source: ummionline.com |
Susu, vitamin, dan
suplemen ibu hamil
Memasuki trimester kedua dan
ketiga kehamilan, mual hamil akibat perubahan hormon mulai berkurang.
Sebaliknya, nafsu makan semakin meningkat. Bawaannya ingin mengunyah, mengunyah,
dan mengunyah... haha....
Pada umumnya ibu hamil meminum
susu hamil untuk tambahan nutrisi. Saya memilih untuk tidak minum susu khusus
ibu hamil secara rutin. Mengapa? Pertama, dari beberapa info yang saya peroleh,
minum susu khusus ibu hamil itu tidak wajib. Susu biasa pun tidak masalah. Saya
lebih senang minum susu cair pasteurisasi, selain lebih praktis, kandungan gizi
susu pasteurisasi juga ditengarai sebagai yang paling baik dibandingkan produk
susu lainnya (UHT dan bubuk). Kedua, rasa susu khusus ibu hamil itu lebih
memicu mual. Dasarnya saya memang tidak terlalu suka susu sejak kecil, hampir
selalu muntah setiap minum susu, dan ini susu khusus ditambah zat besi yang
aromanya kuat pula. Semakin menolak lah diri ini, huuufft... Tetapi demi janin yang
sehat, pintar, kuat, dan bertakwa, saya memutuskan harus tetap minum susu.
Akhirnya saya memilih minum sari kedelai organik sebagai pengganti sumil. Loh, kok
susu kedelai? Bukan susu kedelai, melainkan sari kedelai. Soalnya kedelai tidak
punya puting susu, jadi kata para senior di kampus harusnya tidak disebut susu
kedelai, wkwk. Lalu susu sapinya bagaimana? Tetap minum kok, kadang-kadang.
Kadang pas beli, kadang pas dapet gratisan promo sumil, kadang-kadang saja. Hehe.
Tetap yang rutin saya konsumsi adalah sari kedelai organik. Lebih enak, gizinya
tinggi, dan bagus untuk melancarkan serta memperbanyak produksi ASI pasca
melahirkan nanti.
Vitamin hamil juga salah satu hal
utama yang tidak boleh dilupakan para ibu hamil. Pertama kali saya periksa
kandungan di bidan, saya hanya diberi vitamin penambah darah. Saat berikutnya
periksa kandungan di dokter, saya ditanya sudah memiliki vitamin atau belum.
Saya jawab sudah. Di rumah sudah ada suplemen penambah darah, minyak ikan,
kalsium, madu, kurma, pokoknya komplit saya jabarkan. Akhirnya sang dokter
tidak memberikan resep vitamin apapun. Mungkin beliau mengerti akan
kekhawatiran saya jika diberi resep vitamin mahal, haha. Namun, selanjutnnya
saya rutin membeli sendiri suplemen ibu hamil ber-merk Obimin. Kandungannya
cukup lengkap. Harganya tidak sampai membuat dompet tersedak.
Suplemen lain yang saya juga
minum adalah salah satu resep dari bidan ber-merk Gestiamin. Suplemen ini lebih
lengkap lagi kandungannya dibandingkan Obimin. Selain kandungan vitamin lengkap
ABCD, kalsium, asam folat, dan besi, di Gestiamin juga ada tambahan AA dan DHA,
serta tambahan kalium juga. Harganya? Tetap ramah di kantong (asumsi ramah di
kantong adalah kurang dari 100 ribu rupiah untuk kebutuhan suplemen selama
sebulan, hehe..). Jadi, setelah Obimin saya habis, saya beralih ke Gestiamin.
Memilih lokasi persalinan
Sejak awal kehamilan, saya dan
suami sudah berbeda pendapat terkait lokasi bersalin. Suami bersikukuh agar saya
melahirkan di rumah sakit, sementara saya lebih nyaman untuk bersalin di bidan
saja. Alasan suami memilih rumah sakit? Lebih aman dan cepat penanganannya jika
terjadi sesuatu. Alasan saya memilih bidan? Lebih sepi dan lebih hemat yang
pasti (ckck.. lagi lagi urusan hemat :p). “Jangan pikirkan uang, Neng. Insya
Allah rezeki nanti ada. Itu tugas Aa. Yang penting Neng sama dede aman, sehat,
selamat.”
Bagaimana ya? Namanya emak-emak
ya tidak mungkin tidak memikirkan masalah uang. Terlebih lagi, saya paling
tidak ingin membuat suami susah dan pusing masalah uang. Akhirnya demi tidak
membuat suami semakin pusing saat itu, saya menyetujui untuk bersalin di rumah
sakit. Kami mencari rumah sakit khusus bersalin yang tidak terlalu ramai, dekat
dari rumah, dan dokter-dokter kandungannya terekomendasi dari beberapa teman.
