“Ka Najmi, sesuatu yang biasa dan membosankan itu kadangkala bisa menjadi hal yang sangat dirindukan.”
Begitu yang pernah dikatakannya dulu saat aku meledeknya karena tiba-tiba saja ia rindu dengan masakan Bu Ati di kantor. Dulu sewaktu kami masih bekerja di kantor yang sama dan tiba waktunya makan siang, beberapa kali si bos berkomentar, “Bosan gak sih dengan makanan kantor, itu-itu saja. Biasa.”
Yaah.. walaupun makhluk satu ini bisa memakan apapun yang disebut dengan makanan, namun sesungguhnya selera terhadap jenis makanannya cukup tinggi. Baginya makanan kantor yang biasanya hanya terdiri dari dua jenis masakan (misal: sayur lodeh dan telur balado, tumis kacang dan rempeyek, atau tumis buncis dan oreg tempe), menjadi membosankan karena setiap hari ia makan dengan cita rasa yang serupa. Terang saja model masakannya memiliki rasa yang sebelas dua belas, wong yang masaknya satu orang. Bu Ati. Dulu aku biasa menyebutnya big mother karena selama enam bulan lebih aku tidak pernah tahu namanya.
Mungkin si bos sedang kangen daging saat itu. Bu Ati tentu saja tidak pernah memasak daging karena mungkin budget belanja yang diberikan tidak cukup untuk membeli daging. Paling mewah telur, ati ampela, atau ikan kue. Hmm.. menurutku masakan paling istimewanya adalah sayur asem dan ikan kue balado, enak banget!
Sayang sekali si bos belum pernah mencicipi jengkol baladonya Bu Ati. Bu Ati memasak jengkol justru setelah bos pindah kerja ke Jakarta, ke kantor yang lebih mewah dan mesjidnya sangat bagus. Kurasa ia akan mengeluarkan komentar berbeda jika dalam seminggu sempat mencicipi jengkol buatannya Bu Ati. Pasti tidak akan bosan!
Nyatanya, walau ia belum pernah mencicip jengkol balado buatan Bu Ati, ia tetap merindukan masakan kantor setelah pindah bekerja di tempat yang baru. Masakan yang menurutnya biasa saja.
Begitulah. Yang biasa jadi begitu berharga.
***
Setelah pernikahan kami yang terselenggarakan pada tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun dua ribu lima belas, si bos yang telah berubah status menjadi suamiku itu berencana mengajakku berlibur ke Kota Batu-Malang. Ia sudah membeli tiket kereta pulang pergi untuk kami berdua sebelumnya... sebelum.... ia jatuh sakit!
Tepat sehari setelah hari-H, kepalanya panas dan tubuhnya menggigil. Ia masih berharap untuk pulih sebelum hari keberangkatan ke Malang yang direncanakan dua hari lagi demi istrinya tidak merasa kecewa. Padahal rencana berlibur itu pun awalnya menjadi kejutan karena ia tidak menceritakannya padaku sebelumnya. Aku ragu ia masih ingin pergi, karena sampai keesokan harinya, panasnya belum reda.
Akhirnya aku yang memutuskan fix tidak jadi berangkat dan membatalkan tiket kereta yang sudah dipesan. Berhubung panasnya yang masih naik turun setelah lewat 24 jam, ditambah muntah sekali di pagi hari, aku meminta bantuan Mas Bagus untuk menjemput kami dengan mobil dan membawanya periksa di rumah sakit. Tidak lama, Ka Ario juga menyusul ke IGD untuk menjenguk si bos setelah membantu kami mengurus pembatalan tiket kereta. Bersyukur sekali memiliki saudara yang senantiasa siap membantu kala kami membutuhkan.
