4 November 2016
Bada salat Asar, aku bersimpuh
lebih lama setelah berdoa di atas sajadah. Itu hari Jumat, hari besarnya umat
muslim. Hari itu perasaanku sedikit berkecamuk. Betapa inginnya aku mengikuti
AKSI 4/11 di Jakarta yang bagiku seperti panggilan jihad tersebut. Apalah daya,
oleh sebab beberapa hal, aku tidak bisa turut serta.
Sore itu, aku berbicara sambil
mengelus perut, “Nak, walaupun raga kita tidak ikut ke sana, semangat juang
kita jangan pernah sirna ya. Untuk membela agama, untuk berjihad di jalan-Nya.”
Dan aku sungguh tidak tahu bahwa
saat itu memang sedang bertumbuh bakal janin dalam rahimku!
***
Sejak awal menikah pada Oktober
2015, hampir setiap bulan aku membeli alat tes kehamilan di apotek. Pernah
sekali membeli alat tes kehamilan yang harganya lumayan, Rp 40.000. Mungkin
hasilnya lebih akurat, kupikir. Lebih jauh dan tidak logisnya lagi, aku
berpikir saat menggunakan alat tes kehamilan mahal ini, mungkin hasilnya bisa ‘garis dua’. Haha.... yang membuat ‘garis dua’ itu kan bukan alatnya,
melainkan kadar HCG dalam urin sebagai indikator kehamilan. Yaa siapa tahu
karena alat ini harganya mahal, terus aku jadi hamil, wkwk. Well, jangan ditiru yah sodara-sodara,
pola pikir lulusan S2 ini yang kalau lagi berharap punya anak, logikanya
mendadak hilang tenggelam di dasar bumi. Nyatanya, garis yang muncul saat aku
melakukan tes tetap satu. Negatif. Aku pun menghela nafas dan tidak pernah lagi
membeli alat tes yang mahal. Bulan-bulan berikutnya, setiap ke apotek untuk
membeli alat tes kehamilan dan ditanya mau yang mana, dengan tegas aku
menjawab, “Yang harganya Rp 4.000 saja.”
Selain kebiasaan membeli testpack (alat tes kehamilan) setiap
bulan, kebiasaanku yang lainnya adalah mengajak ngobrol perutku di saat-saat
tertentu. Terkadang aku berimajinasi bahwa aku sedang hamil, dan mengajak
bicara anak dalam kandunganku tentang apa saja. Bagiku realisasi imajinasi
adalah salah satu bentuk ikhtiar mewujudkan doa dan harapan. Atau anggap saja
aku sedang berlatih cara mengobrol dengan janin dalam kandungan. Padahal
berkali-kali yang saat itu sedang aku ajak bicara sesungguhnya adalah baso,
tahu, atau nasi goreng di dalam perut!
Aku rasa sudah menjadi hal yang
umum terjadi pada setiap pasangan baru menikah jika ditanya perihal momongan.
Bulan pertama menikah, tetangga sebelah bertanya, “Sudah isi belum?”... Bulan
kedua menikah, keluarga dari pihak istri bertanya, “Sudah isi belum?”... Bulan
ketiga, keluarga dari pihak suami giliran bertanya, “Sudah isi belum?”... Dan
bulan-bulan berikutnya, setiap orang yang ditemui seolah-olah mendapat giliran
pesan berantai untuk menanyakan hal serupa.
Dan aku? Saat suasana hati sedang
tenang, aku dengan santai akan menjawab, “Alhamdulillah, tadi baru isi nasi,”
atau “sudah isi lontong tadi,” atau “tadi barusan isi risol.” Atau minimal
menjawab dengan kalimat normal, seperti “mohon doanya”. Namun, terkadang
mendapat pertanyaan demikian juga bisa mencipta baper. Aku pun mengalami pasang surut emosi tersebut. Mulai dari
hati yang penuh harap bahwa aku bisa segera hamil, mendadak risih dengan
pertanyaan orang-orang, meminta doa dari banyak orang, berpikir apakah aku bisa hamil?, sampai...............
sampai sampai aku lupa emosi apa saja yang pernah kurasakan ^^”.
