FAKSI BINTANG #3 Tiga Serangkai

Kamis, 20 Februari 2020




“Bin, pinjem yang nol koma satu dong.”

“Nih.”

“Eits…weits…duh duh, nyaris.”

“Itu es kelapa jangan taro di atas meja dah, Gie. Cari bahaya banget sih, ckck.”

“Hehe…biar gampang, tinggal sruput. Slurrppp… hemm, enak banget.”

“Hha…tapi kalo lo nari-nari kayak gitu tiap nangkep drawing pen gue, lama-lama tuh es bakal numpahin kalkir lo, yakin deh.”

“Jangan suka mendahului takdir gitu, Bin. Gua kan cowo paling lembut yang selalu berhati-hati.”

“Fitnah itu, cuy.”

“Haha..iya iya. Nih, taro di sini aja. Gak terlalu deket sama gambar. Sip.”

“Yeee..cuma geser lima senti doang. Bentar lagi juga tumpah beneran.”

“Lu jangan men-sugesti gua gitu, dong. Serem, ah. Gua habisin aja sekarang es-nya,” *sesaatkemudian*
“aaaakk....tidaaak...gambar guaaaa!!!!”

“Innalillah.... Gie, udah gue bilang juga. Awas, awas... bentar, tissue.. duh, lap, lap.. DePe gue, DePe gue....”

“Ya Allah Bin, DePe lu gak kenapa-napa. Kalkir guaaa...plaza bung karno guaa, hiks. Bisa dijadiin dodol gua sama eyang karno.”

“Udah, udah, bawa kalkirnya ke belakang sono. Kita gunting kalkir baru.”

“Elu sih, doain es kelapa gua tumpah. Beneran tumpah kan jadinya.”

“Hhe, sori sori. Kagak maksud gue, maaf.”

“Enggak Bin, gua yang salah emang. Harusnya gua nurutin elu. Cinta membawa petaka. Es kelapa membinasakan desain plaza yang telah kubuat penuh derita.”

“Lebay lo. Udah nih, pegang ujungnya. Gue yang gunting.”

“Ini udah pas ukurannya?”

“Udaaah... 42 x 59,4. Gue lebihin dikit doang, nanti kalau udah finishing mau digunting juga bisa.”

“Eyang, maafkan ananda. Hiks....
Omong-omong  desain Bung Karno punya lu mau dijadiin apa?”

“Hmm... mau gue ubah jadi Bung Hatta.”

“Hah?”

“Haha... enggaklah, canda. Orang jarang ada yang tau juga itu namanya Plaza Bung Karno. Signage-nya terlalu kecil, kurang representatif. Mahasiswa lebih kenal pohon pinus dibandingkan sejarah orang yang pertama kali menanam pinus itu disini.”

“Eh iya ya? Jadi Bung Karno yang menanamnya sehingga dinamakan Plaza Bung Karno?”

“Kurang tau juga sih, gue belum konfirmasi langsung ke Bung Karno soalnya. Dulu gue cuma motret pas doi lagi nyangkul tanahnya doang.”

“Hahah, ceritanya dulu lu fotografernya? Tapi kok masih hidup sekarang?”

“Awet muda gue.”

“Ah, gua tau. Lu tiap hari pasti minum formalin, kan?”

“Hahaha..bisa jadii...bisa jadiii....”

“Tiba-tiba gua jadi kepikiran. Kampus kita diresmikan langsung oleh presiden, oleh orang besar, tapi kadang kita lupa –bukan kadang- sering lupa sama jasa orang-orang besar di masa lalu. Ah, kalau gitu gua mau buat desain yang mengingatkan orang sama Eyang Karno ahh...”

“Eyang Karno? Sembarangan lo, haha. Nggak gampang tauk buat dapat julukan ‘Bung’. Panggilan terhormat itu. Elo, cucu pungutnya bukan, cucu angkat bukan, cucu kandung apalagi.”

“Sensi lu. Gua tau lu nggak suka sama eyang gua.”

“Bukan nggak suka gue, tapi... tapi gue emang lebih suka Bung Hatta, sih. Hehe.”

“Lu pasti punya cerita spesial tentang mereka. Bagi-bagi gua dong satu. Kali bisa jadi 
inspirasi.”

“Hmm... ada. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi ditambah satu sahabat lagi. Satu ‘Bung’ lagi yang membuat mereka dikenal sebagai Tiga Serangkai. Ingat, tidak?”

“Lu kalau nanya siapa striker Barca dari masa ke masa gua bisa deh jawab, Bin.”

