“Para pencinta sejati tidak suka berjanji. Tapi begitu mereka memutuskan mencintai seseorang, mereka segera membuat rencana memberi. Setelah itu mereka bekerja dalam diam dan sunyi untuk mewujudkan rencana-rencana mereka...”
(Anis Matta)
***
Itu adalah hari Jumat. Saat ayahku menjemputku di Kota Bogor, lalu mengajakku makan di sebuah warung bubur ayam terenak di kawasan Gunung Batu yang sudah berdiri sejak lama, sejak... mungkin sejak dari Stasiun Kota, dan baru kebagian tempat duduk di Stasiun Bojong Gede. Ini bukan kereta woy! Oh iya, lupa. Ini warung bubur ayam. Namanya Bubur Kabita. Dulu, zaman ayah dan ibuku masih suka pacaran setelah menikah tapi gak punya duit, mereka akan berjalan kaki dari rumah di Sindang Barang ke Gunung Batu yang berjarak kurang lebih 3 km. Hanya untuk makan bubur ayam. Dulu, aku belum lahir. Sekarang, aku sudah lahir. Dan aku diajak juga makan bubur di sana. Sebenarnya walaupun tidak diajak, aku pun suka makan di sana tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Soalnya buburnya enak.
Et dah, kenapa ini jadi ngomongin bubur yah?
Kita mau ngomongin cinta, bukan bubur.
Oke. Jadi ceritanya, saat aku sedang menyuap bubur bertabur kacang kedelai yang di dalamnya tersembunyi harta berupa suir-suir ayam itu, ditambah aroma seledri, ayahku berkata, “Teh, ada teman Ayah yang mau kenalan.”
Aku terdiam. Sedetik bubur yang sudah tersuap di mulut tidak bisa kutelan, pun sendok yang masih berada di dalam mulut tak bisa kukeluarkan. Aku menatap ayah. Untung saja reaksiku bukan dengan menyemburkan bubur di wajahnya. Aku kaget. Sungguh. Kaget.
Bukan tipe ayah yang akan mengenalkanku pada laki-laki. Ayah mungkin pernah ingin mengenalkan laki-laki solih pada sahabatku, atau mengenalkan laki-laki yang juga solih pada adik perempuanku (yang sekarang menjadi suaminya), tetapi tidak padaku. Itu bukan gayanya ayah. Ayah terlalu mempercayaiku untuk banyak hal. Sehingga aku bebas berteman, beraktivitas, dan pergi ke tempat manapun aku suka. Ayah selalu percaya bahwa aku mampu menjaga kepercayaannya sebagai putrinya. Terkadang aku berpikir, ayah terlalu menyayangiku. Sehingga ia tidak berani memilihkan untukku. Membebaskanku untuk memilih.
Oleh karena itu aku kaget. Sesaat aku berpikir bahwa teman ayah yang ingin berkenalan denganku adalah tipe om-om yang usianya tidak jauh berbeda dengan ayah. Oh, tidak! Tenang... mungkin bukan. Rasanya tidak mungkin ayah akan mengenalkanku pada om-om. Aku pun langsung mengeluarkan pertanyaan dengan nada curiga pada ayah.
“Siapa?”
Awalnya ayah tidak ingin menyebutkan nama, hanya bertanya ulang tentang kesiapanku untuk menikah. Aku kembali terdiam. Begitu banyak hal terlintas dalam sekejab sebelum aku harus segera menjawab tawaran ayah. Aku sudah siap untuk menikah. Aku sudah menuliskan sebuah nama di hati. Namun, aku tahu pasti bahwa kedua kalimat itu bukanlah sesuatu yang selalu berbanding lurus. Saat aku berkata ‘sudah siap’ sejak lima tahun lalu, bisa jadi Allah berkata aku belum cukup siap saat itu. Saat aku sudah ‘menuliskan’ di hati nama seorang yang menurutku baik untukku, bisa jadi menurut Allah bukan itu yang terbaik. Karena itulah aku tidak ingin serta merta menolak ataupun menerima tawaran dari ayah. Aku hanya berkata pada ayah bahwa aku tidak ingin dikenalkan pada seorang yang sama sekali tidak kukenal sebelumnya. Ayah mengangguk kalem. Tanpa ekspresi.