Aku dan suami beberapa kali
membahas tentang perlu tidaknya kami mengikuti program hamil, tetapi pada
akhirnya kami memutuskan untuk menjalaninya secara alami. Toh, tesisku saat itu
belum selesai. Kami baru menikah dan masih banyak adaptasi dalam berbagai hal.
Awal-awal menikah juga diriku masih disibukkan oleh beberapa proyek dari
konsultan tempatku bekerja. Bagaimanapun, ketenangan hati dan kesehatan fisik
diperlukan untuk suksesnya proses pembuahan, bukan?
Aku menyelesaikannya satu per satu.
Setelah usai beberapa proyek, aku memutuskan untuk off terlebih dahulu dari dunia perproyekan. Suamiku terus
memberikan semangat dan dukungan agar aku segera menyelesaikan studi. Dinamika
dalam rumah tangga juga kami coba kelola dengan komunikasi yang baik. Aku terus
menanamkan afirmasi positif bahwa semua akan selalu hadir tepat pada waktunya.
Toh, Rasulullah Saw dan Khadijah pun baru memiliki anak setelah tiga tahun
pernikahan mereka. Sudah sepatutnya aku mampu untuk lebih bersabar, kan?
Akhirnya aku memutuskan untuk
sungguh-sungguh menikmati masa berdua. Agar tidak perlu ada keluhan di masa
mendatang saat anggota keluarga kami nanti bertambah, lalu aku berkata, “Pengen
bisa berduaan lagi deh, sekarang susah sekali mau jalan berduaan kayak dulu.”
Pun aku bertekad dan berdoa agar tidak sampai keluar dari lisanku ucapan, “Duh,
anak banyak kayak gini repot banget yah, beda sama kayak dulu waktu masih
satu.” Nikmati...nikmati...syukuri.... Saat sudah ada anak nanti, pasti akan
berbeda dengan saat masih berdua. Saat punya anak dua, tiga, atau empat, pasti
berbeda juga dengan saat masih baru punya satu anak. Jadi, aku ingin
sungguh-sungguh menikmati setiap fase yang kulalui. Dan diantara semua rasa
harap dan cemas akan hadirnya buah hati, aku terdiam saat ayahku mengatakan,
“Itu hak prerogatif Allah.” Entah kenapa, kalimat tersebut membuat hatiku
begitu tenang. Mengingatkanku kembali bahwa setelah ikhtiar dan doa, kewajiban
berikutnya adalah tawakal. Tidak seharusnya aku merasa terlalu cemas ataupun
terpengaruh karena pertanyaan dari orang-orang.
***
17 November 2016
Kejutan itu pun datang. Pagi hari
selepas suamiku berangkat kerja, aku penasaran ingin melakukan tes, walaupun
baru telat dua hari. Jeng... jeng...
jeng...!!! Dua garis!!!!! Subhanallah, ini sungguhan? Apa alat testpack-nya valid? Biasanya aku sudah telat seminggu saja hasilnya tetap satu
garis. Masih dalam rasa tidak percaya, aku mengulangi tes. Hasilnya sama, dua
garis. Dengan mata nyaris tak berkedip dan hati yang mulai meletup-letup
takjub, aku pun mengucap hamdalah. “Alhamdulillah.... Alhamdulillah....
Alhamdulillah....”
Aku mengirimkan foto hasil tes ke
suami melalui whatsapp tanpa
penjelasan apapun. Penasaran mengetahui reaksinya. Satu menit, dua menit, kok
tidak direspon? Padahal sudah dibaca, hmmm... Menit ketiga, teleponku
berdering. Suara suamiku terdengar serak di ujung sana. “Neng? Neng hamil?”