“Ah, elo mah. Pernah SD kagak, sih?”

“Kagak. Gua langsung loncat kelas jadi mahasiswa, hehe.”

“Jangan-jangan pengarang lagu Ibu Kita Kartini juga lu nggak tau?”

“Emang ibu kita sama, Bin? Punya nama masing-masing kali, bukan Kartini. Ogah gua kalo 
ternyata kita sodara sedarah. Udah buruan. Siapa ‘Bung’ satunya lagi?”

“Yaa Salam... Yaa Rabbii... ni bocah satu bikin gue pengen gigit sandal dah.”

“Sandal pahit, Bin. Janganlah, nggak tega gua. Nanti para penggemar lu bisa ngegerebek 
kosan gua kalo lu sakit.”

“Udah ah. Ceritanya sekarang gue lagi serius. Dengerin cerita gue.
Ketiga sahabat yang dikenal sebagai Tiga Serangkai itu Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Kisah persahabatan mereka itu sangat menakjubkan. Berkebalikan dengan kebanyakan orang sekarang yang bermanis-manis di depan orang lain tetapi di belakangnya mencela, mereka saling mengkritik langsung di depan orangnya walau itu sahabat mereka sendiri. Namun, di saat sulit mereka tetap saling mendukung.
Beberapa waktu lalu gue baca bukunya Rosihan Anwar yang wartawan tiga zaman itu. Kenal, nggak? Oke, pasti nggak.”

“Lu kenapa nanya kalo udah tau jawabannya?”

“Hehe, gue juga belum sempet kenalan, kok.
Jadi di buku itu beliau mengulas kejadian-kejadian yang dialami para tokoh sejarah yang jarang dibahas oleh umum. Dan gue menyimpulkan bahwa ikatan batin yang ada diantara ketiga orang tersebut bukanlah sebuah ikatan persahabatan biasa. Ketika pada tahun 1956 Bung Hatta memutuskan untuk nggak lagi menemani Bung Karno karena perbedaan prinsip politik, gue pikir ya udah. Kayak gitu aja. Bung Karno memilih paham Nasakom dengan dalih ingin menyatukan kaum nasionalis, agama, dan komunis. Sementara Bung Hatta ingin kerakyatan, politik kedaulatan rakyat, ekonomi kerakyatan. Sejak awal Bung Hatta ga pernah setuju kalo Bung Karno dekat dengan komunis. Tapi ya itu, mungkin karena faktor usia, atau sudah terlalu nyaman karena memiliki kuasa, biasanya orang jadi susah menerima pendapat orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. Merasa ga bisa lagi mengingatkan sahabatnya, Bung Hatta pun mundur.
Dulu gue pikir betapa menyebalkannya Bung Karno karena melepaskan seorang sahabat dan partner berjuang sebaik Bung Hatta. Bung Karno bahkan pernah mencemooh Bung Hatta dalam otobiografinya, mengatakan bahwa Bung Hatta orang yang kaku, tidak peka terhadap wanita, dan lain-lain. Mereka selalu saling kritik secara langsung dan terang-terangan. Tahun 1920-an Bung Karno mengkritik Bung Hatta habis-habisan sewaktu Bung Hatta ditawari untuk mengikuti pemilihan anggota perlemen Belanda. Padahal sebenarnya tanpa diingatkan pun bung Hatta tidak akan ikut berpartisipasi. Tahun 1930-an gantian Bung Hatta menegur Bung Karno waktu Bung Karno dipenjara di Sukamiskin dan meminta kepada Belanda untuk dibebaskan dengan berjanji nggak akan aktif di dunia politik lagi. Bohong banget sih, kalo Bung Karno janji ga bakal aktif di dunia politik. Tapi gue nggak suka dengan sikap manja Bung Karno yang minta dibebaskan gitu.”

“Eehh.. enak aja lu nyebut eyang gue manja?!”

“Hehe, itu persepsi gua dulu, Gie. Setiap orang selalu punya sisi positif dan sisi negatif. Gua maklum kalo Bung Karno itu gayanya perlente dan susah untuk hidup susah. Sewaktu dipenjara di Bangka bersama Bung Sjahrir saja beberapa kali meminta dibelikan baju baru ke sipir penjaganya. Dan gara-gara itu Bung Sjahrir dan Bung Karno sering sekali perang mulut. Bung Sjahrir bilang Bung Karno pengecut dan tidak punya harga diri, Bung Karno bilang kalau Sjahrir itu nggak melakukan apa-apa untuk negeri ini. Padahal Bung Sjahrir yang awal-awal memperjuangkan perdamaian melalui jalur perundingan, makanya bisa lahir Perjanjian Linggarjati sebagai hasil perundingan pertama pasca kemerdekaan. Tapi mereka itu keren. Kalau berantem dan saling menghina itu secara langsung di depan orangnya, nggak pernah sekalipun menghina di belakang. Oleh karena itu nggak satupun dari mereka yang menyimpan dendam walaupun pernah tersakiti. Tahun 1962, Bung Karno memenjarakan Bung Sjahrir, tapi di penjara Bung Sjahrir masih menitipkan pesan pada Soejatmoko dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainnya untuk segera membantu Bung Karno jika diminta tolong.”