Alhamdulillah, RSIA Bunda Suryatni yang berjarak tidak sampai 5 km dari rumah
kami, memenuhi kriteria tersebut.
Saya rutin kontrol kandungan
setiap bulan. Di bidan. Lah? Wkwk, tadi katanya tidak ingin membuat suami
pusing? Yaaaa kalau suami sedang libur kerja dan bisa menemani kontrol
kandungan, kami kontrol di dokter. Kalau saya harus kontrol sendiri, saya pergi
ke bidan atau ke puskesmas yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari rumah.
Bisa dijangkau hanya dengan jalan kaki.
Selama perjalanan kehamilan
pertama ini, mobilisasi saya ke luar kota cukup tinggi: Bogor, Bandung,
Jakarta, Serang, dan Depok. Oleh karena itu, saya kontrol kandungan sesuai
posisi saya saat jadwal kontrol tiba. Kalau dijumlahkan, saya kontrol kandungan
berganti-ganti diantara tiga dokter dan tiga bidan pada tiga rumah sakit dan
tiga tempat praktik bidan yang berbeda. Saya tidak terlalu masalah
berganti-ganti bidan atau dokter, karena bisa sambil survei juga saya cocoknya
dengan dokter/bidan yang mana. Saya juga bisa survei tempat yang kira-kira
paling nyaman untuk saya bersalin nantinya. Yang terpenting adalah catatan
kehamilan alias rekam medik kehamilan kita tertulis pada satu buku yang sama.
Jadi, setiap saya pergi kemanapun (bahkan walau hanya pergi ke kampus), saya selalu
membawa buku rekam medik tersebut.
Lalu, akhirnya dimana lokasi
bersalin tempat saya melahirkan anak pertama? Rumah sakit, bidan, rumah, mobil,
atau angkot? Wkwk... masak di angkot? Kemungkinan inilah yang disampaikan oleh
bidan sehingga saya harus melakukan suntik tetanus. Kalau ternyata keburu brojol di perjalanan/kendaraan yang
tidak steril tempatnya, setidaknya aman dari infeksi tetanus. Jadi, saya
lahiran dimana? Tunggu di episode selanjutnya ya.
Ikat panggul pashmina
Melihat aktivitas dan mobilisasi
saya selama hamil yang cukup tinggi, salah satu tetangga rumah yang sudah
seperti keluarga sendiri menyarankan saya untuk mengikat panggul dengan kain
jika bepergian. Terlebih karena saya sempat mengalami flek saat awal-awal
hamil, beliau mewanti-wanti agar saya lebih berhati-hati. Mengikat panggul
dengan kain akan membantu menopang perut sehingga janin di dalah rahim tidak
mudah terguncang.
Saya sedikit mengobrak-abrik
lemari, mencari kain panjang yang kira-kira bisa dipakai layaknya ikat
pinggang. Saya belum memiliki kain jarik saat itu, jadi agak bingung juga. Kain
sarung kurang panjang, kain selendang yang saya miliki terlalu tipis, kurang
nyaman untuk menopang perut. Celana panjang suami? Ya masak saya pakai, wkwk.
Akhirnya pilihan saya jatuh pada kain pashmina warna putih yang biasa saya
pakai ke kondangan. Kerudung pashmina ini cukup panjang dengan bahan wol,
sehingga nyaman untuk saya ikatkan ke panggul. Tidak terlalu tipis, tidak juga
terlalu tebal, pas.
Saya juga berhenti mengendarai
motor setelah usia kandungan empat bulan. Beberapa orang berpendapat bahwa
setelah usia empat bulan atau masuk trimester dua kehamilan merupakan masa yang paling aman. Namun,
karena pada masa ini saya justru mengalami flek, saya memutuskan untuk cuti
bermotor-motor ria. Lalu saya naik apa kalau ke kampus atau ke tempat lainnya?
Naik angkot, mobil, atau menumpang bonceng motor dengan teman. Tentu tetap
dengan mengenakan ikat panggul pashmina, hehe.
