“Bin, pinjem yang nol koma satu dong.”
“Nih.”
“Eits…weits…duh duh, nyaris.”
“Itu es kelapa jangan taro di atas meja dah, Gie. Cari bahaya
banget sih, ckck.”
“Hehe…biar gampang, tinggal sruput. Slurrppp… hemm, enak banget.”
“Hha…tapi kalo lo nari-nari kayak gitu tiap nangkep drawing
pen gue, lama-lama tuh es bakal numpahin kalkir lo, yakin deh.”
“Jangan suka mendahului takdir gitu, Bin. Gua kan cowo
paling lembut yang selalu berhati-hati.”
“Fitnah itu, cuy.”
“Haha..iya iya. Nih, taro di sini aja. Gak terlalu deket
sama gambar. Sip.”
“Yeee..cuma geser lima senti doang. Bentar lagi juga tumpah
beneran.”
“Lu jangan men-sugesti gua gitu, dong. Serem, ah. Gua habisin
aja sekarang es-nya,” *sesaatkemudian*
“aaaakk....tidaaak...gambar guaaaa!!!!”
“Innalillah.... Gie, udah gue bilang juga. Awas, awas...
bentar, tissue.. duh, lap, lap.. DePe gue, DePe gue....”
“Ya Allah Bin, DePe lu gak kenapa-napa. Kalkir
guaaa...plaza bung karno guaa, hiks. Bisa dijadiin dodol gua sama eyang karno.”
“Udah, udah, bawa kalkirnya ke belakang sono. Kita gunting
kalkir baru.”
“Elu sih, doain es kelapa gua tumpah. Beneran tumpah kan
jadinya.”
“Hhe, sori sori. Kagak maksud gue, maaf.”
“Enggak Bin, gua yang salah emang. Harusnya gua nurutin
elu. Cinta membawa petaka. Es kelapa membinasakan desain plaza yang telah
kubuat penuh derita.”
“Lebay lo. Udah nih, pegang ujungnya. Gue yang gunting.”
“Ini udah pas ukurannya?”
“Udaaah... 42 x 59,4. Gue lebihin dikit doang, nanti kalau
udah finishing mau digunting juga bisa.”
“Eyang, maafkan ananda. Hiks....
Omong-omong desain
Bung Karno punya lu mau dijadiin apa?”
“Hmm... mau gue ubah jadi Bung Hatta.”
“Hah?”
“Haha... enggaklah, canda. Orang jarang ada yang tau juga itu
namanya Plaza Bung Karno. Signage-nya terlalu kecil, kurang
representatif. Mahasiswa lebih kenal pohon pinus dibandingkan sejarah orang
yang pertama kali menanam pinus itu disini.”
“Eh iya ya? Jadi Bung Karno yang menanamnya sehingga
dinamakan Plaza Bung Karno?”
“Kurang tau juga sih, gue belum konfirmasi langsung ke Bung
Karno soalnya. Dulu gue cuma motret pas doi lagi nyangkul tanahnya doang.”
“Hahah, ceritanya dulu lu fotografernya? Tapi kok masih
hidup sekarang?”
“Awet muda gue.”
“Ah, gua tau. Lu tiap hari pasti minum formalin, kan?”
“Hahaha..bisa jadii...bisa jadiii....”
“Tiba-tiba gua jadi kepikiran. Kampus kita diresmikan
langsung oleh presiden, oleh orang besar, tapi kadang kita lupa –bukan kadang-
sering lupa sama jasa orang-orang besar di masa lalu. Ah, kalau gitu gua mau
buat desain yang mengingatkan orang sama Eyang Karno ahh...”
“Eyang Karno? Sembarangan lo, haha. Nggak gampang tauk buat
dapat julukan ‘Bung’. Panggilan terhormat itu. Elo, cucu pungutnya bukan, cucu
angkat bukan, cucu kandung apalagi.”
“Sensi lu. Gua tau lu nggak suka sama eyang gua.”
“Bukan nggak suka gue, tapi... tapi gue emang lebih suka Bung
Hatta, sih. Hehe.”
“Lu pasti punya cerita spesial tentang mereka. Bagi-bagi
gua dong satu. Kali bisa jadi
inspirasi.”
“Hmm... ada. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi ditambah
satu sahabat lagi. Satu ‘Bung’ lagi yang membuat mereka dikenal sebagai Tiga
Serangkai. Ingat, tidak?”
“Lu kalau nanya siapa striker Barca dari masa ke
masa gua bisa deh jawab, Bin.”