“Kalau Bung Hatta pernah dipenjara bareng juga sama eyang gua?”

“Mereka bertiga itu dipenjara bareng, dudul, pas Agresi Militer Belanda II. Cuma yang paling sering bertengkar ya Bung Karno dan Bung Sjahrir. Kalau Bung Hatta lebih kalem, kayak gue gitu deh.”

“Azzzt.. gua tarik pertanyaan gua lagi deh.”

“Hhe. Tunggu, tunggu, dengerin endingnya dulu. Lo tau adegan apa yang paling buat gue terharu?”

“Apaan sih, kayak film Bollywood aja. Pas Bung Hatta sedang sakaratul maut mau meninggal, terus Bung Karno datang menjenguk sahabatnya, meminta maaf, lalu berbaikan. Iya, bukan? Mengharukan banget, kan?”

“Lo kayaknya bener-bener harus ikut kursus sejarah dah. Bung Karno eyang lo itu meninggal lebih dulu dari Bung Hatta. Diantara Tiga Serangkai, Bung Sjahrir yang paling cepat pergi. Doi meninggal tahun 1966, Bung Karno tahun 1970, dan Bung Hatta 1980. Kondisinya justru terbalik. Bung Hatta yang menjenguk Bung Karno saat beliau terbaring sakit di RSPAD dengan status tahanan rumah. Kebayang nggak sih, orang koleris ahli komunikasi dan negosiasi sekelas Bung Karno harus diisolasi sebagai tahanan rumah? Menurut gue, itu hukuman yang lebih menyakitkan dibandingkan berkali-kali dipenjara Belanda dulu.
Waktu itu Bung Karno masih mengenali Bung Hatta dan memanggil ‘Ji, Ta. Ta…’, hanya ucapan seperti itu yang artinya ‘kau hatta?’. Dan Bung Hatta hanya menjawab dengan mata berair sambil menggenggam tangan Bung Karno. Bagi gue, ucapan dua kata Bung Karno dan mata berkaca-kaca Bung Hatta itu memiliki lebih banyak makna dibandingkan seribu kata-kata.  Bukan para pengawal atau asisten Bung Karno yang jenguk, bukan pengikut atau rekan politik pendukungnya dulu, tetapi Bung Hatta. Sahabat yang dulu pernah dilepaskannya dan tidak didengarkan pendapatnya. Gue yakin, kalau saat itu Bung Sjahrir masih hidup, beliau juga bakal bergegas datang menjenguk Bung Karno, sama seperti Bung Hatta.
Lo tau apa hal paling penting dari persahabatan mereka?”

“Sahabat harus selalu setia. So sweet banget, sih. Pengen nangis gua inih.”

“Gue udah pernah denger ini sebelumnya, tapi gue baru bener-bener paham sekarang bahwa sahabat adalah orang yang mengatakan hal yang benar kepada kita, bukan orang yang selalu membenarkan tindakan kita. Seperti itulah persahabatan antara Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir.”

“Berarti Bin, lu harus berkata yang benar tentang gua. Membenarkan kalo gua emang ganteng, nggak sekedar pinter. “

“Gie, lo kerjain dah itu desain plaza-nya. Semua DePe gue boleh lo pake, tapi statusnya pinjaman, bukan tahanan rumah. Gue mau beli es kelapa dulu. Haus. Bye.”

“ Yaah, Bin. Biiin… gua juga mau dong pliis. Beliin gua satu ya, Bin. Punya gua yang tadi tumpah. Bintang….”