Aku pun beristikharah. Berharap Allah membersihkan hatiku dari segala kecenderungan yang bersifat duniawi. Memohon agar Allah menunjukkan yang menurut-Nya terbaik bagiku. Aku ingin Allah yang menunjukkannya padaku. Meskipun begitu, tetap saja nama yang sudah lama tertulis di hati yang terpikirkan. Laa hawla walaa quwwata illa billah.
Dua hari setelah ayah mengajakku makan di Bubur Kabita, ayah berkata, “Teh, besok malam ta’aruf sama Gugi.” (ta’aruf = kenalan)
Aku terdiam terpaku. Nama yang ayah sebutkan adalah nama yang tertulis di hatiku. Pendengaranku masih tidak percaya oleh berita yang barusan kudengar. Tubuh tiba-tiba terasa beku (oke, ini lebay.. tapi beneran, rasanya kayak gitu!). Meskipun hampir seluruh indra seolah mati rasa, dalam sedetik mulutku bergerak otomatis dan berkata, “Iyah.”
Senin, 25 Mei 2015.
Kau datang ke rumahku dengan niatan yang berbeda dari kedatangan-kedatanganmu sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya kau datang ke rumah. Ini sudah yang kelima. Kau sudah pernah bolak-balik ke rumah untuk meminjam mobil untuk urusan pekerjaan, bukan? Tapi untuk pertama kalinya kau kesasar menuju rumahku! Kau tahu, Kekasih? Saat itu aku panik bukan kepalang menunggumu yang tak kunjung datang. Berpikir bahwa kau salah jalan, atau mungkin ayah telah salah mengirimkan pesan. Tetapi wajah ayah tampak begitu santai, padahal asam lambung putrinya ini sudah mulai naik karena cemas dan bimbang. Gatal jari ini ingin mengirimimu pesan, “Woy! Kamu ada dimana? Ketemuannya di masjid samping rumah. Bukan di masjid Depok tengah. Jangan-jangan kamu salah arah??” tapi pertanyaan itu aku telan dalam-dalam. Pada saat seperti itu, tidak mungkin aku menghubungimu.
Sampai akhirnya aku tahu (karena dapat bocoran dari ibuku), bahwa ayah-lah yang pertama kali menghubungimu. Berniat menikahkanku denganmu, sejak dua pekan sebelum aku nyaris tersedak saat makan bubur itu. Dan yang kuingat kau masih menghubungiku soal pekerjaan dengan biasa saja. Berpapasan denganku saat di stasiun kereta dengan wajah biasa saja. Kau bisa berakting seperti itu dalam proses istikharahmu tentangku dengan biasa saja. Tapi mengapa saat hari ta’aruf tiba kau justru grogi? Haha... Sampai kita semua harus diusir dari tempat makan karena mungkin dianggap mengobrol terlalu lama. Sampai ayah harus meminta waktu tambahan kepada pramusaji restoran, lalu adik dan ibuku tertawa-tawa karena akhirnya kita harus pergi dengan cara yang tidak biasa.
Kau tahu, Kekasih? Hal yang sungguh mengejutkanku bukanlah karena namamu yang dilontarkan oleh ayah. Namun, karena sungguh aku tidak menyangka ayah akan berlaku demikian untukku. Sejak masa remaja, tiap kali aku bercerita tentang teman-temanku pada ibuku, atau menyebut nama teman laki-laki satu kelas, satu organisasi, satu lomba, satu kegiatan, atau siapa saja yang aku ceritakan, ayah selalu tampak tidak terlalu tertarik. Seolah-olah tidak tahu (atau mungkin memang tidak tahu?). Seolah-olah tidak peduli (tapi kuyakin sebenarnya sih peduli). Kalau ada laki-laki yang meneleponku ke rumah, ayah tidak pernah bertanya. Selalu ibuku yang bertanya, “Dari siapa?”
Kalau aku bertanya pada ayah, mengapa ayah tidak pernah mencandaiku tentang pernikahan atau menjodoh-jodohkanku dengan laki-laki yang kukenal ataupun dikenalnya, tidak seperti ia yang sering menggoda teman dan sahabat-sahabatku bila main ke rumah dan mengompori mereka untuk segera menikah, ayah selalu hanya akan menjawab asal sambil tetap menonton berita di TV, “Tidak usah ditanya. Teteh pasti sukanya yang model Ayah, kan?” Ge er abis!