Dulu saat kami sedang proses mempersiapkan pernikahan, si bos terlihat begitu khawatir pada persiapan yang tampak rumit dan ribet. Sejauh aku mengenalnya, ia adalah orang yang paling tidak suka ribet dan merepotkan orang lain, termasuk keluarga. Lalu aku mengatakan padanya, “Jangan menyamakan orang lain dengan kita. Jangan dibuat ribet. Yang kita cari keberkahan, bukan resepsi yang bagus dan mewah. Memang ada banyak yang harus dipersiapkan dan direncanakan, tapi jangan dipikirkan terlalu rumit. Dan kita punya banyak teman lebih dari siapapun.”
DAN KITA PUNYA BANYAK TEMAN LEBIH DARI SIAPAPUN.
Ternyata si bos suka dengan kata-kataku itu. Hatinya pun berangsur-angsur lebih tenang. Syukurlah.
Oke, kembali ke rumah sakit. Setelah disuntik dan mendapat obat dari dokter, kami pun pulang. Aku merawat suamiku dengan membuat makanan lunak untuknya, meminumkan obat tepat waktu, dan mengompres kepalanya saat panas. Tidak lupa ditambah zikir dan doa agar ia lekas sembuh.
Selama dalam sakit, berkali-kali ia mengungkapkan rasa bersalahnya terkait rencana jalan-jalan kami yang tidak jadi. Ia ingin membuatku gembira, tapi rencana yang telah disusunnya batal. Berkali-kali aku bilang tidak apa-apa, tetap saja ia merasa bersalah.
Entahlah. Kurasa hati kecilku pun sebenarnya mengharap kami bisa berekreasi. Buktinya saat ia mengajakku berkendara ke stasiun (masih belum pulih kesehatannya waktu itu) untuk mengurus pembatalan tiket kereta, aku merasa begitu senang bisa keluar rumah dan menghirup udara jalanan Kota Bogor. Tak disangka waktu itu bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Hijriyah 1 Muharram, sehingga jalanan kota ramai oleh pawai.
Malam harinya (masih belum benar-benar pulih), si bos memaksakan diri mengajakku ke puncak untuk sekedar makan sate dan jagung bakar. Padahal aku tidak memintanya. Tapi nyatanya aku senang sekali. Pertama kalinya aku mengunjungi kawasan Puncak Pass saat hari lewat tengah malam. Saat bintang gemintang banyak bermunculan. Saat langit menambah pesona lautan cahaya bumi yang tersebar dari lampu-lampu bangunan rumah di lembah bawahnya. Bagiku itu menakjubkan. Tapi si bos masih saja meminta maaf karena honey moon kami yang batal berangkat.
Hey, Bos!
Kita punya honey moon yang langka dan luar biasa. Destinasi pertama kita adalah IGD Rumah Sakit Medika Dramaga. Apakah ada pasangan lain yang seseru ini? Destinasi kedua adalah Stasiun Paledang. Walaupun perjalanan kita hanya berakhir di depan loket dan berbincang dengan mbak-mbak penjaga loketnya, tetapi ini unik, bukan? Kita melihat pawai tahun baru yang ramai sekali, mulai dari barisan marching band yang keren, anak-anak muda yang begitu bersemangat membawa umbul-umbul, sampai ibu-ibu majlis taklim yang heboh menyanyikan salawat sepanjang pawai, diiringi pengawalan polisi yang memblokade setengah jalan agar pawai berjalan aman. Kau menyaksikannya, bukan? Ratusan warga kota beragam usia turun ke jalan dan meramaikan tahun baru Islam.
Mungkin kita tidak kemana-mana, hanya jalan-jalan sebentar keliling kota yang menurutmu biasa. Hanya makan kwetiau di sebuah warung makan sambil ditemani oleh hujan deras. Hanya menikmati dua mangkuk sekoteng di dalam mobil, karena engkau tidak kuat dingin. Hanya pergi sebentar ke Puncak lalu pulang lagi.
Benar. Mungkin itu biasa. Namun, percayalah. Semua yang kau lakukan adalah berharga untukku.
Begitulah. Yang biasa jadi begitu berharga.
