10 Oktober 2019
Hari ini adalah tahun keempat usia pernikahan saya
dengan suami. Kami dalam posisi sedang long distance marriage. Saya di
Jepang dan ia di Vietnam. Hanya berjumpa via suara. Namun ku slalu menunggu
saat kita akan berjumpa. Meski kau kini jauh disanaa… tuuuuut…..(sinyal spotify
hilang). Oke, lanjut. Berhubung saya ingin memberi hadiah spesial untuk suami,
pun untuk diri saya sendiri, maka bertualang-lah saya ke Fushimi Inari bersama
kedua buah hati. Di sana, kami, lebih tepatnya saya, berkeliling senbon torii
(deretan seribu torii/gerbang) yang eksotis dan misterius. Kedua bocah sukses
tertidur di stroller dan gendongan selama saya mengelilingi torii.
Tujuan utama saya tercapai: memotret tulisan dengan latar belakang senbon
torii. Tujuan lainnya juga tercapai: saya jalan-jalan dan anak-anak bergembira.
Kami jajan takoyaki, taiyaki, dorayaki, dan jeruk peras yang diminum langsung
dari buah jeruknya. Segar, alhamdulillah!
Sepeda
Bulan Oktober-November sudah memasuki musim gugur di
Kyoto. Udara terasa sejuk, berada di kisaran 18-25 derajat celcius. Bersepeda
juga mulai lebih nyaman karena angin yang menerpa wajah saat berkendara tidak
lagi angin panas. Yang lebih menyenangkan lagi adalah saya sudah memiliki
sepeda listrik dalam dua bulan terakhir. Model mamachari tentu (mamachari
adalah istilah model sepeda mini yang ada keranjangnya, biasa dipakai para ibu
untuk berbelanja atau antar jemput anak), dengan satu keranjang di depan dan
satu boncengan anak di belakang. Bagi emak berbocil dua seperti saya, memiliki
sepeda listrik menjadi seperti kebutuhan primer. Dulu awal-awal masih
menggunakan sepeda biasa yang bergigi, masih sanggup sih. Sanggup ngos-ngosan
tapi, kalau berkendara jauh, seperti ke masjid, ke sungai, atau ke kampus.
Setelah ada sepeda listrik, hidup terasa lebih mudah!
sepeda mamachari listrik |
Meski demikian, model sepeda listrik yang saya miliki
sebenarnya adalah model sepeda untuk ibu beranak satu. Hanya ada satu boncengan
di belakang dengan desain stang depan biasa. Jadi biasanya Yujin bonceng di
belakang, sementara Yumna saya gendong pakai gendongan bayi di depan. Kalau
desain sepeda mamachari untuk ibu beranak dua, terdapat satu boncengan anak di
belakang, dan satu boncengan anak lagi di depan dengan desain stang yang sudah
disesuaikan. Desain boncengan anak yang belakang berbentuk kursi untuk posisi
duduk seperti biasa, sedangkan boncengan depan ada yang berbentuk kursi duduk,
ada pula yang berbentuk seperti baskom mandi bayi yang berbentuk lonjong, untuk
anak posisi tiduran. Ini sangat cocok untuk anak kedua yang masih bayi,
sementara usia kakaknya sudah lebih dewasa dan bisa duduk dengan tenang di
belakang. Selain itu, idealnya di sini untuk anak yang duduk di belakang
seharusnya mengenakan helm sepeda. Idealnya naik sepeda memang pakai helm sih
untuk siapa saja, tetapi saya belum, hehe. Dahulu semasa bersepeda ria saat
sekolah dan kuliah S1 juga tidak pernah pakai helm. Hanya pakai topi sebagai
pengganti helm. Tidak menggantikan fungsi safety sih yaa sebenarnya,
tapi lumayan lah menjaga jilbab saya tidak berkibar-kibar atau berantakan oleh
angin, hhe.
Kembali ke sepeda listrik ‘baru’ saya. Kini saya bisa
bepergian dengan lebih nyaman dan menyenangkan. Tidak ngos-ngosan lagi. Selain
bermanfaat untuk mengantar saya dan anak-anak berbelanja, hadir pengajian TPA,
main ke kampus atau ke teman, bersepeda juga menjadi pintu darurat kalau saya
sudah terlalu jenuh dan mulai marah-marah terus di rumah. Saat emosi sudah
memuncak, sedangkan anak-anak tidak bisa dititip ke siapa-siapa, saya lebih
baik mengajak mereka ke luar. Bersepeda kemana saja. Menyusuri trotoar atau pergi
ke rumah teman untuk bergosip, eh. Dan saat sepedaku sudah meluncur di atas
trotoar dan melewati kanopi-kanopi pohon yang berjajar indah, emosiku berangsur
reda saat itu juga. Jadi kalau lagi marah posisi berdiri, maka duduklah. Kalau
belum reda juga, berbaringlah. Kalau belum reda juga, ke kamar mandilah ambil
wudlu atau sekalian mandi. Kalau belum reda juga akibat bocah nangisnya malah tambah
kenceng karena ditinggal ke kamar mandi, maka ke luar rumah dan bersepedalah!