Asisten dosen
Saya bersyukur penelitian saya
telah selesai dan revisi tesis saya pun telah usai saat testpack hamil
menunjukkan tanda positif. Aktivitas saya di kampus hanya tinggal mengurus
persyaratan wisuda yang ternyata itu pun tertunda hampir tiga bulan. Sampai
saya diprotes oleh pihak administrasi kampus karena dinilai lambat mengurus
kelulusan sendiri. Ketika beliau mengetahui saya terhambat datang ke kampus
karena ngidam mual dan muntah, berangsur wajahnya berubah sumringah dan
mengucapkan selamat. Hihi, bersyukur sekali, kabar hamil selalu membawa gembira
hati tidak hanya keluarga, tetapi juga hampir setiap orang yang mendengarnya.
Pasca mengurus adminstrasi
kelulusan dan mendaftar wisuda, tibalah saya pada hari bersejarah kedua
tersebut. Wisuda magister. Hari yang sama, lokasi yang sama, dan rektor yang
sama. Jika pada wisuda sarjana yang lalu saya mempersembahkan kelulusan untuk
ibunda tercinta, maka pada wisuda magister ini saya mempersembahkannya untuk
ayahanda saya yang telah begitu besar memberikan percaya dan cintanya untuk
saya. Bedanya, pada wisuda ini saya lebih beruntung karena tidak hanya
didampingi oleh orangtua di dalam gedung prosesi, tetapi juga ditemani oleh
suami, adik, dan janin yang ada dalam kandungan. Peluk hangat berjuta terima
kasih untuk sahabat paling kece Shafira Adlina yang berbaik hati memberikan
undangan wisudanya, sehingga jatah untukku jadi bertambah. FYI, Shafira ini
salah satu sahabat paling inspiratif yang berhasil menyelesaikan studinya tepat
waktu, padahal dalam masa studi itu ia menikah, hamil, melahirkan, dan mengasuh
anak. Daebak!
Pasca lulus dan wisuda, awalnya
saya berniat untuk bersantai-santai menikmati kehamilan sambil meningkatkan
ibadah. Rupanya Allah menakdirkan agar saya tidak hanya berleha-leha di rumah,
haha. Dosen pembimbing tesisku meminta tolong untuk membantunya dalam mengasuh
salah satu mata kuliah di S2. Setelah meminta izin pada suami sambil merayu dan
meyakinkannya bahwa kehamilanku baik-baik saja, dan menjelaskan panjang lebar
kali tinggi bahwa mata kuliah ini tidak ada praktikum lapang-nya (walau
sebenarnya saya sangat suka pada praktikum lapang ^^”), saya diizinkan untuk
menjadi asisten dosen. Hanya untuk satu semester, hehe. Sampai hari perkiraan
lahir (HPL) saya tiba.
Alhamdulillah, aktivitas di
kampus walau hanya seminggu sekali ini cukup banyak membantu saya lepas dari
kejenuhan. Saya merasa lebih bersemangat dan tidak gampang letih. Walaupun
amunisi saya pergi ke kampus harus lolos screening
pertimbangan ekstra, saya merasa gembira. Mencukupkan asupan makanan sebelum
dan setelah kuliah praktikum, membawa bekal praktis dan memakannya diam-diam
sambil mendengarkan penjelasan dosen, serta membawa tumblr minum ukuran satu liter.
Saya tidak hanya mendampingi
dosen saat kuliah, mengabsen mahasiswa yang hadir, dan memimpin sesi praktikum
presentasi saja, tetapi saya diberikan hak oleh dosen untuk menyusun konten
praktikum dan menentukan topik untuk pekan praktikum tertentu. Saya juga
diberikan keleluasaan untuk menilai hasil praktikum mahasiswa. Hal ini membuat
saya sangat senang karena merasa begitu dihargai. Kalau menggunakan istilah
suami saya, salah satu kebutuhan orang dalam berkarir adalah acknowledgment. And i got it even just a little bit. And I was so happy. Buat para
ibu hamil, tetaplah melakukan hal yang membuatmu gembira :)
Senam hamil
source: mommys-daily.com |
Senam hamil mulai saya lakukan
saat usia kehamilan 32 minggu. Pertama kali saya mengikuti senam di RS Hermina,
Bogor. Selain di Hermina, saya juga mengikuti senam di Bidan Srie Dodi yang
berada di belakang pasar Gunung Batu, Bogor. Senam hamil di kedua tempat ini
sangat menyenangkan.
Ada perbedaan dan persamaan antara
senam di RS dan bidan. Di RS, tempatnya lebih nyaman, ber-AC, dan matrasnya
lebih empuk. Hanya saja durasi waktunya lebih singkat (sekitar 30 menit) dan
gerakan senam yang diajarkan lebih soft.