***
Seorang senior yang tentunya lebih senior juga dalam urusan rumah tangga pernah berkata, “Najmi. Bagi pasangan yang sudah menikah, romantis adalah saat bisa melakukan pekerjaan rumah tangga bersama-sama.”
Lima tahun kemudian, masih dengan senior yang sama -sebut saja namanya ujangfahmee- ia menyampaikan tentang teori antimainstream yang telah berubah menjadi mainstream, sedangkan mainstream justru berbalik jadi antimainstream.
“Ada tulisan bagus tentang rumah tangga yang memaparkan secara ilmiah, bahwa sesungguhnya hal-hal kecil yang menjadi rutinitas, yang menurut kebanyakan orang sesuatu yang lumrah dan biasa saja, atau yang biasa kita sebut sudah mainstream, justru menjadi penting dan berharga. Seperti menyiapkan makanan pagi untuk sarapan atau saling mengucap salam saat berangkat dan pulang kerja. Itu justru yang memegang nilai penting.”
Hmm.... sepertinya itu benar. Apa karena statusku yang kata orang masih ‘pengantin baru’ ini yah? Rasanya saat di rumah begitu ingin menikmati status sebagai istri. Memasak, mengantar suami ke stasiun saat berangkat kerja, belanja sayur, mencacah sayuran dan mengiris bawang sambil menonton dorama Korea, lalu menunggu suami pulang, hingga aku lupa bahwa aku juga masih berstatus mahasiswa. MA-HA-SIS-WA. Ya Allah! Ternyata aku belum lulus >_<
Aku menyadari bahwa kebiasaan-kebiasaan sederhana dalam rumah tangga, seperti memasak, mengantar suami pergi dan menyambut suami pulang, atau sekedar duduk bersama sambil minum kopi atau teh, adalah momen-momen berharga. Oleh karenanya aku tidak ingin merasa lelah, juga tidak ingin berpikir jenuh. Karena jika aku merasa demikian sekali saja, aku akan kehilangan momen berharga untuk menikmatinya. Namun, aku juga disadarkan bahwa aku tidak bisa terlena pada sesuatu yang membuatku bahagia. Aku masih memiliki tugas ‘biasa’ sebagai seorang mahasiswa. Komitmen yang telah kubuat untuk menyelesaikan studi dan tugas akhir haruslah kutunaikan. Dan aku pun harus menikmatinya. Agar momen yang juga berharga tersebut tidak hilang. Agar aku tidak lulus dengan biasa-biasa saja.
Aku jadi teringat pada suatu teori juga. Kalau yang ini teorinya aku buat sendiri, haha...
Nikmatilah masa-masa sendirimu, karena jika sudah menikah akan ada hal-hal yang hanya bisa kau nikmati sendiri dan tidak bisa lagi kau lakukan saat sudah berdua. Dan saat sudah berdua, nikmatilah kebersamaanmu dengan penuh syukur. Bersyukur bahwa kau pernah menikmati masa sendirimu penuh manfaat, tanpa galau dan rasa sesal, dan kini bisa mensyukuri kebersamaan dengan sepenuh hati. Kelak, jika sudah beranak pinak, aku juga ingin bersyukur bahwa aku pernah menikmati masa-masa berdua, hingga aku merasa lebih bersyukur lagi karena Allah Swt menganugerahkan jumlah anggota keluarga kami yang bertambah banyak.
Bukankah segala persoalan dalam hidup ini hanyalah tentang bersikap syukur dan sabar? Dalam bentuk manapun, semua itu akan jadi indah kala dibingkai oleh cinta. Cinta dalam kesyukuran. Cinta dalam kesabaran. Yang terpenting sih, cinta sama kamu #eeaaa....
***
“Sesuatu yang kita anggap biasa setiap harinya ternyata begitu berharga.”
-Stand by Me-
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".
(QS. Ibrahim:7)
sumber gambar: perezhilton.com |