***

Pulang Kampung (ending)



“Aku adalah turunan Raja Adam dan Ratu Hawa. Tidak bisa dipercaya, kan?”
“Hhh...Wulan yang cantik. Semua orang juga tahu kalau dirinya adalah turunan Adam dan Hawa. Kalau kamu tidak percaya kata-kataku bilang saja tidak percaya. Aku bercerita karena kamu yang bertanya.”
“Ehehe... aku percaya, aku percaya. Kalau begitu, seharusnya kamu tahu dong, dimana Kerajaan Pajajaran dulu berdiri? Apakah di tempat istana kepresidenan sekarang?”
“Entahlah. Aku rasa bukan. Istana presiden dibangun oleh Inggris pada masa kolonial. Kudengar dari cerita abah kepada tamu-tamunya kalau letak kerajaan ada di dekat posisi Tugu Kujang. Beberapa orang yang pernah kutemui mengatakan ada bekas peninggalannya di daerah Batu Tulis. Tapi kurasa belum ada yang benar-benar menemukannya. Hampir tidak ada sisa puing-puing ataupun artefak kerajaan. Lagipula itu kan sudah lama sekali. Kalaupun ada seharusnya ia sudah terkubur sangat dalam.”
“Hei, kapan-kapan ajak aku ke tempatmu.”
“Untuk apa?”
“Ya untuk bermain. Sepertinya kampungmu itu sangat indah.”
“Hmm..tidak juga. Nanti kamu bosan lagi. Disana hanya ada sawah dan hutan, serta beberapa kolam ikan. Tidak ramai angkot seperti disini. Tidak ada toko-toko bagus apalagi mall. Di rumahku pun tidak ada televisi. Ah, juga tidak ada kompor gas. Kami masih menggunakan tungku untuk memasak dan pendaringan untuk menyimpan beras di rumah. Kalau kamu mau memasak, harus meniup-niup tungkunya dulu dengan bambu. Itu bisa membuat wajahmu hitam oleh abu.”
“Justru itu sangat menarik. Aku belum pernah memasak dengan tungku. Di rumah aku menggunakan kompor minyak. Aku harus mencobanya.”
“Kalau wajahmu jadi jelek karena abu, aku tidak mau tanggung jawab ya.”
“Tenang, aku bisa mengubahnya lagi jadi cantik dalam seketika. Cling!”
Percakapanku dengan Wulan di awal-awal perkenalan sangat cair. Aku dikenal sebagai pedagang yang galak oleh pedagang yang lain, bahkan oleh pembeli. Tetapi dia tidak takut padaku. Jika orang bertanya tentang keluargaku dan aku menyampaikannya seperti yang kusampaikan pula pada Wulan, orang akan tertawa, atau menyebutku tidak waras. Paling sederhana mereka meninggalkanku. Tapi tidak dengan Wulan. Dia justru tertarik dan bertanya lagi.
“Jadi kapan kamu mau mengajakku kesana?”
Wulan menagih janji dan mengingatkanku lagi tentang rumah, tiga bulan setelah perkenalan kami. Aku heran mengapa ada gadis yang tertarik dengan kampungku disaat aku yang berasal dari sana saja enggan untuk pulang. Ada sedikit bahagia melihat wajahnya yang selalu tampak ceria dan bersemangat. Apakah dia selalu seperti ini, bersikap baik dan mempercayai setiap orang yang ditemuinya?
“Tidak tahu. Sudah tiga tahun lebih aku tidak pernah pulang.”
“Apa? Kenapa? Memangnya kamu tidak rindu rumah? Tidak rindu keluarga?”
“Aku hanya rindu ibu dan kampungku saja. Aku tidak pernah mau menjadi pengganti abah. Meneruskan cerita-cerita yang tidak masuk akal hanya untuk meraup keuntungan. Aku tidak suka hidup dengan cara seperti itu. Tidak bisa pergi kemana-mana. Sejak dinobatkan jadi ketua adat, abah hanya ada di dalam rumah, di teras atau pinggir rumah yang perginya tidak lebih dari lima meter, atau ke rumah panggung dan bumi alit. Katanya terlarang bagi ketua adat untuk bepergian. Kerjanya di rumah hanya menerima tamu, mengisap pipa di teras rumah, dan memimpin upacara panen raya atau tahun baru. Menurutku itu membosankan. Mempertahankan tradisi yang tidak masuk logika dan merasa benar memperoleh uang dari orang-orang yang mempercayai tradisi itu.”
“Bukankah tradisi dan budaya juga merupakan kekayaan bangsa kita yang paling besar? Aku rasa justru itu cara yang bagus agar keragaman budaya tradisional kita tidak hilang. Coba bayangkan kalau pemerintah tidak menetapkannya sebagai kampung adat, mungkin suatu hari nanti disana akan dibangun vila atau perumahan modern. Segala keunikan dan bangunan artistik yang kamu ceritakan itu bisa hilang. Tanah yang tadinya sawah dan hutan juga bisa berubah menjadi bangunan. Kalau keindahan alam dan budaya baik yang ada di masyarakat hilang, kan kamu juga yang rugi karena tidak bisa menikmatinya lagi.”
“Hei, kamu sepintar ini, mengapa tidak kerja di sekolah atau di kantoran saja?”
“Siapa yang mau menerima orang tanpa ijazah? Aku memang pintar. Tapi aku tidak suka kalau pintarku hanya dipakai untuk mencari uang. Aku bisa mencari uang dimana saja, tapi aku tidak suka disuruh-suruh, hehe.”
“Aku pun demikian. Bagiku hidup adalah kerja keras. Jadi jangan menyuruhku untuk bersantai di kampung dan menikmati uang yang dengan mudahnya datang dari orang-orang dan pejabat yang suka menyuap.”
“Kata siapa kalau tinggal di kampung itu tidak kerja keras? Suatu hari nanti, kamu yang harus mempertahankan tanah kelahiranmu dari ancaman orang-orang luar yang justru ingin mengambil keuntungan, kan? Aku pernah belajar waktu sekolah kalau aturan adat itu mendahului aturan pemerintah. Masyarakat kita lebih patuh pada kepercayaan adat dibandingkan peraturan tertulis. Aku rasa kampungmu itu dihargai pemerintah karena ayahmu dan warganya mampu menjaga kekayaan yang kalian punya. Alamnya, budayanya, kesederhanaannya, dan nilai-nilai baik yang diturunkan secara turun-temurun. Urusan cerita yang menurutmu tidak masuk akal itu hanya sebagian kecil, bukan? Terserah padamu mau diteruskan atau tidak. Tapi kamu sangat beruntung memiliki kampung yang punya sejarah hebat.”
***
Begitulah akhirnya. Setelah hampir empat tahun lamanya aku meninggalkan kampung ini, aku kembali. Bukan hanya karena Wulan yang begitu cerdasnya membujukku, tetapi juga karena kabar yang tiba-tiba datang esok harinya. Aku sedang bersiap menutup kios saat Mang Engkon datang, mengatakan bahwa ibu sakit. Aku sadar aku bersalah pada ibuku. Ia merindukanku, seperti aku rindu padanya. Tetapi ia memahamiku melebihi siapapun. Tidak sekalipun ia memintaku pulang, bahkan saat sedang sakit. Mang Engkon yang berinisiatif pergi ke kota dan memberitahuku, tanpa sepengetahuan ibu.
Jalur menuju Kampung Urug begitu sempit, curam, dan berkelok-kelok. Meskipun jalannya sudah beraspal, akan sangat sulit untuk dua mobil jika harus berpapasan. Aku menumpang motor Mang Engkon yang datang menjemputku di perbatassan jalan raya, setelah tiga jam lamanya aku naik angkutan umum dari kota. Kerinduanku pada tanah kelahiran meluap tiba-tiba. Tebing-tebing curam yang berada di sisi jalan, sawah-sawah berteras yang hijau berkilau karena pendaran air-airnya yang terkena sinar matahari, udaranya yang sejuk tanpa polusi....
Wulan benar. Mungkin aku tidak menyukai abah dengan cerita-ceritanya yang berlebihan atau tamu-tamunya yang membuatku tidak nyaman, tetapi aku harus menjaga kampungku. Salah, aku ingin menjaga kampungku. Menjaga alamnya, menjaga orang-orangnya, menjaga nilai-nilai baik yang ada didalamnya.
Saat ini aku harus pulang untuk menengok ibu. Setelah itu aku akan kembali ke kota untuk bekerja dan mencari banyak pengalaman. Berkenalan dengan banyak orang. Mungkin juga berkeliling ke kota-kota lainnya untuk lebih banyak belajar, sebelum nanti pulang kembali dan menjaga kampung ini.
***
“Terima kasih ya, untuk nasihat baiknya.”
“Jadi kapan rencana kamu pulang kampung?”
“Tidak tahu. Nanti aku pikirkan.”
“Aku boleh ikut? Boleh ikut main kesana?”
 “Untuk apa?”
“Aku belum pernah memasak dengan tungku. Belum pernah melihat leuit. Belum pernah main sumpitan juga. Aku ingin main dengan anak-anak desa disana.”
“Kalau kamu ikut, kamu tidak boleh hanya sekedar main.”
“Kenapa?”
“Kamu akan jadi istriku nanti.”
“Eh? Eee.. aku pulang dulu, ya. Besok kita mengobrol lagi. Terima kasih jeruk-jeruknya.”
Aku pasti akan pulang. Aku akan pulang dan menjadikan Wulan sebagai pendampingku nanti.
***

