshin adalah musim panasnya! Musim panas
di Kyoto ditengarai sebagai yang terpanas di seluruh Jepang. Nyaris 40 derajat
celcius, mungkin. Udara sangat panas dan kering. Bulan Juli-Agustus adalah saat
panas-panasnya. Barulah pada bulan September, udara mulai menyejuk. Masih
panas, tetapi anginnya mulai terasa sejuk. Kalau bulan sebelumnya, angin yang
berhembus pun terasa panas. Bagi mereka yang gemar bersepeda akan terasa sekali
bedanya.
Kalau hal yang paling unik dan
menyenangkan hati banyak sekali bahkan saat kita bermimpi sekarang ganti
ba…STOP! Ini bukan sedang bernyanyi lagu maruko-chan, oke?! Jadi hal yang
paling unik sekaligus menyenangkan di musim panas ini adalah….. suara TONGGERET!
yang hampir setiap pagi dan sepanjang hari berbunyi. Hmmm kalau di Indonesia
kita adanya jangkrik kali yah, yang biasanya berbunyi di sore menjelang malam
hari. Terkadang jika saya merasa suara tonggeret ini berisik sekali, buru-buru
saya beristighfar dan berkata di kepala, “Suara ini indah! Suaranya indah sekali!”
atau segera saya teringat pada Yotsuba yang sangat suka pada tonggeret. Mumpung
lagi di Jepang. Mumpung lagi musim panas. Mumpung tonggeretnya ada. Dan benar
saja. Memasuki bulan September, suara tonggeret pun serta merta menghilang.
Hal unik lainnya di musim panas adalah
buah dan sayur. Katanya buah peach (persik) yang khas Jepang hanya ada
di musim panas. Sayur kangkung juga hanya ada di musim panas. Pokoknya yang
hanya ada di musim panas, saya beli! Haha, saya jadi curiga jangan-jangan ini
adalah strategi marketing pihak tertentu (yakalee bundoooyy). Jadi, demi rasa
penasaran dengan dalih ‘wajib mencicipi ragam ciptaan Allah agar semakin bersyukur’,
saya pun membeli buah persik yang harganya menduduki peringkat atas di kalangan
buah. “Sekali ini aja kok, Bi. Katanya enak sekali rasanya. Dan hanya ada di musim
panas. Gak apa-apa ya?” bujuk saya pada suami. Bukan membujuk sih, melainkan
laporan. Toh, buahnya sudah masuk kulkas, wkwk. Kalau harga kangkung tergolong
relatif. Jika dibandingkan dengan harga sayuran lain, kangkung juga menempati
papan atas harga premium alias mahal. Iyalah mahal, kalau dibandingkannya
dengan harga kangkung di tukang sayur keliling di Bogor mah 7-10 kali lipat.
Berhenti mengonversi, oke? Yah, intinya disini juga mahal karena tergolong
langka. Sebenarnya tidak terlalu mahal juga, karena sayuran lain juga relatif
sama harganya. Saya nya saja yang biasanya beli sayur-mayur murah atau harga
promo. Yah, pokoknya harus beli persik dan kangkung.
Selain buah dan sayur khas musim panas
Jepang, saya juga membeli pot bunga. Suka meleleh rasanya hati, saat melihat
bunga-bunga cantik subur bermekaran di tepi jalan atau di halaman rumah orang. Kalau
mengaitkan antara musim panas dan bunga, ingatan saya pasti langusng terbang ke
Summer Scent. Drama Korea lawas yang menjadi salah satu alasan saya
mendaftar kuliah di Arsitektur Lanskap. Saya ingin menjadi florist! Lah?
Ternyata di kampus belajar arsitektur. Haha, yo wis lah. Yang penting “Arsitektur
Lanskap tetap paling jitu, ugh!”.