I love you, bicycle.
Pengajian dan TPA
Bersyukur sekali saya memiliki banyak teman Indonesia
di sini. Ada komunitas para ibu di Kyoto yang dinamakan Annisa Shalihah. Ada
program pengajian untuk anak-anak juga yang dinamakan TPA Annisa Shalihah. Ada
juga grup khusus belanja online tempat para ibu borongan janjian belanja supaya
gratis ongkir. Ada grup besar, tempat hampir seluruh warga Indonesia di Kyoto,
yang dinaungi oleh PPI Kyoto-Shiga. Dominan anggota grup adalah mahasiswa yang
sedang menempuh studi dan keluarga yang berstatus dependant. Cukup
banyak pula warga yang tinggal di sini dengan tujuan bekerja di perusahaan,
mengajar di kampus, ataupun melaksanakan tugas negara sebagai peneliti.
Saya sendiri berstatus dependant di sini. Aktivitas
harian saya bersama anak-anak selain di rumah, jalan-jalan, dan main ke taman,
adalah ikut pengajian dan mengisi kajian. Ah ya, ikut TPA (taman pendidikan
alquran) juga tentu. TPA biasanya diadakan dua pekan sekali. Agenda rutin TPA
adalah belajar mengaji, hafalan surat pendek dan doa-doa harian, materi
keislaman, dan membuat kerajinan tangan/craft. Saya ikut membantu
pengurus TPA untuk mendampingi anak-anak mengaji iqro, membuat craft,
dan sesekali membawakan kisah nabi untuk mereka. Kalau anak-anak saya sendiri
biasanya ngerusuh sih kerjaannya di TPA. Belum bisa diajak duduk manis
mendengarkan materi dan mengaji. Kegiatan TPA sesekali juga digabung dengan
acara besar Annisa Shalihah, seperti seminar kesehatan, kecantikan, dan yang
berhubungan dengan topik kewanitaan lainnya. Sesekali juga kami melakukan
rihlah. Saya baru sekali mengikuti rihlah TPA saat ke sungai Yase. TPA
membawakan materi tentang tafakur alam sebenarnya. Namun, saya dan anak-anak lebih
fokus main air dan menangkap ikan di sungai, wkwk.
Acara kajian keislaman di sini tidak sebanyak dan
semudah di Indonesia tentunya. Oleh karena itu, bisa menghadiri ceramah ulama
yang sedang berkunjung ke Jepang, mengikuti dauroh keislaman yang biasanya
hanya setahun sekali, atau silaturahim bulanan bersama teman-teman Indonesia
yang suka disisipi berbagi tausiyah, menjadi sangat berharga. Salah satu hal
baru dan paling mengesankan buat saya di sini adalah mengisi kajian sekaligus
mengajar tahsin untuk para muslimah di kota Shiga. Shiga adalah kota di sebelah
Kyoto, PPI-nya (Perkumpulan Pelajar Indonesia) pun satu, PPI Kyoto-Shiga. Salah
seorang volunteer yang sudah lama hidup di Jepang, pun bersuamikan warga
Jepang, menginisiasi perkumpulan Silaturahim Muslim Shiga (SMS) sebagai wadah
para muslimah Shiga bersilaturahim. Mbak Lilis, namanya. Kajian SMS diadakan
sebulan sekali dengan menggilir lokasi di rumah para anggotanya. Sebagian besar
anggota SMS adalah mix married, alias muslimah Indonesia yang menikah
dengan lelaki Jepang, baik muslim ataupun mualaf. Sebagian lainnya adalah para kensushei
yang bekerja di berbagai perusahaan Jepang di Shiga dengan kontrak kerja beragam.
Ada yang tiga, lima, sampai enam tahun. Ah, banyak sekali sebenarnya cerita
seru tentang para ibu mix married dan kensushei ini. Jika ada
kesempatan, in syaa Allah lain waktu akan saya ceritakan. Yang jelas, saya
merasa sangat bersyukur bahwa di negeri minoritas muslim ini, jodoh saya tidak
jauh-jauh bertemu dengan orang-orang yang juga gemar mengaji dan gemar
bersilaturahim. Padahal saya tidak mencari, tiba-tiba saja dihubungi. Tiba-tiba
saja diajak. Tiba-tiba saja diminta mengisi kajian. Ah, memang rezeki dari
Allah itu luar biasa. Kita tidak perlu repot-repot mencari, mereka yang
mendatangi. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihittatimushaalihaat.
TPA |
Bakda kajian SMS di Shiga |
Kyoto in Autumn
Suatu hari pintu kamar asrama saya diketuk dari luar.
