Kampung
Urug. Mendengar namanya seperti hendak membicarakan sesuatu yang berkaitan
dengan tanah. Bukan. Nama ini tidak ada hubungannya dengan tanah, meski bukan
berarti tidak berkaitan sama sekali. Ini cerita tentang kampungku, tanah
kelahiranku. Namanya Kampung Urug. Kata ‘urug’ yang dibalik dari penamaan
sebenarnya. Guru.
Sudah
hampir empat tahun aku tidak pulang. Asyik berdagang sayur dan buah di pasar
dan berinteraksi dengan orang-orang kota. Kota lebih menyenangkan bagiku.
Banyak tempat menarik, fasilitasnya lengkap, teknologinya modern, dan
orang-orangnya dinamis.
Lihatlah
disini, hampir tidak ada yang berubah, kecuali jalanan aspal yang kupikir
semakin baik sejak gubernur datang berkunjung empat tahun lalu dan menetapkan
desa kelahiranku sebagai kampung adat. Bah!
Aku tidak pernah percaya penetapan status dapat membuat kehidupan desaku
menjadi lebih makmur. Kedatangan gubernur justru menyebabkan warga kampung
menjadi manja dan keenakan. Sejak papan bertuliskan “Kampung Adat Urug”
dipasang di depan rumah dengan hiasan tanda tangan gubernur dibawahnya, uang
mengalir dengan mudah ke kampung ini. Dalam setahun begitu mudahnya abah memperoleh uang 75 juta rupiah,
untuk pengelolaan kampung dan perawatan rumah katanya. Belum lagi jika banyak
pendatang yang berkunjung. Dari sekolahan, dari kampus, dari luar kota atau
bahkan luar negeri. Mengapa tidak abah
jadikan saja tempat ini sebagai tempat wisata? Tidak perlu menjual cerita
bohong hanya untuk menarik perhatian dan meraup keuntungan. Siapa yang akan
percaya dengan segala cerita yang tidak masuk logika itu?
“Apa?
Gunung Salak itu adalah jelmaan dari Prabu Siliwangi?”
Dia
Wulan. Kekasihku. Setidaknya aku yang menyebutnya begitu. Gadis lembut dan
bijaksana yang menyeimbangkan sifatku yang keras dan tidak mudah mempercayai
sesuatu. Selalu memberiku pengertian dari sudut pandang yang sebelumnya tak
pernah kupikirkan. Bijaksana seperti namanya. Wulan.
“Ketika
datang serangan yang mengancam keberadaan keraton, Prabu Siliwangi disembur
dengan air sungai Ciliwung, lalu berubah menjadi gunung Salak, dan para
punggawanya berubah menjadi rusa-rusa yang ada di halaman komplek istana.”
“Wah,
kalau begitu aku harus lebih menghormati para rusa saat memberi mereka makan.
Dan oh tidak, berarti aku hampir tiap hari mengobrol dengan Prabu Siliwangi.
Setiap pagi sebelum membuka warung, aku pasti menyapa gunung Salak karena
jalanan belum ramai dan gunung jadi terlihat sangat jelas. Oh, aku harus lebih
sopan saat menyapanya nanti.”
“Bodoh,
kamu percaya cerita tersebut?”
“Kalau
aku tidak percaya, untuk apa kamu cerita?”
Begitulah.
Ia selalu mempercayai kata-kataku, atau pura-pura mempercayainya. Aku heran ada
orang yang selalu mempercayai cerita dan tidak pernah berprasangka seperti dia.
Seperti saat aku bertemu dengannya untuk pertama kali dulu.
“Akang,
punten sebentar titip tasnya. Saya
mau turun ambil topi yang jatuh.”
Waktu
itu aku sedang sarapan lontong sayur di dekat Lapangan Sempur. Duduk diatas
sebuah batu besar yang menjadi favoritku sebagai tempat makan dan menghadap ke
aliran sungai yang cukup deras. Suara jeramnya seperti alunan musik yang
menyenangkan dan membuat menu apapun yang kumakan terasa nikmat. Tiba-tiba saja
ia muncul dan meletakkan tas kain berwarna coklat di sampingku.
Aku
melongo. Tidak sampai sempat menjawab atau menawarkan bantuan karena tanganku
memegang mangkuk dan sendok, sementara mulutku masih penuh dengan makanan. Ia
sudah turun ke sungai, mengambil topinya yang tersangkut diantara bebatuan.
Tidak sampai dua menit, ia sudah kembali ke atas dengan wajah sumringah.
“Haah..untung
tidak hanyut. Tapi jadi basah deh. Eh iya, hatur
nuhun, Kang.”
Anehnya
aku hanya mengangguk kaku. Tidak menjawab. Tidak juga mengunyah makanan. Hanya
menatapnya tanpa berkedip dan melihatnya berlalu membalikkan badan, berjalan
menyeberangi lapangan dengan tas coklatnya yang disampirkan di bahu kanan
sambil tangan kirinya mengibas-kibas topi krem-nya yang basah. Dan aku masih
menatapnya tidak percaya.
“Dia
tidak khawatir tas-nya kubawa lari?”
***
(bersambung)
*cerita ini pernah diikutsertakan pada lomba cerpen nasional tahun 2014 oleh Yayasan Obor dan meraih peringkat Harapan II
0 komentar:
Posting Komentar