FAKSI BINTANG #2 Ide dan Kereta

Rabu, 12 Februari 2020



“Arrrrghh....Bin, tolong  gua, pliiss. Udah H-3 dan gua belum jadi apa-apa.”

“Ha? Belum jadi apa-apa? Lo belum jadi manusia? Masih di dunia siluman emangnya?”

“Serius gua, Biin... Lu sih enak. Udah mateng konsepnya, tinggal tarik-tarik garis sama main-main warna. Lah gua? Ide masih nyari, konsep masih di awang-awang.”

“Haha... lebay lo. Sekali ide udah di tangan kualitas desain lo juga pasti lebih bagus dari gue. Sok-sok merendah belum dapet ide segala.”

“Orang kan bisa stuck juga, kali Bin...hffft. Lu biasanya punya trik-trik khusus nyari ide gitu. Bagi-bagi, dong.”

Wani piro? Haha...”

“Bayarannya.... segenggam cinta yang tulus dari gua. Keren, kan?”

Geuleuh ih, elo mah.”

“Heee....lu beruntung bisa gua kasih cuma-cuma. Junior sefakultas aja banyak yang ngantri gak gua kasih.”

“Emang gue maho? Fitnah banget ada junior yang mau nungguin elo, ish..”

“Iya sih, apalah gua inih, hiks.”

“Haha, bercanda gue. Lo masih jadi mahasiswa terganteng sejagat ko.... sejagat lubang semut, hehe.”

“Haha...udahan ah. Lu punya cerita gak, Bin? Biasanya ustad selalu punya banyak cerita.”

“Siapa yang ustad?”

“Elu.”

“Dih, gue mah butiran debu. Tapi kalo lo doain gue jadi ulama gue amin-in, hehe...”

“Aamiin...jadi ulama peradaban dengan desain-desainnya yang cihuyy.”

“Ulama peradaban?”

“Bu Rieke pernah bilang di kuliah kalau arsitek bukan sekedar perancang bangunan atau penata lahan, tapi perencana dan perancang peradaban. Tangan dan otak kita menentukan rusak tidaknya bumi ini sekaligus peradaban yang ada di atasnya. Masa’ lu ngelupain Bu Rieke sih?”

“Ngelupain doi sih, engga. Eh, salah fokus lo!”

“Heheheh..”

“Berarti berat juga yah, tugas kita. Aamiin.... semoga kita bisa.”

“Terus, usulan desain buat gua mana?”

“Azzzt...gue juga lagi  stuck sebenernya. Konsep sih mateng, tapi  mau ke siteplan-nya rasanya masih belum sreg. Persentase ruangnya apa harus diubah ya? Atau sirkulasinya?”

“Lah, Bin. Kok jadi ngobrolin desain elu? Lu kan udah dua langkah lebih maju dari gua? Pffft...”

“Hehe, maaf deh. Lo sih, terlalu perfeksionis. Gue pernah baca -lupa dimana- kalau  ada tiga tempat dimana ketiga tempat tersebut merupakan sumber orang-orang menemukan ide. Pertama, toilet. Kedua, tempat tidur. Ketiga, transportasi. Gue pikir itu bener. Dan menurut gue, tempat ketiga adalah yang paling representatif buat gue.”

“Kereta maksud lu?”

sumber: www.endahbanged.wordpress.com (2014)
“Yup. Lo juga tau dari kecil gue hampir gak pernah lepas sama transportasi massal yang satu ini. Tiga tahun ini hampir tiap minggu, kadang sampai dua-tiga kali bolak-balik ke rumah dalam seminggu. Dari zaman kereta ekonomi yang pintu dan jendelanya gak pernah tertutup, naik ekonomi AC dan kereta Pakuan yang enam bulan sekali dan membuat gue ngerasa jadi orang kaya, tarif kereta yang naik mulai dari Rp 5500, jadi Rp 7000, dan terakhir mahal banget sampai Rp 9000, sebelum berubah jadi tarif progresif kayak sekarang. Banyak cerita yang gue lihat dan alami di kereta. Bikin kesel, terharu, sampai bikin bahagia. Kereta itu sesuatu banget.”

“Gua gak ngerti. Gua kan familiarnya sama angkot dan motor pinjaman.”

“Ah, elo gak bisa diajak romantis dikit,,,”

“Hhe..nih, nih, gua ngeluarin sapu tangan. Romantis banget kan, gua?”