“Ah, elo mah. Pernah SD kagak, sih?”
“Kagak. Gua langsung loncat kelas jadi mahasiswa, hehe.”
“Jangan-jangan pengarang lagu Ibu Kita Kartini juga lu nggak
tau?”
“Emang ibu kita sama, Bin? Punya nama masing-masing kali,
bukan Kartini. Ogah gua kalo
ternyata kita sodara sedarah. Udah buruan. Siapa ‘Bung’
satunya lagi?”
“Yaa Salam... Yaa Rabbii... ni bocah satu bikin gue pengen
gigit sandal dah.”
“Sandal pahit, Bin. Janganlah, nggak tega gua. Nanti para
penggemar lu bisa ngegerebek
kosan gua kalo lu sakit.”
“Udah ah. Ceritanya sekarang gue lagi serius. Dengerin cerita
gue.
Ketiga sahabat yang dikenal sebagai Tiga Serangkai itu Bung
Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir. Kisah persahabatan mereka itu sangat
menakjubkan. Berkebalikan dengan kebanyakan orang sekarang yang bermanis-manis
di depan orang lain tetapi di belakangnya mencela, mereka saling mengkritik
langsung di depan orangnya walau itu sahabat mereka sendiri. Namun, di saat
sulit mereka tetap saling mendukung.
Beberapa waktu lalu gue baca bukunya Rosihan Anwar yang wartawan tiga
zaman itu. Kenal, nggak? Oke, pasti nggak.”
“Lu kenapa nanya kalo udah tau jawabannya?”
“Hehe, gue juga belum sempet kenalan, kok.
Jadi di buku itu beliau mengulas kejadian-kejadian yang dialami para tokoh
sejarah yang jarang dibahas oleh umum. Dan gue menyimpulkan bahwa ikatan batin
yang ada diantara ketiga orang tersebut bukanlah sebuah ikatan persahabatan
biasa. Ketika pada tahun 1956 Bung Hatta memutuskan untuk nggak lagi menemani
Bung Karno karena perbedaan prinsip politik, gue pikir ya udah. Kayak gitu aja.
Bung Karno memilih paham Nasakom dengan dalih ingin menyatukan kaum nasionalis,
agama, dan komunis. Sementara Bung Hatta ingin kerakyatan, politik kedaulatan
rakyat, ekonomi kerakyatan. Sejak awal Bung Hatta ga pernah setuju kalo Bung
Karno dekat dengan komunis. Tapi ya itu, mungkin karena faktor usia, atau sudah
terlalu nyaman karena memiliki kuasa, biasanya orang jadi susah menerima
pendapat orang lain walaupun itu sahabatnya sendiri. Merasa ga bisa lagi
mengingatkan sahabatnya, Bung Hatta pun mundur.
Dulu gue pikir betapa menyebalkannya Bung Karno karena melepaskan seorang
sahabat dan partner berjuang sebaik Bung Hatta. Bung Karno bahkan pernah
mencemooh Bung Hatta dalam otobiografinya, mengatakan bahwa Bung Hatta orang
yang kaku, tidak peka terhadap wanita, dan lain-lain. Mereka selalu saling
kritik secara langsung dan terang-terangan. Tahun 1920-an Bung Karno mengkritik
Bung Hatta habis-habisan sewaktu Bung Hatta ditawari untuk mengikuti pemilihan
anggota perlemen Belanda. Padahal sebenarnya tanpa diingatkan pun bung Hatta
tidak akan ikut berpartisipasi. Tahun 1930-an gantian Bung Hatta menegur Bung
Karno waktu Bung Karno dipenjara di Sukamiskin dan meminta kepada Belanda untuk
dibebaskan dengan berjanji nggak akan aktif di dunia politik lagi. Bohong
banget sih, kalo Bung Karno janji ga bakal aktif di dunia politik. Tapi gue
nggak suka dengan sikap manja Bung Karno yang minta dibebaskan gitu.”
“Eehh.. enak aja lu nyebut eyang gue manja?!”
