Kampung tempat kelahiranku disebut-sebut sebagai daerah asal lahirnya Kerajaan Pakuan Pajajaran. Oleh karena itu dinamakan Kampung Urug yang berarti ‘guru’, sebutan kehormatan bagi daerah yang menjadi cikal bakal kerajaan. Aku tidak peduli dengan kerajaan atau penetapan ketua adat pertama yang katanya disaksikan oleh Raja Inggris, Prabu Kiang Santang anaknya Prabu Siliwangi, dan Nabi Muhammad Saw. Bahkan Nabi Muhammad Saw sudah sering datang ke kampung ini, kata abah. Tanah berundak yang ada di sebelah rumah panggung adalah jalan yang selalu dilewatinya. Yang benar saja? Tidak ada jejak nabi di atas tanah, yang kulihat hanya jejak ayam-ayam milik Mang Engkon atau Mang Sarip tetangga dekat rumah. Darimana nabi bisa sampai ke sini?
Rumahku adalah bangunan terbesar di kampung ini. Orang menyebutnya bumi ageung atau rumah besar. Tepat di depan rumah terdapat sebuah rumah panggung berukuran sedang yang sering digunakan warga untuk berkumpul di hari raya atau hari khusus tertentu. Aku tidak terlalu peduli dengan cerita abah ataupun tradisi leluhur yang katanya harus aku teruskan di kemudian hari. Aku hanya suka jika banyak orang berkumpul sambil membawa hasil panen dan berbagai makanan. Selalu ada banyak anak-anak saat perayaan, dan aku memperoleh banyak teman. Kami main layang-layang sambil mengemil kudapan singkong dan jagung rebus. Setelahnya kami akan berebutan mengambil nasi kuning berbentuk tumpeng besar yang dibuat oleh ibuku dan para tetangga.
Rumahku adalah bangunan terbesar di kampung ini. Orang menyebutnya bumi ageung atau rumah besar. Tepat di depan rumah terdapat sebuah rumah panggung berukuran sedang yang sering digunakan warga untuk berkumpul di hari raya atau hari khusus tertentu. Aku tidak terlalu peduli dengan cerita abah ataupun tradisi leluhur yang katanya harus aku teruskan di kemudian hari. Aku hanya suka jika banyak orang berkumpul sambil membawa hasil panen dan berbagai makanan. Selalu ada banyak anak-anak saat perayaan, dan aku memperoleh banyak teman. Kami main layang-layang sambil mengemil kudapan singkong dan jagung rebus. Setelahnya kami akan berebutan mengambil nasi kuning berbentuk tumpeng besar yang dibuat oleh ibuku dan para tetangga.
Kalau
sedang bosan dan tidak ada teman aku hanya bermain sendiri. Mengajak main
ayam-ayam Mang Surip, membuat sumpitan dari pelepah pohon kelapa, atau
jalan-jalan keliling kampung yang hanya terdiri dari sekitar 400 rumah ini.
Berkeliling kampung tidak pernah membuatku bosan. Letak kampungku yang di
dataran tinggi membuat areanya tidak datar karena mengikuti kontur tanah yang
berbukit-bukit. Kadang dari satu rumah ke rumah lainnya saja harus menanjak
dulu, atau turun tangga satu level ke bawah. Mengelilingi setengah kampung saja
sudah membuatku pegal. Belum lagi jika aku melewati rute hutan bambu atau
sawah. Walaupun jalan-jalan keliling kampung hampir aku lakukan setiap pekan,
selalu saja ada hal baru yang menarik buatku.
Hanya
ada dua tempat yang belum pernah aku singgahi di kampung ini. Sejak kecil abah melarangku untuk mendekatinya,
apalagi masuk kedalamnya. Pertama adalah hutan larangan yang terletak di sisi
barat. Pernah sekali waktu aku bermain dekat hutan larangan dan hampir masuk
kedalamnya karena penasaran. Belum sampai kakiku melewati jajaran pohon jati
yang membatasi hutan, sudah ada orang yang meneriaki dari belakang. Sampai di
rumah aku disemprot abah dengan
marahnya yang mengerikan. Mengancamku untuk tidak lagi bermain dekat hutan
larangan. Aku menurut. Bukan karena takut oleh hutan larangan yang terkenal
mistis, tapi karena takut dimarahi abah
untuk kedua kalinya.
Tempat
terlarang kedua adalah sebuah bangunan kecil yang terletak tak jauh dari rumah.
Hanya berjarak sekitar seratus meter membentuk satu garis lurus dengan bumi ageung. Nama bangunan itu adalah bumi alit atau rumah kecil, mengapit
rumah panggung yang terletak diantaranya. Kata orang-orang, itu adalah makam
leluhur Kampung Urug yang terkenal sakti, yang bahkan namanya saja dilarang
untuk disebut. Bangunannya terlarang untuk dimasuki oleh siapapun, kecuali oleh
ketua adat dan itupun hanya setahun sekali. Artinya abah pernah masuk kesana. Jika suatu hari nanti aku harus
menggantikan abah, berarti aku bisa
masuk kesana pula kelak.
Ah,
siapa peduli. Aku tidak berniat untuk menjadi pengganti abah. Berminat untuk masuk ke bumi
alit-pun tidak. Memang dulu aku begitu penasaran, walaupun akhirnya tidak
pernah berani bandel masuk kedalamnya karena takut ketahuan abah. Tetapi sekarang tertarik untuk
mendekatinya saja sudah hilang. Kalau dilihat-lihat, tidak ada yang terlalu
istimewa dari bumi alit. Bentuk
bangunannya hampir serupa dengan bentuk rumahku, hanya ukurannya yang lebih
kecil. Makam leluhur sakti? Kalau isinya hanya makam, ini benar-benar
pemborosan. Memugar bangunan hanya agar terlihat bagus dan sakral. Masih lebih
baik bangunan-bangunan penyimpan beras yang ada di dekatnya. Leuit namanya.
Leuit berbentuk
mirip rumah panggung yang memiliki kolong dibawahnya. Hanya saja bentuknya
lebih tertutup. Tiang-tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya berasal dari
rotan, dan atapnya merupakan jerami-jerami yang tersusun rapi dan membentuk
rumbai. Bangunan ini digunakan oleh warga sebagai lumbung padi untuk menyimpan
seluruh hasil panennya dalam masa satu kali tanam. Bangunan yang lebih artistik
menurutku, dibandingkan bumi alit
yang hanya berbentuk kotak dan harus dipagari hanya karena dianggap sakral.
***
“Ayahmu
keturunan ke-21 dari Prabu Siliwangi? Ahaha... mana mungkin. Masa’ keturunan
raja jadi pedagang sayur dan buah di pasar?”
“Sudah
kuduga kamu tidak percaya. Tidak apa-apa. Aku pun hampir tidak pernah percaya
kata-kata abah.”
“Ehem,
aku percaya. Sebenarnya aku juga keturunan raja yang sangat terkenal.”
“Oh
ya?”
(bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar