Dalam suatu perjalanan sore untuk pulang, terlintas sebuah renungan singkat yang membuatku tersenyum.
Saat itu aku baru pulang dari sebuah acara di hotel bersejarah di kotaku. Aku menuju stasiun dengan berjalan kaki menyusuri trotoar. Jarak antara hotel dan stasiun sekitar satu kilo, tak begitu jauh menurutku. Tapi rupanya lumayan juga buatku berkeringat, haha... ketauan jarang jalan, nih...
Begitu melihat arena stasiun dengan rel-relnya dan rangkaian gerbong kereta yang berjajar rapi di kejauhan, rasanya ingin masuk segera dan duduk di dalam kotak besi ber-AC itu sambil menyelonjorkan kaki. Namun, aku harus menahan sejenak harap tersebut. Sesaat aku merindukan akses pintu utama stasiun lama yang terletak di sisi timur, sementara sekarang posisi pintu utama terletak di sisi barat. Aku yang berjalan kaki dari arah timur tentu harus memutar untuk masuk ke stasiun.
Jalur masuk di sisi barat sebenarnya bukan satu-satunya akses untuk masuk ke dalam stasiun. Terdapat jembatan penyeberangan yang menghubungkan langsung pejalan kaki dari luar ke dalam. Setelah aku melewati trotoar di Jl.Nyi Raja Permas, melewati pemandangan jajaran rangkaian gerbong kereta dari balik pagar pembatas, melihat keriuhan calon penumpang di arena lobi sekitar loket, aku sempat terdiam selama satu detik. Yap. Hanya satu detik. Karena hanya itu waktu yang kumiliki untuk segera mengambil keputusan. Apakah aku akan masuk stasiun melalui pintu barat? Ataukan naik tangga melalui jembatan?
Oke, berpikir memilih jalan yang mana yang harus ditempuh hanya dalam waktu singkat bukanlah perkara sepele. Ini harus dipikirkan masak-masak. Jika aku memilih untuk mengambil pintu barat, itu berarti aku harus berjalan lebih memutar, lebih jauh, dan otomatis waktu yang dibutuhkan untuk sampai di kursi kereta yang empuk akan lebih lama, padahal aku ingin sekali segera masuk ke dalam! Sementara jika aku memilih untuk naik tangga jembatan yang terletak di sisi selatan, itu akan memakan waktu lebih cepat, tetapi energi yang akan kukeluarkan akan lebih besar karena harus naik tangga yang anak tangganya terhitung tidak manusiawi. Aku tidak paham siapa yang mendesain jembatan ini di masa lalu, tapi yang jelas ukuran anak-anak tangganya yang terlalu tinggi selalu membuatku ngos-ngosan begitu tiba di atas. Hmm.. apa karena badanku yang tidak tinggi semampai yah, sementara jembatan ini dibuat untuk kaum kolonial di zaman dulu yang badannya besar-besar? Entahlah.
Yang jelas, aku harus segera memutuskan. Mau pilih jalan memutar yang lebih lama, atau jalan menanjak yang lebih melelahkan? Tidak ada waktu untuk menghitung kancing, apalagi untuk salat istikharah. Aku harus memilih dalam waktu satu detik! (soalnya kalau aku diam terlalu lama di trotoar, tentu akan menghalangi para pejalan kaki yang lain, hee ^^")
Dan.... aku pun memilih jalan memutar dan masuk lewat pintu barat. Lebih jauh memang, mungkin memakan waktu lebih lama daripada lewat jembatan, tetapi kurasa aku bisa lebih menikmatinya dibanding ngos-ngosan begitu tiba di dalam stasiun. Yaah.. dan aku pun menikmatinya.
Ini hanya soal pilihan. Tidak ada yang salah dalam memilih jalan, selama jalan itu memang disediakan untuk dilewati. Toh, tujuannya sama. Stasiun Kereta. Alasanku memilih jelas, walaupun kedua pilihan sama tidak enaknya. Tapi aku memilih jalan yang kurasa bisa lebih kunikmati daripada kurutuki. Dan jika ada orang lain yang memilih jalan menanjak lewat jembatan, tentu pilihannya pun tidak salah. Ia lebih nyaman untuk sampai lebih cepat walaupun dengan energi yang lebih banyak harus dikeluarkan. Yang salah adalah jika aku memilih melompati pagar stasiun dan langsung masuk ke lobi. Itu cara yang paling cepat sebenarnya, dan sempat juga terlintas di benak. Tapi yaa... itu curang... dan risikonya juga besar. Aku bisa ditangkap petugas. Paling keren bisa masuk koran pagi esok harinya.
Hal yang membuatku tersenyum adalah, seketika aku mengingat perjalanan hidupku yang penuh liku dan berputar-putar (halah!). Dalam setiap fase yang harus kau lalui, kau selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan. Dan tugasmu hanya memilih. Tujuanmu satu, tapi mungkin jalan yang ada sangat banyak. Pilih saja jalan yang menurutmu paling benar, dan nikmatilah perjalananmu. Pada saatnya, kau pasti akan sampai. Tidak perlu menyesal pada pilihan yang telah kau ambil, karena kau memilih jalan yang benar. Bukan dengan cara 'melompati pagar'. Jadi, nikmati saja. Karena aku pun menikmatinya :)
NIkmati perjalananmu, kawan! |
2 komentar:
Yup. Hidup itu pilihan. Takdir itu ketentuan. Dan masa lalu hanya kenangan. Cheers!
Hidup itu pilihan.... tapi nggak semua yang ada dalam hidup bisa kita pilih...
kalimat setelah "tapi" itu hanya menunjukkan bahwa manusia tak berdaya pada pilihan Nya, walaupun memiliki kemampuan untuk memilih.... karena apa yang dipilihkan Nya (insha Allah) yang terbaik... aamiin....
Posting Komentar