Berjamaah itu indah. Layaknya sapu lidi yang baru terasa manfaatnya jika diikat secara bersama, bukan satu-satu yang tentu saja tidak bisa digunakan untuk membersihkan halaman jika demikian. Seperti rumpun bunga yang baru terlihat warnanya jika ditanam secara massal. Seperti juga bintang-bintang yang begitu menakjubkan jika langit sedang bersih dan menampakkan semua rasi-nya.
Bulan Ramadhan, tidak hanya bulan penuh bonus karena semua amalan manjadi berlipat ganda nilai pahalanya, tetapi juga menjadi bulan bertetangga karena momen spesialnya. Yup. Salah satu nilai spesial dari bulan Ramadhan adalah meningkatnya ajang silaturahim. Meningkatnya nilai-nilai sosial dan keadilan antar-tetangga, bangsa, dan negara. Haha...
Inilah salah satu hal istimewa yang hanya kurasakan saat Ramadhan. Aku tinggal di perumahan yang terdiri dari lima blok dengan total penghuni sekitar 100 KK. Pada bulan-bulan biasa, hanya beberapa orang saja yang terbiasa salat berjamaah di masjid. Namun, saat ramadhan, masjid menjadi penuh. Tumpah ruah keluar sampai ke teras segala.
Yang biasanya salat di rumah, menjadi lebih bersemangat ke masjid karena ada taraweh. Setiap tetangga jadi saling bersilaturahim, saling bertanya kabar, saling beramah tamah dan bersalaman tiap kali selesai salat witir. Indah.
Aku memiliki beberapa tetangga yang sangat dekat dan suka tolong-menolong. Lebih tepatnya, aku yang lebih sering meminta tolong dan mereka yang menolong. Ada banyak sebenarnya tetangga yang sering kumintai tolong atau sering membantu tanpa kuminta. Namun, berdasarkan letak geografis posisi dan arah mata angin rumah kami, terdapat tiga rumah yang paling dekat dengan rumahku. Bersama ketiga tetangga itulah aku biasa berangkat ke masjid selama Ramadhan ini. Semuanya sudah berumah tangga dan berstatus ibu-ibu. Hanya aku yang masih remaja (ngek ngok -,-"). Yang satu beranak satu, satu yang lainnya beranak dua, dan satunya lagi beranak tiga. Aku masih nol, hehe... Jadi komplit.
Yang biasanya paling rajin adalah ibu beranak tiga. Ia yang biasa keluar rumah paling awal dan memanggil kami bertiga untuk berangkat taraweh bersama. Kami berangkat ke masjid sebelum azan Isya berkumandang, sekitar 15-10 menit sebelumnya. Alasannya sederhana, supaya masjid belum penuh dan kami bisa mencari tampat salat strategis yang dekat dengan kipas angin, Haha...
Kami berjalan ke masjid dengan perlahan. Sambil berbincang. Tidak terburu-buru. Tidak seperti ritme kehidupan perkotaan zaman sekarang yang serba cepat. Pergi ke kantor cepat-cepat. Mengejar kereta cepat-cepat. Bekerja cepat-cepat. Berkendaraan cepat-cepat. Kompetisi yang semakin tinggi telah menuntut semua orang untuk bisa bergerak lebih cepat. Percaya atau tidak, pola hidup yang serba cepat menuntut tekanan jiwa dan pikiran meningkat. Dan kali ini, kami berempat yang memiliki beragam profesi yang sehari-harinya juga terbiasa dengan pola hidup cepat, berjalan pelan-pelan menuju masjid. Sambil mengobrol ringan dan bertanya kabar. Tidak terburu-buru. Tidak dengan cepat-cepat. Nikmat.
Sesampainya di masjid, terkadang jamaah yang lain belum datang, sehingga saf-saf salat masih kosong. Kami masuk ke tempat salat bagian wanita yang hanya dipisahkan oleh hijab kain setinggi kepala dengan bagian laki-laki. Jika masjid masih sepi, para suami dari ibu-ibu tersebut yang juga sudah hadir biasanya suka menggoda istrinya. Seperti tiba-tiba melongokkan kepala dari balik hijab dan berkata, "Kayak ada yang kenal deh, suaranya." Dan sang istri akan mengomel sambil tersenyum menyuruh suaminya untuk tidak intip-intip ke tempat wanita.
Para tetangga di lingkungan tempatku tinggal tergolong kompak. Jika mengadakan acara buka puasa bersama, ibu ketua RT biasanya membagi tugas kepada ibu-ibu yang lain untuk menyiapkan makanan berbuka. Ada yang ditugaskan membuat es buah, ada yang membuat lontong, ada yang memasak sayurnya, ada yang menggoreng kerupuk, dan sebagainya. Aku? Aku sih tinggal makan. Justru sering diminta untuk membawa pulang jika makanan berlebih.
Rasanya menyenangkan bisa saling bekerjasama menuangkan es buah, membagi lontong sayur, menata piring-piring dan gelas di masjid tempat kami biasa salat berjamaah. Saat waktunya makan (selesai salat magrib berjamaah), para bapak akan diperintahkan oleh para ibu untuk berbaris dan mengoper piring secara estafet. Kompak dan lucu. Kalau sedang berjamaah seperti ini, tidak ada sekat antar-individu. Mereka yang berprofesi sebagai dosen, sebagai direktur, sebagai kepala sekolah, akan berdiri sejajar dan memiliki tugas yang sama dengan marbot masjid, dengan tukang warung sayur, atau dengan tetangga yang berprofesi sebagai supir angkot. Semua sama. Harus berdiri mengantri dan mengoper piring lontong sayur dari satu tangan ke tangan lainnya.
Begitulah. Berjamaah itu indah. Menghilangkan sekat status sosial. Mengakrabkan jiwa-jiwa yang biasa sendirian. Menambah kasih sayang antarsaudara, antartetangga. Mari berjamaah :)