Aku mengangguk. Lupa bahwa itu
telepon, bukan video call. Buru-buru
aku ralat, “Iya A, alhamdulillah.”
Dan suamiku mengucap hamdalah
berkali-kali. Mengatakan ingin menangis, tetapi malu karena sedang berada di
dalam kereta. Itu pertama kalinya suamiku berbicara di telepon dengan begitu
ekspresif. Aku yang tadinya tidak terpikir untuk menangis, jadi ikutan menangis
karena mendengar suamiku ingin menangis. Dan akhirnya aku pun menangis, sambil
tersenyum. Haduh, apa sih ini bolak-balik gini kalimatnya >D<....
Hari itu, aku pun periksa
kehamilan di bidan untuk pertama kalinya. Bu bidan meyakinkanku bahwa hasil
tes-ku memang positif dengan usia kehamilan kurang lebih empat minggu. Beliau
menanyakan kondisiku, menyemangatiku untuk bersiap-siap jika terjadi perubahan
fisik dan psikis, dan memberiku selamat atas kehamilan pertamaku. Alhamdulillah,
ternyata tanda cinta itu datang, tepat satu tahun pernikahan kami. Dan tepat
setelah aku menyelesaikan revisi tesis pasca sidang di bulan lalu.
Awalnya kupikir aku tidak akan
merasakan mual dan muntah, seperti diwanti-wanti
oleh bidan. Ternyata aku mengalami masa-masa tersebut. Memasuki bulan kedua
kehamilan, aku mulai merasakan mual. Bukan di pagi hari seperti teori umum
bercerita (morning sick), melainkan
siang sampai sore. Terkadang, sepanjang hari juga sih mualnya, tetapi dalam
kadar yang ringan.
Sempat mual mencium bau ikan dan
bau-bau tajam lainnya juga. Sempat kesulitan untuk mencuci piring, karena tidak
tahan oleh bau piring kotor. Alhamdulillah, suami beberapa kali dengan sigap
mengambil alih tugasku. Beberapa kali juga muntah selama trimester pertama
tersebut, apalagi kalau mencium bau asap kendaraan di jalan. Setiap pagi aku
menjadi sebal sama orang-orang yang berangkat kerja atau sekolah dengan
kendaraan bermotor dan asapnya tercium hingga ke kamar. Suami pun menjadi
korban mualnya istri saat pulang kerja. Maklum, sepanjang perjalanan
pergi-pulang kantor, pasti banyak asap dan debu yang menempel. Alhasil saat aku
mencium tangan suami, bereaksi-lah hormon-hormon mualnya, hehe.
Kontrol hamilku berganti-ganti
antara bidan dan dokter. Saat ada suami yang bisa mendampingi, aku kontrol ke
dokter di rumah sakit. Bisa sekalian USG juga. Kalau sedang sendiri, aku cukup
kontrol ke bidan saja, haha. Hemat. Urusan hemat perhematan ini sempat menjadi
dinamika rumah tangga juga selama proses kehamilan, khususnya dalam memutuskan
tempat persalinan nanti. Tunggu ya, aku akan menceritakannya di episode
berikutnya, insyaallah.
Cerita seru selama trimester awal
kehamilan ini adalah saat aku masih harus bolak-balik kampus mengurus
perbanyakan tesis dan daftar wisuda. Aku juga harus mengurus pengembalian biaya
SPP semester ganjil yang sudah sempat kubayarkan sebelumnya karena jadwal
sidangku yang sudah masuk semester baru. Lumayan bisa kembali 30%. Itu harus
diperjuangkan. Namun, apalah daya sebab mualku kian hari kian bertambah. Aku
tidak bisa setiap hari ke kampus. Akhirnya menyelesaikan segala tetek bengek
administrasi pun berjalan lebih lambat dari yang seharusnya. Saat petugas TU
Pascasarjana IPB melihat tanda pengambilan berkasku, ia pun heran.