Tetangga sebelah rumah ternyata. Mahasiswa asal New Zealand yang juga sudah bekeluarga,
Rory namanya. Istrinya bernama Catherine dan ananya bernama Julian. Ia
memberikan saya setangkai buah yang katanya habis diambilnya dari pohon di
kebun. Masih dengan tangkai dan daunnya! Buah persimmon alias buah bedak. Di
Jepang disebut buah khaki. Ternyata itu kesemek kalau di Indonesia, haha. Jujur,
saya belum pernah mencicip buah kesemek. Dan kesemek Jepang itu enak sekali,
maa syaa Allah. Jadi, buah khaki ini adalah buah khas musim gugur. Kalau sebelumnya
saya mencicip buah persik yang khas di musim panas dengan merogoh kantong
lumayan, di musim gugur ini saya bisa menikmati buah khaki dengan mudah karena
tetangga rutin memberi hasil petikan kebunnya. Kalaupun membeli di supa,
harganya pun tidak terlalu mahal. Masih sebelas dua belas dengan harga jeruk
atau apel.
kesemek Jepang |
Awal musim gugur ini juga saatnya suami yang saya
tunggu-tunggu pulang dari Vietnam. Setelah perjuangan saya mengasuh dua bocil
yang super aktif ini sendirian di sini, dan perjuangan suami yang riset sampai harus
menempuh drama operasi batu ginjal sendirian di sana, kami pun kembali bersua. Alhamdulillah…alhamdulillah.
Momen pertemuan kami juga begitu dramatis. Saya dan anak-anak hendak menjemput
suami di stasiun kereta. Kami berjalan lewat pintu belakang. Setelah keluar
pintu otomatis gedung, kami menyusuri lorong konblok menuju gerbang. Sesaat hampir
sampai gerbang pagar yang membatasi wilayah asrama dan jalan raya, ada seorang
lelaki gagah berompi dan bertopi yang berjalan ke arah gerbang dengan menenteng
koper besar dari arah berlawanan. Itu abi! Saya bersorak dalam hati. Si abi
setengah berlari langsung menggendong sulung kami yang masih menatap bingung
dan kaget. Apalagi bocil kedua yang mimik wajahnya sempurna bengong karena
hampir tidak mengenali abinya yang berpisah selama dua bulan (padahal hampir
tiap hari video call). Saya? Hanya sanggup mencium tangan dan sedikit memeluk
tanpa berkata apapun. Padahal suami saya berkata, “Maa syaa Allah, bunda cantik
banget!” saya hanya tersenyum. Iyah, saya mah begitu. Kalau terlalu gembira
jadi hlang kata-kata. Hanya bisa tersenyum, tapi lidah menjadi kelu. Lebay yah?
Biar saja.
Setelah suami pulang, sesungguhnya diri ini ingin
sejenak bersantai dan bersenang-senang. Namun, seyogyanya aktivitas muslim
memang tidak boleh banyak bersantai-santai. Setelah selesai satu urusan,
bersegeralah untuk menyelesaikan urusan berikutnya. Dan begitulah Allah mengatur
segala urusan kami. Tidak sampai sepekan berikutnya, kami harus bertolak ke
Indonesia. Suami melanjutkan risetnya di lokasi baru, sementara saya dan
anak-anak mendampinginya sekaligus melepas rindu dengan keluarga besar. Sepekan
di Kyoto ini suami langsung sibuk bolak-balik kampus mengurus administrasi, sedangkan
saya mencicil berkemas bawaan dan belanja oleh-oleh yang hendak dibawa ke
Indonesia. Kami pun tidak sempat menikmati ‘momiji’ tahun pertama kami di
Kyoto. Momiji saat puncak musim gugur dan semua daun berubah warna menjadi
merah dan kuning berlangsung di pertengahan bulan November, sementara kami berangkat
ke Indonesia tanggal 5 November. Aih, sedihnya. Tertinggal satu momen indah di
Jepang, meskipun kami juga gembira karena mau pulang. Akhirnya, saya dan
keluarga menyempatkan piknik singkat berupa makan siang bersama di tepi sungai Kamogawa
bersama pasangan Wawe-Kamil. Dedaunan di sepanjang tepi sungai belum berubah
warna semua, tetapi tampak sedikit yang mulai memerah dan mencoklat. Tetap indah.
Sungai Kamogawa ini adalah lokasi favorit para penduduk dan turis untuk
berpiknik atau sekedar berolahraga. Ia selalu indah di segala musim. Kami pun
mengambil spot di sisi sungai yang terdapat dipan kayu lebar di bawah pohon
untuk lesehan, lalu makan bersama sambil menikmati pemandangan Kamogawa. Setelahnya,
Yujin bermain di sungai bersama abi dan Wawe, sementara Yumna sibuk naik turun di
tanah miring sambil tertawa-tawa bersama Kamil. Bundanya? Memotret mereka semua,
hehe.
tepi sungai Kamogawa |
Semoga kami bisa menikmati momiji di tahun 2020 yaa.
Kyoto in Autumn |
0 komentar:
Posting Komentar