Jadi sebenarnya aku menyerah. Aku menyerah pada kemungkinan bahwa ayah akan menjadi bagian besar dalam proses ini. Aku menyerah karena selalu berpikir bahwa ayah sangat mempercayaiku dan membebaskanku untuk memilih. Aku menyerah karena sempat berpikir bahwa ayah akan cemburu jika aku menemukan laki-laki yang akan menempati posisi di hatiku lebih besar dari dirinya. Aku menyerah pada kemungkinan tersebut, dan tidak tahu dengan cara seperti apa harapanku akan terwujud. Karena ayah sama sekali tidak tahu tentang nama yang tertulis di hatiku.
Kau ingin tahu, Kasih? Bagaimana caraku bersabar?
Karena aku percaya bahwa janji Allah itu pasti. Kalau menurut-Nya bukan engkau orangnya, Ia pasti sudah menunjukkan padaku hal-hal yang membuat harapan ini pergi. Tapi nyatanya tidak, meskipun aku tetap tidak bisa menebak bagaimana jalannya, harapan itu justru semakin kuat. Seperti dirimu yang merealisasikan harapan-harapan konyolku. Kau senantiasa menepati setiap janji yang pernah kau ucap. Terkadang memang tidak sesuai dengan yang direncanakan, tapi pada akhirnya, kau menepatinya. Kau tahu, Kasih? Janji yang pernah kau ucapkan menumbuhkan harapan di hatiku. Dan saat kau menepatinya, itu membuatku yakin bahwa harapan ini bukanlah kosong. Bagaimana mungkin aku bisa berhenti berharap setelah engkau memberi?
Kau berjanji akan memberiku es krim jika aku memberitahumu sesuatu hal tentang pekerjaan waktu itu. Aku tahu ini barter yang konyol, tetapi kau yang menawarkannya dan aku bersedia. Informasi ditukar dengan es krim. Aku nego padamu meminta Magnum, dan kau berekspresi jengah saat itu. Kupikir kau menganggapku bercanda dan tidak berniat untuk menepatinya, tetapi ternyata kau menepatinya. Kau membelikanku dan Agit es krim Magnum saat rapat kerja berikutnya. Kau tahu, ini pertama kalinya aku makan es krim Magnum yang menurutku mahal dan paling enggan kubeli jika aku sedang ingin makan es krim. Dan kau membelikannya untukku. Untuk kita bertiga satu tim kerja sih, tapi tetap saja kau membelikannya. Kau tahu? Aku terharu.
Kau pernah berjanji untuk mengajak liburan bersama setelah selesai satu proyek yang cukup banyak memakan waktu, tenaga, dan emosi jiwa ini. Bolak-balik revisi. Diskusi dan kerja tidak kenal waktu, sampai waktu libur akhir pekan pun harus digunakan untuk rapat dan mengolah data. Kita ingin berlibur melepas penat waktu itu. Menentukan destinasi dan waktu liburan. Dan berkali-kali batal. Tidak masuk bajetnya. Tidak pas waktunya. Saat akhirnya sudah menemukan destinasi dan waktu yang sesuai, tiba-tiba batal karena ada presentasi mendadak dari dinas untuk proyekmu yang lain. Selalu seperti itu. Sampai akhirnya aku lupa pada janjimu untuk mengajak kami berlibur. Namun, akhirnya janji itu pun terwujud. Kita pergi berlibur bersama teman-teman. Meskipun cukup jauh dari proyek ‘seribu candi’ yang akhirnya selesai itu, dan kau pun sudah pindah kerja di kantor yang baru, kau tetap menepati janji untuk liburan bersama. Kau tahu? Aku terharu.
Pernah sekali waktu kau membuatku marah karena melupakan janji untuk rapat. Mungkin bukan lupa, tetapi salah paham dalam komunikasi saking sibuknya dirimu yang memiliki kegiatan seabrek-abrek di luar pekerjaan. Dan kau menyesal, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Dan kau menepatinya. Sampai akhir proyek selesai, kau tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kau tahu? Aku terharu.