“Hehe, itu persepsi gua dulu, Gie. Setiap orang selalu punya sisi positif
dan sisi negatif. Gua maklum kalo Bung Karno itu gayanya perlente dan susah
untuk hidup susah. Sewaktu dipenjara di Bangka bersama Bung Sjahrir saja
beberapa kali meminta dibelikan baju baru ke sipir penjaganya. Dan gara-gara
itu Bung Sjahrir dan Bung Karno sering sekali perang mulut. Bung Sjahrir bilang
Bung Karno pengecut dan tidak punya harga diri, Bung Karno bilang kalau Sjahrir
itu nggak melakukan apa-apa untuk negeri ini. Padahal Bung Sjahrir yang
awal-awal memperjuangkan perdamaian melalui jalur perundingan, makanya bisa
lahir Perjanjian Linggarjati sebagai hasil perundingan pertama pasca
kemerdekaan. Tapi mereka itu keren. Kalau berantem dan saling menghina itu
secara langsung di depan orangnya, nggak pernah sekalipun menghina di belakang.
Oleh karena itu nggak satupun dari mereka yang menyimpan dendam walaupun pernah tersakiti. Tahun 1962, Bung Karno memenjarakan
Bung Sjahrir, tapi di penjara Bung Sjahrir masih menitipkan pesan pada
Soejatmoko dan anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) lainnya untuk segera
membantu Bung Karno jika diminta tolong.”
“Kalau Bung Hatta pernah dipenjara bareng juga sama eyang
gua?”
“Mereka bertiga itu dipenjara bareng, dudul, pas Agresi Militer Belanda II.
Cuma yang paling sering bertengkar ya Bung Karno dan Bung Sjahrir. Kalau Bung
Hatta lebih kalem, kayak gue gitu deh.”
“Azzzt.. gua tarik pertanyaan gua lagi deh.”
“Hhe. Tunggu, tunggu, dengerin endingnya dulu. Lo tau adegan apa
yang paling buat gue terharu?”
“Apaan sih, kayak film Bollywood aja. Pas Bung Hatta
sedang sakaratul maut mau meninggal, terus Bung Karno datang menjenguk
sahabatnya, meminta maaf, lalu berbaikan. Iya, bukan? Mengharukan banget, kan?”
“Lo kayaknya bener-bener harus ikut kursus sejarah dah. Bung Karno eyang
lo itu meninggal lebih dulu dari Bung Hatta. Diantara Tiga Serangkai, Bung
Sjahrir yang paling cepat pergi. Doi meninggal tahun 1966, Bung Karno tahun
1970, dan Bung Hatta 1980. Kondisinya justru terbalik. Bung Hatta yang
menjenguk Bung Karno saat beliau terbaring sakit di RSPAD dengan status tahanan
rumah. Kebayang nggak sih, orang koleris ahli komunikasi dan negosiasi sekelas
Bung Karno harus diisolasi sebagai tahanan rumah? Menurut gue, itu hukuman yang
lebih menyakitkan dibandingkan berkali-kali dipenjara Belanda dulu.
Waktu itu Bung Karno masih mengenali Bung Hatta dan memanggil ‘Ji,
Ta. Ta…’, hanya ucapan seperti itu yang artinya ‘kau hatta?’. Dan Bung Hatta
hanya menjawab dengan mata berair sambil menggenggam tangan Bung Karno. Bagi
gue, ucapan dua kata Bung Karno dan mata berkaca-kaca Bung Hatta itu memiliki
lebih banyak makna dibandingkan seribu kata-kata. Bukan para pengawal atau asisten Bung Karno
yang jenguk, bukan pengikut atau rekan politik pendukungnya dulu, tetapi Bung
Hatta. Sahabat yang dulu pernah dilepaskannya dan tidak didengarkan
pendapatnya. Gue yakin, kalau saat itu Bung Sjahrir masih hidup, beliau juga
bakal bergegas datang menjenguk Bung Karno, sama seperti Bung Hatta.
Lo tau apa hal paling penting dari persahabatan mereka?”
“Sahabat harus selalu setia. So sweet banget, sih. Pengen
nangis gua inih.”
“Gue udah pernah denger ini sebelumnya, tapi gue baru bener-bener paham
sekarang bahwa sahabat adalah orang yang mengatakan hal yang benar kepada
kita, bukan orang yang selalu membenarkan tindakan kita. Seperti itulah
persahabatan antara Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir.”
“Berarti Bin, lu harus berkata yang benar tentang gua. Membenarkan
kalo gua emang ganteng, nggak sekedar pinter. “
“Gie, lo kerjain dah itu desain plaza-nya. Semua DePe gue boleh lo pake,
tapi statusnya pinjaman, bukan tahanan rumah. Gue mau beli es kelapa dulu. Haus.
Bye.”
“ Yaah, Bin. Biiin… gua juga mau dong pliis. Beliin gua
satu ya, Bin. Punya gua yang tadi tumpah. Bintang….”
***