Kalau di bidan, durasi waktunya lebih lama (sekitar 60 menit), dan
gerakan-gerakannya lebih variatif. Ada gerakan lembut, gerakan dinamis, sampai
gerakan berpasangan dengan sesama ibu hamil. Lebih seru! Persamaannya, instruktur
senam di kedua tempat ini sama-sama dipimpin oleh bidan. Kedua, biaya senam di
kedua tempat ini sama-sama murah, hehe. Di Hermina hanya 15 ribu rupiah, sudah
plus teh manis hangat dan makanan ringan. Di bidan Srie Dodi hanya 20 ribu
rupiah dengan durasi senam panjang plus tausiyah tambahan yang menyejukkan hati
dari instrukturnya ^^.
Selain senam di RS dan bidan,
sesekali saya juga senam di rumah. Aktivitas rutin yang saya lakukan untuk
mendukung kelancaran persalinan selain senam hamil, adalah jalan kaki pagi dan
melakukan gerakan jongkok berdiri (seperti bending)
setiap pagi dan malam hari. Tujuannya untuk menguatkan pernafasan dan
melenturkan otot pintu jalan lahir. Saya juga sempat berenang dua kali
sepanjang masa hamil. Namun, setelah berenang yang terakhir kali, saya
berhenti. Karena tidak lama setelah itu saya masuk rumah sakit.
Kontraksi prematur
Pada bulan ke-8, saya meminta
tolong suami untuk menemani saya ke RS di luar jadwal kontrol kandungan. Sudah
beberapa hari perut terasa kencang di luar kebiasaan. Meskipun saya tidak
merasakan sakit atau mulas yang sangat, saya ingin memastikan janin kami dalam
keadaan baik. Sebelum melakukan USG, dokter menanyakan keluhan yang saya
rasakan. Saya bilang perut terasa kencang sekali. Ternyata benar, dokter pun
mengatakan hal yang sama. Perut saya sangat kencang. Dokter melanjutkan
pemeriksaan dengan alat USG (alhamdulillah air ketuban masih banyak dan bagus),
lalu menyarankan saya untuk lanjut tes CTG (cardiotocography).
Tes CTG ini bertujuan untuk mengetahui benar tidaknya terjadi kontraksi dan
memeriksa frekuensi gerakan janin di rahim.
Saya melakukan tes CTG di salah
satu ruang bersalin. Berbaring selama kurang lebih 30 menit dengan dua alat
yang ditempelkan di perut. Satu untuk memantau detak jantung janin, satu lagi
untuk memeriksa level kontraksi rahim. Bidan yang memeriksa saya menjelaskan
bahwa seharusnya grafik pada kertas CTG tidak boleh naik untuk menandakan saya
tidak mengalami kontraksi. Hasilnya? Grafik yang tercetak pada kertas naik tiga
kali dalam 30 menit pemantauan dengan angka yang cukup tinggi (sekitar 50 dari
skala kontraksi maksimal 100). Dokter pun memberikan saya obat anti kontraksi
dan penguat paru bagi janin, serta menyarankan saya untuk rawat inap selama dua
hari. Saya harus bedrest.
Pasca keluar rumah sakit, saya
tidak diizinkan lagi untuk mengikuti senam hamil ataupun aktivitas berat
lainnya. Namun, saya tetap diperbolehkan melakukan senam ringan di rumah untuk sekedar
melenturkan otot dan melatih pernapasan. Tidak untuk gerakan yang memicu
kontraksi.
Pengalaman mengalami kontraksi prematur
ini membuat saya mempelajari beberapa hal baru. Tentang CTG, tentang obat
penguat paru pada janin, dan yang pasti membuat saya pertama kalinya mencicipi
peran sebagai pasien rawat inap di rumah sakit. Pertama kalinya diinfus. Hoo...
begini yah rasanya.
Kalau kontraksi prematur itu
sendiri apa sih? Apa bedanya dengan kontraksi palsu? Pertanyaan itu yang saya
lontarkan pertama pada perawat saat hasil CTG keluar. Kontraksi prematur ya
terjadinya kontraksi sebelum waktunya. Kontraksi prematur berpotensi pada
terjadinya kelahiran prematur. Oleh karena itu obat penguat paru pada janin
dibutuhkan. Kalau kontraksi palsu, misalnya saya merasakan perut keras atau
kejang seperti yang saya keluhkan sebelumnya, tetapi saat diperiksa oleh CTG
tidak tampak adanya kontraksi. Itu baru kontraksi palsu.
Oke, sehat-sehat selalu ya para
bumil disana. Be pretty, be happy ^6^.
Sampai jumpa di episode
selanjutnya...