“Kagak. Dan please, itu bukan sapu tangan. Itu serbet yang lo pinjem dari dapur di level lima kan?”

“Hehe. Ya udah, lanjutin. Ada apa dengan kereta? Siapa tau gua tercetus ide dari sana.”

“Hmm... ada banyak banget cerita yang bisa gue bagi kalo tentang kereta. Tapi sekarang gue cerita tentang ini aja. Tiga anak yang pernah gue temui di kereta dan paling berkesan buat gue. Tiga anak ini punya karakter berbeda dan mencari uang dengan cara yang berbeda.
Pertama, namanya Mila. Kalo lo dulu pernah naik kereta pas mau aksi atau makan gratisan di kondangan senior, dan pernah ketemu sama anak perempuan gemuk yang rambutnya panjang dikepang dan meminta uang setengah merajuk atau sambil berbohong dengan menyebut lo ‘Om ganteng, bagi uangnya, dong. Mila laper...’, itu dia anaknya. Pertama kali gue ketemu, gue udah siap-siap ngeluarin duit, terus dicegah sama Bang Krisna. Dia bilang itu gak mendidik. Kalau mau ajak dia makan. Bang Krisna sering ketemu tuh anak di kereta ekonomi, lalu mengajaknya turun untuk makan, tapi anaknya menolak dan terus merajuk meminta uang. Bahasanya sama. Seperti hanya terbiasa dengan yang dia ucapkan itu. Entah apakah dia disuruh orangtuanya atau ada yang mengorganisir, tapi yang jelas  eksploitasi anak kayak gitu selalu bikin miris. Pikiran dan mental anak bisa rusak, rawan kriminal dan pelecehan pula.
Cerita tentang Mila udah dulu, bikin mood gue nggak enak. Nah, yang kedua..”

“Tunggu dulu. Gua mo nanya. Si Mila itu berbohong kalau dia laper, atau bahwa gua ganteng?”

“Ya jelas bahwa lo ganteng-lah...atau mungkin dua-duanya. Gue sih berusaha prasangka baik kalo dia laper beneran, jadi gue ngikuti caranya Bang Krisna pas ketemu dia lagi. Ngajak dia turun di stasiun berikutnya untuk makan, tapi toh dia langsung malu dan pergi kalo digituin. Tapi kalo ada yang nyebut lo ganteng, udah pasti orang itu berbohong. Ampunilah mereka, Ya Allah.”

“Sialan lu.”

“Haha, canda.”

“Terus, anak kedua siapa?”

“Yang kedua, namanya Defal. Gue ketemu Defal lebih dulu dari Mila. Kayaknya pernah ketemu sekali pas jaman SMA dulu. Waktu tingkat 1 kuliah juga beberapa kali ketemu. Dia mengamen dengan kotak lagu dan membagikan amplop untuk diisi para penumpang. Tulisan di amplopnya mengatakan  dia ngumpulin uang untuk biaya sekolahnya dan adiknya. Anaknya cantik dan bersemangat. Dulu gue berniat ingin ngasih anak itu seragam sekolah kalau ketemu lagi. Artinya gue beli seragam dan itu seragam harus selalu gue bawa tiap naik kereta. Tapi sayangnya gue selalu lupa kalau udah turun kereta, dan baru ingat kalau ketemu sama anaknya lagi di kereta dan jadi kesel sendiri ‘Duh, gue kan niat ngasih seragam ke ni anak. Kenapa seragamnya belum gue beli? Oke, kalau ketemu lagi nanti seragamnya udah harus gue bawa’. Tapi niatan itu gak kesampaian. Lama gue nggak ketemu anak itu, sampai sekitar dua tahun berikutnya gue ngeliat pengamen lagi yang kayaknya dia, tapi sudah jadi tinggi dan agak pangling. Kayaknya pertama kali ngeliat dia ngamen dia masih usia 7 atau 8 tahun, dan terakhir ketemu usianya sudah lebih dari 10 tahun. Sudah puber juga kali ya, anaknya. Jadi pangling.”

“Elu, Bin. Urusan puber aja paling peka. Ckck...”

“Haha, nggak, bukan itu. Hal yang paling bikin gue nyesel adalah kenapa niatan baik nggak langsung gue kerjain? Sampai anak itu tumbuh, naik kelas, dan udah jadi lebih dewasa dengan caranya dan lingkungannya yang gue nggak tau kayak apa. Kadang gue penasaran dengan lingkungan hidup kelompok marjinal  dan ingin tahu bagaimana keseharian hidup mereka, atau apa yang bisa gue kasih buat mereka. Tapi bahkan bertanya atau menyapa aja gue masih sering enggan. Hal-hal kayak gitu yang selalu bikin gue nyesel, kenapa gue gak punya cukup keberanian untuk bertanya atau mencari tahu. Yaa..bukan urusan gue sih, emang. Tapi gue pikir melatih kepekaan sosial itu penting. Untuk banyak hal. Termasuk kalo lo ingin menemukan ide, Gie.”