Kekasih, mungkin bagimu itu hal-hal kecil yang bisa kau lakukan terhadap setiap orang dengan alasan profesionalisme, integritas, atau sekedar menjaga perasaan seorang teman. Janji-janji yang pernah kau ucapkan mungkin kecil, tetapi saat kau menepatinya, itu menjadi besar untukku. Dan kutahu, atas izin Allah pula hingga engkau mampu menepati itu.
Mungkin itu sedikit terlambat dari yang kuinginkan, dari yang kita rencanakan, tetapi kau menepatinya. Seperti saat kau dan keluargamu datang melamarku pada hari Sabtu, 1 Agustus 2015. Rombonganmu dan keluarga datang agak terlambat karena macet. Aku sedikit cemas karena hari semakin siang. Dan kau menenangkanku dengan memastikan bahwa janji melamarku akan kau tepati. Mungkin itu sedikit terlambat, tetapi kau menepatinya.
Kau suka meledekku karena impian masa kecilku yang ingin menikah pada usia yang kau anggap terlalu cepat. Dalam kacamataku, itu adalah target dan cita-citaku sehingga aku mulai belajar dan mempersiapkan diri lebih cepat dari orang kebanyakan. Dan usiaku kini sudah lewat dari target waktu yang aku cita-citakan tersebut. Kau tahu, Kasih? Bagiku kau datang agak terlambat. Tapi kuyakin ini adalah waktu dan tempat terbaik untuk kita. Dengan segala proses dan cerita yang pernah kita lalui jauh sebelum kita bertemu. Jika menurutku ini sedikit terlambat, maka ini menjadi berkah yang jauh berlipat-lipat untuk kusyukuri. Karena akhirnya kau datang.
Tentang janji. Ternyata kalimat itu benar. Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu (Arai, dalam Sang Pemimpi-Andrea Hirata). Allah Swt mengabulkan doa-doa kita dalam bentuk terbaik menurut-Nya. Dan bukankah hanya Ia yang tahu segala yang terbaik untuk kita? Selalu.
Kau tahu, Kasih? Aku pernah bergumam dalam hatiku saat dulu masih menjadi mahasiswa baru dan masih terkagum-kagum pada luasnya kampus kita ini. Dalam sebuah acara penyambutan mahasiswa baru yang diadakan di halaman masjid kampus, aku berimajinasi tentang masjid kampus yang akan menjadi tempat pernikahanku, rasanya pasti akan sangat menyenangkan. Aku sangat suka pada masjid kampus kita yang megah namun tidak tampak angkuh. Masjid yang tatanan arsitekturnya unik dengan perpaduan unsur vertikal yang membuat manusia tampak kecil berada di tempat ibadah, sekaligus unsur horizontal yang membuatnya tampak humanis sehingga sangat nyaman untuk berinteraksi sosial. Masjid yang selalu adem, sepanas apapun cuaca di luarnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di masjid kampus kita, aku sudah jatuh cinta, sehingga muncul cita-cita konyol itu. Rupanya malaikat mencatatkannya untukku. Dan Allah mengabulkannya, justru saat aku sudah melupakan cita-cita itu. Mungkin bagi orang lain, menikah di masjid adalah sesuatu yang biasa. Masjid di kampus kita, hanyalah salah satu masjid dari sekian banyak masjid yang ada. Namun bagiku, saat kau mengucapkan janji mitsaqon ghaliza di tempat tersebut, itu adalah keajaiban bagiku. Karena Allah Swt mengabulkan sesuatu yang tidak kuminta. Hanya sebuah lintasan konyol, meski hati kecilku menyebutnya cita-cita. Tapi aku tidak berani memintanya. Jika yang tidak kuminta saja Ia kabulkan, apalagi terhadap sesuatu yang kuminta. Sungguh, janji-Nya adalah benar untuk mengabulkan setiap permintaan hamba-Nya. Selalu dijawab-Nya dengan cara terbaik-Nya.
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu...” (QS. Al-Mu’min: 60)
Dan lagi...
Rasulullah Saw pernah menyampaikan sebuah Hadits Qudsi bahwa Allah Swt berkata, “Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku dan Aku selalu bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku pun akan mengingatnya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu jemaah manusia, maka Aku pun akan mengingatnya dalam suatu kumpulan makhluk yang lebih baik dari mereka. Apabila dia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan mendekatinya sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya sedepa. Dan apabila dia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari.” (Shahih Muslim No.4832)
Kau tahu, Kasih? Janji Allah itu selalu benar. Dan itu adalah tanda cinta-Nya untukku, untukmu, yang tak pernah dapat kita ukur.