“Kok baru diambil sekarang,
Mbak?”
“Lagi hamil muda, Pak. Mual-mual
saya.”
Mimik wajah si bapak yang awalnya
agak jengah, seolah berkata ‘Males gue
ngurusin mahasiswa yang lambat ngurus administrasi’ berubah menjadi
sumringah, dan sambil tersenyum mengucapkan selamat padaku. Masih ditambah pula
dengan sedikit ramah tamah menanyakan kondisi kehamilanku dan asal daerahku
darimana, wkwk. Jadi ramah banget pokoknya! Bersyukurnya tinggal dengan budaya
timur itu adalah fakta ibu hamil selalu bisa menjadi alasan dan dispensasi
untuk banyak hal :p...
Contoh lainnya adalah saat naik
kereta commuter Jadebotabek. Kondisi hamil
muda tentunya belum terlalu kelihatan seperti orang hamil, karena perutnya
belum membesar. Namun, setiap kali aku harus naik kereta, suamiku akan
mengajakku ke arah kursi prioritas dan meminta penumpang yang kurang berhak
untuk memberikan kursinya padaku. Jikapun aku harus naik kereta sendiri (tanpa
suami), aku pun akan mengatakan bahwa aku sedang hamil. Untuk berjaga-jaga, aku
selalu membawa buku rekam medik kehamilan kemana-mana. Supaya kalau ada oknum
penumpang yang tidak percaya tentang kehamilanku, aku akan langsung
mengeluarkan buku tersebut agar mereka paham bahwa ‘Nih, gue beneran hamil!’ wkwk... Tapi alhamdulillah sih, penumpang
selalu percaya. Jadi aku tidak perlu sampai mengeluarkan buku rekam medik
kehamilan, hhe.
Poin penting saat di tempat
publik seperti kereta adalah kita harus mengatakan dan meminta dengan jelas hal
yang kita butuhkan. Jangan selalu berharap bahwa orang-orang di sekitar kita
harus paham dengan kode-kode yang kita berikan, seperti memaju-majukan perut
(supaya orang tahu kita sedang hamil), atau misalnya pura-pura mual (tapi kalau
aku memang mual sungguhan sih ^^”). Katakan dengan jelas, “Permisi, boleh
gantian duduknya? Saya sedang hamil.” Urusan orangnya percaya atau tidak, bukan
tanggung jawab kita.
Cara menyiasati lainnya adalah
dengan naik ke gerbong campuran. Kalau sedang hamil, sebisa mungkin hindari
naik kereta khusus wanita di jam-jam sibuk. Persaingan antar-wanita itu bisa
lebih kejam daripada soal ujian nasional!!! Lagipula, kursi prioritas di
gerbong wanita biasanya cepat penuh dengan orang-orang yang memang prioritas,
seperti para lansia. Jadi, aku selalu memilih gerbong campuran dan mencari
kursi prioritas yang isinya ‘tidak prioritas’. Kalau kondisi di gerbong sedang
sulit karena terlalu penuh atau penumpangnya pada tidur semua (haha, ini lebay
sih,,,), cara jitu terakhir adalah dengan mencari petugas dan meminta tolong,
wkwk.
It’s really happy moment to be a
pregnant woman. Alhamdulillah.... :D
Nantikan cerita berikutnya yah
^.^
-to be continued-
sumber gambar:
1. soloraya.net/mendorong-keberfungsian-kelas-ibu-hamil/kartun-ibu-hamil-muslimah/
2. https://www.brilio.net/life/13-ilustrasi-ini-ungkap-suka-duka-jadi-ibu-hamil-jangan-durhaka-ya-1603026.html
1. soloraya.net/mendorong-keberfungsian-kelas-ibu-hamil/kartun-ibu-hamil-muslimah/
2. https://www.brilio.net/life/13-ilustrasi-ini-ungkap-suka-duka-jadi-ibu-hamil-jangan-durhaka-ya-1603026.html