“Gua sebenarnya gak terlalu suka terlibat di bidang atau kegiatan sosial gitu sih. Tapi tentang pentingnya melatih kepekaan sosial itu gua sepakat sama lu, Bin.”

“Anak ketiga yang pengen gue ceritain, namanya Pian. Umurnya gue taksir sekitar sebelas atau dua belas tahun. Anak ini asik banget, supel, dan paling gue kangenin kalo gue ke stasiun. Gue ketemu dia hanya dua kali di Stasiun Bogor. Pertama waktu gue mau pulang pakai kereta terakhir yang jam 9 malam. Dia masih dagang barang-barang jualannya, seperti aksesoris, bros, ikat rambut, peniti, sisir...dan dia gak malu menawarkan dagangannya ke gerbong-gerbong ekonomi AC. Dia gak malu nyapa dan ngajak ngobrol gue lebih dulu. Dia anak Ciampea, dan emang baru jualan sore atau malam sepulang sekolah. Cara bicaranya asik. Sopan dan penuh percaya diri. Gue lalu beli sisir yang harganya hanya seribu perak sebelum kereta gue jalan.
Kali kedua, ketemu di Stasiun Bogor lagi pagi hari. Itu hari minggu kalo gak salah. Waktu itu gue baru turun dan dia nyapa gue duluan di peron. Gue sempet lupa namanya dan dia protes. Dia nyuruh gue beli barang dagangannya lagi, tapi gue bilang ‘sisir yang kemarin aja belum habis, masak beli lagi?’, dia ketawa. Lalu dia bilang, ‘kalo gitu, beliin cireng aja deh, ka.’
Dari awal ketemu gue suka mikir, dia lagi laper gak ya? Karena gue biasanya selalu laper kalau malam dan pagi hari, haha. Tapi nih anak gak pernah minta uang, bilang laper aja enggak. Gue seneng banget waktu dia minta terus terang untuk beliin cireng yang jualan di peron stasiun dulu. Gue ajak dia dan nyuruh dia milih menu yang dia mau. Mau pilih menu isi daging yang lebih mahal pun bakal gue beliin, tapi dia memilih menu isi oncom yang harganya tiga ribu rupiah doang. Hanya beda seribu dua ribu sih dengan yang isi daging, tapi dia tetap memilih menu yang paling murah, atau mungkin karena dia memang suka oncom?? Entahlah.
Pian mengucapkan terima kasih dan gue menepuk kepalanya gembira sebelum pergi. Bertemu anak yang semangat dan optimis gitu selalu bangkitkan semangat dan optimis gue juga. Setelah itu, tiap gue ke stasiun dan berharap ketemu lagi dengan Pian, itu nggak pernah terkabul. Gue mikir, dia udah gak jualan lagi dan sibuk sekolah kali ya? Gue percaya dia bakal sukses nantinya. Semoga.”

So sweet banget cerita lu, Bin. Moga langgeng ya sama Pian.”

“Ngaco lo, Gie. Mmmh... poin yang pengen gue sampein adalah bahwa setiap orang, hal, dan kejadian itu unik. Gue suka membandingkan antara Mila, Defal, dan Pian. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Peminta-minta, pengamen, dan pedagang. Lalu gue seperti disuruh memilih, gue ingin hidup dengan cara seperti apa? Ketiga anak itu buat gue belajar bagaimana harus bersikap dengan lebih baik. Ini mungkin gak berkaitan langsung sama lo yang lagi stuck ide. Tapi coba lihat hal dari berbagai sudut pandang, biasanya pikiran kita jadi lebih kaya. Mungkin dari sana juga kita bisa menemukan ide. Hal yang harus lo inget, ide itu bukan dicari, tapi ditemukan. Jadi kalo lo -termasuk gue juga sih- stress karena belum dapat ide, kita malah gak bakal nemuin ide itu. Just be relax, but keep thinking and working.
Gila... ngomong apa sih gue? Sok tau banget guee...”

“Haha...thx bro. Cerita lo asik, ko. Apa gue pergi ke stasiun aja sekarang?”

“Ngapain? Dagang apa ngamen?”

“Bukan ngemis yang jelas. Haha...”
***