Kau ingat, Kasih? Pada bulan yang sama setahun yang lalu, aku pernah bertanya padamu tentang target usiamu menikah. Kupikir kau akan mengatakan angka dua puluh lima. Sama seperti target usia yang ditetapkan oleh ibumu. Sama seperti usia saat Rasulullah Saw menikah dengan Khadijah Ra. Namun, kau mengatakan hal yang berbeda dari ekspektasiku. Kau bilang ingin segera menikah jika sudah memiliki pekerjaan yang settle. Yaah... karena pekerjaan yang kau geluti saat itu terhitung sebagai pekerjaan lepas, bukan? Kita baru akan mendapat bayaran jika proyek sudah selesai, itu pun jika dana proyeknya sudah cair. Dan terkadang kita bahkan tidak tahu berapa jumlah yang akan kita terima. Haha....
Aku pun mencandaimu, bertanya bagaimana jika ibumu tidak setuju. Mengapa tidak kau tetapkan saja angkanya menjadi dua puluh lima? Lalu kau menjawab dengan serius bahwa kau akan merengek agar ibumu ridho dan mengizinkan jika demikian. Sungguhkah? Mengapa kau ingin sekali segera menikah?
“Saya butuh partner, Kak,” jawabmu.
Aku diam sesaat. Kau menyebutkan kata partner, itu seolah sedang membicarakan diriku. Karena aku sering sekali bercanda dengan menyisipkan kata tersebut dalam obrolan kita. Bukan aku berbesar rasa saat itu, tetapi ucapanmu sedikit membuatku terhentak, menumbuhkan secuil harap. Aku sama sekali sedang tidak memikirkan tentang pernikahan saat itu. Tidak memikirkan tentang kemungkinan bahwa kau adalah belahan jiwaku. Aku hanya senang meledekmu yang juga sangat sering meledekku. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa mungkin aku bisa jatuh cinta. Namun kata-katamu mampu membuatku terdiam , walau sebentar. Yaa... sebentar doang. Kau tahu kan, aku sangat cerewet. Mana bisa aku diam lama-lama? Dan kau menepati kata-katamu tersebut. Tidak lama setelah kau memperoleh pekerjaan yang menurutmu settle, kau menikah dengan partner kerjamu yang bawel dan tidak pandai teknologi itu. Kau menikahiku. Kau tidak menyesal, kan?
Kekasih, jika dahulu aku adalah partner kerja, maka sekarang aku adalah partner hidup untukmu. Benar, kan? Untuk dunia dan akhirat. In Sha Allah.
***
Terima kasih Ya Allah, Kau kabulkan segala pintaku. Tak mengapa meski harus kulalui banyak jalan berliku. Dari-Mu, cerita itu selalu menjadi indah. Bukankah hujan sehari telah menghapus panas setahun lamanya? Dan anugerah-Mu, selalu menjadikan bibir ini kelu. Alhamdulillah... alhamdulillah... alhamdulillah....
Terima kasih Ayah, kau menepati janjimu hingga engkau menyerahkan urusan dunia-akhiratku pada suamiku. Kau melaksanakan tugasmu untuk mencarikanku seorang imam yang kau percaya mampu membimbingku. Kau beriku tidak hanya nafkah selama membesarkan dan menyekolahkanku hingga pendidikan tinggi, tetapi juga beribu nasihat baik dan kepercayaan hingga aku seperti sekarang ini.
Terima kasih Gugi, kau selalu berusaha menepati setiap janji yang terucap. Dan setelah janji yang kau ucapkan pada Allah dengan menjabat tangan Ayah, kuyakin kau pun akan selalu berusaha menepatinya hingga akhir hayat. Hingga jiwa-jiwa kita kembali bersatu nanti di akhirat. Di surga-Nya, mengumpulkan kita pada sebaik-baiknya tempat kembali. Aamiin....
“Maka bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. Ar-Rum: 60)
Terima kasih, kau mau menjadi kekasihku.
-the end-